Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku.
"Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakkan bubur itu di meja begitu saja dan berlari menuju ruang tengah di mana Dean aku tinggalkan sebelum aku membuatkan sarapan untuknya. "Bos kecil!" panggilku panik di susul oleh Mbak Mira dan Pak Asep, tukang kebun yang kebetulan sedang menikmati kopinya di dapur. Kami bertiga lari tunggang langgang mencari keberadaan Dean. Pak Juan yang baru saja turun dari kamarnya mengerutkan dahinya. "Ada apa? Kenapa semua panik?" tanyanya. "Bos kecil, Pak...hilang," jawabku dengan napas tersengal. Pak Juan semakin keheranan saja melihat ku panik. "Dean.." Sebelum Pak Juan meneruskan kata-katanya aku langsung tersadar dan kembali mencari keberadaan anak itu. Betapa leganya aku ketika menemukan Dean sedang duduk di belakang sofa, asyik bermain dengan mainannya. "Ya ampun, Bos kecil! Kamu bikin Mbak Dini khawatir saja," ucapku sambil memeluk tubuh mungil itu. Pak Juan mendekat, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Dini, tadi aku mau bilang kalau Dean lagi main di situ. Kamu terlalu panik." Aku hanya bisa tersenyum malu sekaligus menghela napas lega. "Saya kira tadi bos kecil kenapa-kenapa Pak. Jadi saya panik," jawabku. "Maaf Mbak Dini, tadi sebenarnya aku nanya kemana bos kecil kok nggak ada suaranya, tapi Mbak Dini malah panik. Jadi aku ikut panik," ucap Mbak Mirna yang membuatku menepuk jidat. Beginilah jadinya kalau kerja tapi nggak konsentrasi. Untung saja Dean baik-baik saja. Setelah kejadian itu, aku mengajak Dean untuk sarapan. Dean duduk di kursi makannya, sementara aku menyuapinya perlahan. "Yuk, bos kecil, buka mulutnya. Aaa..." aku menggoda Dean yang hanya tertawa kecil sebelum akhirnya membuka mulut untuk disuapi. Pak Juan duduk di meja makan sambil memperhatikan kami. "Dean makin pintar makan ya," komentar Pak Juan dengan senyum tipis. "Iya, Pak. Tapi dia kadang-kadang masih suka pilih-pilih makanan," jawabku sambil menyeka mulut Dean dengan tisu. Setelah Dean selesai sarapan, Pak Juan bersiap untuk ke kantornya. Ia menggendong Dean sambil berpamitan. "Mbak Dini, mungkin nanti aku pulang malam. Titip Dean ya," ucapnya sebelum menuju mobilnya. "Baik, Pak. Sudah jadi tanggung jawab saya," jawabku sambil tersenyum kecil. Pak Juan mencium kedua pipi Dean sebelum menurunkan anak itu dari gendongannya. Namun bocah itu tampak tidak sabar karena melihat bola yang tergeletak di halaman. Dengan cepat, Dean turun dari gendongan Pak Juan dan berlari ke arah bolanya. "Dean, hati-hati!" seru Pak Juan. Aku pun segera menyusul, tetapi naas, kakiku tersandung pot kecil di dekat teras. "Aargh!" teriakku. Sebelum tubuhku jatuh ke tanah, Pak Juan berhasil menangkapku. Posisi kami menjadi canggung, aku berada dalam pelukannya, wajah kami begitu dekat. Aku segera berdiri tegak dan menjauh dengan wajah memerah. "Maaf Pak, sayang nggak sengaja." Jantungku berdebar begitu kencang. Ingin rasanya kau tenggelam saja. Pak Juan juga tampak salah tingkah, wajahnya memerah. "Nggak apa-apa, Din. Hati-hati lain kali." Suasana menjadi kikuk sejenak sebelum Dean kembali mendekati kami sambil membawa bolanya. Pak Juan menggendongnya kembali dan berpamitan cepat. Setelah suasana kembali tenang, aku membawa Dean ke dalam untuk bermain. Namun belum lama aku duduk, ponselku berdering. Nama ibu mertuaku muncul di layar. Aku menarik napas panjang sebelum mengangkatnya. "Dini, kapan kamu kirim uang? Juragan Kardi sudah kasih batas waktu! Kalau nggak, serifikat rumah itu benar-benar hilang!" suara Bu Marlinah terdengar tajam. "Bu, bukannya dulu Dini sudah kasih uangnya? Itu uang tabungan Dini!" jawabku mencoba menjelaskan. "Tabungan apa? Itu sudah buat bayar utangmu yang lainnya! Apa kamu mau kita kehilangan rumah ini, kirim uang sepuluh juta sekarang! Kalau nggak ya sudah, ibu nggak mau tahu!" bentaknya lagi. Aku terdiam. Uang sebesar itu tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu singkat. "Bu, aku nggak punya uang sebanyak itu. Aku harus bicara dengan Mas Sandi dulu," kataku mencoba menahan emosiku. "Terserah kamu, tapi ingat, kamu yang tanggung akibatnya kalau rumah ini sampai hilang!" Ibu menutup telepondengan kasar. Kepalaku terasa berat. Hatiku rasanya sesak dengan semua tekanan ini. Bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan siapa pun? Malam harinya, aku mencoba menghubungi Mas Sandi untuk meminta penjelasan. "Mas, kenapa ibu bilang sertifikat rumah disita? Bukannya uang itu sudahaku kasih buat lunasin hutangnya?" tanyaku langsung. Mas Sandi terdengar ragu sebelum akhirnya menjawab. "Din, uang waktu itu memang untuk membayar hutang yang lainnya. Sekarang kirim saja sepuluh juta dulu, nanti aku cari kekurangannya." Aku tidak percaya dengan jawabannya. "Mas, kenapa Mas nggak bilang dari awal? Uang itu kan aku kasih buat melunasi hutang sama juragan Kardi!" "Udahlah, Din. Jangan dibahas lagi. Kalau kamu mau kirim ya sudah kirim saja nggak usah pulang. Semua malah makin ribet. Kirim uangnya saja," katanya tegas, seolah tidak mau membahas lebih lanjut. Aku hanya bisa terdiam. Tidak ada ruang bagiku untuk menjelaskan lebih jauh. *** Hari itu, suasana rumah cukup tenang. Dean sudah tidur siang setelah kelelahan bermain sejak pagi, sementara aku duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian. Namun, pikiranku jauh dari kata tenang. Telepon ibu mertuaku dan Mas Sandi tadi malam terus terngiang-ngiang di kepala. Pak Juan tiba-tiba muncul dari arah ruang kerjanya, membawa sebuah map. Dia duduk di sofa berseberangan denganku, memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Dini, aku mau tanya sesuatu," katanya perlahan. Aku menoleh. "Apa, Pak?" Dia menarik napas, seolah mencoba memilih kata-kata. "Aku dengar percakapan kamu tadi malam. Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur, tapi... ibu mertuamu terdengar marah-marah. Masalah apa sebenarnya?" Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan suasana. "Ah, itu cuma masalah kecil, Pak. Nggak penting kok." Pak Juan mengangkat alis. "Kalau nggak penting, kenapa beliau sampai marah seperti itu?" Aku terdiam, merasa terpojok. Dia benar, alasan itu terdengar sangat tidak meyakinkan. "Din, kalau kamu mau cerita, aku janji nggak akan menghakimi," tambahnya dengan nada lembut. Akhirnya, aku menyerah. Aku menurunkan pakaian yang sedang kulipat dan menghela napas panjang. "Sebenarnya... ibu mertua saya bilang kalau sertifikat rumah sudah disita juragan Kardi. Katanya saya harus segera menebusnya." Pak Juan mengerutkan kening. "Tapi kenapa bisa sampai disita? Bukannya kamu sudah lunasi hutang itu?" "Itu dia, Pak. Saya juga nggak tahu. Saya sudah kasih uangnya waktu Mas Sandi kecelakaan. Jadi, uang itu kemana?" Aku merasa sakit hati setiap kali memikirkan hal ini. Pak Juan terdiam, tampak mencerna ceritaku. "Jadi, ada kemungkinan uang itu nggak sampai ke juragan Kardi?" Aku mengangguk kecil. "Saya nggak tahu, Pak. Tapi saya sudah nggak mau berurusan lagi soal ini. Mereka selalu menganggap saya nggak pernah cukup, padahal saya sudah kerja keras buat mereka." Dia menatapku dengan penuh empati. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya. Aku akan bantu semampuku." Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena akhirnya ada seseorang yang mau mendengarkan keluhanku. *** Beberapa hari kemudian, setelah berhasil menghindar dari desakan ibu mertua dan suamiku, aku beristirahat di kamar setelah Dean tidur. aku duduk di kasur sambil membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temanku. Salah satu status menarik perhatianku, foto sebuah pesta pernikahan yang tampak meriah. Aku mengetik pesan kepada temanku. "Eh, ini nikahan siapa?" tanyaku penasaran. Beberapa menit kemudian, temanku membalas. "Ini nikahannya Kiranti. Kemarin dia menikah." "Kiranti? Yang kaya raya itu? Wah, beruntung banget suaminya," jawabku polos. Namun balasan berikutnya membuat darahku berdesir. "Din, aku kira kamu sudah tahu, kalau Sandi menikah dengan Kiranti." Jantungku serasa berhenti. Aku menatap layar ponsel dengan mata tak percaya. Tanganku bergetar saat membaca pesan itu berulang-ulang. Temanku menghapus pesannya setelah beberapa detik, tetapi aku sudah membaca semuanya. Hatiku hancur. Jadi, inikah alasan sebenarnya uang itu tidak pernah sampai ke juragan Kardi? Aku menutup ponselku dengan tangan gemetar. Malam itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi."Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
"Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti