Perjodohannya batal karena calon suami yang hendak Andina nikahi satu jam lagi, ternyata sudah menghamili adiknya sendiri. Ditengah rasa sakit dan kecewa yang tengah menghajarnya, Andina harus terima sekali lagi dijodohkan. Bramasta Narendra, om dari mantan calon suami Andina adalah laki-laki yang disodorkan keluarga untuk dia nikahi. Duda dua kali dan seorang pengangguran sukses kalau kata orang. Lantas bagaimana kisah mereka? Apakah Andina akan bahagia atau harus kembali menelan kecewa?
View More"Kamu nggak bisa lanjutin pernikahan ini, Kak!"
Andina yang tengah dirias sontak menoleh ke sumber suara. Gadis itu menatap Tamara, adik dari pernikahan kedua papanya itu muncul di depan pintu kamar dengan mata sembab dan kondisi berantakan. “Kamu kenapa, Tam?” tanya Andina, terdengar terkejut, Gadis itu langsung bangkit dan menghampiri sang adik, meninggalkan perias yang tadinya tengah memulas lipstik. “Apa yang terja–” "Aku hamil! Ada anak Ken di dalam perut aku!" potong Tamara. “Jadi Kakak tidak boleh menikahi pria itu.” Apa? Informasi itu membuat Andina tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ha-hamil?" Suara Andina tercekat. Ia pasti salah dengar, kan? Bagaimana mungkin calon suami yang akan menikah dengannya hari ini telah menghamili wanita lain? Dan lagi, adik tirinya sendiri? Apa ini lelucon? Tidak mungkin mereka tega padanya, kan? Sayangnya, Tamara mengangguk. "Iya. Aku hamil,” jawabnya tegas. “Dan Kenneth adalah ayah dari janin dalam kandungan aku, Kak." "Nggak! Ini nggak mungkin!" Andina menolak, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apanya yang nggak mungkin?” balas Tamara. “Ken memang tidur denganku! Dan sudah dua bulan ini aku tidak haid. Nih, buktinya kalau kamu masih menyangkal.” Tamara menyodorkan alat tes kehamilan ke wajah Andina yang masih tampak syok. Calon pengantin itu menerima benda lonjong berwarna putih yang disodorkan kepadanya, menatap dua garis merah yang terpampang nyata. Ini … Tamara benar-benar hamil. “Tapi, tidak mungkin Ken–” "Aku mau kamu batalkan pernikahan ini,” sela Tamara. Sekalipun matanya tampak sembab, ia tengah menatap Andina dengan pandangan tajam. “Ken harus menikahiku karena aku mengandung calon anaknya!" “Tapi, Tam. Pernikahanku–” “Kak, jangan egois. Kamu tega anak ini tidak punya ayah?” Andina mengangkat wajah, pandangannya buram oleh bayangan air mata. Otaknya buntu. Ia tidak bisa berpikir dan dadanya terasa sesak sekali sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa mereka tengah menjadi tontonan tim perias pengantin. "An ... ayo. Setengah jam lagi kita sudah harus sampai di gedung–ada apa?" Andina tersentak saat Tamara merebut kembali alat tes kehamilan dari tangannya dan menyerahkannya pada sang nenek yang baru saja masuk ke ruangan. “Kak Andina tidak akan menikah hari ini,” tegas Tamara. “Tam!” "Apa maksudnya?” bentak sang nenek. “Dan .. testpack punya siapa ini? Dan dengan siapa!?” *** "Tidak ada jalan lain. Ken harus menikahi Tamara." Andina memejamkan mata erat-erat begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Saat ini, dua keluarga inti yang seharusnya sudah melangsungkan pernikahan dan menjadi besan tengah berkumpul di ruang ganti. Tidak jauh dari tempat Andina duduk, Tamara sedang dirias di depan cermin besar, tempat yang tadinya diduduki oleh Andina. Bahkan adik tirinya itu sudah memakai gaun yang seharusnya dikenakan oleh Andina untuk acara pemberkatan nanti. Bukan hanya mengambil tunangannya, wanita itu juga merampas semuanya dari Andina dalam sekejap. “Aku setuju.” Ibu Tamara, mama tiri Andina, ikut bersuara. Wanita bersanggul tinggi itu sekilas mendelik ke arah Andina. “Memang Tamara yang harus menikah hari ini. Toh dia hamil anak Kenneth. Otomatis mereka saling menyukai juga, kan?” Andina menyadari bahwa kenyataan bahwa calon suaminya sudah berselingkuh di belakang Andina hingga menghamili wanita lain tidak diucapkan terang-terangan oleh ibu tirinya. “Kami paham,” balas ayah Kenneth, mantan calon mertua Andina, membuat dada Andina makin sesak. “Kami juga tidak ingin membiarkan Tamara merawat bayi itu sendirian. Memang sudah seharusnya mereka menikah. Saya rasa ini adalah keputusan yang baik.” Helaan napas berat terdengar dari sisi kiri Andina. Tak lama, sebuah tangan penuh keriput terulur meraih tangan Andina dan meremasnya dengan lembut. Sebuah hal kecil dan sederhana dari sang nenek yang tampak ingin menguatkan Andina. Namun, hal itu justru membuat tangis Andina lantas pecah. Air mata kembali turun di pipinya, tetapi ia tahan kuat-kuat agar isaknya tidak keluar. "Tapi,” ucap sang nenek kemudian. “Bagaimana dengan Andina." “Aduh, Ma. Andina nggak kenapa-kenapa,” sahut Sandra, ibu tiri Andina. “Kenapa jadi mikirin Andina? Dia nggak hamil. Tamara yang hamil dua bulan." Hati Andina terasa diremas-remas mendengar kalimat itu keluar dan menggema di ruangan. Siapa bilang Andina tidak kenapa-kenapa? Hatinya teramat sakit sekarang ini! Dia sudah mengalah, patuh dan membesarkan hati untuk menerima perjodohan yang neneknya lakukan dengan nenek Kenneth waktu itu, hingga perlahan ia membuka hati dan menerima untuk dinikahkan dengan Kenneth. Namun, di saat dia sudah bisa berdamai dan menerima semuanya, bahkan mulai menyukai pria itu, Andina harus dihantam dengan pengkhianatan yang dilakukan calon suami dan adiknya sendiri. Bagaimana bisa mulut ibu tirinya itu mengatakan bahwa Andina baik-baik saja? Andina jauh dari kata baik-baik saja! "Benar apa kata Sandra, Ma,” imbuh ayah Andina. “Sekarang fokus kita ke Tamara dulu. Sebelum perutnya membesar, dia sudah harus berada dalam satu ikatan pernikahan dengan Kenneth. Semua demi nama baik keluarga, Ma." Nama baik keluarga? Andina meremas-remas ujung bajunya. Jadi demi nama baik keluarga, Andina yang harus dikorbankan begini? Padahal ia juga anak ayah, tapi kenapa sikap ayah pada dirinya tidak ada bedanya dibanding perlakuan Sandra pada Andina? Rasanya Andina ingin mengeluarkan semua argumen dan sumpah serapahnya untuk masalah ini. Namun, tenaganya seperti sudah habis. Andina sama sekali tidak berselera mengucapkan sepatah kata pun. "Saya sudah perintahkan asisten saya untuk mengubah data mempelai wanita dan menyesuaikan inisial nama di backdrop dekor pelaminan,” ucap ayah Andina lagi. “Semua foto prewedding Andina dan Ken juga sudah diturunkan." "Bagus! Kalau semua sudah siap, mari kita segera berangkat." Andina kembali menundukkan wajah. Ia sama seperti tidak dianggap ada dalam ruangan ini. Tidak ada seorang pun yang bersimpati kepadanya kecuali sosok yang berada di masing-masing kanan dan kiri Andina. "Oma tahu bagaimana sakitnya hati kamu, An," bisik suara itu lembut. "Kuat, ya? Kamu anak yang baik, mungkin Kenneth memang bukan jodoh yang terbaik buat kamu. Maafkan Oma, An." Andina memaksakan diri tersenyum pada sosok itu. Ia menyeka air matanya yang tak kuasa ia bendung, lalu dengan perlahan menganggukkan kepalanya. "Kenapa jadi minta maaf, Oma? Oma nggak salah. Ini sama sekali bukan karena Oma,” ucap Andina. Suaranya lirih, tapi ia mengucapkannya dengan senyum tipis untuk menenangkan sosok itu. “Lagi pula,” imbuh Andina. “Andina bersyukur nggak jadi nikah hari ini. Coba kalau Andina nikah hari ini, lalu Tamara baru datang saat Andina sudah nikah dengan Ken. Bukankah itu akan lebih sakit?" Andina mencoba tampak dan terdengar baik-baik saja, sekalipun tampaknya ia tidak bisa menipu Oma dan Eyang, nenek Kenneth, yang duduk di sisi satunya. “Kamu … semisal menikah dengan putra bungsu Eyang bagaimana?”"Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments