Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju rumah. Rintik hujan tak henti-hentinya menghujani kaca mobil. Bapak mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air yang seolah berlomba jatuh dari langit. Dari balik jendela, aku menatap jalanan yang basah, menyaksikan lampu-lampu jalan terpantul pada genangan air di aspal.Aku selalu menyukai hujan. Suaranya yang merdu, serta aroma khas tanah yang basah selalu memberikan ketenangan tersendiri. Ada sesuatu yang magis tentang hujan yang membuatku merasa damai, seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengarkan tetesan air yang jatuh dari langit. Namun, hari ini berbeda. Ketika biasanya aku menikmati setiap detik hujan turun, kali ini hatiku tak bisa merasakan kedamaian yang sama."Bapak sudah sepakat. Lusa, kamu akan tetap menikah sama putra keduanya Adiwijaya. Kamu nggak perlu khawatir." .Zahra terdiam, tatapannya masih tertuju pada jalanan di depan. Tak ada niat untuk menjawab. Baru dua puluh menit yang lalu, almarhum Mas Huda dik
"Mas? Bangun, mas? Kita solat subuh yuk," bisikku lembut sambil menggoyangkan sedikit tubuh Bara yang masih meringkuk di sampingku. Aku melihat wajahnya yang setengah tertutup selimut."Eunghh... apa sih," Bara hanya bergumam lirih, lalu menarik selimut yang hampir tersingkap, menutup hampir seluruh tubuhnya hingga wajahnya pun ikut tersembunyi di balik kain itu. Nafasnya terdengar berat, malas."Mas?" Aku meraih sudut selimutnya dengan niat untuk menariknya, tapi urung kulakukan. Aku menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang ia rasakan. "Ya sudah, aku duluan ya?" ucapku akhirnya, beranjak perlahan dari ranjang."Hemm," Bara hanya bergumam singkat, suaranya terdengar samar dari balik selimut.Aku menghela nafas, memutuskan untuk pergi ke kamar mandi seperti rutinitasku setiap pagi. Di kamar mandi, aku merasakan dinginnya air menyapu kulitku. Rambutku masih basah saat aku selesai mengenakan pakaian.Dari sudut ruangan, aku melihat Vina berjalan sambil menguap besar, langkahnya ters
Suara gerbang terbuka terdengar jelas di telingaku, beriringan dengan suara azan subuh yang menggema di kejauhan. Aku terbangun di sofa ruang tamu, mataku masih terasa berat. Semalam, aku tertidur di sini setelah menunggu Bara yang tak kunjung pulang. Tubuhku terasa kaku karena posisi tidur yang tak nyaman, namun hati ini terasa lebih berat, dipenuhi dengan pertanyaan tentang di mana Bara menghabiskan malamnya.Aku berdiri perlahan, menggosok mata yang masih lelah. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan lampu ruang tamu dan mulai mengikat rambut panjangku yang tergerai. Saat itulah Bara masuk ke dalam rumah, masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia pergi kemarin."Mas, kemana aja semalam? Kenapa baru pul...""Berisik!" Bara menyela cepat sambil melepas sepatunya. Suaranya keras, penuh ketidaksabaran. Ia bahkan tidak menoleh ke arahku, hanya fokus menyingkirkan alas kakinya dengan kasar."Aku nunggu mas semalaman.""Nggak ada yang suruh kamu nunggu!" Bara kembali membentakku,
"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi
Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,
Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A
Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang
"Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha
Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te
Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk
Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,
"Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi