Share

2

Author: Just_K
last update Last Updated: 2025-02-04 11:31:41

"Mas? Bangun, mas? Kita solat subuh yuk," bisikku lembut sambil menggoyangkan sedikit tubuh Bara yang masih meringkuk di sampingku. Aku melihat wajahnya yang setengah tertutup selimut.

"Eunghh... apa sih," Bara hanya bergumam lirih, lalu menarik selimut yang hampir tersingkap, menutup hampir seluruh tubuhnya hingga wajahnya pun ikut tersembunyi di balik kain itu. Nafasnya terdengar berat, malas.

"Mas?" Aku meraih sudut selimutnya dengan niat untuk menariknya, tapi urung kulakukan. Aku menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang ia rasakan. "Ya sudah, aku duluan ya?" ucapku akhirnya, beranjak perlahan dari ranjang.

"Hemm," Bara hanya bergumam singkat, suaranya terdengar samar dari balik selimut.

Aku menghela nafas, memutuskan untuk pergi ke kamar mandi seperti rutinitasku setiap pagi. Di kamar mandi, aku merasakan dinginnya air menyapu kulitku. Rambutku masih basah saat aku selesai mengenakan pakaian.

Dari sudut ruangan, aku melihat Vina berjalan sambil menguap besar, langkahnya terseret seolah masih berada di alam mimpi. "Cieee yang habis keramas subuh-subuh," godanya dengan mata setengah terpejam.

Aku tersenyum kecil, mengerti ke mana arah pembicaraan Vina. Namun, apa yang ia harapkan tak pernah terjadi.

Semalam, bahkan tidak ada apa-apa yang terjadi antara aku dan Bara. Kami tidur dalam diam, bahkan saling membelakangi satu sama lain. Tidak ada yang mengalah untuk tidur di lantai. Ada rasa lega, tapi juga ada kesedihan yang menggumpal di dada. Mungkin, memang ini awal yang harus kuterima.

Hari ini, hari kedua aku menjadi istri dari Bara Aditama, putra dari keluarga pengusaha sukses. Hari ini, aku akan diboyong ke rumah Bara, yang sudah siap untuk menjadi tempat tinggal kami. Rumah yang katanya sudah lama dimilikinya.

"Buk, Zahra pamit dulu ya? Zahra janji nanti bakal sering-sering main ke sini. Kalau Ibu ada apa-apa, jangan lupa kabarin Zahra cepat-cepat, ya?" ucapku sambil memeluk Ibu erat-erat.

Mataku mulai berkaca-kaca, begitu juga Ibu. "Iya, Nduk... Kamu jaga diri baik-baik di sana ya? Jadi istri yang berbakti sama suaminya. Nurut sama Bara, Ibu cuma bisa mendoakan kamu bahagia dan semoga segera dikaruniai momongan."

"Iya, Buk..." jawabku, suaraku serak menahan haru. Aku memeluk Ibu lebih erat, menumpahkan semua rasa yang berputar di dadaku.

"Kami pamit, Buk," ucap Bara sebelum ia mencium telapak tangan Ibu dengan sopan.

"Titip anak Ibuk, ya?" kata Salimah sambil menahan air matanya.

"Iya, Bu," jawab Bara singkat, sambil menundukkan kepala sedikit.

Aku lantas menoleh ke arah Vina dan mengulurkan tangan. "Vina, titip Ibu ya? Kalau Mbak kirim pesan, terus lama balesnya, awas aja kamu!"

Vina tersenyum jahil, "Iya beres, Kak. Tenang aja!"

Kami berpelukan sebelum aku dan Bara masuk ke mobil. Bara memilih duduk di depan, di samping sopir, sementara aku duduk di belakang. Aku tidak terlalu mempersoalkan itu. Mungkin memang begini sikap asli Bara yang irit bicara dan cenderung menjaga jarak.

Setelah sekitar empat jam perjalanan, kami akhirnya tiba di sebuah rumah besar bergaya modern minimalis. Hari sudah menjelang sore ketika kami sampai. Rumah itu luas, dengan halaman depan yang rapi dan pagar tinggi mengelilingi.

"Eh, mantu Mama sudah pulang?" suara ceria Widya, ibu Bara, menyambut kami dengan tangan terbuka. Sepertinya, mitos tentang mertua yang menakutkan itu tidak selalu benar. Widya sedari awal selalu ramah dan hangat terhadapku.

Aku segera mencium telapak tangan Widya, lalu Adiwijaya, ayah Bara. "Mama sudah lama di sini?"

"Enggak kok, Mama sama Papa juga baru sampai. Mama bawain makanan buat kalian berdua."

"Ya udah, Ma, kita pulang yuk?" ajak Adiwijaya sambil menatap istrinya.

"Loh, kok buru-buru sih, Pa?" tanyaku sedikit terkejut.

"Nggak apa-apa, besok-besok Papa sama Mama bisa mampir lagi ke sini," ujar Adiwijaya.

Widya mengangguk, senyum hangat tak pernah pudar dari bibirnya. "Kalau gitu, Mama pergi dulu ya. Kamu istirahat, ya," katanya sambil berlalu bersama suaminya.

Seusai kepergian mereka, aku melangkah ragu ke dalam rumah megah itu. Setiap sudut ruangan seakan berbisik tentang kehidupan yang berbeda, kehidupan yang belum pernah kucintai. Langkahku terhenti ketika sosok Bara muncul dari balik pintu kamar, Bara sudah mengenakan pakaian yang rapi, dengan rambut yang masih basah.

"Mas, udah mandi?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.

"Hem," Bara hanya menggumamkan jawaban, sambil terus menggosok rambutnya dengan handuk.

"Ini, Mama bawain makanan. Kita makan bareng yuk?"

"Kamu makan aja sendiri. Aku mau pergi."

"Loh, mau ke mana?" tanyaku terkejut.

"Bukan urusan kamu."

Aku terdiam, mencoba meredam emosi. "Tapi Mas, aku ini is..."

"Aku tahu kamu istri aku," potong Bara tajam. "Tapi aku nggak suka kamu tanya-tanya kayak gitu."

"Loh, maksudnya?" aku tertegun, tak menyangka reaksinya akan sekeras itu.

"Urus aja urusan kamu sendiri!"

"Tapi Mas, kita kan sudah menikah. Suami istri itu harus saling terbuka, Mas. Kata Pak Ustadz, kunci utama dalam pernikahan adalah komunikasi," jelasku pelan, mencoba memberi pengertian tanpa terkesan  menggurui.

"Kamu berisik," ucap Bara dingin, sembari membuka laci. Pria itu tampaknya sedang mencari sesuatu. 

Aku hanya bisa menatap nanar ke arah Bara. Sikap dinginnya menyakitkan, namun aku tak tahu harus berbuat apa. "Asal kamu tahu, Mas, bukan cuma kamu yang merasa terpaksa dengan pernikahan ini," batinku. Bara lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata, meninggalkanku dengan perasaan hampa.

"Sabar, Zahra... sabar..." gumamku pelan, mengelus dadaku yang terasa semakin sesak.

Mataku lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sebuah bingkai foto di dinding. 

Deg!

Jantungku serasa berhenti sesaat. Di dalam bingkai itu, tampak foto Bara dengan seorang wanita cantik. Seperti foto prewedding.

"Apa ini mantan kekasih Bara? Tapi kenapa, foto ini... kenapa masih dipajang di sini?"

Related chapters

  • Menikahlah, Mas!   3

    Suara gerbang terbuka terdengar jelas di telingaku, beriringan dengan suara azan subuh yang menggema di kejauhan. Aku terbangun di sofa ruang tamu, mataku masih terasa berat. Semalam, aku tertidur di sini setelah menunggu Bara yang tak kunjung pulang. Tubuhku terasa kaku karena posisi tidur yang tak nyaman, namun hati ini terasa lebih berat, dipenuhi dengan pertanyaan tentang di mana Bara menghabiskan malamnya.Aku berdiri perlahan, menggosok mata yang masih lelah. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan lampu ruang tamu dan mulai mengikat rambut panjangku yang tergerai. Saat itulah Bara masuk ke dalam rumah, masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia pergi kemarin."Mas, kemana aja semalam? Kenapa baru pul...""Berisik!" Bara menyela cepat sambil melepas sepatunya. Suaranya keras, penuh ketidaksabaran. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku, hanya fokus menyingkirkan alas kakinya dengan kasar."Aku nunggu mas semalaman.""Nggak ada yang suruh kamu nunggu!" Bara kembali membentakku,

    Last Updated : 2025-02-04
  • Menikahlah, Mas!   4

    "Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi

    Last Updated : 2025-02-04
  • Menikahlah, Mas!   5

    Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,

    Last Updated : 2025-02-04
  • Menikahlah, Mas!   6

    Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Menikahlah, Mas!   7

    Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te

    Last Updated : 2025-02-05
  • Menikahlah, Mas!   8

    "Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha

    Last Updated : 2025-02-05
  • Menikahlah, Mas!   9

    Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang

    Last Updated : 2025-02-20
  • Menikahlah, Mas!   10

    "Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A

    Last Updated : 2025-02-20

Latest chapter

  • Menikahlah, Mas!   12

    "Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu

  • Menikahlah, Mas!   11

    Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena

  • Menikahlah, Mas!   10

    "Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A

  • Menikahlah, Mas!   9

    Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang

  • Menikahlah, Mas!   8

    "Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha

  • Menikahlah, Mas!   7

    Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te

  • Menikahlah, Mas!   6

    Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk

  • Menikahlah, Mas!   5

    Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,

  • Menikahlah, Mas!   4

    "Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status