Share

Bab 6

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 10:28:25

Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku.

"Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!"

Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi?

Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur.

"Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan.

Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.."

Aku langsung meletakkan bubur itu di meja begitu saja dan berlari menuju ruang tengah di mana Dean aku tinggalkan sebelum aku membuatkan sarapan untuknya.

"Bos kecil!" panggilku panik di susul oleh Mbak Mira dan Pak Asep, tukang kebun yang kebetulan sedang menikmati kopinya di dapur.

Kami bertiga lari tunggang langgang mencari keberadaan Dean.

Pak Juan yang baru saja turun dari kamarnya mengerutkan dahinya. "Ada apa? Kenapa semua panik?" tanyanya.

"Bos kecil, Pak...hilang," jawabku dengan napas tersengal.

Pak Juan semakin keheranan saja melihat ku panik. "Dean.."

Sebelum Pak Juan meneruskan kata-katanya aku langsung tersadar dan kembali mencari keberadaan anak itu.

Betapa leganya aku ketika menemukan Dean sedang duduk di belakang sofa, asyik bermain dengan mainannya. "Ya ampun, Bos kecil! Kamu bikin Mbak Dini khawatir saja," ucapku sambil memeluk tubuh mungil itu.

Pak Juan mendekat, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Dini, tadi aku mau bilang kalau Dean lagi main di situ. Kamu terlalu panik."

Aku hanya bisa tersenyum malu sekaligus menghela napas lega. "Saya kira tadi bos kecil kenapa-kenapa Pak. Jadi saya panik," jawabku.

"Maaf Mbak Dini, tadi sebenarnya aku nanya kemana bos kecil kok nggak ada suaranya, tapi Mbak Dini malah panik. Jadi aku ikut panik," ucap Mbak Mirna yang membuatku menepuk jidat.

Beginilah jadinya kalau kerja tapi nggak konsentrasi. Untung saja Dean baik-baik saja.

Setelah kejadian itu, aku mengajak Dean untuk sarapan. Dean duduk di kursi makannya, sementara aku menyuapinya perlahan.

"Yuk, bos kecil, buka mulutnya. Aaa..." aku menggoda Dean yang hanya tertawa kecil sebelum akhirnya membuka mulut untuk disuapi. Pak Juan duduk di meja makan sambil memperhatikan kami.

"Dean makin pintar makan ya," komentar Pak Juan dengan senyum tipis.

"Iya, Pak. Tapi dia kadang-kadang masih suka pilih-pilih makanan," jawabku sambil menyeka mulut Dean dengan tisu.

Setelah Dean selesai sarapan, Pak Juan bersiap untuk ke kantornya. Ia menggendong Dean sambil berpamitan.

"Mbak Dini, mungkin nanti aku pulang malam. Titip Dean ya," ucapnya sebelum menuju mobilnya.

"Baik, Pak. Sudah jadi tanggung jawab saya," jawabku sambil tersenyum kecil.

Pak Juan mencium kedua pipi Dean sebelum menurunkan anak itu dari gendongannya. Namun bocah itu tampak tidak sabar karena melihat bola yang tergeletak di halaman. Dengan cepat, Dean turun dari gendongan Pak Juan dan berlari ke arah bolanya.

"Dean, hati-hati!" seru Pak Juan. Aku pun segera menyusul, tetapi naas, kakiku tersandung pot kecil di dekat teras.

"Aargh!" teriakku.

Sebelum tubuhku jatuh ke tanah, Pak Juan berhasil menangkapku. Posisi kami menjadi canggung, aku berada dalam pelukannya, wajah kami begitu dekat.

Aku segera berdiri tegak dan menjauh dengan wajah memerah. "Maaf Pak, sayang nggak sengaja."

Jantungku berdebar begitu kencang. Ingin rasanya kau tenggelam saja.

Pak Juan juga tampak salah tingkah, wajahnya memerah. "Nggak apa-apa, Din. Hati-hati lain kali."

Suasana menjadi kikuk sejenak sebelum Dean kembali mendekati kami sambil membawa bolanya. Pak Juan menggendongnya kembali dan berpamitan cepat.

Setelah suasana kembali tenang, aku membawa Dean ke dalam untuk bermain. Namun belum lama aku duduk, ponselku berdering. Nama ibu mertuaku muncul di layar. Aku menarik napas panjang sebelum mengangkatnya.

"Dini, kapan kamu kirim uang? Juragan Kardi sudah kasih batas waktu! Kalau nggak, serifikat rumah itu benar-benar hilang!" suara Bu Marlinah terdengar tajam.

"Bu, bukannya dulu Dini sudah kasih uangnya? Itu uang tabungan Dini!" jawabku mencoba menjelaskan.

"Tabungan apa? Itu sudah buat bayar utangmu yang lainnya! Apa kamu mau kita kehilangan rumah ini, kirim uang sepuluh juta sekarang! Kalau nggak ya sudah, ibu nggak mau tahu!" bentaknya lagi.

Aku terdiam. Uang sebesar itu tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu singkat. "Bu, aku nggak punya uang sebanyak itu. Aku harus bicara dengan Mas Sandi dulu," kataku mencoba menahan emosiku.

"Terserah kamu, tapi ingat, kamu yang tanggung akibatnya kalau rumah ini sampai hilang!" Ibu menutup telepondengan kasar.

Kepalaku terasa berat. Hatiku rasanya sesak dengan semua tekanan ini. Bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan siapa pun?

Malam harinya, aku mencoba menghubungi Mas Sandi untuk meminta penjelasan.

"Mas, kenapa ibu bilang sertifikat rumah disita? Bukannya uang itu sudahaku kasih buat lunasin hutangnya?" tanyaku langsung.

Mas Sandi terdengar ragu sebelum akhirnya menjawab. "Din, uang waktu itu memang untuk membayar hutang yang lainnya. Sekarang kirim saja sepuluh juta dulu, nanti aku cari kekurangannya."

Aku tidak percaya dengan jawabannya. "Mas, kenapa Mas nggak bilang dari awal? Uang itu kan aku kasih buat melunasi hutang sama juragan Kardi!"

"Udahlah, Din. Jangan dibahas lagi. Kalau kamu mau kirim ya sudah kirim saja nggak usah pulang. Semua malah makin ribet. Kirim uangnya saja," katanya tegas, seolah tidak mau membahas lebih lanjut.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak ada ruang bagiku untuk menjelaskan lebih jauh.

***

Hari itu, suasana rumah cukup tenang. Dean sudah tidur siang setelah kelelahan bermain sejak pagi, sementara aku duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian. Namun, pikiranku jauh dari kata tenang. Telepon ibu mertuaku dan Mas Sandi tadi malam terus terngiang-ngiang di kepala.

Pak Juan tiba-tiba muncul dari arah ruang kerjanya, membawa sebuah map. Dia duduk di sofa berseberangan denganku, memandangku dengan tatapan penuh tanya.

"Dini, aku mau tanya sesuatu," katanya perlahan.

Aku menoleh. "Apa, Pak?"

Dia menarik napas, seolah mencoba memilih kata-kata. "Aku dengar percakapan kamu tadi malam. Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur, tapi... ibu mertuamu terdengar marah-marah. Masalah apa sebenarnya?"

Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan suasana. "Ah, itu cuma masalah kecil, Pak. Nggak penting kok."

Pak Juan mengangkat alis. "Kalau nggak penting, kenapa beliau sampai marah seperti itu?"

Aku terdiam, merasa terpojok. Dia benar, alasan itu terdengar sangat tidak meyakinkan.

"Din, kalau kamu mau cerita, aku janji nggak akan menghakimi," tambahnya dengan nada lembut.

Akhirnya, aku menyerah. Aku menurunkan pakaian yang sedang kulipat dan menghela napas panjang. "Sebenarnya... ibu mertua saya bilang kalau sertifikat rumah sudah disita juragan Kardi. Katanya saya harus segera menebusnya."

Pak Juan mengerutkan kening. "Tapi kenapa bisa sampai disita? Bukannya kamu sudah lunasi hutang itu?"

"Itu dia, Pak. Saya juga nggak tahu. Saya sudah kasih uangnya waktu Mas Sandi kecelakaan. Jadi, uang itu kemana?" Aku merasa sakit hati setiap kali memikirkan hal ini.

Pak Juan terdiam, tampak mencerna ceritaku. "Jadi, ada kemungkinan uang itu nggak sampai ke juragan Kardi?"

Aku mengangguk kecil. "Saya nggak tahu, Pak. Tapi saya sudah nggak mau berurusan lagi soal ini. Mereka selalu menganggap saya nggak pernah cukup, padahal saya sudah kerja keras buat mereka."

Dia menatapku dengan penuh empati. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya. Aku akan bantu semampuku."

Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena akhirnya ada seseorang yang mau mendengarkan keluhanku.

***

Beberapa hari kemudian, setelah berhasil menghindar dari desakan ibu mertua dan suamiku, aku beristirahat di kamar setelah Dean tidur. aku duduk di kasur sambil membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temanku.

Salah satu status menarik perhatianku, foto sebuah pesta pernikahan yang tampak meriah.

Aku mengetik pesan kepada temanku. "Eh, ini nikahan siapa?" tanyaku penasaran.

Beberapa menit kemudian, temanku membalas. "Ini nikahannya Kiranti. Kemarin dia menikah."

"Kiranti? Yang kaya raya itu? Wah, beruntung banget suaminya," jawabku polos.

Namun balasan berikutnya membuat darahku berdesir.

"Din, aku kira kamu sudah tahu, kalau Sandi menikah dengan Kiranti."

Jantungku serasa berhenti. Aku menatap layar ponsel dengan mata tak percaya. Tanganku bergetar saat membaca pesan itu berulang-ulang.

Temanku menghapus pesannya setelah beberapa detik, tetapi aku sudah membaca semuanya.

Hatiku hancur. Jadi, inikah alasan sebenarnya uang itu tidak pernah sampai ke juragan Kardi?

Aku menutup ponselku dengan tangan gemetar. Malam itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi.

Bab terkait

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 7

    Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 8

    Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 9

    Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 10

    Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 11

    Malam itu, aku duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikiran terus berkecamuk, mencoba merangkai petunjuk yang mulai terbuka. Pesan ancaman, kedatangan Bu Marlinah, dan kabar tentang orang asing yang mendatangi rumahnya—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Dean sudah tertidur di kamar, dan rumah terasa sunyi. Aku memutuskan untuk membuka laci meja di ruang kerja Pak Juan. Di sana, aku menemukan sebuah map bertuliskan "Kiranti - Hasta." Jantungku berdegup lebih cepat. Meski ragu, aku membuka map itu. Di dalamnya terdapat salinan dokumen perceraian Kiranti, termasuk daftar aset yang diperebutkan dalam proses hukum. Salah satu dokumen menarik perhatianku: surat kepemilikan tanah dan rumah atas nama Kiranti yang terletak di Hasta. Aku terkejut membaca catatan kecil di sudut halaman itu, yang tampaknya ditulis tangan oleh Juan: "Tanah ini sudah dijual sebelum perceraian selesai. Uang hasil penjualan masuk ke rekening bersama Kiranti dan sese

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 12

    Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 13

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 14

    Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 54

    Dini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 53

    Langkah Dini terasa berat saat meninggalkan rumah Juan. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap hatinya sendiri. Namun, ia tahu, bertahan hanya akan membuat semuanya lebih sulit. Diana menatap kepergian Dini dengan seringai puas. Setelah memastikan Dini benar-benar keluar dari rumah, ia berbalik ke,, arah Juan yang masih berdiri di ambang pintu dapur, matanya terpaku pada punggung Dini yang semakin menjauh. "Kamu seharusnya berterima kasih padaku," ujar Diana dengan nada mengejek. "Aku baru saja menyingkirkan masalahmu." Juan menoleh dengan tatapan tajam. "Kamu yang menjadi masalah, Diana." Diana terkekeh. "Oh, ayolah, Juan. Aku ini ibu dari anakmu. Kamu tidak bisa begitu saja menghapus keberadaanku." Juan menghela napas panjang, menekan amarah yang mendidih di dadanya. "Keberadaanmu bukan masalahnya. Tapi cara dan niatmu yang selalu penuh tipu daya, itulah yang membuatku muak." Diana mendekat, meletakkan tangannya di dada Juan. "Kita bisa kembali seperti

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 52

    Dini duduk di taman belakang rumah, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dadanya sesak. Hatinya terasa hancur, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Adegan di kamar Juan tadi terus terputar di benaknya. Diana di sana, bersikap seolah-olah masih memiliki hak atas pria itu. Dan Juan… pria itu tidak menolaknya dengan cukup tegas di awal. Dini menghela napas panjang. Mungkin selama ini ia terlalu berharap. Terlalu nyaman di dalam rumah ini, terlalu nyaman berada di samping Juan dan Dean. Tapi siapa dia? Hanya seorang pengasuh, bukan siapa-siapa. Ponselnya bergetar. Nama Juan terpampang di layar. Dini menatapnya ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. "Dini," suara Juan terdengar serak, namun tetap tegas. Dini tetap diam, berpura-pura tidak mendengar. "Aku tahu kau di sini," lanjut Juan, lalu duduk di bangku taman di sampingnya. Hening. "Aku tidak tahu apa yang kau l

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 51

    Dini mengamati dari jauh saat Diana semakin berani bergerak di dalam rumah Juan. Wanita itu kini sering terlihat di dapur, berbincang dengan Mira, asisten rumah tangga yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada Diana. Tidak hanya itu, Diana juga mulai lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu, seolah sengaja menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Juan atau mendekati Dean. Dini merasa tak nyaman, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Ia tak ingin membuat masalah bertambah rumit. Namun, rasa gelisah itu semakin besar ketika suatu sore, ia melihat Diana duduk di teras belakang bersama Juan, membawa dua cangkir kopi. Juan tampak enggan, tetapi Diana tetap tersenyum dan berbicara dengan lembut. "Kau masih ingat kopi favoritmu, kan?" suara Diana terdengar begitu akrab. "Aku sengaja membuatnya sendiri. Dulu kau suka sekali kopi buatanku." Juan menatap cangkir itu dengan ragu. "Diana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu." "Aku tahu," Diana menghela napas pura-pura sedih. "Ak

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 50

    Dini berjalan cepat menuju kamarnya, berusaha mengabaikan suara Diana yang masih terdengar dari belakang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit perasaannya. Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikiran buruk mulai merayapi benaknya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Juan tadi, tetapi pemandangan Diana keluar dari sana dengan pakaian tidur yang menggoda sudah cukup membuat hatinya hancur. Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Dini terdiam, tidak berniat menjawab. Namun, suara yang menyusul ketukan itu membuatnya kembali tersadar. "Dini, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya," suara Juan terdengar dari luar. Dini menggigit bibirnya. Ia ragu. Namun, hatinya juga ingin mendengar penjelasan. Dengan langkah pelan, ia akhirnya membuka pintu. Juan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia memang baru saja terlibat dalam sesuatu yang membuatny

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 49

    Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 48

    Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 47

    Dini menghindari tatapan Juan, berusaha menarik tangannya dari genggamannya. Tapi Juan tidak melepaskannya begitu saja. “Dini, aku serius.” Suara Juan terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. Dini menelan ludah. “Pak, jangan seperti ini. Saya hanya pengasuh Dean. Dan… Diana masih ada di sini.” Juan mengepalkan rahangnya, jelas tidak menyukai nama itu disebut. “Diana bukan masalahku lagi. Aku hanya ingin kamu percaya padaku.” Dini tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tapi dia tetap menganggap kalian masih bersama. Dan saya…” Ia menggigit bibir, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat saya harus memilih antara perasaan saya atau harga diri saya.” Juan terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dini lebih dulu melangkah mundur. “Selamat malam, Pak Juan.” Dini berbalik dan pergi, meninggalkan Juan yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf Pak, aku ngg

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 46

    Pagi itu, Dini berusaha bersikap seperti biasa. Ia tetap mengurus Dean, memastikan anak itu sarapan dengan lahap sebelum bermain di taman. Namun, hatinya masih terasa berat setelah kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Diana yang dengan berani menyelinap ke kamar Juan. Meskipun Juan menolaknya, tetap saja Dini merasa gelisah. Di dapur, Mira datang membawa nampan berisi cangkir teh. Wanita itu memandang Dini dengan tatapan penuh arti. "Mbak Dini, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Dini tersentak dari lamunannya. "Hah? Aku baik-baik saja, kenapa, Mir?" Mira mendekat, menurunkan suara. "Tadi pagi aku lihat Bu Diana keluar dari kamar Pak Juan. Mukanya kelihatan kesal, tapi bajunya masih pakai baju tidur." Dini berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku nggak tahu, Mir. Itu urusan mereka." Mira menghela napas pelan. "Aku cuma kasihan sama Mbak. Aku tahu Mbak ada perasaan sama Pak Juan. Tapi kalau Bu Diana masih di sini... hati-hati, Mbak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status