Aku mematut diriku di depan satu-satunya cermin yang ada di kamar. Saat ini tubuhku sudah dibalut oleh sebuah gamis berwarna putih polos tanpa banyak hiasan indah. Kepalaku ditutup dengan jilbab asal-asalan yang masih menunjukkan helaian rambut hitamku. Adapun wajahku hanya dibaluri bedak tipis dan lipstik berwarna pink yang tidak menggairahkan. Tidak ada hiasan mata yang bisa membuat pangling.
Yah, lagipula tidak ada orang yang ingin aku buat terkesan dengan penampilanku."Mil, kamu udah selesai belum? Pengantin pria dan Pak Penghulu sudah datang," ujar ibu tiriku dari balik pintu yang masih di kunci dari luar."Sudah!" jawabku dengan patuh."Ya sudah, ayo keluar!" ucap ibu tiriku seraya membuka pintu kamar.Walau dengan berat hati, aku tetap mengikuti langkahnya. Toh, tidak ada gunanya menentang sekarang."Pengantin wanitanya sudah tiba," ucap ibu tiri yang mendampingiku ke ruang tamu rumah kami.Setibanya di ruang tamu, aku melihat ruangan itu sudah disulap menjadi ruangan lengang yang diisi oleh satu buah meja dan enam buah kursi untuk acara ijab kabul. Di ruang tamu ini sekilas sudah ada bapak yang mengenakan batik berwarna biru yang dipadukan dengan celana hitam dan juga peci hitam. Ada juga dua orang saksi yang tidak aku kenal dan seorang pria tua yang aku yakini sebagai bapak penghulu itu. Ada pun Abra, aku tidak repot-repot melihat ke arahnya."Ayo Pak Penghulu, acaranya segera dimulai," ujar bapak dengan antusias seraya mempersilakan pria tua itu untuk mengambil tempat di sampingnya."Silakan kedua mempelai," ujar pria tua itu kemudian menunjuk seberang meja yang memang sudah diatur untuk tempat para pengantin.Momen pernikahan seharusnya menjadi momen paling membahagiakan bagi siapa saja yang dimabuk cinta. Namun, berbeda denganku, momen ini terasa begitu suram. Meski jantungku berdegup kencang, tapi degupan ini bukanlah degupan antusias. Degupan yang ada di balik dada ini lebih seperti sebuah isyarat kehancuran."Apa kamu sudah siap menjadi istriku?" bisik Abra yang kehadirannya tidak pernah aku perhatikan dari awal hingga detik ini."Tidak!" jawabku dengan jujur."Tsk. Sayang sekali," ujarnya." ... "Aku tidak menimpali karena perasaanku saat ini begitu hampa. Setelah kami duduk di hadapan penghulu, mataku bahkan menyorot dengan kosong ke arah tangan Abra dan tangan bapak yang mulai saling terjalin di atas meja."Mari kita mulai. Bismillahirrahmanirrahim," ucap Pak Penghulu."Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Abraham Suseno bin David Suseno dengan anak saya yang bernama Kamilia Azizah dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai," ujar bapak dengan lancar."Saya terima nikahnya dan kawinnya Kamilia Azizah binti Suherman Wahid dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" ucap Abra dengan suara beratnya yang lantang."Bagaimana saksi? Sah?""Sah!"Dari awal hingga akhir prosesi ijab kabul ini, aku hanya bisa terdiam pasrah menerima nasib sambil menggigit bibirku kuat-kuat agar air mata tidak runtuh."Mbak Kamilia, kok diam saja? Dicium dong tangan suaminya," tegur pak penghulu ketika melihat aku yang hanya diam membisu.Aku yang disadarkan oleh ucapan pak penghulu ini sontak berjengit ngeri. Melalui sudut mata, aku melirik pada Abra yang terlihat menatapku jenaka."Ayo Mil, jangan sungkan," ujar bapak sembari melemparkan sorot mata peringatan agar aku segera melakukan apa yang mereka minta.Dengan berat hati, aku menoleh sepenuhnya ke arah Abra yang langsung menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Di bawah tatapan banyak mata, mau tidak mau aku meraih tangan besar pria itu, lalu dengan terpaksa menempelkan punggung tangannya di ujung hidungku. Proses ini berlangsung dengan cepat."Abra juga mencium kening istrinya," ujar pak penghulu mendiktekan apa yang harus kami lakukan berikutnya.Sekujur tubuhku otomatis merinding mendengar kalimat ini. Namun, karena tidak ada pilihan, aku pun menundukkan kepala dalam-dalam sambil memejamkan mata rapat-rapat menunggu bibir pria itu mendarat di keningku.Berbeda dengan aku yang mencium tangannya dengan kilat, Abra mendaratkan bibir empuknya di keningku dalam waktu yang cukup lama. Aku sampai ingin mendorongnya menjauh, tetapi aku memilih untuk menahan diri sekuat tenaga.Begitu bibir pria itu menjauh dariku, suara tepuk tangan terdengar bergemuruh. Karena di detik berikutnya tidak ada prosesi lanjutan seperti resepsi, acara pernikahanku ini pun berakhir begitu saja. Hanya bapak dan ibu tiriku yang terlihat antusias mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sepertinya telah berjasa dalam membuat acara pernikahan ini bisa terlaksana hanya dalam sehari."Terima kasih semua atas bantuannya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar," ujar bapak."Tidak masalah, Pak Suherman. Sudah sewajarnya kita semua saling bantu sebagai warga desa," ucap salah seorang tamu undangan."Hahaha, sekali lagi terima kasih, Pak Gatot. Saya jadi malu," ujar bapak dengan lirih sembari benar-benar menunjukkan wajah malunya."Jangan sungkan untuk minta tolong lagi di lain waktu, Pak Suherman," balas pria paruh baya yang bernama Pak Gatot itu."Iya. Pasti!""Oh ya, karena acaranya sudah selesai, kami akan langsung permisi dulu. Kami masih ada urusan," pamit seseorang yang lain di antara mereka."Mari silakan," ucap bapak seraya menuntun tamunya keluar bersama dengan ibu tiriku.Setelah mengantar tamunya pergi, suasana ruang tamu rumah yang sempit ini langsung jatuh dalam kesunyian. Kini yang tersisa di ruangan ini hanya aku dan Abra saja."Mari menjalani pernikahan ini dalam damai," ujar Abra sembari mengulurkan tangannya ke arahku. Akan tetapi, aku tidak menyambut uluran tangan itu."Aku belum ingin menikah," ujarku sambil menerawang kosong.Abra pun menarik tangannya yang masih tergantung di depanku ke posisi semula. "Yah, apa boleh buat," ucapnya dengan acuh tak acuh.Nada suaranya yang terlampau tenang ini membuatku heran. Bukankah jika orang normal diperlakukan dengan tidak adil seperti ini, mereka akan marah dan menaruh dendam pada orang yang telah menjebaknya? Tetapi kenapa pria ini begitu tenang?"Apa kamu benar-benar tidak keberatan menjalin pernikahan terpaksa ini denganku?" tanyaku sanksi."Tentu saja!" jawab Abra."Bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan wanita yang kamu cintai? Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu soal ini?" tanyaku lagi.Dengan banyaknya gosip simpang siur mengenai pria ini, aku tidak bisa menghindari rasa penasaran yang tiba-tiba muncul di dalam hati."Keluargaku tidak ada hubungannya dengan pernikahan ini," jawab Abra dengan nada sedikit ketus.Responnya yang berbeda dari sebelumnya membuatku langsung terdiam kikuk."Em, oke ... " gumamku lirih.Suasana di ruang tamu ini pun langsung sunyi karena obrolan yang tiba-tiba mati. Keadaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama hingga aku sendiri merasa lelah. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kembali ke dalam kamar sepertinya bukan pilihan yang tepat."Hei, aku penasaran deh, kenapa kamu tidak marah setelah dijebak seperti ini?" tanyaku menyuarakan keheranan yang tersimpan di dalam hati."Siapa bilang aku tidak marah?" timpal Abra."Kamu tidak kelihatan seperti orang marah," ujarku seraya menatap lekat wajah datar pria yang kini berstatus sebagai suamiku ini.Mendengar ucapanku, Abra justru terkekeh renyah. Dia lalu mendekatkan bibirnya ke arah telingaku tanpa bisa aku hindari. "Justru beginilah caraku mengatasi amarah. Aku akan membuat musuhku lengah, sebelum nanti aku membuat mereka menderita lebih parah daripada yang telah mereka lakukan padaku,"* * *Aku termangu cukup lama setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Abra. Keseriusan dalam nada suaranya sama sekali tidak bisa diabaikan. Belum lagi karena pria ini pernah berkata bahwa gosip-gosip yang tersebar tentangnya di luaran sana itu tidak sepenuhnya salah. Pikiran di kepalaku pun tak terhindarkan berputar dengan liar."Benarkah?" tanyaku memberanikan diri. Tidak ada yang tahu bagaimana jantungku sudah berdegup kencang karena ngeri membayangkan kalau pria ini benar-benar seorang penjahat buron yang sedang bersembunyi di desa ini."Tentu saja!" jawab Abra masih sambil berbisik di samping telingaku.Tanpa sadar aku menelan ludah dengan susah payah. "Lalu, hal paling kejam apa yang pernah kamu lakukan untuk membuat musuhmu menderita karena telah membuatmu marah?" tanyaku ingin tahu. Lebih tepatnya aku ingin memancing pria ini untuk menggali informasi akurat tentangnya lebih dalam."Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Abra terdengar be
"Mil, mulai sekarang biarkan kios kamu Jemima yang jaga ya," pinta bapak disaat kami sedang menikmati sarapan sederhana berupa nasi goreng tanpa lauk buatan ibu tiriku."Lah, ogah!" jawabku tanpa basa-basi."Daripada nanti nggak ada orang yang mau belanja di kios kamu lagi, gimana?" ujar bapak. Aku mengangkat bahu masa bodoh. "Kenapa juga orang nggak mau belanja di kiosku? Lagian rezeki setiap orang juga sudah ada yang atur. Aku nggak khawatir sama sekali," jawabku dengan santai."Duh, Mil. Mungkin kamu nggak tahu ini, tapi warga di sini sudah kehilangan respect sama kamu. Mereka takut belanja di kios kamu karena takut kena azab," ucap ibu mertuaku turut nimbrung."Pffttt,"Hembusan tawa tiba-tiba meluncur mulus dari bibir Abra yang duduk di sampingku. Perilakunya menyebabkan kami menoleh ke arahnya dengan gerakan kepala serentak."Kamu kenapa ketawa?!" seru ibu tiriku seraya menatap galak pada Abra.Pria yang
"Apa? Kenapa kamu melihat ibu seperti itu?" tanya ibu tiriku dengan nada meledek."Apakah menyenangkan melihatku menderita?" tanyaku sambil menyembunyikan kekesalan di balik dada."Menyenangkan!" bisik wanita paruh baya ini tepat di depan wajahku. Ekspresi culasnya persis seperti ekspresi pemeran antagonis dalam sinetron.Aku yang tidak lagi terkejut dengan jawaban ini pun menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. "Begitu!" ujarku."Asal kamu tahu saja, semua hal-hal baik sudah seharusnya menjadi milik Jemima seorang. Kamu sama sekali tidak berhak untuk itu. Bahkan meskipun kios ini kamu bangun dengan jerih payah sendiri, tapi cepat atau lambat, kios ini akan menjadi milik Jemima. Dan harus menjadi milik Jemima!" tukas ibu tiriku. Setiap kata yang dia ucapkan diberi penekanan yang keras.Sebelum aku sempat menimpali perkataan ini, ibu tiriku telah lebih dulu menyeret langkahnya pergi. Alhasil, aku hanya bisa menatap punggungnya d
Keesokan harinya, "Loh, Mil. Kamu nggak buka kios?" tanya bapak yang hari ini melihatku berbaring malas di sofa panjang ruang keluarga sambil menonton TV."Nggak. Malas!" jawabku sekenanya."Kalau begitu, berikan saja kuncinya pada Jemima. Biarkan dia yang urus kios kamu mulai sekarang," ujar bapak masih dengan wacananya untuk mengambil kios dariku."Nggak!" jawabku dengan tegas."Mil, ayolah. Jangan begitu," ucap bapak." ... "Aku tidak membuang-buang kata dan langsung mendiamkan bapak sambil terus fokus pada ponsel yang ada di tanganku. Aku mulai berpikir bahwa jika tidak ada lagi warga sekitar yang mau membeli sesuatu di kiosku, aku hanya perlu menjualnya secara online untuk meminimalisir kerugian. Awalnya aku berniat untuk tidak mempedulikan bapak sebentar, tetapi aku malah terlarut dalam berselancar di media sosial. Aku sampai tidak mengetahui kapan bapak pergi.Hal ini terus berlangsung hingga
"Kamu tunggu pembalasanku Jemima!" Aku bergumam dengan suara super pelan seraya mulai menilik isi kulkas.Bahkan tanpa iming-iming uang dari Abra tadi, aku memang sudah memupuk niat sejak kemarin bahwa aku akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah mulai hari ini. Aku ingin melihat bagaimana frustrasinya bapak dan ibu tiriku itu ketika melihat aku yang tidak mau lagi campur tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jika benar ada uang senilai 300 juta di dalam ATM yang diberikan oleh Abra, maka itu akan lebih baik. Aku bisa pamer pada mereka nanti.Sambil sesekali mendendangkan lagu, aku mengeluarkan sekantong cumi sepanjang telapak tangan dari dalam kulkas. Ada juga kangkung beserta segala sayur mayur lainnya. Hari ini aku berencana untuk membuat cumi bakar asam manis dan cah kangkung untuk suamiku itu.Setelah berkutat sekitar satu jam lebih lamanya di dapur, makanan sederhana buatanku akhirnya selesai juga. "Abra, ayo makan.
"Mil, kamu serius dengan kata-kata kamu itu?" tanya bapak tidak percaya."Tentu saja!" jawabku dengan mantap. "Mil, bapak tahu kamu marah karena apa yang sudah kami lakukan padamu. Tapi tidak bisakah kamu mentolerir kami untuk kali ini saja? Yakinlah, Mil. Apa yang kami lakukan padamu itu, semuanya demi keluarga ini," tukas bapak. Nada suaranya terdengar begitu memelas penuh permohonan.Akan tetapi, sayang sekali. Hatiku tidak terketuk oleh semua narasi ini. Aku sudah cukup bertoleransi atas sikap sewenang-wenang bapak di sepanjang kehidupanku, dan aku tidak ingin terus berputar-putar dalam lingkaran setan."Nggak ah. Aku capek disuruh terus-terusan mentolerir sikap kalian semua. Sekarang gantian dong kalian yang harus mentolerir sikapku," pungkasku." ... "Ruang makan itu seketika jatuh dalam keheningan karena kata-kataku. Mereka bertiga pun lantas saling tatap penuh arti. Sekilas aku dapat melihat sorot meringis dari pancaran
Aku memang mengatakan pada diri sendiri agar tidak terlalu memikirkan asal-usul Abra. Akan tetapi, begitu aku berhadapan dengan pria yang berstatus sebagai suamiku ini, rasa penasaran itu kembali muncul ke permukaan."Kamu sebenarnya siapa?" tanyaku.Sekembalinya dari ATM, aku terus menatap tajam pada Abra yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mata pria itu tampak fokus menekuri laptop yang ada di pangkuannya. Dan akibat dari pertanyaanku itu, Abra perlahan mengangkat pandangannya ke arahku sambil mengangkat alis tinggi-tinggi."Kamu ingin tahu?" tanya Abra.Aku kemudian dengan cepat mengangguk sebagai tanggapan."Ada pepatah yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh kucing. Apa kamu yakin benar-benar ingin tahu?" tanya Abra sekali lagi. Kali ini matanya menyipit tajam menatap ke arahku.Aku pun tanpa sadar menelan ludah. Namun, rasa penasaran yang menggantung di hatiku lebih besar daripada rasa takut. Mungkin ka
"Kesepakatan seperti apa lagi sih?" tanyaku dengan ogah-ogahan."Kamu tahu Universitas X di kota sebelah?" Abra balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang telah aku ajukan lebih dulu.Aku tidak tahu ke mana topik pembicaraan ini akan dibawa. Apalagi karena Abra tiba-tiba menyebutkan soal Universitas X di kota sebelah tempatku berkuliah dulu. Namun, meskipun begitu, aku tetap menganggukkan kepala."Tahu. Kenapa?" tanyaku."Aku memiliki kos-kosan 23 pintu di sekitaran sana. Jadi aku ingin meminjam namamu dalam pengelolaannya. Aku mau tetap bersikap low profil. Aku tidak mau ketahuan oleh musuhku sebelum aku memiliki persiapan matang untuk menghadapinya," pungkas Abra dengan serius. Aku yang mendengar ucapannya spontan meneguk ludah."Tentang musuhmu, apakah masalah di antara kalian begitu serius?" tanyaku dengan sedikit was-was. Jantungku pun berdetak heboh di balik dada."Kalau tidak, aku tidak akan terluka seperti ini," jawab
"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak