Share

Bab 6

Author: Syaard86
last update Last Updated: 2025-01-10 10:28:25

Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku.

"Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!"

Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi?

Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur.

"Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan.

Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.."

Aku langsung meletakkan bubur itu di meja begitu saja dan berlari menuju ruang tengah di mana Dean aku tinggalkan sebelum aku membuatkan sarapan untuknya.

"Bos kecil!" panggilku panik di susul oleh Mbak Mira dan Pak Asep, tukang kebun yang kebetulan sedang menikmati kopinya di dapur.

Kami bertiga lari tunggang langgang mencari keberadaan Dean.

Pak Juan yang baru saja turun dari kamarnya mengerutkan dahinya. "Ada apa? Kenapa semua panik?" tanyanya.

"Bos kecil, Pak...hilang," jawabku dengan napas tersengal.

Pak Juan semakin keheranan saja melihat ku panik. "Dean.."

Sebelum Pak Juan meneruskan kata-katanya aku langsung tersadar dan kembali mencari keberadaan anak itu.

Betapa leganya aku ketika menemukan Dean sedang duduk di belakang sofa, asyik bermain dengan mainannya. "Ya ampun, Bos kecil! Kamu bikin Mbak Dini khawatir saja," ucapku sambil memeluk tubuh mungil itu.

Pak Juan mendekat, menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Dini, tadi aku mau bilang kalau Dean lagi main di situ. Kamu terlalu panik."

Aku hanya bisa tersenyum malu sekaligus menghela napas lega. "Saya kira tadi bos kecil kenapa-kenapa Pak. Jadi saya panik," jawabku.

"Maaf Mbak Dini, tadi sebenarnya aku nanya kemana bos kecil kok nggak ada suaranya, tapi Mbak Dini malah panik. Jadi aku ikut panik," ucap Mbak Mirna yang membuatku menepuk jidat.

Beginilah jadinya kalau kerja tapi nggak konsentrasi. Untung saja Dean baik-baik saja.

Setelah kejadian itu, aku mengajak Dean untuk sarapan. Dean duduk di kursi makannya, sementara aku menyuapinya perlahan.

"Yuk, bos kecil, buka mulutnya. Aaa..." aku menggoda Dean yang hanya tertawa kecil sebelum akhirnya membuka mulut untuk disuapi. Pak Juan duduk di meja makan sambil memperhatikan kami.

"Dean makin pintar makan ya," komentar Pak Juan dengan senyum tipis.

"Iya, Pak. Tapi dia kadang-kadang masih suka pilih-pilih makanan," jawabku sambil menyeka mulut Dean dengan tisu.

Setelah Dean selesai sarapan, Pak Juan bersiap untuk ke kantornya. Ia menggendong Dean sambil berpamitan.

"Mbak Dini, mungkin nanti aku pulang malam. Titip Dean ya," ucapnya sebelum menuju mobilnya.

"Baik, Pak. Sudah jadi tanggung jawab saya," jawabku sambil tersenyum kecil.

Pak Juan mencium kedua pipi Dean sebelum menurunkan anak itu dari gendongannya. Namun bocah itu tampak tidak sabar karena melihat bola yang tergeletak di halaman. Dengan cepat, Dean turun dari gendongan Pak Juan dan berlari ke arah bolanya.

"Dean, hati-hati!" seru Pak Juan. Aku pun segera menyusul, tetapi naas, kakiku tersandung pot kecil di dekat teras.

"Aargh!" teriakku.

Sebelum tubuhku jatuh ke tanah, Pak Juan berhasil menangkapku. Posisi kami menjadi canggung, aku berada dalam pelukannya, wajah kami begitu dekat.

Aku segera berdiri tegak dan menjauh dengan wajah memerah. "Maaf Pak, sayang nggak sengaja."

Jantungku berdebar begitu kencang. Ingin rasanya kau tenggelam saja.

Pak Juan juga tampak salah tingkah, wajahnya memerah. "Nggak apa-apa, Din. Hati-hati lain kali."

Suasana menjadi kikuk sejenak sebelum Dean kembali mendekati kami sambil membawa bolanya. Pak Juan menggendongnya kembali dan berpamitan cepat.

Setelah suasana kembali tenang, aku membawa Dean ke dalam untuk bermain. Namun belum lama aku duduk, ponselku berdering. Nama ibu mertuaku muncul di layar. Aku menarik napas panjang sebelum mengangkatnya.

"Dini, kapan kamu kirim uang? Juragan Kardi sudah kasih batas waktu! Kalau nggak, serifikat rumah itu benar-benar hilang!" suara Bu Marlinah terdengar tajam.

"Bu, bukannya dulu Dini sudah kasih uangnya? Itu uang tabungan Dini!" jawabku mencoba menjelaskan.

"Tabungan apa? Itu sudah buat bayar utangmu yang lainnya! Apa kamu mau kita kehilangan rumah ini, kirim uang sepuluh juta sekarang! Kalau nggak ya sudah, ibu nggak mau tahu!" bentaknya lagi.

Aku terdiam. Uang sebesar itu tidak mungkin aku dapatkan dalam waktu singkat. "Bu, aku nggak punya uang sebanyak itu. Aku harus bicara dengan Mas Sandi dulu," kataku mencoba menahan emosiku.

"Terserah kamu, tapi ingat, kamu yang tanggung akibatnya kalau rumah ini sampai hilang!" Ibu menutup telepondengan kasar.

Kepalaku terasa berat. Hatiku rasanya sesak dengan semua tekanan ini. Bagaimana aku bisa menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan siapa pun?

Malam harinya, aku mencoba menghubungi Mas Sandi untuk meminta penjelasan.

"Mas, kenapa ibu bilang sertifikat rumah disita? Bukannya uang itu sudahaku kasih buat lunasin hutangnya?" tanyaku langsung.

Mas Sandi terdengar ragu sebelum akhirnya menjawab. "Din, uang waktu itu memang untuk membayar hutang yang lainnya. Sekarang kirim saja sepuluh juta dulu, nanti aku cari kekurangannya."

Aku tidak percaya dengan jawabannya. "Mas, kenapa Mas nggak bilang dari awal? Uang itu kan aku kasih buat melunasi hutang sama juragan Kardi!"

"Udahlah, Din. Jangan dibahas lagi. Kalau kamu mau kirim ya sudah kirim saja nggak usah pulang. Semua malah makin ribet. Kirim uangnya saja," katanya tegas, seolah tidak mau membahas lebih lanjut.

Aku hanya bisa terdiam. Tidak ada ruang bagiku untuk menjelaskan lebih jauh.

***

Hari itu, suasana rumah cukup tenang. Dean sudah tidur siang setelah kelelahan bermain sejak pagi, sementara aku duduk di ruang tengah sambil melipat pakaian. Namun, pikiranku jauh dari kata tenang. Telepon ibu mertuaku dan Mas Sandi tadi malam terus terngiang-ngiang di kepala.

Pak Juan tiba-tiba muncul dari arah ruang kerjanya, membawa sebuah map. Dia duduk di sofa berseberangan denganku, memandangku dengan tatapan penuh tanya.

"Dini, aku mau tanya sesuatu," katanya perlahan.

Aku menoleh. "Apa, Pak?"

Dia menarik napas, seolah mencoba memilih kata-kata. "Aku dengar percakapan kamu tadi malam. Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur, tapi... ibu mertuamu terdengar marah-marah. Masalah apa sebenarnya?"

Aku tersenyum kecil, berusaha menenangkan suasana. "Ah, itu cuma masalah kecil, Pak. Nggak penting kok."

Pak Juan mengangkat alis. "Kalau nggak penting, kenapa beliau sampai marah seperti itu?"

Aku terdiam, merasa terpojok. Dia benar, alasan itu terdengar sangat tidak meyakinkan.

"Din, kalau kamu mau cerita, aku janji nggak akan menghakimi," tambahnya dengan nada lembut.

Akhirnya, aku menyerah. Aku menurunkan pakaian yang sedang kulipat dan menghela napas panjang. "Sebenarnya... ibu mertua saya bilang kalau sertifikat rumah sudah disita juragan Kardi. Katanya saya harus segera menebusnya."

Pak Juan mengerutkan kening. "Tapi kenapa bisa sampai disita? Bukannya kamu sudah lunasi hutang itu?"

"Itu dia, Pak. Saya juga nggak tahu. Saya sudah kasih uangnya waktu Mas Sandi kecelakaan. Jadi, uang itu kemana?" Aku merasa sakit hati setiap kali memikirkan hal ini.

Pak Juan terdiam, tampak mencerna ceritaku. "Jadi, ada kemungkinan uang itu nggak sampai ke juragan Kardi?"

Aku mengangguk kecil. "Saya nggak tahu, Pak. Tapi saya sudah nggak mau berurusan lagi soal ini. Mereka selalu menganggap saya nggak pernah cukup, padahal saya sudah kerja keras buat mereka."

Dia menatapku dengan penuh empati. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya. Aku akan bantu semampuku."

Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit lega karena akhirnya ada seseorang yang mau mendengarkan keluhanku.

***

Beberapa hari kemudian, setelah berhasil menghindar dari desakan ibu mertua dan suamiku, aku beristirahat di kamar setelah Dean tidur. aku duduk di kasur sambil membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temanku.

Salah satu status menarik perhatianku, foto sebuah pesta pernikahan yang tampak meriah.

Aku mengetik pesan kepada temanku. "Eh, ini nikahan siapa?" tanyaku penasaran.

Beberapa menit kemudian, temanku membalas. "Ini nikahannya Kiranti. Kemarin dia menikah."

"Kiranti? Yang kaya raya itu? Wah, beruntung banget suaminya," jawabku polos.

Namun balasan berikutnya membuat darahku berdesir.

"Din, aku kira kamu sudah tahu, kalau Sandi menikah dengan Kiranti."

Jantungku serasa berhenti. Aku menatap layar ponsel dengan mata tak percaya. Tanganku bergetar saat membaca pesan itu berulang-ulang.

Temanku menghapus pesannya setelah beberapa detik, tetapi aku sudah membaca semuanya.

Hatiku hancur. Jadi, inikah alasan sebenarnya uang itu tidak pernah sampai ke juragan Kardi?

Aku menutup ponselku dengan tangan gemetar. Malam itu, aku tahu hidupku tidak akan pernah sama lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 7

    Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i

    Last Updated : 2025-01-11
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 8

    Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu

    Last Updated : 2025-01-12
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 9

    Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen

    Last Updated : 2025-01-13
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 10

    Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita

    Last Updated : 2025-01-14
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 11

    Malam itu, aku duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikiran terus berkecamuk, mencoba merangkai petunjuk yang mulai terbuka. Pesan ancaman, kedatangan Bu Marlinah, dan kabar tentang orang asing yang mendatangi rumahnya—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Dean sudah tertidur di kamar, dan rumah terasa sunyi. Aku memutuskan untuk membuka laci meja di ruang kerja Pak Juan. Di sana, aku menemukan sebuah map bertuliskan "Kiranti - Hasta." Jantungku berdegup lebih cepat. Meski ragu, aku membuka map itu. Di dalamnya terdapat salinan dokumen perceraian Kiranti, termasuk daftar aset yang diperebutkan dalam proses hukum. Salah satu dokumen menarik perhatianku: surat kepemilikan tanah dan rumah atas nama Kiranti yang terletak di Hasta. Aku terkejut membaca catatan kecil di sudut halaman itu, yang tampaknya ditulis tangan oleh Juan: "Tanah ini sudah dijual sebelum perceraian selesai. Uang hasil penjualan masuk ke rekening bersama Kiranti dan sese

    Last Updated : 2025-01-15
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 12

    Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,

    Last Updated : 2025-01-16
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 13

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu

    Last Updated : 2025-01-17
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 14

    Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann

    Last Updated : 2025-01-18

Latest chapter

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 128

    Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 127

    Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 126

    Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 125

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 124

    Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 123

    Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 122

    Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 121

    Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 120

    Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status