Keesokan harinya,
"Loh, Mil. Kamu nggak buka kios?" tanya bapak yang hari ini melihatku berbaring malas di sofa panjang ruang keluarga sambil menonton TV."Nggak. Malas!" jawabku sekenanya."Kalau begitu, berikan saja kuncinya pada Jemima. Biarkan dia yang urus kios kamu mulai sekarang," ujar bapak masih dengan wacananya untuk mengambil kios dariku."Nggak!" jawabku dengan tegas."Mil, ayolah. Jangan begitu," ucap bapak." ... "Aku tidak membuang-buang kata dan langsung mendiamkan bapak sambil terus fokus pada ponsel yang ada di tanganku. Aku mulai berpikir bahwa jika tidak ada lagi warga sekitar yang mau membeli sesuatu di kiosku, aku hanya perlu menjualnya secara online untuk meminimalisir kerugian.Awalnya aku berniat untuk tidak mempedulikan bapak sebentar, tetapi aku malah terlarut dalam berselancar di media sosial. Aku sampai tidak mengetahui kapan bapak pergi.Hal ini terus berlangsung hingga"Kamu tunggu pembalasanku Jemima!" Aku bergumam dengan suara super pelan seraya mulai menilik isi kulkas.Bahkan tanpa iming-iming uang dari Abra tadi, aku memang sudah memupuk niat sejak kemarin bahwa aku akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah mulai hari ini. Aku ingin melihat bagaimana frustrasinya bapak dan ibu tiriku itu ketika melihat aku yang tidak mau lagi campur tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan jika benar ada uang senilai 300 juta di dalam ATM yang diberikan oleh Abra, maka itu akan lebih baik. Aku bisa pamer pada mereka nanti.Sambil sesekali mendendangkan lagu, aku mengeluarkan sekantong cumi sepanjang telapak tangan dari dalam kulkas. Ada juga kangkung beserta segala sayur mayur lainnya. Hari ini aku berencana untuk membuat cumi bakar asam manis dan cah kangkung untuk suamiku itu.Setelah berkutat sekitar satu jam lebih lamanya di dapur, makanan sederhana buatanku akhirnya selesai juga. "Abra, ayo makan.
"Mil, kamu serius dengan kata-kata kamu itu?" tanya bapak tidak percaya."Tentu saja!" jawabku dengan mantap. "Mil, bapak tahu kamu marah karena apa yang sudah kami lakukan padamu. Tapi tidak bisakah kamu mentolerir kami untuk kali ini saja? Yakinlah, Mil. Apa yang kami lakukan padamu itu, semuanya demi keluarga ini," tukas bapak. Nada suaranya terdengar begitu memelas penuh permohonan.Akan tetapi, sayang sekali. Hatiku tidak terketuk oleh semua narasi ini. Aku sudah cukup bertoleransi atas sikap sewenang-wenang bapak di sepanjang kehidupanku, dan aku tidak ingin terus berputar-putar dalam lingkaran setan."Nggak ah. Aku capek disuruh terus-terusan mentolerir sikap kalian semua. Sekarang gantian dong kalian yang harus mentolerir sikapku," pungkasku." ... "Ruang makan itu seketika jatuh dalam keheningan karena kata-kataku. Mereka bertiga pun lantas saling tatap penuh arti. Sekilas aku dapat melihat sorot meringis dari pancaran
Aku memang mengatakan pada diri sendiri agar tidak terlalu memikirkan asal-usul Abra. Akan tetapi, begitu aku berhadapan dengan pria yang berstatus sebagai suamiku ini, rasa penasaran itu kembali muncul ke permukaan."Kamu sebenarnya siapa?" tanyaku.Sekembalinya dari ATM, aku terus menatap tajam pada Abra yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mata pria itu tampak fokus menekuri laptop yang ada di pangkuannya. Dan akibat dari pertanyaanku itu, Abra perlahan mengangkat pandangannya ke arahku sambil mengangkat alis tinggi-tinggi."Kamu ingin tahu?" tanya Abra.Aku kemudian dengan cepat mengangguk sebagai tanggapan."Ada pepatah yang mengatakan bahwa keingintahuan membunuh kucing. Apa kamu yakin benar-benar ingin tahu?" tanya Abra sekali lagi. Kali ini matanya menyipit tajam menatap ke arahku.Aku pun tanpa sadar menelan ludah. Namun, rasa penasaran yang menggantung di hatiku lebih besar daripada rasa takut. Mungkin ka
"Kesepakatan seperti apa lagi sih?" tanyaku dengan ogah-ogahan."Kamu tahu Universitas X di kota sebelah?" Abra balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan yang telah aku ajukan lebih dulu.Aku tidak tahu ke mana topik pembicaraan ini akan dibawa. Apalagi karena Abra tiba-tiba menyebutkan soal Universitas X di kota sebelah tempatku berkuliah dulu. Namun, meskipun begitu, aku tetap menganggukkan kepala."Tahu. Kenapa?" tanyaku."Aku memiliki kos-kosan 23 pintu di sekitaran sana. Jadi aku ingin meminjam namamu dalam pengelolaannya. Aku mau tetap bersikap low profil. Aku tidak mau ketahuan oleh musuhku sebelum aku memiliki persiapan matang untuk menghadapinya," pungkas Abra dengan serius. Aku yang mendengar ucapannya spontan meneguk ludah."Tentang musuhmu, apakah masalah di antara kalian begitu serius?" tanyaku dengan sedikit was-was. Jantungku pun berdetak heboh di balik dada."Kalau tidak, aku tidak akan terluka seperti ini," jawab
"Apa kamu tidak bisa membeli sepeda motor yang agak bagusan dikit?!" Aku berseru dengan keras dari boncengan motor Abra yang bisa dikatakan hampir seperti rongsokan. Seluruh badan motor itu begitu tipis karena hanya tinggal kerangka. Di sepanjang jalan aku terus dibuat khawatir kalau-kalau motor yang kami tunggangi ini akan terbelah karena tidak mampu menahan bobot kami berdua."Siapa yang tahu aku akan membonceng orang suatu saat nanti," timpal Abra turut berteriak karena suaranya dihanyutkan oleh angin."Tsk!" Aku mendecakkan lidah dengan tidak puas."Nanti deh aku beli yang baru," ucap Abra kemudian dengan entengnya. " ... "Aku tidak menimpali. Seluruh tubuhku tegang karena waspada. Jika sepeda motor ini menunjukkan gejala aneh, aku akan langsung melompat. Aku bahkan meminta pada Abra untuk berkendara dengan pelan, dan mengambil sisi pinggir jalan."Itu dia kos-kosannya," celetuk Abra.Dia menghentikan sep
Tok tok tok,Ayam baru saja selesai berkokok ketika pintu kamarku digedor dengan keras dari luar. Aku yang baru saja menyelesaikan sholat subuh hanya melirik dengan malas ke arah pintu."Kamilia! Bangun!" Suara ibu tiriku menggema dengan keras. Jelas sekali terdengar bahwa dia sedang marah.Tok tok tok,"Kamilia!"Aku yang lambat laun tidak tahan dengan keributan ini pun mau tidak mau beranjak membuka pintu untuknya."Ada apa sih pagi-pagi sudah ribut aja!" seruku seraya menunjukkan wajah tidak senang."Kamu masih tidak mau masak dan bersih-bersih rumah juga?!" hardik ibu tiriku itu sambil berkacak pinggang, dan matanya melotot marah."Tidak mau!" jawabku dengan santai."Kamu!" "Percuma saja sih marah-marah. Kenapa tidak menyuruh putrimu saja yang membantu ibunya tersayang memasak dan beres-beres rumah? Biar nanti kalau menikah, dia bisa menyenangkan suami dan mertuanya," ucapku sembari mencib
"Aku selalu takut dibonceng pakai motor ini," keluhku seraya duduk dengan waspada di atas sepeda motor butut milik Abra."Aku tahu. Besok aku akan beli motor yang baru," ujar Abra sembari mengenakan helmnya."Alasan apa yang akan kamu gunakan kalau bapakku bertanya?" tanyaku lagi."Hutang!" jawab Abra dengan santai."Ah~" Aku pun tanpa sadar mengangguk sebagai tanda mengerti."Udah siap belum?" tanya Abra yang hendak memulai ancang-ancang untuk menarik gas."Udah," jawabku setelah menelan ludah dengan tidak nyaman.Tidak lama kemudian, sepeda motor butut milik Abra sudah meluncur di atas jalanan. Dan butuh waktu sekitar 30 menit berkendara dari rumah hingga kami tiba di kos-kosan itu. "Alhamdulillah. Fiuh~" gumamku seraya mengusap peluh tak kasat mata dari dahiku. Jantung yang sempat menegang pun kini mulai rileks ketika kami selamat sampai tujuan."Itu Pak Rahmat yang sebelumnya aku mintai tolong untu
"Kamu terlihat sangat bersemangat hari ini. Ada hal membahagiakan apa?" tanya Abra. Dia pasti penasaran karena aku terus berdendang dengan ceria sembari membersihkan setiap sudut kamar."Semalam aku bermimpi indah," jawabku. Ada senyum cemerlang yang terus menghiasi wajahku.Abra pun mendengus geli. "Ternyata gara-gara mimpi. Aku pikir uang 300 juta sudah membuatmu gila," celetuknya asal-asalan."Tidak gila, tapi hampir," balasku dengan bercanda. Kami lalu terkekeh pelan.Berbeda dengan harmoni yang terjadi di dalam kamar kami, suara misuh-misuh ibu tiriku terdengar sampai ke dalam kamar. Wanita paruh baya yang sebelumnya selalu berada di pihak putrinya itu mulai merasakan ketidakpuasan."Nak, ayolah bantuin ibu nyapu sekali-sekali. Terakhir kali lantai di rumah ini disapu dua hari yang lalu," pinta ibu tiriku dengan suara memohon pada putrinya.Aku yang masih terkikik bersama Abra spontan terdiam. Jari telunjuk pun aku dekatkan
"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak