Haura Zahra, dipaksa menerima takdir pahit. Ia harus menikah dengan Bara Aditama, pria yang seharusnya menjadi adik iparnya. Di bawah bayang-bayang kewajiban keluarga, Haura pasrah, tak kuasa menolak. Bara mengakui bahwa hatinya tak pernah untuk Haura. Ia telah terikat janji suci dengan wanita lain, Hana, yang mengaku sedang sakit keras. Haura dengan besar hati mengizinkan Bara menikah lagi. Kebohongan demi kebohongan terungkap, menguak tabir gelap sebuah cinta yang terjalin dalam kepalsuan. Siapakah sebenarnya Hana? Haura pun terperangkap dalam pusaran intrik keluarga yang rumit. Bisakah ia bertahan dan menemukan kebahagiaan sejati di tengah badai kehidupan?
View MoreKeesokan harinya, di pagi hari, seperti biasanya, aku duduk di meja makan sambil mengaduk kopi, memperhatikan Hana yang turun ke dapur. Tumben, pikirku. Setelah kejadian kemarin, Hana tiba-tiba bersikap manis di depan Bara. Wajahnya seakan dipoles ulang menjadi istri yang penuh perhatian. Dia duduk di sebelah Bara, bahkan dengan penuh manja menyuapi suaminya.Aku hanya melirik tingkah mereka dengan pandangan datar, menahan rasa muak melihatnya. Seolah-olah Hana tidak pernah melakukan kesalahan apa pun."Mas, aku besok mau kerja lagi."Bara menatapku sebentar, lalu mendengus, "Emangnya kamu bisa kerja?""Paling jadi pelayan kafe, Mas?" celetuk Hana sambil melirik ke arahku dengan senyum sinis.Aku tersenyum tipis. Kayaknya mereka nggak tahu aku ini siapa, batinku."Emang kenapa kalau jadi pelayan kafe? Yang penting halal, kan?" jawabku tenang.Hana mendadak terdiam, tak mampu melanjutkan ejekannya. Bara hanya berdehem. "Terserah kamu."Setelah sarapan, Bara bergegas pergi ke kantor sep
Jari-jariku berhenti menari di atas keyboard. Layar laptop memudar menjadi hitam, memantulkan bayangan wajahku. Pekerjaan terakhir terkait kepindahanku akhirnya rampung.Aku melirik ke arah Hana yang baru saja pulang. Sejak pagi tadi dia sudah pergi, dan baru sekarang, ketika langit sudah gelap. Aku tidak peduli ke mana dia pergi, dengan siapa, atau bagaimana dia berdandan. Pakaian minim yang dia kenakan, dengan make-up tebal dan mencolok, sangat bertolak belakang dengan penampilanku.Barangkali mungkin tipe wanita seperti Hana ini yang disukai Bara. Pantas saja Bara pernah bilang kalau dia tidak selera denganku. Tapi terserahlah... Aku sudah tidak peduli lagi. Menjadi istri di atas kertas ternyata tidak terlalu buruk, aku tidak perlu repot-repot melayani Bara yang semaunya sendiri. Batinku sambil melirik Hana yang masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Hana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sederhana, namun tetap mempertahankan kesan seksi."Mbak Zahra sudah makan malam?"
Aku baru pulang dari pasar dengan tangan penuh belanjaan. Begitu melangkah ke dalam rumah, pemandangan yang menyambutku adalah Bara yang sedang merapikan dasinya di meja makan, sementara Hana sibuk memainkan ponselnya sambil menopang dagu. Aku berlalu begitu saja melewati mereka tanpa ada niatan untuk menyapa."Ke mana saja kamu? Masih pagi sudah kelayapan," tegur Bara."Habis dari pasar," jawabku singkat sambil berjalan menuju dapur, mulai sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam kulkas."Apa kamu nggak bisa pamitan dulu kalau mau pergi?"Aku mendesah dalam hati, enggan memperpanjang masalah kecil ini. "Aku perginya pagi banget, lagian kenapa aku mesti pamit sama mas?" tanyaku sambil melanjutkan memasukkan sayuran dan daging ke dalam kulkas, tak berhenti mengatur barang-barang yang kubawa dari pasar."Kamu nggak ngerti sopan santun ya?" Bara mulai meninggikan suaranya, seolah tidak puas dengan jawabanku."Mas, sudah, jangan gitu sama Mbak Zahra. Barangkali Mbak Zahra itu orangnya e
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te
Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju rumah. Rintik hujan tak henti-hentinya menghujani kaca mobil. Bapak mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air yang seolah berlomba jatuh dari langit. Dari balik jendela, aku menatap jalanan yang basah, menyaksikan lampu-lampu jalan terpantul pada genangan air di aspal.Aku selalu menyukai hujan. Suaranya yang merdu, serta aroma khas tanah yang basah selalu memberikan ketenangan tersendiri. Ada sesuatu yang magis tentang hujan yang membuatku merasa damai, seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengarkan tetesan air yang jatuh dari langit. Namun, hari ini berbeda. Ketika biasanya aku menikmati setiap detik hujan turun, kali ini hatiku tak bisa merasakan kedamaian yang sama."Bapak sudah sepakat. Lusa, kamu akan tetap menikah sama putra keduanya Adiwijaya. Kamu nggak perlu khawatir." .Zahra terdiam, tatapannya masih tertuju pada jalanan di depan. Tak ada niat untuk menjawab. Baru dua puluh menit yang lalu, almarhum Mas Huda dik...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments