"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.
Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.
Ting!
Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi di tempatnya!"
Disertai dengan gambar bukti transfer uang sejumlah 20 juta rupiah."Jadi kamu benar-benar anggap aku pembantumu, Mas?" bisikku pelan, perasaanku campur aduk. Air mata hampir pecah di ujung mata, tapi aku berusaha menahannya.
Saat aku masih merenungi pesan itu, terdengar suara mobil berhenti di depan gerbang. Aku mendengarnya dengan jelas.
"Permisi? Paket!"
"Ya! Sebentar!" Aku buru-buru mencari kerudungku, memasangnya dengan cepat, lalu keluar menuju gerbang. Di depan, sebuah mobil pick-up terparkir. Seorang pria dengan seragam kurir berdiri di samping pintu mobil.
"Ini rumahnya Pak Bara Aditama?"
"Ya, betul. Ada apa ya?"
"Saya mau antar paket, Mbak." jawab kurir tersebut sambil menunjuk bagian belakang mobil yang penuh dengan paket berbagai ukuran.
"Oh iya... iya, silakan masuk," jawabku, sembari membuka gerbang lebih lebar agar mobil pick-up itu bisa masuk. Mata ini tak bisa lepas dari tumpukan paket yang diturunkan satu per satu. Berbagai ukuran kotak, dari kecil hingga besar, keluar dari mobil dan ditata dengan rapi di teras rumah.
"Ini paket apa ya, Mas? Kok banyak banget?" tanyaku penasaran.
"Kurang tahu, Mbak. Maaf." Alisnya sedikit bertaut, mungkin dia juga bingung dengan pertanyaanku.
Aku mengangguk pelan, lalu mengucapkan terima kasih ketika dia selesai menurunkan barang-barangnya dan pergi.
Setelah kurir pergi, aku menatap tumpukan paket yang besar. "Apa ya ini kira-kira?" batinku, berusaha membaca label pengiriman, namun hanya ada nomor resi dan nama Bara yang tertera. Tak ada keterangan apa-apa.
"Mas, ada paket nih banyak. Ini bener paket punya Mas?"
tulisku dalam pesan kepada Bara, mencoba memastikan."Saya nggak pesan apa-apa. Balikin aja ke kurirnya."
"Mas yakin? Tapi kurirnya sudah pergi. Terus gimana?"
"Urus sendiri. Saya sibuk! Jangan kirimi saya pesan lagi, kalau nggak penting, apalagi nelpon!"
Aku menatap layar ponselku dengan mata perih. "Ya ampun, Mas Bara... Sampai kapan kamu akan kayak gini sama aku, Mas?" gumamku, menahan tangis yang mulai mengumpul di sudut mata.
Aku memandangi tumpukan barang yang banyak itu. Mustahil aku bisa mengembalikannya sendirian. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk menelpon Widya, mertuaku. Aku membutuhkan bantuan karena Bara sedang menggunakan mobil, dan satu-satunya kendaraan yang tersisa hanyalah motor, yang tentu tidak bisa mengangkut barang-barang sebanyak ini.
"Halo, Assalamualaikum, Ma?" sapaku setelah panggilan tersambung.
"Waalaikumsalam, Zahra. Ada apa, Nak?" suara lembut mertuaku terdengar di seberang.
"Gini, Ma, ini di rumah banyak paket yang datang, tapi kata Mas Bara, beliau tidak pesan barang. Zahra niatnya mau balikin ke kurirnya, tapi barangnya banyak banget, nggak mungkin bisa diantar pakai motor. Sepertinya Zahra perlu minta tolong sama Mama, boleh?"
"Wah, gimana ya, Nak? Ini Mama lagi di luar kota sama Papa. Hmm, gini aja, kamu pesen sopir aja gimana? Mama pesenin?"
"Oh nggak usah, Ma. Zahra malah jadi ngerepotin. Biar Zahra aja yang pesen sendiri, kalau gitu."
"Ya sudah kalau begitu. Jaga diri ya, Nak."
"Iya, Ma. Kalau boleh tahu, Mama sama Papa di mana sekarang?"
"Ke Puncak, Bogor."
"Oh, salam buat Papa, ya, Ma. Wassalamualaikum."
Aku memesan mobil untuk mengantarkan paket-paket ini ke jasa pengiriman. Sopir yang aku pesan datang dan membantuku memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Beruntung, semuanya bisa masuk meskipun sedikit berdesakan.
Begitu sampai di tempat jasa pengiriman, sopir dan aku mulai menurunkan barang-barang. Di tengah kesibukan itu, ponselku berdering. Panggilan dari Bara.
"Halo, Mas. Assala..."
"Kamu di mana?" suara Bara terdengar tajam.
"Di tempat jasa kirim barang, Mas. Mau balikin paket."
"Nggak usah, jangan dibalikin paketnya!"
"Loh, tadi katanya Mas suruh balikin?"
"Nggak jadi."
"Mas yakin?"
"Udah, nggak usah banyak tanya! Bawa pulang lagi barangnya!" Panggilan langsung terputus sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut.
Aku menghela napas panjang, mencoba memahami sikap Bara yang selalu berubah-ubah. "Sabar, Zahra... Sabar. Ingat nasehat Bapak, menikah itu cobaannya banyak." gumamku sambil mengelus dadaku yang terasa sesak.
"Pak, barangnya nggak jadi dibalikin," kataku dengan sedikit rasa tak enak hati pada sopir yang sudah membantu mengangkat barang-barang tadi.
"Nggak apa-apa, Mbak." Kami lalu memasukkan kembali barang-barang ke dalam mobil, dan akhirnya pulang.
Sesampainya di rumah, sopir kembali membantuku menurunkan barang-barang
"Mbak, maaf... tadi waktu saya pindahin, kertasnya ada yang koyak."
Aku menoleh ke arah paket yang dimaksud. "Oh, nggak apa-apa, Pak. Terima kasih banyak ya sudah bantu saya. Maaf sekali lagi sudah ngerepotin."
"Nggak apa-apa, Mbak. Ini sudah kerjaan saya. Saya permisi dulu."
Aku mengangguk sambil memberinya sedikit uang tambahan, meskipun sopir itu sempat menolak, akhirnya ia menerimanya juga.
Setelah sopir pergi, aku menatap kotak yang kertasnya koyak. Kondisinya bukan hanya koyak, tapi sudah hampir terbuka.
Aku menatap kotak yang koyak itu dengan seksama. Perlahan, aku membuka bagian yang sudah terkelupas.
Seketika, mataku terbelalak. "I...ini?!"
Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,
Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te
Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk
Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,
"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi