Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu
Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen
Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita
Malam itu, aku duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikiran terus berkecamuk, mencoba merangkai petunjuk yang mulai terbuka. Pesan ancaman, kedatangan Bu Marlinah, dan kabar tentang orang asing yang mendatangi rumahnya—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Dean sudah tertidur di kamar, dan rumah terasa sunyi. Aku memutuskan untuk membuka laci meja di ruang kerja Pak Juan. Di sana, aku menemukan sebuah map bertuliskan "Kiranti - Hasta." Jantungku berdegup lebih cepat. Meski ragu, aku membuka map itu. Di dalamnya terdapat salinan dokumen perceraian Kiranti, termasuk daftar aset yang diperebutkan dalam proses hukum. Salah satu dokumen menarik perhatianku: surat kepemilikan tanah dan rumah atas nama Kiranti yang terletak di Hasta. Aku terkejut membaca catatan kecil di sudut halaman itu, yang tampaknya ditulis tangan oleh Juan: "Tanah ini sudah dijual sebelum perceraian selesai. Uang hasil penjualan masuk ke rekening bersama Kiranti dan sese
Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu
Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika aku mendengar suara tawa kecil dari ruang tamu. Suara Dean yang riang bercampur dengan suara Juan yang mencoba menghiburnya dengan mainan. Aku berjalan pelan ke arah suara itu, berdiri di ambang pintu dan melihat pemandangan yang membuat dadaku berdesir. Juan sedang duduk di lantai bersama Dean, memutar-mutar mainan yang membuat Dean tertawa lepas. Wajah Juan yang serius dan tegas kini tampak lembut dan penuh kasih. Pemandangan itu terasa begitu alami, seolah-olah mereka benar-benar keluarga. "Pak, sudah pagi-pagi main di lantai?" tanyaku, mencoba menyembunyikan perasaan yang tak karuan. Juan menoleh, tersenyum tipis. "Dean bangun lebih awal dari biasanya. Aku pikir, daripada membangunkanmu, aku temani dia bermain." Aku mendekat dan duduk di samping mereka, mengambil mainan yang tergeletak di lantai. "Terima kasih sudah menjaganya, Pak. Tapi lain kali, bangunkan saja saya. Itu tugas saya." Dia menatapku dengan sorot mata serius
Aku memeluk tubuh mungil Dean semakin erat saat suara pintu belakang yang didobrak bergema di seluruh rumah. Tubuhku gemetar, dan aku merasa udara di sekitar mendadak mencekam. Mereka tidak hanya datang dari depan. Ini jelas sudah direncanakan. Dari celah kamar, aku bisa melihat bayangan seseorang masuk ke dalam rumah dengan langkah perlahan. Otakku berputar cepat, memikirkan cara untuk melindungi anak kecil yang tak berdosa ini. Dengan gerakan hati-hati, aku membawanya ke dalam lemari besar di sudut kamar dan menutupnya rapat-rapat. "Bos Kecil, dengarkan Mbak Dini, ya," bisikku lembut, meski suara gemetar tak bisa ku sembunyikan. "Kamu jangan keluar sampai Mbak Dini bilang, oke? Jangan bersuara sedikit pun, sayang." Dean menatapku dengan mata kecilnya yang ketakutan, tapi dia mengangguk patuh. Aku mengusap kepalanya cepat-cepat sebelum menutup pintu lemari. Setelah memastikan Bos Kecil aman, aku meraih ponsel di saku celanaku, mencoba menghubungi Juan. Tapi sialnya, tak a
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja terbit, cahayanya masuk melalui celah jendela, menerangi kamar yang kutempati sementara di rumah teman Juan. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku—rasa lelah itu masih ada, tapi kini bercampur dengan tekad yang baru. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Hari ini, aku akan mengambil langkah pertama untuk memutus semua ikatan dengan Sandi. Dean masih terlelap di kamar sebelah, jadi aku keluar untuk mencari udara segar di halaman. Aku menemukan Juan di sana, sedang berdiri dengan secangkir kopi di tangannya. Dia menoleh saat mendengar langkahku, lalu tersenyum hangat. “Pagi, Dini,” sapanya lembut. “Kamu kelihatan berbeda hari ini.” Aku tersenyum kecil. “Mungkin karena saya sudah memutuskan untuk mulai menyelesaikan semua masalah ini, Pak. Saya nggak mau lagi hidup dalam kebimbangan.” Juan meletakkan cangkirnya di meja kecil di dekat kursi taman. “Bagus kalau kamu sudah yakin, Dini. Kalau kamu butuh bantu
Rumah teman Juan di pinggiran kota terasa seperti tempat perlindungan sementara. Lokasinya yang jauh dari keramaian dan suasana yang tenang memberi kami sedikit waktu untuk bernapas. Tapi di dalam diriku, badai terus bergemuruh. Aku duduk di beranda rumah itu, memandang hamparan kebun di depanku. Dean bermain dengan beberapa mainan kayu yang dipinjamkan oleh anak teman Juan. Tawanya yang polos membuatku sejenak melupakan semua kekacauan yang terjadi. Namun, pikiranku terusik oleh satu hal: Juan. Sikapnya selama beberapa hari terakhir ini semakin membingungkanku. Aku tahu dia peduli pada Dean, tapi perlakuannya padaku membuatku bertanya-tanya. Apakah ini hanya rasa empati seorang majikan kepada pengasuh anaknya? Atau ada sesuatu yang lebih? “Dini,” suara Juan memecah lamunanku. Aku menoleh, mendapati dia berdiri di belakangku dengan dua cangkir teh di tangannya. Dia menyerahkan salah satunya padaku. “Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat,” katanya sambil du
Pagi itu, aku terbangun dengan pikiran berat. Kejadian malam sebelumnya terus menghantuiku. Ancaman Sandi, kemunculan Bu Marlinah, dan keberanian Juan untuk berdiri melawan mereka—semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai. Dean tertidur pulas di pangkuanku, seolah tak peduli dengan kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Namun, aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan ini. Juan terlihat sibuk di ruang kerjanya sejak pagi, berbicara dengan seseorang melalui telepon. Saat aku masuk untuk membawakan secangkir kopi, aku mendengar potongan pembicaraannya. “Ya, aku butuh pengawasan ketat di sekitar rumah. Pastikan tidak ada yang mendekat tanpa sepengetahuanku,” katanya dengan nada tegas. Aku meletakkan kopi di mejanya, dan dia menatapku dengan senyum kecil. “Dini, maaf kalau aku terlalu banyak melibatkanmu dalam masalah ini. Tapi percayalah, aku akan melakukan segalanya untuk melindungi kalian.” Aku mengangguk pelan, meski dalam hati masih ada k
Kami tiba di sebuah vila kecil di pinggir kota. Bangunannya tampak tua tapi cukup terawat, tersembunyi di balik pepohonan lebat. Juan memarkir mobilnya di sisi rumah, memastikan lampu depan dimatikan sebelum kami keluar. “Di sini kita aman untuk sementara,” katanya sambil membawa Dean yang masih terlelap. “Rumah ini milik salah satu klienku, dan tidak ada yang tahu tentang tempat ini kecuali aku.” Aku hanya mengangguk, meski hati masih diliputi rasa was-was. Rumah ini memang jauh dari keramaian, tapi aku tidak yakin apakah kami benar-benar aman. Saat aku masuk, aroma kayu tua menyeruak di udara. Ruangannya kecil namun hangat, dengan perabotan minimalis dan sebuah perapian di sudut. Juan menaruh Dean di sofa dan menyelimuti tubuh kecilnya dengan lembut. “Dini, duduklah,” katanya sambil menatapku serius. “Kita perlu bicara.” Aku duduk di kursi di seberangnya, tanganku meremas ujung kerudung dengan gelisah. “Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?” tanyaku akhirnya. “Kenapa kita ha
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika aku mendengar suara tawa kecil dari ruang tamu. Suara Dean yang riang bercampur dengan suara Juan yang mencoba menghiburnya dengan mainan. Aku berjalan pelan ke arah suara itu, berdiri di ambang pintu dan melihat pemandangan yang membuat dadaku berdesir. Juan sedang duduk di lantai bersama Dean, memutar-mutar mainan yang membuat Dean tertawa lepas. Wajah Juan yang serius dan tegas kini tampak lembut dan penuh kasih. Pemandangan itu terasa begitu alami, seolah-olah mereka benar-benar keluarga. "Pak, sudah pagi-pagi main di lantai?" tanyaku, mencoba menyembunyikan perasaan yang tak karuan. Juan menoleh, tersenyum tipis. "Dean bangun lebih awal dari biasanya. Aku pikir, daripada membangunkanmu, aku temani dia bermain." Aku mendekat dan duduk di samping mereka, mengambil mainan yang tergeletak di lantai. "Terima kasih sudah menjaganya, Pak. Tapi lain kali, bangunkan saja saya. Itu tugas saya." Dia menatapku dengan sorot mata serius
Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu
Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,