Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap surat perjanjian yang tadi baru saja kubaca di ruang kerja Juan. Kata-katanya terus terngiang di pikiranku—"Aku hanya ingin kau bahagia." Kata-kata itu terdengar tulus, namun bagiku juga menakutkan. Bukan karena aku tidak percaya pada Juan, tapi karena aku tidak tahu apakah aku mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain saat diriku sendiri masih penuh dengan luka. Dean bergerak kecil di tempat tidurnya, napasnya terdengar teratur dalam tidur yang lelap. Aku menyentuh rambutnya perlahan, mencoba menemukan ketenangan di tengah kekacauan pikiranku. Aku menghela napas panjang. Aku harus membuat keputusan. Aku tidak bisa terus hidup dengan kebimbangan ini, baik untuk diriku sendiri maupun untuk Dean. *** Keesokan paginya, aku menyiapkan sarapan di ruang makan. sedangkan Juan duduk tenang sambil menyeruput secangkir teh. Aku sudah bangun lebih awal seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk ka
Hari-hari setelah keputusan besarku terasa lebih ringan, meskipun bayang-bayang masa lalu masih terkadang menyelinap di pikiranku. Aku mencoba fokus pada pekerjaanku dan Dean, mengabaikan pesan-pesan Sandi yang sesekali masih datang meski aku sudah menegaskan semuanya. Juan tetap menjadi sosok yang mendukungku, meski dia menjaga jarak untuk memberiku ruang. Namun, ada momen-momen kecil di mana aku bisa merasakan kehadirannya yang tulus. Misalnya, ketika dia membuatkan teh favoritku tanpa diminta, atau saat dia dengan lembut menepuk pundakku ketika aku terlihat lelah. Suatu sore, setelah selesai bekerja, aku menemukan sebuah amplop di mejaku. Aku mengenal tulisan tangannya—itu dari Juan. Dengan penasaran, aku membukanya dan membaca isi surat itu: "Dini, aku tahu perjalananmu tidak mudah. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku bangga padamu. Kau telah berani membuat keputusan yang sulit, dan itu menunjukkan betapa kuatnya dirimu. Jika suatu hari nanti kau siap untuk memulai lagi, aku
Pagi itu, suasana rumah terasa sunyi. Dean masih tertidur lelap di kamarnya, dan Mira sudah pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Aku duduk di teras belakang sambil menyeruput teh hangat, mencoba menenangkan pikiran yang semakin kalut. Percakapan dengan Mira kemarin terus menghantui pikiranku. Aku merasa semakin sulit menyembunyikan perasaan yang perlahan tumbuh dalam diriku. Juan adalah orang yang selalu ada di saat aku membutuhkan, tapi aku takut membiarkan perasaan ini berkembang lebih jauh. Aku tahu, jika aku memilih untuk dekat dengannya, itu akan membawa banyak konsekuensi. Orang-orang mungkin akan berbicara, dan aku tidak ingin Dean atau Juan sendiri menjadi sasaran gosip. Saat aku sedang melamun, Juan tiba-tiba muncul di teras, membawa dua cangkir kopi. Dia tersenyum saat melihatku. "Pagi yang tenang, ya?" Aku tersentak sedikit, tapi berusaha tersenyum. "Iya, Pak. Terasa lebih sejuk pagi ini." Dia menyerahkan secangkir kopi padaku, lalu duduk di kursi di sebela
Hari-hari berlalu dengan cepat setelah percakapan itu. Hubunganku dengan Juan menjadi lebih tenang, lebih nyaman. Kami tidak lagi canggung seperti sebelumnya, meski masih menjaga jarak agar tidak mengundang perhatian orang lain, terutama Mira. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak semudah itu untuk pergi. Sandi masih terus mencoba menghubungiku, mengirim pesan dan bahkan datang ke rumah Juan saat aku tidak ada. Juan tidak pernah memberitahuku secara langsung, tapi Mira beberapa kali melihatnya berbicara dengan Sandi di depan gerbang. Aku tahu Sandi tidak akan menyerah semudah itu. Aku paham bagaimana manipulatifnya dia, dan itu membuatku merasa tidak tenang. *** Suatu sore, saat aku sedang membaca buku di kamar, Mira mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Mbak Dini, tadi ada tamu yang nyari Mbak," katanya. Aku langsung tahu siapa yang dia maksud. "Sandi lagi?" tanyaku dengan nada lelah. Mira mengangguk. "Iya, Mbak. Tapi tadi Pak Juan yang nemuin dia di depan. Mereka ng
Dini memandangnya dengan tatapan penuh kebencian. Tapi dia tahu Sandi tidak akan mundur. Dia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Baik, aku akan menebus sertifikat itu. Tapi dengarkan aku, Sandi. Begitu kau tanda tangani surat ini, kau tidak akan pernah meminta apa pun lagi dariku. Kau mengerti?" Sandi tersenyum lebar, merasa menang. "Tentu saja, Dini. Kau punya kata-kataku." Dini berdiri dengan tegas, meraih surat perceraian itu kembali. "Kata-katamu tidak berarti apa-apa, Sandi. Aku hanya ingin ini selesai." *** Setelah pertemuan itu, Dini langsung kembali ke rumah Juan. Dia duduk di ruang tamu, memandangi kertas kosong sambil menghitung-hitung tabungannya. Uang 18 juta bukanlah angka yang kecil, bahkan jika dia memotong sebagian dari simpanannya selama ini. Juan yang baru saja pulang kerja mendapati Dini terlihat cemas. Dia meletakkan jasnya di sofa dan duduk di depannya. "Apa yang terjadi, Dini? Kau terlihat gelisah." Dini menghela napas, lalu m
Hari-hari setelah perceraian resmi Dini dan Sandi terasa seperti awal baru yang perlahan membawa napas lega. Tapi, luka yang ditinggalkan oleh masa lalu masih terasa. Dini berusaha sibuk dengan pekerjaan di rumah Juan, sementara Juan terus menunjukkan perhatian dan dukungan yang tak henti-henti. Suatu pagi, Dini sedang menyapu halaman depan. Matahari yang hangat menyinari wajahnya, namun pikirannya tetap berkelana ke berbagai kenangan pahit yang kini berusaha dia tinggalkan. "Dini," suara Juan memanggilnya dari arah pintu rumah. Dini menoleh, mendapati Juan berdiri dengan tangan di saku celana dan tatapan serius. "Ada apa, Pak?" tanyanya sopan, meski ada rasa gugup yang selalu hadir setiap kali mereka bicara. Juan mendekat, lalu berkata dengan lembut, "Aku ingin kau ikut denganku hari ini. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan." Dini mengerutkan kening. "Ke mana, Pak? Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan..." "Tidak usah khawatir. Mira bisa menyelesaikan semuanya hari in
Hari-hari setelah kejadian di bukit terasa berbeda bagi Dini. Setiap kali dia melihat Juan, perasaannya bercampur aduk. Ada kehangatan yang tak bisa dia abaikan, namun juga rasa takut akan masa lalu yang masih menghantuinya. Pagi itu, Dini sedang sibuk menyapu ruang tamu ketika Juan masuk dengan membawa tumpukan dokumen. Dia terlihat serius, namun saat matanya bertemu dengan Dini, senyuman tipis menghiasi wajahnya. "Dini," panggilnya. Dini menghentikan sapuannya, menegakkan tubuh. "Iya, Pak Juan?" Juan berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depannya. "Aku ingin kita bicara. Ada hal yang harus kita selesaikan." Dini merasa gugup, tetapi dia mengangguk. "Tentu, Pak. Tentang apa?" Juan mengisyaratkan agar dia duduk di sofa. Ketika mereka duduk berhadapan, Juan menghela napas seolah-olah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang berat. "Aku tahu ciuman itu mungkin membuatmu bingung," katanya, suaranya lembut namun tegas. Dini menunduk, wajahnya memerah.
Beberapa bulan setelah perceraian dengan Sandi, kehidupan Dini perlahan mulai membaik. Dia masih bekerja di rumah Juan, dan hubungan mereka semakin erat meskipun belum ada pernyataan yang jelas. Dini menikmati ketenangan yang mulai ia rasakan, meskipun ada satu hal yang membuatnya penasaran—ke mana perginya Sandi dan Bu Marlinah? Sandi tidak pernah lagi menghubunginya setelah menandatangani surat perceraian, dan Bu Marlinah pun tak pernah lagi muncul. Awalnya, Dini berpikir mereka hanya ingin menjauh darinya, tapi suatu malam, semuanya berubah. Ponselnya bergetar saat dia sedang melipat pakaian di kamarnya. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat—**Sandi**. Dini ragu untuk mengangkatnya, tapi akhirnya dia menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya sedikit gemetar. "Dini..." Suara Sandi terdengar lebih pelan dari biasanya. "Ibu sakit keras." Dini mengernyit. "Apa?" "Ibu ingin bertemu denganmu... sebelum terlambat," lanjut Sandi de
Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju
Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”
Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se
Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia