Pagi itu, aku duduk di ruang tamu rumah Juan, masih merasakan ketegangan dari kejadian semalam. Juan duduk di depanku dengan ekspresi serius, tampaknya sedang mempertimbangkan kata-kata yang akan diucapkannya. Dean bermain di lantai, memperlihatkan senyuman polosnya yang sedikit mengurangi berat pikiran kami. "Ada banyak yang belum kamu tahu, Din," ujar Juan, akhirnya memecah keheningan. Aku menatapnya, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. "Maksud Bapak?" Juan menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Kiranti bukan satu-satunya yang terlibat dalam permainan ini. Sandi, ibunya, dan bahkan Juragan Kardi... mereka semua punya peran dalam drama ini. Sandi tidak hanya berurusan dengan hutang, dia juga terjerat dalam permainan yang lebih besar." Aku menatapnya dengan bingung, mencoba mencerna semuanya. "Tapi kenapa semua ini harus melibatkan saya?" tanyaku pelan. Juan memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. "Karena kamu adalah kunci, Dini. Semua yang terjadi,
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah pembicaraan dengan Juan, pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya bicara, cara dia menatapku. Bukan sekadar rasa terima kasih atau perhatian seorang majikan kepada pengasuh anaknya. Ada kehangatan di sana—sesuatu yang selama ini kutepis demi menjaga batasan. Namun, bagaimana bisa? Aku hanya Dini, seorang perempuan sederhana yang bekerja untuknya. Dia seorang pengacara sukses, hidupnya jauh lebih besar dan lebih rumit daripada yang bisa kubayangkan. Hubungan ini—apa pun itu—terasa mustahil. Ketika aku sedang melipat selimut di kamar Dean, pintu diketuk pelan. Aku membuka pintu dan menemukan Juan berdiri di sana. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti menahan sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Aku mengganggu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku menggeleng. "Tidak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Juan melangkah masuk, berdiri di tengah kamar sambil melirik Dean yang sudah tertidur pu
Pagi itu, suasana rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Aku duduk di ruang tamu sambil menyuapi Dean yang baru saja selesai mandi. Anak itu tertawa kecil, mengoceh tidak jelas dengan sendok mainan di tangannya. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hingga saat ini, meski hatiku penuh keraguan dan pikiranku terus-menerus berperang. Setelah kejadian tadi malam, aku sengaja menjaga jarak dari Juan. Kata-katanya tentang perasaan membuatku goyah, tapi kenyataan hidup mengingatkanku bahwa aku belum selesai dengan babak lain dalam hidupku—Sandi. Aku masih istri sahnya, meski hubungan kami telah lama retak. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, dengan Dean masih berada di gendonganku. Ketika pintu terbuka, aku mendapati seorang wanita berdiri di sana—Kiranti. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada tekad kuat yang terpancar dari matanya. "Dini, aku perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk, mempersilahkann
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya naik ketika aku mendengar suara tawa kecil dari ruang tamu. Suara Dean yang riang bercampur dengan suara Juan yang mencoba menghiburnya dengan mainan. Aku berjalan pelan ke arah suara itu, berdiri di ambang pintu dan melihat pemandangan yang membuat dadaku berdesir. Juan sedang duduk di lantai bersama Dean, memutar-mutar mainan yang membuat Dean tertawa lepas. Wajah Juan yang serius dan tegas kini tampak lembut dan penuh kasih. Pemandangan itu terasa begitu alami, seolah-olah mereka benar-benar keluarga. "Pak, sudah pagi-pagi main di lantai?" tanyaku, mencoba menyembunyikan perasaan yang tak karuan. Juan menoleh, tersenyum tipis. "Dean bangun lebih awal dari biasanya. Aku pikir, daripada membangunkanmu, aku temani dia bermain." Aku mendekat dan duduk di samping mereka, mengambil mainan yang tergeletak di lantai. "Terima kasih sudah menjaganya, Pak. Tapi lain kali, bangunkan saja saya. Itu tugas saya." Dia menatapku dengan sorot mata serius
Kami tiba di sebuah vila kecil di pinggir kota. Bangunannya tampak tua tapi cukup terawat, tersembunyi di balik pepohonan lebat. Juan memarkir mobilnya di sisi rumah, memastikan lampu depan dimatikan sebelum kami keluar. “Di sini kita aman untuk sementara,” katanya sambil membawa Dean yang masih terlelap. “Rumah ini milik salah satu klienku, dan tidak ada yang tahu tentang tempat ini kecuali aku.” Aku hanya mengangguk, meski hati masih diliputi rasa was-was. Rumah ini memang jauh dari keramaian, tapi aku tidak yakin apakah kami benar-benar aman. Saat aku masuk, aroma kayu tua menyeruak di udara. Ruangannya kecil namun hangat, dengan perabotan minimalis dan sebuah perapian di sudut. Juan menaruh Dean di sofa dan menyelimuti tubuh kecilnya dengan lembut. “Dini, duduklah,” katanya sambil menatapku serius. “Kita perlu bicara.” Aku duduk di kursi di seberangnya, tanganku meremas ujung kerudung dengan gelisah. “Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?” tanyaku akhirnya. “Kenapa kita ha
Pagi itu, aku terbangun dengan pikiran berat. Kejadian malam sebelumnya terus menghantuiku. Ancaman Sandi, kemunculan Bu Marlinah, dan keberanian Juan untuk berdiri melawan mereka—semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai. Dean tertidur pulas di pangkuanku, seolah tak peduli dengan kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Namun, aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan ini. Juan terlihat sibuk di ruang kerjanya sejak pagi, berbicara dengan seseorang melalui telepon. Saat aku masuk untuk membawakan secangkir kopi, aku mendengar potongan pembicaraannya. “Ya, aku butuh pengawasan ketat di sekitar rumah. Pastikan tidak ada yang mendekat tanpa sepengetahuanku,” katanya dengan nada tegas. Aku meletakkan kopi di mejanya, dan dia menatapku dengan senyum kecil. “Dini, maaf kalau aku terlalu banyak melibatkanmu dalam masalah ini. Tapi percayalah, aku akan melakukan segalanya untuk melindungi kalian.” Aku mengangguk pelan, meski dalam hati masih ada k
Rumah teman Juan di pinggiran kota terasa seperti tempat perlindungan sementara. Lokasinya yang jauh dari keramaian dan suasana yang tenang memberi kami sedikit waktu untuk bernapas. Tapi di dalam diriku, badai terus bergemuruh. Aku duduk di beranda rumah itu, memandang hamparan kebun di depanku. Dean bermain dengan beberapa mainan kayu yang dipinjamkan oleh anak teman Juan. Tawanya yang polos membuatku sejenak melupakan semua kekacauan yang terjadi. Namun, pikiranku terusik oleh satu hal: Juan. Sikapnya selama beberapa hari terakhir ini semakin membingungkanku. Aku tahu dia peduli pada Dean, tapi perlakuannya padaku membuatku bertanya-tanya. Apakah ini hanya rasa empati seorang majikan kepada pengasuh anaknya? Atau ada sesuatu yang lebih? “Dini,” suara Juan memecah lamunanku. Aku menoleh, mendapati dia berdiri di belakangku dengan dua cangkir teh di tangannya. Dia menyerahkan salah satunya padaku. “Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat,” katanya sambil du
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja terbit, cahayanya masuk melalui celah jendela, menerangi kamar yang kutempati sementara di rumah teman Juan. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku—rasa lelah itu masih ada, tapi kini bercampur dengan tekad yang baru. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Hari ini, aku akan mengambil langkah pertama untuk memutus semua ikatan dengan Sandi. Dean masih terlelap di kamar sebelah, jadi aku keluar untuk mencari udara segar di halaman. Aku menemukan Juan di sana, sedang berdiri dengan secangkir kopi di tangannya. Dia menoleh saat mendengar langkahku, lalu tersenyum hangat. “Pagi, Dini,” sapanya lembut. “Kamu kelihatan berbeda hari ini.” Aku tersenyum kecil. “Mungkin karena saya sudah memutuskan untuk mulai menyelesaikan semua masalah ini, Pak. Saya nggak mau lagi hidup dalam kebimbangan.” Juan meletakkan cangkirnya di meja kecil di dekat kursi taman. “Bagus kalau kamu sudah yakin, Dini. Kalau kamu butuh bantu
Malam itu, suasana di rumah Juan terasa lebih canggung dari biasanya. Setelah pertemuan pertamanya dengan Dean yang berakhir mengecewakan, Diana masih belum mau menyerah. Ia tidak akan membiarkan anaknya merasa asing terhadapnya. Lebih dari itu, ia juga tidak akan membiarkan wanita lain mengambil posisi yang seharusnya menjadi miliknya—posisi di sisi Juan. Dini yang sedang membereskan meja makan bisa mendengar dengan jelas suara lembut Diana yang menggoda di ruang tamu. "Juan, aku ingin menginap di sini. Apa kamu nggak merindukan aku?" Dini berhenti sejenak, merasakan hatinya mencelos. Tangannya yang memegang gelas hampir gemetar. Juan menghela napas. "Diana, ini bukan soal aku merindukanmu atau tidak. Kau tiba-tiba datang setelah sekian lama, lalu ingin menginap begitu saja?" Diana tersenyum, melangkah mendekat dan dengan santai duduk di sofa. Ia menyilangkan kaki dengan anggun, memainkan rambut panjangnya dengan jari-jari rampingnya. "Aku pikir kamu tidak akan sekejam itu m
Hari itu akhirnya tiba. Sore itu, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah Juan. Dini yang sedang bermain dengan Dean di taman belakang mendengar suara mesin mobil dan tanpa sadar, jantungnya berdetak lebih cepat. Juan yang sejak tadi berada di ruang kerjanya langsung keluar begitu mendengar mobil itu datang. Dari dalam mobil, seorang wanita berpenampilan anggun melangkah turun. Matanya tersembunyi di balik kacamata hitam, tapi ekspresi wajahnya tetap terlihat tegas. Diana. Wanita itu berdiri di depan pintu, menatap Juan dengan tatapan yang sulit diartikan. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Halo, Juan," sapanya, suaranya lembut namun penuh kepercayaan diri. Juan mengamati wanita yang dulu pernah mengisi hidupnya, wanita yang pergi tanpa penjelasan, meninggalkan dirinya dan Dean tanpa kabar. Sekarang dia kembali, seolah-olah semuanya bisa diperbaiki dengan satu sapaan saja. "Diana," balas Juan dingin. "Kenapa kau baru muncul sekarang?" Diana melepaskan kacamata hitam
Hari-hari berlalu, dan Dini semakin menyadari perubahan sikap Juan. Ia masih perhatian, tapi sering kali pikirannya melayang entah ke mana. Kadang-kadang, saat mereka mengobrol, Juan tampak ragu seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya. Seperti saat ini, bibir Juan bergerak ingin mengucapkan sesuatu tapi entah kenapa kata-kata yang sudah ia siapkan menghilang begitu saja. Dan bibirnya kembali tertutup. Dini mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin ini hanya masalah pekerjaan. Namun, hatinya mengatakan ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan Juan. Hal itu membuat Dini menerka-nerka apa yang sebenarnya yang terjadi. Suatu pagi, saat Dini sedang menyiapkan sarapan, Mira—asisten rumah tangga lainnya—datang dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Mbak Dini, denger-denger Bu Diana mau balik, ya?" tanya Mira tiba-tiba. Dini menghentikan gerakannya. "Bu Diana?" Nama itu sudah lama tidak ia dengar tapi terasa sangat familiar. "Iya, M
Malam itu, setelah semua kejadian yang hampir merenggut kebebasan Dini, ia duduk di ruang tamu rumah Juan, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Kopi di tangannya sudah mulai dingin, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk peduli. Dalam hati, Dini masih sulit untuk percaya kalau mantan suaminya bisa melakukan tindakan seperti itu. Apa yang salah dengan dirinya? Dulu, selama menikah ia selalu berusaha menjadi istri yang baik dan memenuhi segala keinginan suaminya itu. Tapi sekarang, begini balasannya. Juan berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Tatapannya lembut namun penuh ketegasan. "Aku harap ini terakhir kalinya kau terlibat dengan Sandi, Dini." Dini menghela napas panjang. "Aku juga berharap begitu. Aku pikir setelah perceraian, semuanya akan selesai. Tapi ternyata dia masih berusaha menarikku kembali ke dalam kekacauan hidupnya." Juan mengamati wajah Dini yang tampak lelah. "Setelah semua yang dia lakukan padamu, kau masih memikirkan dia?" Dini menggel
Dini berdiri di depan pintu rumah, ponselnya masih digenggam erat. Di dalam kepalanya, berbagai kemungkinan berputar. Apakah ini jebakan? Apakah Sandi benar-benar dalam bahaya? Juan berdiri di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah Dini yang penuh kebimbangan. "Kita tidak bisa asal pergi begitu saja, Dini. Kau tahu siapa Sandi. Dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau." Dini menggigit bibirnya. Ia tahu Juan benar, tapi suara Sandi tadi… terdengar begitu putus asa. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ini hanya tipuan, aku akan pergi dan tidak akan kembali lagi." Juan mendesah panjang. "Baiklah, tapi aku ikut denganmu. Apa pun yang terjadi, kau tidak akan menghadapi ini sendirian." Dini mengangguk. Ia lega karena Juan tidak meninggalkannya dalam situasi seperti ini. Mereka segera masuk ke mobil dan melaju menuju alamat yang dikirimkan Sandi melalui pesan singkat. Lokasi itu berada di pinggiran kota, jauh dari keramaian. Semakin
Dini duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar jendela mobil yang dikendarai Juan. Hatinya masih diliputi kebingungan dan kekecewaan. Bagaimana mungkin Sandi dan Bu Marlinah tega melakukan ini padanya? Tangannya mengepal di pangkuannya, masih sedikit gemetar. Peristiwa tadi begitu nyata—pengkhianatan yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. "Apa kau baik-baik saja?" suara Juan memecah keheningan. Dini menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku masih tidak percaya, Juan…" suaranya lirih. "Aku pikir Bu Marlinah benar-benar sakit. Aku pikir dia ingin bertemu denganku karena... entah, ingin meminta maaf atau sekadar berbicara. Tapi ternyata semua ini hanya jebakan." Juan meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. "Aku sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi," katanya dengan nada yang lebih tenang. "Sandi sudah kehilangan segalanya, dan dia hanya tahu satu cara untuk keluar dari masalahnya—memanfaatkan orang lain. Kali ini, itu adalah kau."
Dini duduk di kursi mobil dengan jantung berdegup kencang. Kepanikannya semakin menjadi saat mobil yang dikendarai Sandi memasuki jalan yang semakin sepi, jauh dari keramaian kota. Lampu-lampu jalan semakin jarang, dan hanya ada bayangan pepohonan di sepanjang jalan. "Sandi, tolong hentikan mobil ini!" Dini memohon, suaranya bergetar. Sandi tetap diam, matanya fokus ke jalan di depan. Wajahnya tegang, seolah ada pertarungan dalam pikirannya. Dini mencoba berpikir cepat. Ia tidak bisa duduk diam menunggu takdirnya ditentukan oleh Sandi. Dengan tangan gemetar, ia mengintip ke pintu mobil, berharap bisa menemukan cara untuk membuka kunci. Ketika mobil melambat di sebuah tikungan, Dini melihat kesempatan. Dengan sekuat tenaga, ia meraih pegangan pintu dan menariknya dengan keras. Tapi Sandi lebih cepat—dia langsung meraih lengan Dini dan mencengkeramnya erat. "Jangan bodoh, Dini!" bentaknya. "Kau tidak bisa lari." Dini menatapnya dengan mata penuh ketakutan. "Kenapa kau
Beberapa bulan setelah perceraian dengan Sandi, kehidupan Dini perlahan mulai membaik. Dia masih bekerja di rumah Juan, dan hubungan mereka semakin erat meskipun belum ada pernyataan yang jelas. Dini menikmati ketenangan yang mulai ia rasakan, meskipun ada satu hal yang membuatnya penasaran—ke mana perginya Sandi dan Bu Marlinah? Sandi tidak pernah lagi menghubunginya setelah menandatangani surat perceraian, dan Bu Marlinah pun tak pernah lagi muncul. Awalnya, Dini berpikir mereka hanya ingin menjauh darinya, tapi suatu malam, semuanya berubah. Ponselnya bergetar saat dia sedang melipat pakaian di kamarnya. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat—**Sandi**. Dini ragu untuk mengangkatnya, tapi akhirnya dia menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya sedikit gemetar. "Dini..." Suara Sandi terdengar lebih pelan dari biasanya. "Ibu sakit keras." Dini mengernyit. "Apa?" "Ibu ingin bertemu denganmu... sebelum terlambat," lanjut Sandi de
Hari-hari setelah kejadian di bukit terasa berbeda bagi Dini. Setiap kali dia melihat Juan, perasaannya bercampur aduk. Ada kehangatan yang tak bisa dia abaikan, namun juga rasa takut akan masa lalu yang masih menghantuinya. Pagi itu, Dini sedang sibuk menyapu ruang tamu ketika Juan masuk dengan membawa tumpukan dokumen. Dia terlihat serius, namun saat matanya bertemu dengan Dini, senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Dini," panggilnya. Dini menghentikan sapuannya, menegakkan tubuh. "Iya, Pak Juan?" Juan berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depannya. "Aku ingin kita bicara. Ada hal yang harus kita selesaikan." Dini merasa gugup, tetapi dia mengangguk. "Tentu, Pak. Tentang apa?" Juan mengisyaratkan agar dia duduk di sofa. Ketika mereka duduk berhadapan, Juan menghela napas seolah-olah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang berat. "Aku tahu ciuman itu mungkin membuatmu bingung," katanya, suaranya lembut namun tegas. Dini menunduk, wajahnya memerah.