Suara gerbang terbuka terdengar jelas di telingaku, beriringan dengan suara azan subuh yang menggema di kejauhan. Aku terbangun di sofa ruang tamu, mataku masih terasa berat. Semalam, aku tertidur di sini setelah menunggu Bara yang tak kunjung pulang. Tubuhku terasa kaku karena posisi tidur yang tak nyaman, namun hati ini terasa lebih berat, dipenuhi dengan pertanyaan tentang di mana Bara menghabiskan malamnya.
Aku berdiri perlahan, menggosok mata yang masih lelah. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan lampu ruang tamu dan mulai mengikat rambut panjangku yang tergerai. Saat itulah Bara masuk ke dalam rumah, masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia pergi kemarin.
"Mas, kemana aja semalam? Kenapa baru pul..."
"Berisik!" Bara menyela cepat sambil melepas sepatunya. Suaranya keras, penuh ketidaksabaran. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku, hanya fokus menyingkirkan alas kakinya dengan kasar.
"Aku nunggu mas semalaman."
"Nggak ada yang suruh kamu nunggu!" Bara kembali membentakku, kali ini sembari melepaskan jaketnya dan melemparkannya sembarangan ke sofa. Bau parfum yang manis, berbeda dari yang biasa ia pakai, menguar dari jaket itu. Aku mencium aroma yang lebih feminin, aroma yang biasanya dipakai oleh seorang wanita.
Aku menelan ludah, menahan gelisah. "Mas, suka pakai parfum yang feminin gini? Baunya manis."
"Diem! Tau apa kamu?!" Bara mendekat, suaranya semakin tinggi, seolah keberadaanku di hadapannya adalah beban.
"Mas, punya masalah apa sih sama aku?" tanyaku dengan suara yang bergetar.
"Banyak! Semua masalah ini muncul gara-gara kamu!" Bara menuding wajahku dengan jari telunjuknya. Tatapannya penuh kebencian.
Aku mundur selangkah, menahan napas. "Aku tau mas terpaksa nikahin aku." Suaraku pelan, tapi hatiku hancur mendengar pengakuannya yang seolah menjadi tamparan keras bagiku.
"Sangat terpaksa! Asal kamu tahu, hubungan kita nggak akan lebih dari ini. Jadi jangan berharap lebih, ngerti?!" seru Bara dengan suara tinggi.
Aku bisa melihat senyum miringnya yang penuh penghinaan. "Maksud Mas? Mas nggak akan bersikap selayaknya suami kepada istrinya gitu?"
Bara mendengus sambil tersenyum sinis. "Kamu itu cuma istri di atas kertas aja. Selebihnya, jangan mimpi! Dari awal saya nggak pernah suka sama kamu! Liat penampilan kamu aja, saya udah nggak selera!" Bara mengucapkan kata-kata itu dengan kejam, lalu berjalan pergi, meninggalkanku.
"Astagfirullah, Mas Bara?" Aku melihat diriku sendiri, penampilan sederhana dengan pakaian panjang yang tertutup. Aku memang lebih suka pakaian yang nyaman dan tidak terlalu mencolok. Mungkin bagi Bara, aku memang tidak menarik. "Apa penampilanku begitu parah di matanya?"
Setelah percakapan menyakitkan itu, aku mencoba menenangkan diri dengan memasak sarapan pagi. Di rumah sebesar ini, tidak ada pembantu, jadi aku yang melakukan semua pekerjaan rumah, mulai dari bersih-bersih hingga memasak
Bara muncul dari kamar, memakai setelan jas rapi. Rambut cepaknya nampak berkilau karena gel. Bau wangi parfumnya, yang kali ini lebih maskulin, menyebar di ruangan. Bara mengendus-endus pelan, jelas mencium aroma sop buntut yang menggugah selera.
"Mas, sarapan dulu yuk?" tawarku sambil tersenyum, berharap bisa memecah kebekuan di antara kami.
Bara mengerutkan kening, menatapku dengan tatapan dingin. "Saya nggak laper."
"Nggak mungkin. Udah, sarapan dulu lah, Mas. Ini aku buatin sop buntut. Kata Mama, ini salah satu masakan kesukaan Mas Bara."
Bara mendesah, jelas ada pergulatan batin di dalam dirinya. Dia melirik sop buntut di atas meja, lalu menelan ludah. "Awas kalau nggak enak." Akhirnya, ia mengambil sepiring nasi dan sopnya, tapi tidak duduk bersamaku. Dia justru berjalan ke ruang tamu untuk menikmati sarapannya sendiri.
Aku menghela napas panjang, mencoba menahan air mata. "Separah itu kah aku, Mas? Sampai kamu nggak mau makan sama aku?" tanyaku dengan suara yang hampir tak terdengar.
Setelah makan, Bara berdiri dan menghampiriku. "Kirim nomor rekening kamu." ucapnya tanpa basa-basi.
"Buat apa, Mas?"
"Saya mau bayar atas makanan dan semua kerjaan kamu di rumah ini."
"Loh? Maksudnya gimana? Aku kan lakuin ini karena memang udah sewajarnya kan?" tanyaku, terkejut dengan ucapannya.
"Udah, nurut aja! Ini nomor ponsel saya. Buruan kirim nomor rekening kamu." Bara menatapku dengan dingin, seolah aku hanyalah seorang pekerja di rumahnya.
"Mas pikir aku ini pembantu?" tanyaku dengan suara yang lebih keras, tak bisa lagi menahan amarah.
"Pikir sendiri," jawabnya sambil berlalu, berjalan menuju dapur.
Aku menatap kartu nama yang tergeletak di meja. Air mataku mulai menggenang di pelupuk mata. "Apa benar aku nggak lebih dari seorang pembantu di matanya?" pikirku getir, menahan sakit di dada.
"Kamu, kalau nggak ada keperluan mendesak, nggak usah tanya-tanya ke Mama. Kamu juga nggak perlu buang-buang waktu buat cari tahu apa kesukaan saya. Karena sampai kapanpun, kamu nggak akan pernah bisa mendapatkan perhatian dari saya. Jadi jangan berharap lebih!"
"Tapi apa alasannya, Mas? Kalau nggak setuju dengan pernikahan ini, kenapa nggak bilang sama orang tua Mas? Jadi kita nggak perlu kayak gini? Dosa, Mas! Dosa besar malah," jawabku, suaraku mulai bergetar, penuh emosi.
"Kamu nggak perlu tahu soal itu!" Bara menyahut kasar. "Dengar ya? Mari kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan! Satu hal yang mesti kamu tau, saya nggak akan cer..."
"Aku punya prinsip, Mas. Nikah itu cuma sekali seumur hidup. Dan kita baru menikah selama tiga hari, Mas udah singgung masalah itu?" selaku.
"Bagus! Jaga terus prinsip kamu itu! Emang kenapa? Ini bukan masalah besar buat saya," ucap Bara dengan nada sarkastis. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan, tiba-tiba ia melotot. "Foto yang biasa dipajang di sini ke mana? Kenapa nggak ada?!" teriaknya sambil menunjuk dinding kosong.
"Foto prewedding Mas sama mantan?" tanyaku pelan, perasaanku tercekat.
"Siapa yang bilang dia itu mantan, ha?! Dia itu calon istri saya! Lancang sekali kamu sebut dia mantan!"
"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi
Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,
Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
Keesokan harinya, di pagi hari, seperti biasanya, aku duduk di meja makan sambil mengaduk kopi, memperhatikan Hana yang turun ke dapur. Tumben, pikirku. Setelah kejadian kemarin, Hana tiba-tiba bersikap manis di depan Bara. Wajahnya seakan dipoles ulang menjadi istri yang penuh perhatian. Dia duduk di sebelah Bara, bahkan dengan penuh manja menyuapi suaminya.Aku hanya melirik tingkah mereka dengan pandangan datar, menahan rasa muak melihatnya. Seolah-olah Hana tidak pernah melakukan kesalahan apa pun."Mas, aku besok mau kerja lagi."Bara menatapku sebentar, lalu mendengus, "Emangnya kamu bisa kerja?""Paling jadi pelayan kafe, Mas?" celetuk Hana sambil melirik ke arahku dengan senyum sinis.Aku tersenyum tipis. Kayaknya mereka nggak tahu aku ini siapa, batinku."Emang kenapa kalau jadi pelayan kafe? Yang penting halal, kan?" jawabku tenang.Hana mendadak terdiam, tak mampu melanjutkan ejekannya. Bara hanya berdehem. "Terserah kamu."Setelah sarapan, Bara bergegas pergi ke kantor sep
Jari-jariku berhenti menari di atas keyboard. Layar laptop memudar menjadi hitam, memantulkan bayangan wajahku. Pekerjaan terakhir terkait kepindahanku akhirnya rampung.Aku melirik ke arah Hana yang baru saja pulang. Sejak pagi tadi dia sudah pergi, dan baru sekarang, ketika langit sudah gelap. Aku tidak peduli ke mana dia pergi, dengan siapa, atau bagaimana dia berdandan. Pakaian minim yang dia kenakan, dengan make-up tebal dan mencolok, sangat bertolak belakang dengan penampilanku.Barangkali mungkin tipe wanita seperti Hana ini yang disukai Bara. Pantas saja Bara pernah bilang kalau dia tidak selera denganku. Tapi terserahlah... Aku sudah tidak peduli lagi. Menjadi istri di atas kertas ternyata tidak terlalu buruk, aku tidak perlu repot-repot melayani Bara yang semaunya sendiri. Batinku sambil melirik Hana yang masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Hana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sederhana, namun tetap mempertahankan kesan seksi."Mbak Zahra sudah makan malam?"
Aku baru pulang dari pasar dengan tangan penuh belanjaan. Begitu melangkah ke dalam rumah, pemandangan yang menyambutku adalah Bara yang sedang merapikan dasinya di meja makan, sementara Hana sibuk memainkan ponselnya sambil menopang dagu. Aku berlalu begitu saja melewati mereka tanpa ada niatan untuk menyapa."Ke mana saja kamu? Masih pagi sudah kelayapan," tegur Bara."Habis dari pasar," jawabku singkat sambil berjalan menuju dapur, mulai sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam kulkas."Apa kamu nggak bisa pamitan dulu kalau mau pergi?"Aku mendesah dalam hati, enggan memperpanjang masalah kecil ini. "Aku perginya pagi banget, lagian kenapa aku mesti pamit sama mas?" tanyaku sambil melanjutkan memasukkan sayuran dan daging ke dalam kulkas, tak berhenti mengatur barang-barang yang kubawa dari pasar."Kamu nggak ngerti sopan santun ya?" Bara mulai meninggikan suaranya, seolah tidak puas dengan jawabanku."Mas, sudah, jangan gitu sama Mbak Zahra. Barangkali Mbak Zahra itu orangnya e
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te