Aku memeluk tubuh mungil Dean semakin erat saat suara pintu belakang yang didobrak bergema di seluruh rumah. Tubuhku gemetar, dan aku merasa udara di sekitar mendadak mencekam. Mereka tidak hanya datang dari depan. Ini jelas sudah direncanakan. Dari celah kamar, aku bisa melihat bayangan seseorang masuk ke dalam rumah dengan langkah perlahan. Otakku berputar cepat, memikirkan cara untuk melindungi anak kecil yang tak berdosa ini. Dengan gerakan hati-hati, aku membawanya ke dalam lemari besar di sudut kamar dan menutupnya rapat-rapat. "Bos Kecil, dengarkan Mbak Dini, ya," bisikku lembut, meski suara gemetar tak bisa ku sembunyikan. "Kamu jangan keluar sampai Mbak Dini bilang, oke? Jangan bersuara sedikit pun, sayang." Dean menatapku dengan mata kecilnya yang ketakutan, tapi dia mengangguk patuh. Aku mengusap kepalanya cepat-cepat sebelum menutup pintu lemari. Setelah memastikan Bos Kecil aman, aku meraih ponsel di saku celanaku, mencoba menghubungi Juan. Tapi sialnya, tak a
Aku duduk di sudut pondok kecil itu, memeluk Dean yang mulai terbangun. Mata kecilnya menatapku dengan polos, tanpa tahu betapa rumitnya situasi yang sedang kami hadapi. Hatiku terasa berat, tapi aku harus kuat. Demi dia. Juan berdiri di dekat jendela, matanya tajam mengamati setiap sudut luar pondok. Wajahnya serius, tegang, seperti sedang menghitung setiap detik waktu yang tersisa. "Kita nggak bisa nunggu lebih lama, Dini. Mereka pasti sudah dekat," katanya pelan, tapi suaranya penuh tekanan. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam benakku, hanya satu hal yang terpikir: bagaimana caranya membawa Dean keluar dari bahaya ini. Sandi, pria yang dulu aku cintai, kini menjadi bayangan menakutkan yang terus menghantui hidupku. *** Suara deru mobil terdengar dari kejauhan. Juan bergerak cepat, mematikan lampu, lalu menutup tirai dengan hati-hati. "Dini, tetap di sini. Jangan keluar, apa pun yang terjadi," bisiknya sambil menatapku dalam-dalam. Aku ingin menghentikannya, ingin mem
Pagi itu, aku duduk di ruang tamu di rumah Juan sambil memegang secangkir teh hangat. Pikiranku kacau, terombang-ambing antara keputusan untuk bertemu Sandi dan ketakutan akan manipulasi yang selalu ia gunakan untuk membuatku ragu. Di kamar sebelah, Dean sedang bermain dengan mainan kayunya, sesekali tertawa kecil tanpa tahu bagaimana hidup orang dewasa begitu rumit. Pintu depan terbuka perlahan, dan Juan masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Dini, apa kau yakin ingin bertemu Sandi? Aku khawatir dia akan menggunakan segala cara untuk membujukmu." Aku menatapnya, mencoba menguatkan diri. "Pak Juan, aku harus menyelesaikan ini. Kalau aku terus menghindar, masalah ini tidak akan pernah selesai. Aku tidak ingin Dean terus hidup dalam bayang-bayang konflik ini." Dia menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri. Aku akan berada di dekatmu, kalau-kalau Sandi mencoba melakukan sesuatu." Aku mengangguk pelan. Dalam hatiku, aku bersyukur atas kehadira
Hari-hari berlalu setelah pertemuan itu, tapi rasanya seperti luka yang belum kering terus dibuka. Kata-kata Sandi masih terngiang di pikiranku—janji-janji manis yang dulu sering dia ucapkan, sekarang tak lebih dari kebohongan yang menyakitkan. Aku duduk di ruang tamu sambil menatap kosong ke luar jendela. Dean bermain di sudut ruangan, gelak tawanya menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan. Tapi meski mendengar tawa itu, hatiku tetap terasa berat. Beberapa hari lalu, aku mencoba memberinya kesempatan untuk bicara. Aku ingin percaya, meski hanya sedikit, bahwa dia akan menunjukkan perubahan. Tapi semua itu sia-sia. Dia hanya mengulang-ulang hal yang sama—memohon, berjanji akan berubah, tapi tanpa rasa sungguh-sungguh. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan yang terus menghantuiku. Uang yang selama ini kukirim untuknya—uang hasil kerja keras dari pagi hingga malam—ternyata tidak digunakan untuk pengobatannya seperti yang dia katakan. Aku mengingat dengan jelas percakapan
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap surat perjanjian yang tadi baru saja kubaca di ruang kerja Juan. Kata-katanya terus terngiang di pikiranku—"Aku hanya ingin kau bahagia." Kata-kata itu terdengar tulus, namun bagiku juga menakutkan. Bukan karena aku tidak percaya pada Juan, tapi karena aku tidak tahu apakah aku mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain saat diriku sendiri masih penuh dengan luka. Dean bergerak kecil di tempat tidurnya, napasnya terdengar teratur dalam tidur yang lelap. Aku menyentuh rambutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan di tengah kekacauan pikiranku. Aku menghela napas panjang. Aku harus membuat keputusan. Aku tidak bisa terus hidup dengan kebimbangan ini, baik untuk diriku sendiri maupun untuk Dean. *** Keesokan paginya, aku menyiapkan sarapan di ruang makan. sedangkan Juan duduk tenang sambil menyeruput secangkir teh. Aku sudah bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk ka
Hari-hari setelah keputusan besarku terasa lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih terkadang menyelinap di pikiranku. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku dan Dean, mengabaikan pesan-pesan Sandi yang sesekali masih datang meski aku sudah menegaskan semuanya. Juan tetap menjadi sosok yang mendukungku, meski dia menjaga jarak untuk memberiku ruang. Namun, ada momen-momen kecil di mana aku bisa merasakan kehadirannya yang tulus. Misalnya, ketika dia membuatkan teh favoritku tanpa diminta, atau saat dia dengan lembut menepuk pundakku ketika aku terlihat lelah. Suatu sore, setelah selesai bekerja, aku menemukan sebuah amplop di mejaku. Aku mengenal tulisan tangannya—itu dari Juan. Dengan penasaran, aku membukanya dan membaca isi surat itu: "Dini, aku tahu perjalananmu tidak mudah. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku bangga padamu. Kau telah berani membuat keputusan yang sulit, dan itu menunjukkan betapa kuatnya dirimu. Jika suatu hari nanti kau siap untuk memulai lagi, aku
Pagi itu, suasana rumah terasa sunyi. Dean masih tertidur lelap di kamarnya, dan Mira sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Aku duduk di teras belakang sambil menyeruput teh hangat, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kalut. Percakapan dengan Mira kemarin terus menghantui pikiranku. Aku merasa semakin sulit menyembunyikan perasaan yang perlahan tumbuh dalam diriku. Juan adalah orang yang selalu ada di saat aku membutuhkan, tapi aku takut membiarkan perasaan ini berkembang lebih jauh. Aku tahu, jika aku memilih untuk dekat dengannya, itu akan membawa banyak konsekuensi. Orang-orang mungkin akan berbicara, dan aku tidak ingin Dean atau Juan sendiri menjadi sasaran gosip. Saat aku sedang melamun, Juan tiba-tiba muncul di teras, membawa dua cangkir kopi. Dia tersenyum saat melihatku. "Pagi yang tenang, ya?" Aku tersentak sedikit, tapi berusaha tersenyum. "Iya, Pak. Terasa lebih sejuk pagi ini." Dia menyerahkan secangkir kopi padaku, lalu duduk di kursi di sebela
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah percakapan itu. Hubunganku dengan Juan menjadi lebih tenang, lebih nyaman. Kami tidak lagi canggung seperti sebelumnya, meski masih menjaga jarak agar tidak mengundang perhatian orang lain, terutama Mira. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak semudah itu untuk pergi. Sandi masih terus mencoba menghubungiku, mengirim pesan dan bahkan datang ke rumah Juan saat aku tidak ada. Juan tidak pernah memberitahuku secara langsung, tapi Mira beberapa kali melihatnya berbicara dengan Sandi di depan gerbang. Aku tahu Sandi tidak akan menyerah semudah itu. Aku paham bagaimana manipulatifnya dia, dan itu membuatku merasa tidak tenang. *** Suatu sore, saat aku sedang membaca buku di kamar, Mira mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Mbak Dini, tadi ada tamu yang nyari Mbak," katanya. Aku langsung tahu siapa yang dia maksud. "Sandi lagi?" tanyaku dengan nada lelah. Mira mengangguk. "Iya, Mbak. Tapi tadi Pak Juan yang nemuin dia di depan. Mereka ng
Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”
Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se
Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia