Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku.
"Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakkan bubur itu di meja begitu saja dan berlari menuju ruang tengah di mana Dean aku tinggalkan sebelum aku membuatkan sarapan untuknya. "Bos kecil!" panggilku panik di susul oleh Mbak Mira dan Pak Asep, tukang kebun yang kebetulan sedang menikmati kopinya di dapur. Kami bertiga lari tunggang langgang mencari keberadaan Dean. Pak Juan yang baru saja turun dari kamarnya mengerutkan dahinya. "Ada apa? Kenapa semua panik?" tanyanya. "Bos kecil, Pak...hilang," jawabku dengan napas tersengal. Pak Juan semakin keheranan saja melihat ku panik. "Dean.." Sebelum Pak Juan meneruskan kata-katanya aku langsung tersadar dan kembali mencari keberadaan anak itu. Betapa leganya aku ketika menemukan Dean sedang duduk di belakang sofa, asyik bermain dengan mainannya. "Ya ampun, Bos kecil! Kamu bikin Mbak Dini khawatir saja," ucapku sambil memeluk tubuh mungil itu. Pak Juan mendekat, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Dini, tadi aku mau bilang kalau Dean lagi main di situ. Kamu terlalu panik." Aku hanya bisa tersenyum malu sekaligus menghela napas lega. "Saya kira tadi bos kecil kenapa-kenapa Pak. Jadi saya panik," jawabku. "Maaf Mbak Dini, tadi sebenarnya aku nanya kemana bos kecil kok nggak ada suaranya, tapi Mbak Dini malah panik. Jadi aku ikut panik," ucap Mbak Mirna yang membuatku menepuk jidat. Beginilah jadinya kalau kerja tapi nggak konsentrasi. Untung saja Dean baik-baik saja. Setelah kejadian itu, aku mengajak Dean untuk sarapan. Dean duduk di kursi makannya, sementara aku menyuapinya perlahan. "Yuk, bos kecil, buka mulutnya. Aaa..." aku menggoda Dean yang hanya tertawa kecil sebelum akhirnya membuka mulut untuk disuapi. Pak Juan duduk di meja makan sambil memperhatikan kami. "Dean makin pintar makan ya," komentar Pak Juan dengan senyum tipis. "Iya, Pak. Tapi dia kadang-kadang masih suka pilih-pilih makanan," jawabku sambil menyeka mulut Dean dengan tisu. Setelah Dean selesai sarapan, Pak Juan bersiap untuk ke kantornya. Ia menggendong Dean sambil berpamitan. "Mbak Dini, mungkin nanti aku pulang malam. Titip Dean ya," ucapnya sebelum menuju mobilnya. "Baik, Pak. Sudah jadi tanggung jawab saya," jawabku sambil tersenyum kecil. Pak Juan mencium kedua pipi Dean sebelum menurunkan anak itu dari gendongannya. Namun bocah itu tampak tidak sabar karena melihat bola yang tergeletak di halaman. Dengan cepat, Dean turun dari gendongan Pak Juan dan berlari ke arah bolanya. "Dean, hati-hati!" seru Pak Juan. Aku pun segera menyusul, tetapi naas, kakiku tersandung pot kecil di dekat teras. "Aargh!" teriakku. Sebelum tubuhku jatuh ke tanah, Pak Juan berhasil menangkapku. Posisi kami menjadi canggung, aku berada dalam pelukannya, wajah kami begitu dekat. Aku segera berdiri tegak dan menjauh dengan wajah memerah. "Maaf Pak, sayang nggak sengaja." Jantungku berdebar begitu kencang. Ingin rasanya kau tenggelam saja. Pak Juan juga tampak salah tingkah, wajahnya memerah. "Nggak apa-apa, Din. Hati-hati lain kali." Suasana menjadi kikuk sejenak sebelum Dean kembali mendekati kami sambil membawa bolanya. Pak Juan menggendongnya kembali dan berpamitan cepat. Setelah suasana kembali tenang, aku membawa Dean ke dalam untuk bermain. Namun belum lama aku duduk, ponselku berdering. Nama ibu mertuaku muncul di layar. Aku menarik napas panjang sebelum mengangkatnya. "Dini, kapan kamu kirim uang? Juragan Kardi sudah kasih batas waktu! Kalau nggak, serifikat rumah itu benar-benar hilang!" suara Bu Marlinah terdengar tajam. "Bu, bukannya dulu Dini sudah kasih uangnya? Itu uang tabungan Dini!" jawabku mencoba menjelaskan. "Tabungan apa? Itu sudah buat bayar utangmu yang lainnya! Apa kamu mau kita kehilangan rumah ini, kirim uang sepuluh juta sekarang! Kalau nggak ya sudah, ibu nggak mau tahu!" bentaknya lagi. Aku terdiam. Uang sebesar itu tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu singkat. "Bu, aku nggak punya uang sebanyak itu. Aku harus bicara dengan Mas Sandi dulu," kataku mencoba menahan emosiku. "Terserah kamu, tapi ingat, kamu yang tanggung akibatnya kalau rumah ini sampai hilang!" Ibu menutup telepondengan kasar. Kepalaku terasa berat. Hatiku rasanya sesak dengan semua tekanan ini. Bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan siapa pun? Malam harinya, aku mencoba menghubungi Mas Sandi untuk meminta penjelasan. "Mas, kenapa ibu bilang sertifikat rumah disita? Bukannya uang itu sudahaku kasih buat lunasin hutangnya?" tanyaku langsung. Mas Sandi terdengar ragu sebelum akhirnya menjawab. "Din, uang waktu itu memang untuk membayar hutang yang lainnya. Sekarang kirim saja sepuluh juta dulu, nanti aku cari kekurangannya." Aku tidak percaya dengan jawabannya. "Mas, kenapa Mas nggak bilang dari awal? Uang itu kan aku kasih buat melunasi hutang sama juragan Kardi!" "Udahlah, Din. Jangan dibahas lagi. Kalau kamu mau kirim ya sudah kirim saja nggak usah pulang. Semua malah makin ribet. Kirim uangnya saja," katanya tegas, seolah tidak mau membahas lebih lanjut. Aku hanya bisa terdiam. Tidak ada ruang bagiku untuk menjelaskan lebih jauh. *** Hari itu, suasana rumah cukup tenang. Dean sudah tidur siang setelah kelelahan bermain sejak pagi, sementara aku duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian. Namun, pikiranku jauh dari kata tenang. Telepon ibu mertuaku dan Mas Sandi tadi malam terus terngiang-ngiang di kepala. Pak Juan tiba-tiba muncul dari arah ruang kerjanya, membawa sebuah map. Dia duduk di sofa berseberangan denganku, memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Dini, aku mau tanya sesuatu," katanya perlahan. Aku menoleh. "Apa, Pak?" Dia menarik napas, seolah mencoba memilih kata-kata. "Aku dengar percakapan kamu tadi malam. Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur, tapi... ibu mertuamu terdengar marah-marah. Masalah apa sebenarnya?" Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan suasana. "Ah, itu cuma masalah kecil, Pak. Nggak penting kok." Pak Juan mengangkat alis. "Kalau nggak penting, kenapa beliau sampai marah seperti itu?" Aku terdiam, merasa terpojok. Dia benar, alasan itu terdengar sangat tidak meyakinkan. "Din, kalau kamu mau cerita, aku janji nggak akan menghakimi," tambahnya dengan nada lembut. Akhirnya, aku menyerah. Aku menurunkan pakaian yang sedang kulipat dan menghela napas panjang. "Sebenarnya... ibu mertua saya bilang kalau sertifikat rumah sudah disita juragan Kardi. Katanya saya harus segera menebusnya." Pak Juan mengerutkan kening. "Tapi kenapa bisa sampai disita? Bukannya kamu sudah lunasi hutang itu?" "Itu dia, Pak. Saya juga nggak tahu. Saya sudah kasih uangnya waktu Mas Sandi kecelakaan. Jadi, uang itu kemana?" Aku merasa sakit hati setiap kali memikirkan hal ini. Pak Juan terdiam, tampak mencerna ceritaku. "Jadi, ada kemungkinan uang itu nggak sampai ke juragan Kardi?" Aku mengangguk kecil. "Saya nggak tahu, Pak. Tapi saya sudah nggak mau berurusan lagi soal ini. Mereka selalu menganggap saya nggak pernah cukup, padahal saya sudah kerja keras buat mereka." Dia menatapku dengan penuh empati. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya. Aku akan bantu semampuku." Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena akhirnya ada seseorang yang mau mendengarkan keluhanku. *** Beberapa hari kemudian, setelah berhasil menghindar dari desakan ibu mertua dan suamiku, aku beristirahat di kamar setelah Dean tidur. aku duduk di kasur sambil membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temanku. Salah satu status menarik perhatianku, foto sebuah pesta pernikahan yang tampak meriah. Aku mengetik pesan kepada temanku. "Eh, ini nikahan siapa?" tanyaku penasaran. Beberapa menit kemudian, temanku membalas. "Ini nikahannya Kiranti. Kemarin dia menikah." "Kiranti? Yang kaya raya itu? Wah, beruntung banget suaminya," jawabku polos. Namun balasan berikutnya membuat darahku berdesir. "Din, aku kira kamu sudah tahu, kalau Sandi menikah dengan Kiranti." Jantungku serasa berhenti. Aku menatap layar ponsel dengan mata tak percaya. Tanganku bergetar saat membaca pesan itu berulang-ulang. Temanku menghapus pesannya setelah beberapa detik, tetapi aku sudah membaca semuanya. Hatiku hancur. Jadi, inikah alasan sebenarnya uang itu tidak pernah sampai ke juragan Kardi? Aku menutup ponselku dengan tangan gemetar. Malam itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi.Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i
Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu
Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen
Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita
Malam itu, aku duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikiran terus berkecamuk, mencoba merangkai petunjuk yang mulai terbuka. Pesan ancaman, kedatangan Bu Marlinah, dan kabar tentang orang asing yang mendatangi rumahnya—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Dean sudah tertidur di kamar, dan rumah terasa sunyi. Aku memutuskan untuk membuka laci meja di ruang kerja Pak Juan. Di sana, aku menemukan sebuah map bertuliskan "Kiranti - Hasta." Jantungku berdegup lebih cepat. Meski ragu, aku membuka map itu. Di dalamnya terdapat salinan dokumen perceraian Kiranti, termasuk daftar aset yang diperebutkan dalam proses hukum. Salah satu dokumen menarik perhatianku: surat kepemilikan tanah dan rumah atas nama Kiranti yang terletak di Hasta. Aku terkejut membaca catatan kecil di sudut halaman itu, yang tampaknya ditulis tangan oleh Juan: "Tanah ini sudah dijual sebelum perceraian selesai. Uang hasil penjualan masuk ke rekening bersama Kiranti dan sese
Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu
Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann
Pagi itu, Juan sudah bersiap lebih awal dari biasanya. Setelan jasnya rapi, dasinya terpasang sempurna, dan tatapannya penuh tekad. Dini memperhatikan dari dapur sambil menyiapkan sarapan untuk Dean, menyadari betapa bersemangatnya suaminya pagi ini. “Kamu kelihatan berbeda hari ini,” kata Dini sambil meletakkan secangkir kopi di meja. Juan mengambil cangkir itu dan tersenyum. “Hari ini ada sidang penting. Ini bisa menjadi tonggak besar untuk karierku.” Dini mengangguk mengerti. “Aku yakin kamu akan melakukannya dengan baik. Kamu selalu memberikan yang terbaik dalam setiap kasus.” Sebelum berangkat, Juan mencium kening Dini dan mengusap kepala Dean yang masih mengunyah rotinya. “Doakan Ayah, ya, Nak.” Dean mengangkat kepalan tangannya dengan penuh semangat. “Semangat, Ayah! Kamu pasti menang!” Juan tertawa dan mengangguk. “Terima kasih, jagoan.” Di ruang sidang, suasana begitu tegang. Kasus yang ditangani Juan kali ini melibatkan seorang klien yang dituduh melakuk
Pagi itu, matahari bersinar lembut di atas gedung firma hukum *Juan & Associates Law Firm*. Hari ini menandai babak baru dalam hidup Juan, dan ia merasa seperti seorang prajurit yang baru saja memasuki medan perang. Dengan setelan jas rapi dan berkas-berkas di tangannya, ia melangkah mantap ke dalam ruangannya. Dini, yang sejak pagi telah menyiapkan bekal makan siang untuknya, tersenyum bangga. “Hari ini sidang pertamamu sebagai pemilik firma, kan?” tanyanya sambil menyerahkan kotak makan siang yang telah dihias rapi. Juan mengangguk, menerima bekal itu dengan penuh rasa terima kasih. “Ya, kasus ini penting, Din. Ini bukan sekadar kasus bisnis biasa, tapi soal hak seorang ibu yang ditinggalkan begitu saja oleh suaminya yang kaya dan berkuasa. Aku harus memastikan dia mendapatkan keadilan.” Dini menggenggam tangannya erat. “Kamu bisa melakukannya. Kamu selalu berjuang untuk yang benar.” Setelah mencium kening Dini dan mengucapkan selamat tinggal pada Dean, Juan bergegas ke
Juan berdiri di depan sebuah gedung tiga lantai yang masih dalam tahap renovasi. Plang besar bertuliskan "Juan & Associates Law Firm" terpampang di depan, menandakan langkah barunya dalam dunia hukum. Hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—bukan hanya untuknya, tapi untuk banyak orang yang membutuhkan keadilan. Di sampingnya, Dini menggenggam tangannya erat, matanya berbinar melihat impian Juan semakin nyata. “Aku masih tak percaya kita ada di sini,” ucapnya dengan nada penuh kebanggaan. Juan mengangguk sambil tersenyum. “Semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa dukunganmu.” Mereka melangkah masuk ke dalam, melewati beberapa pekerja yang sibuk mengecat dinding dan memasang rak buku di ruang utama. Juan telah menginvestasikan banyak hal untuk membangun firma hukum ini, tapi lebih dari itu, ia ingin menciptakan tempat di mana hukum bisa diakses oleh semua orang—bukan hanya mereka yang mampu membayar mahal. Saat mereka tengah berbincang, seorang pria paruh baya
Pagi itu, Juan duduk di ruang kerjanya di rumah, menatap beberapa dokumen di meja. Ia sedang menyusun proposal untuk mendirikan firma hukumnya sendiri. Meski sudah bertahun-tahun menjadi pengacara handal, memulai sesuatu dari nol tetap terasa menantang. Namun, kali ini, ia tidak sendiri. Dini datang membawa secangkir kopi dan meletakkannya di meja. “Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya dengan senyum hangat. Juan menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. “Seperti biasa, kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.” Dini duduk di kursi di seberangnya dan menatap tumpukan dokumen. “Jadi, bagaimana rencananya? Kamu sudah menentukan lokasi?” Juan menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya. “Aku sudah melihat beberapa tempat. Tapi aku ingin sesuatu yang lebih strategis, tidak terlalu besar untuk permulaan, tapi cukup representatif.” Dini berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita mencari tempat yang dekat dengan pusat bisnis tapi juga mudah diakses oleh masyarakat umum? Karena k
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui celah tirai, menghangatkan ruangan dengan lembut. Dini menggeliat pelan, matanya masih terasa berat, tetapi senyuman kecil terbit di wajahnya saat ia menyadari kenyataan baru yang kini ia jalani. Ia menoleh ke samping dan melihat Juan yang masih tertidur, napasnya teratur, wajahnya terlihat lebih damai dari sebelumnya. Dini mengulurkan tangan, mengusap rambut Juan dengan lembut. Ia masih belum sepenuhnya percaya bahwa akhirnya mereka sampai di titik ini. Setelah semua badai yang menerpa, kini mereka benar-benar bisa menikmati ketenangan. Namun, keheningan pagi itu segera dipecahkan oleh suara kecil yang begitu mereka kenali. “Papa! Mama!” Dean berlari masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh semangat. Matanya berbinar cerah, dan senyum polosnya membuat segala kelelahan yang tersisa seketika menguap. Juan menggeliat, mengerjapkan mata sebelum akhirnya tersenyum melihat anak kecil itu berdiri di pinggir tempat tidur. “Hey, p
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar, angin bertiup lembut, dan sinar matahari yang menerobos jendela memberikan kehangatan yang nyaman. Juan membuka matanya perlahan, melihat Dini yang masih terlelap di sampingnya. Wajah istrinya terlihat damai, seolah beban-beban masa lalu telah benar-benar sirna. Juan tersenyum kecil, menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di wajah Dini. Ia menatapnya dengan penuh cinta, menyadari betapa besar pengorbanan yang telah mereka lakukan untuk bisa sampai ke titik ini. Tepat saat Juan hendak bangkit dari tempat tidur, Dini menggeliat kecil dan perlahan membuka matanya. “Pagi, suamiku,” bisiknya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. “Pagi, istriku,” balas Juan, lalu mengecup kening Dini dengan lembut. Dini tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke bahu Juan. “Aku masih seperti bermimpi. Semua yang kita lalui… sekarang terasa begitu jauh.” Juan mengangguk. “Itu karena kita sudah menutup lembaran lama dan memulai hi
Pagi itu, sinar mentari menyusup melalui tirai jendela, memberikan kehangatan lembut pada dinding rumah yang telah melalui banyak badai. Meskipun keputusan pengadilan telah mengukir titik balik dalam perjuangan mereka, kehidupan Juan dan Dini belum sepenuhnya bebas dari bayang-bayang masa lalu. Namun, pagi itu adalah awal dari sesuatu yang baru, sebuah kesempatan untuk benar-benar membangun masa depan bersama. Di ruang makan, suasana tampak damai. Dean, yang kini telah mulai memahami sedikit tentang dunia di sekelilingnya, bermain dengan mobil-mobilan kecil sambil sesekali melirik ke arah orang tuanya yang tengah menikmati secangkir kopi hangat. Juan dan Dini duduk berhadapan di meja yang sederhana, namun setiap tatapan dan senyum di antara mereka bercerita tentang harapan yang tak terucapkan dan tekad yang semakin menguat. Juan membuka pembicaraan dengan lembut, “Dini, aku tahu kita telah melewati begitu banyak hal. Persidangan, ancaman, dan segala intrik yang menguji kita. Tapi ak
Malam itu, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang dan rembulan yang bersinar lembut, Juan dan Dini duduk di teras rumah yang baru saja mereka ukir sebagai tempat perlindungan dari masa lalu yang kelam. Udara malam begitu tenang, namun setiap hembusan angin seolah membawa ingatan akan perjalanan panjang, penderitaan, dan perjuangan yang telah mengukir luka dalam hati mereka. Namun di balik itu semua, malam itu adalah malam yang berbeda—malam di mana janji dan cinta akan menguatkan setiap harapan. Juan menatap Dini dengan penuh kehangatan, sambil menggenggam tangannya dengan erat. "Dini, setiap detik yang kita lewati bersama adalah hadiah yang tak ternilai. Aku tahu kita telah melalui badai, kehilangan, dan kegelapan yang hampir membuat kita menyerah. Tapi di sini, di antara sinar rembulan dan desah angin malam, aku ingin kau tahu bahwa cintaku padamu tak akan pernah pudar." Dini menyandarkan kepalanya di bahu Juan, matanya berkaca-kaca. "Aku pernah merasa aku hanyalah bayang-b
Matahari pagi mengintip lembut di balik jendela ruang keluarga, membangunkan dunia yang baru bagi Juan dan Dini. Sejak sidang dan pertempuran panjang yang telah mengubah hidup mereka, mereka kini berusaha merangkai hari-hari dengan penuh harapan dan cinta. Di ruang tamu yang sederhana namun penuh kehangatan, Juan duduk sambil menyeduh kopi pagi. Di seberang meja, Dini menata beberapa foto keluarga yang tersusun rapi—potret Dean yang tersenyum polos, momen-momen kecil yang pernah mereka abadikan di hari-hari sulit, dan kenangan tentang hari pernikahan yang begitu indah. Masing-masing foto itu bercerita tentang perjuangan, pengorbanan, dan pada akhirnya, tentang kemenangan kecil yang membuka lembaran baru kehidupan mereka. “Setiap foto ini mengingatkanku bahwa kita telah melalui begitu banyak hal, Dini,” ujar Juan pelan sambil menatap foto Dean yang sedang bermain di taman. “Dan meskipun jalannya penuh liku, aku merasa kita sekarang benar-benar menemukan kebahagiaan sejati.” Dini