"Ketika cinta berubah menjadi luka, dan pengorbanan dibalas dengan pengkhianatan. Dini, seorang istri yang berjuang keras demi suami yang ia cintai, terjebak dalam perjanjian dengan majikannya demi biaya pengobatan. Namun, kebenaran yang terungkap menghancurkan dunianya—uang yang ia kirimkan digunakan untuk mahar pernikahan suaminya dengan sahabatnya sendiri. Dibuang oleh keluarga dan suaminya, Dini harus bangkit dari kehancuran. Akankah ia mampu menemukan kembali harga dirinya di tengah luka pengkhianatan ini? Sebuah kisah menyayat hati tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan seorang perempuan."
View MoreDini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya
Langkah Dini terasa berat saat meninggalkan rumah Juan. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap hatinya sendiri. Namun, ia tahu, bertahan hanya akan membuat semuanya lebih sulit. Diana menatap kepergian Dini dengan seringai puas. Setelah memastikan Dini benar-benar keluar dari rumah, ia berbalik ke,, arah Juan yang masih berdiri di ambang pintu dapur, matanya terpaku pada punggung Dini yang semakin menjauh. "Kamu seharusnya berterima kasih padaku," ujar Diana dengan nada mengejek. "Aku baru saja menyingkirkan masalahmu." Juan menoleh dengan tatapan tajam. "Kamu yang menjadi masalah, Diana." Diana terkekeh. "Oh, ayolah, Juan. Aku ini ibu dari anakmu. Kamu tidak bisa begitu saja menghapus keberadaanku." Juan menghela napas panjang, menekan amarah yang mendidih di dadanya. "Keberadaanmu bukan masalahnya. Tapi cara dan niatmu yang selalu penuh tipu daya, itulah yang membuatku muak." Diana mendekat, meletakkan tangannya di dada Juan. "Kita bisa kembali seperti
Dini duduk di taman belakang rumah, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dadanya sesak. Hatinya terasa hancur, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Adegan di kamar Juan tadi terus terputar di benaknya. Diana di sana, bersikap seolah-olah masih memiliki hak atas pria itu. Dan Juan… pria itu tidak menolaknya dengan cukup tegas di awal. Dini menghela napas panjang. Mungkin selama ini ia terlalu berharap. Terlalu nyaman di dalam rumah ini, terlalu nyaman berada di samping Juan dan Dean. Tapi siapa dia? Hanya seorang pengasuh, bukan siapa-siapa. Ponselnya bergetar. Nama Juan terpampang di layar. Dini menatapnya ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. "Dini," suara Juan terdengar serak, namun tetap tegas. Dini tetap diam, berpura-pura tidak mendengar. "Aku tahu kau di sini," lanjut Juan, lalu duduk di bangku taman di sampingnya. Hening. "Aku tidak tahu apa yang kau l
Dini mengamati dari jauh saat Diana semakin berani bergerak di dalam rumah Juan. Wanita itu kini sering terlihat di dapur, berbincang dengan Mira, asisten rumah tangga yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada Diana. Tidak hanya itu, Diana juga mulai lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu, seolah sengaja menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Juan atau mendekati Dean. Dini merasa tak nyaman, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Ia tak ingin membuat masalah bertambah rumit. Namun, rasa gelisah itu semakin besar ketika suatu sore, ia melihat Diana duduk di teras belakang bersama Juan, membawa dua cangkir kopi. Juan tampak enggan, tetapi Diana tetap tersenyum dan berbicara dengan lembut. "Kau masih ingat kopi favoritmu, kan?" suara Diana terdengar begitu akrab. "Aku sengaja membuatnya sendiri. Dulu kau suka sekali kopi buatanku." Juan menatap cangkir itu dengan ragu. "Diana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu." "Aku tahu," Diana menghela napas pura-pura sedih. "Ak
Dini berjalan cepat menuju kamarnya, berusaha mengabaikan suara Diana yang masih terdengar dari belakang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit perasaannya. Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikiran buruk mulai merayapi benaknya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Juan tadi, tetapi pemandangan Diana keluar dari sana dengan pakaian tidur yang menggoda sudah cukup membuat hatinya hancur. Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Dini terdiam, tidak berniat menjawab. Namun, suara yang menyusul ketukan itu membuatnya kembali tersadar. "Dini, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya," suara Juan terdengar dari luar. Dini menggigit bibirnya. Ia ragu. Namun, hatinya juga ingin mendengar penjelasan. Dengan langkah pelan, ia akhirnya membuka pintu. Juan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia memang baru saja terlibat dalam sesuatu yang membuatny
Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja
Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast
Dini menghindari tatapan Juan, berusaha menarik tangannya dari genggamannya. Tapi Juan tidak melepaskannya begitu saja. “Dini, aku serius.” Suara Juan terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. Dini menelan ludah. “Pak, jangan seperti ini. Saya hanya pengasuh Dean. Dan… Diana masih ada di sini.” Juan mengepalkan rahangnya, jelas tidak menyukai nama itu disebut. “Diana bukan masalahku lagi. Aku hanya ingin kamu percaya padaku.” Dini tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tapi dia tetap menganggap kalian masih bersama. Dan saya…” Ia menggigit bibir, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat saya harus memilih antara perasaan saya atau harga diri saya.” Juan terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dini lebih dulu melangkah mundur. “Selamat malam, Pak Juan.” Dini berbalik dan pergi, meninggalkan Juan yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf Pak, aku ngg
Pagi itu, Dini berusaha bersikap seperti biasa. Ia tetap mengurus Dean, memastikan anak itu sarapan dengan lahap sebelum bermain di taman. Namun, hatinya masih terasa berat setelah kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Diana yang dengan berani menyelinap ke kamar Juan. Meskipun Juan menolaknya, tetap saja Dini merasa gelisah. Di dapur, Mira datang membawa nampan berisi cangkir teh. Wanita itu memandang Dini dengan tatapan penuh arti. "Mbak Dini, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Dini tersentak dari lamunannya. "Hah? Aku baik-baik saja, kenapa, Mir?" Mira mendekat, menurunkan suara. "Tadi pagi aku lihat Bu Diana keluar dari kamar Pak Juan. Mukanya kelihatan kesal, tapi bajunya masih pakai baju tidur." Dini berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku nggak tahu, Mir. Itu urusan mereka." Mira menghela napas pelan. "Aku cuma kasihan sama Mbak. Aku tahu Mbak ada perasaan sama Pak Juan. Tapi kalau Bu Diana masih di sini... hati-hati, Mbak
"Aku mau operasi, Din. Aku nggak tahan lagi!" Suara Mas Sandi menggema di telingaku, sarat dengan keputusasaan. Aku menggenggam ponsel erat, napasku tercekat. "Mas, aku—" "Jangan bilang sabar lagi!" bentaknya. "Kalau kamu memang peduli, carikan aku uang buat operasi! Aku capek jadi cacat!" Dadaku sesak. Aku ingin menolongnya, tapi bagaimana? Dompetku kosong, pekerjaanku sebagai pengasuh anak tak cukup untuk biaya operasi yang puluhan juta. Aku bahkan baru mulai bekerja, lalu bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk operasi? Mas Sandi menghela napas berat, lalu suaranya merendah. "Atau kamu udah nggak peduli lagi? Udah punya laki-laki lain di kota?" Dada ini semakin perih. "Jangan bilang gitu, Mas! Aku cuma butuh waktu." "Berapa lama lagi? Sampai aku mati?" sambungnya tajam. Sambungan terputus. Aku menatap layar ponsel yang menggelap, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Aku harus bagaimana? Detik itu juga, getaran ponsel di tangan Dini membuatnya terlonjak. Layar menyala, m...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments