"Kamu nggak bisa lanjutin pernikahan ini, Kak!"
Andina yang tengah dirias sontak menoleh ke sumber suara. Gadis itu menatap Tamara, adik dari pernikahan kedua papanya itu muncul di depan pintu kamar dengan mata sembab dan kondisi berantakan. “Kamu kenapa, Tam?” tanya Andina, terdengar terkejut, Gadis itu langsung bangkit dan menghampiri sang adik, meninggalkan perias yang tadinya tengah memulas lipstik. “Apa yang terja–” "Aku hamil! Ada anak Ken di dalam perut aku!" potong Tamara. “Jadi Kakak tidak boleh menikahi pria itu.” Apa? Informasi itu membuat Andina tercengang, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ha-hamil?" Suara Andina tercekat. Ia pasti salah dengar, kan? Bagaimana mungkin calon suami yang akan menikah dengannya hari ini telah menghamili wanita lain? Dan lagi, adik tirinya sendiri? Apa ini lelucon? Tidak mungkin mereka tega padanya, kan? Sayangnya, Tamara mengangguk. "Iya. Aku hamil,” jawabnya tegas. “Dan Kenneth adalah ayah dari janin dalam kandungan aku, Kak." "Nggak! Ini nggak mungkin!" Andina menolak, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Apanya yang nggak mungkin?” balas Tamara. “Ken memang tidur denganku! Dan sudah dua bulan ini aku tidak haid. Nih, buktinya kalau kamu masih menyangkal.” Tamara menyodorkan alat tes kehamilan ke wajah Andina yang masih tampak syok. Calon pengantin itu menerima benda lonjong berwarna putih yang disodorkan kepadanya, menatap dua garis merah yang terpampang nyata. Ini … Tamara benar-benar hamil. “Tapi, tidak mungkin Ken–” "Aku mau kamu batalkan pernikahan ini,” sela Tamara. Sekalipun matanya tampak sembab, ia tengah menatap Andina dengan pandangan tajam. “Ken harus menikahiku karena aku mengandung calon anaknya!" “Tapi, Tam. Pernikahanku–” “Kak, jangan egois. Kamu tega anak ini tidak punya ayah?” Andina mengangkat wajah, pandangannya buram oleh bayangan air mata. Otaknya buntu. Ia tidak bisa berpikir dan dadanya terasa sesak sekali sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa mereka tengah menjadi tontonan tim perias pengantin. "An ... ayo. Setengah jam lagi kita sudah harus sampai di gedung–ada apa?" Andina tersentak saat Tamara merebut kembali alat tes kehamilan dari tangannya dan menyerahkannya pada sang nenek yang baru saja masuk ke ruangan. “Kak Andina tidak akan menikah hari ini,” tegas Tamara. “Tam!” "Apa maksudnya?” bentak sang nenek. “Dan .. testpack punya siapa ini? Dan dengan siapa!?” *** "Tidak ada jalan lain. Ken harus menikahi Tamara." Andina memejamkan mata erat-erat begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayahnya. Saat ini, dua keluarga inti yang seharusnya sudah melangsungkan pernikahan dan menjadi besan tengah berkumpul di ruang ganti. Tidak jauh dari tempat Andina duduk, Tamara sedang dirias di depan cermin besar, tempat yang tadinya diduduki oleh Andina. Bahkan adik tirinya itu sudah memakai gaun yang seharusnya dikenakan oleh Andina untuk acara pemberkatan nanti. Bukan hanya mengambil tunangannya, wanita itu juga merampas semuanya dari Andina dalam sekejap. “Aku setuju.” Ibu Tamara, mama tiri Andina, ikut bersuara. Wanita bersanggul tinggi itu sekilas mendelik ke arah Andina. “Memang Tamara yang harus menikah hari ini. Toh dia hamil anak Kenneth. Otomatis mereka saling menyukai juga, kan?” Andina menyadari bahwa kenyataan bahwa calon suaminya sudah berselingkuh di belakang Andina hingga menghamili wanita lain tidak diucapkan terang-terangan oleh ibu tirinya. “Kami paham,” balas ayah Kenneth, mantan calon mertua Andina, membuat dada Andina makin sesak. “Kami juga tidak ingin membiarkan Tamara merawat bayi itu sendirian. Memang sudah seharusnya mereka menikah. Saya rasa ini adalah keputusan yang baik.” Helaan napas berat terdengar dari sisi kiri Andina. Tak lama, sebuah tangan penuh keriput terulur meraih tangan Andina dan meremasnya dengan lembut. Sebuah hal kecil dan sederhana dari sang nenek yang tampak ingin menguatkan Andina. Namun, hal itu justru membuat tangis Andina lantas pecah. Air mata kembali turun di pipinya, tetapi ia tahan kuat-kuat agar isaknya tidak keluar. "Tapi,” ucap sang nenek kemudian. “Bagaimana dengan Andina." “Aduh, Ma. Andina nggak kenapa-kenapa,” sahut Sandra, ibu tiri Andina. “Kenapa jadi mikirin Andina? Dia nggak hamil. Tamara yang hamil dua bulan." Hati Andina terasa diremas-remas mendengar kalimat itu keluar dan menggema di ruangan. Siapa bilang Andina tidak kenapa-kenapa? Hatinya teramat sakit sekarang ini! Dia sudah mengalah, patuh dan membesarkan hati untuk menerima perjodohan yang neneknya lakukan dengan nenek Kenneth waktu itu, hingga perlahan ia membuka hati dan menerima untuk dinikahkan dengan Kenneth. Namun, di saat dia sudah bisa berdamai dan menerima semuanya, bahkan mulai menyukai pria itu, Andina harus dihantam dengan pengkhianatan yang dilakukan calon suami dan adiknya sendiri. Bagaimana bisa mulut ibu tirinya itu mengatakan bahwa Andina baik-baik saja? Andina jauh dari kata baik-baik saja! "Benar apa kata Sandra, Ma,” imbuh ayah Andina. “Sekarang fokus kita ke Tamara dulu. Sebelum perutnya membesar, dia sudah harus berada dalam satu ikatan pernikahan dengan Kenneth. Semua demi nama baik keluarga, Ma." Nama baik keluarga? Andina meremas-remas ujung bajunya. Jadi demi nama baik keluarga, Andina yang harus dikorbankan begini? Padahal ia juga anak ayah, tapi kenapa sikap ayah pada dirinya tidak ada bedanya dibanding perlakuan Sandra pada Andina? Rasanya Andina ingin mengeluarkan semua argumen dan sumpah serapahnya untuk masalah ini. Namun, tenaganya seperti sudah habis. Andina sama sekali tidak berselera mengucapkan sepatah kata pun. "Saya sudah perintahkan asisten saya untuk mengubah data mempelai wanita dan menyesuaikan inisial nama di backdrop dekor pelaminan,” ucap ayah Andina lagi. “Semua foto prewedding Andina dan Ken juga sudah diturunkan." "Bagus! Kalau semua sudah siap, mari kita segera berangkat." Andina kembali menundukkan wajah. Ia sama seperti tidak dianggap ada dalam ruangan ini. Tidak ada seorang pun yang bersimpati kepadanya kecuali sosok yang berada di masing-masing kanan dan kiri Andina. "Oma tahu bagaimana sakitnya hati kamu, An," bisik suara itu lembut. "Kuat, ya? Kamu anak yang baik, mungkin Kenneth memang bukan jodoh yang terbaik buat kamu. Maafkan Oma, An." Andina memaksakan diri tersenyum pada sosok itu. Ia menyeka air matanya yang tak kuasa ia bendung, lalu dengan perlahan menganggukkan kepalanya. "Kenapa jadi minta maaf, Oma? Oma nggak salah. Ini sama sekali bukan karena Oma,” ucap Andina. Suaranya lirih, tapi ia mengucapkannya dengan senyum tipis untuk menenangkan sosok itu. “Lagi pula,” imbuh Andina. “Andina bersyukur nggak jadi nikah hari ini. Coba kalau Andina nikah hari ini, lalu Tamara baru datang saat Andina sudah nikah dengan Ken. Bukankah itu akan lebih sakit?" Andina mencoba tampak dan terdengar baik-baik saja, sekalipun tampaknya ia tidak bisa menipu Oma dan Eyang, nenek Kenneth, yang duduk di sisi satunya. “Kamu … semisal menikah dengan putra bungsu Eyang bagaimana?”“Kamu … semisal menikah dengan putra bungsu Eyang bagaimana?”Mata Andina membulat, sebelum kemudian ia tertawa sumbang. “Eyang, jangan bercanda,” ucap Andina. Ia menatap wanita tua yang duduk di sampingnya sejak tadi.Namun, Eyang menggeleng."Andina. Sebelumnya Eyang minta maaf, An,” ucap wanita tua itu. Beliau menggenggam tangan Andina lebih erat. “Dari saat kamu kecil, Eyang udah jatuh hati sama kamu. Kamu gadis yang baik, cantik, dan mandiri.” Eyang membawa tangan Andina ke pangkuannya dan menepuknya pelan sembari melanjutkan, “Apalagi kamu ditinggal mama kamu saat masih sekecil itu. Itu yang membuat Eyang pengen banget kamu jadi bagian dari keluarga Eyang. Jadi saat itu, Eyang putuskan untuk membuat perjanjian itu dengan Oma kamu, An. Agar kamu bisa masuk menjadi cucu Eyang."Andina membalas genggaman nenek mantan tunangannya tersebut. "Andina udah anggap Eyang Mar itu nenek sendiri. Jadi tidak perlu–""Nggak bisa gitu, An.” Eyang memotong kalimat Andina. “Bagaimanapun Eyang
Altar itu berhiaskan bunga mawar. Perpaduan warna pink dan putih sesuai dengan permintaan Andina. Dengan karpet merah yang membentang panjang dari pintu sampai altar. Semua penuh bunga kesukaan Andina, belum lagi singgasana mereka di acara resepsi nanti, semua sesuai permintaan Andina, namun sayang sekali, bukan dia yang nantinya menjadi ratu di pelaminan itu. Secara tidak langsung, Andina merancang pernikahan ini untuk Tamara! Merancang pernikahan untuk adik dan calon suaminya. "Kok bukan Andina?"Seketika Andina menunduk ketika bisik-bisik yang mencatut namanya itu terdengar. Ia berada di barisan kursi bagian tengah, di mana untuk acara pemberkatan pagi ini, ada banyak tamu yang hadir untuk menyaksikan. “Iya, nggak jadi dia yang nikah sama Ken. Tapi adiknya.”“Si Tamara?”"Iya. Gosipnya sih si Tamara udah isi.""HAH? Serius?"Meskipun bukan ia yang berbuat dosa, Andina tetap merasa malu saat mendengar celetukan-celetukan temannya tersebut. Karenanya, gadis itu makin dalam menunduk
“Bukankah seharusnya kamu bersyukur dibebaskan dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"Andina segera menyeka air mata. “Bukan karena itu, Om.” Gadis itu menjawab dengan suara pelan. Andina tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, hingga akhirnya ia diam saja sampai mereka tiba di area parkir. Rupanya Bram membawa Andina ke mobilnya, sebuah SUV yang tampak ‘murah’ untuk ukuran keluarga kaya raya seperti Narendra.“Kita mau ke mana, Om?” tanya Andina pada akhirnya. Sejak tadi, ia menurut saja pada pria ini tanpa tahu ia akan dibawa ke mana."Ada beberapa hal yang ini aku bicarakan denganmu." Pria itu menjawab singkat sembari membuka pintu mobilnya untuk Andina. “Silakan masuk, An.”Tanpa banyak bicara, Andina segera naik ke dalam mobil.Sejujurnya ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Bram secepat ini, setelah pagi tadi ide perjodohan lain tercetus di pertemuan keluarga.Karenanya, ia agak kikuk dalam bersikap.“Kamu sudah makan?” tanya Bram tiba-tiba.Andina menggel
"Jadi begitu?"Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama.Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi."Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku.
"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Siap?"Mereka sudah berdiri di depan pintu ruang inap Tamara, Andina menoleh ke arah Bram, mengangguk cepat lalu meraih knop pintu. Perlahan ia mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam dan berdiri mematung sembari menatap yang ada di sana. Baik Andina maupun Tamara sama-sama tertegun, mereka saling pandang sampai kemudian Tamara bangkit dari sofa dan berhambur memeluk Andina."Kenapa nangis?" Andina tak sadar bahwa di detik dia bertanya pada sang adik, dia pun tenah menitikkan air mata."Aku minta maaf, Kak. Aku udah banyak banget dosa sama kamu. Aku jahat, aku bukan adik yang baik. Demi apapun, tolong maafkan aku." desis suara itu bercampur tangis. Andina mengela napas panjang, dibiarkan air matanya menitik. Ia mengusap punggung Tamara, membawa wanita itu melangkah ke sofa yang ada di ruangan. Andina mendudukkan Tamara di sofa, mencengkeram lembut bahu sang adik sembari menatapnya dengan saksama."Kamu mau aku memaafkan mu?" tanya Andina tanpa memalingkan wajah. Bisa dia lihat T
"Tamara nungguin di sini aja, Pa. Boleh?"Hendra menghela napas panjang, hari ini Tamara sudah boleh pulang karena kondisinya sudah stabil, hanya saja untuk bayinya, dokter masih harus merawatnya secara intensif sampai kondisinya stabil dan bisa ikut dibawa pulang. "Kalau begitu, biar papa nego sama pihak rumah sakit untuk perpanjangan kamarmu."Mereka tidak pakai asuransi dan kamar yang mereka sewa bukan kamar komersil. Agaknya dari pihak rumah sakit tidak akan keberatan jika mereka memperpanjang sewa kamar sampai bayi Tamara bisa ikut pulang. "Terimakasih banyak, Pa." ucap Tamara dengan nada getir. Hendra tersenyum, ia melangkah mendekati anak bungsunya itu, menatap mata yang seketika memerah dan menitikkan air mata. Hendra tidak pernah mengira, bahwa Tamara yang sejak kecil selalu dia manjakan, harus bernasib semalang ini. "Kamu sudah tentukan keputusan-keputusan apa yang akan kamu ambil setelah ini?" sebuah obrolan dewasa yang terdengar sangat serius. Mendapat pertanyaan itu,
"Papa sangat bersyukur dan berterimakasih kamu sudah mau memaafkan papamu ini, An."Hendra melangkah keluar rumah, ditemani Bram dan Andina yang turut mengantarkan Hendra ke depan. Setelah bicara dari hati ke hati, Andina akhirnya luluh dan memilih untuk memaafkan semua. Ya ... semua yang sudah terjadi kecuali wanita jahat itu. Hati Andina sudah lebih tenang. Sakit yang dia rasakan sampai membuat sesak dada, kini sudah lenyap tak bersisa. "Andina tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi dulu, Pa. Lagi pun, semua sudah terjadi, apapun yang kita lakukan tidak akan bisa membuat semua balik lagi. Jadi berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan." ucap Andina dengan mata memerah. "Papa paham, An. Papa benar-benar bangga sama kamu. Kamu putri terbaik yang papa miliki, An."Dipuji begitu Andina hanya tersenyum getir, ia menghela napas panjang, memalingkan wajah sejenak untuk menyembunyikan air mata yang kembali mengambang. "Papa izin pamit, ya. Kalian ist
"Mama denger kakak nolak ajakan Ken buat berhubungan badan, Oma. Waktu itu malam hari, pas rumah sepi dan dia main ke rumah." Tamara mulai menceritakan petaka apa yang dia ciptakan sendiri kala itu. Sebuah petaka yang sungguh sangat dia sesali kini. "Mereka ribut, Ken terus pamit pulang. Dan setelah malam itu mama punya rencana buat nyingkirin kakak dari perjodohan itu."Mursiyati menghela napas panjang, tidak ada kemarahan di wajah itu. Toh mau marah pun tidak ada artinya sekarang. Tamara sudah mendapatkan hukuman dari apa yang sudah dia lakukan, jadi untuk apa marah? "Terus mulai kapan rencana mamamu jalan?" rasa penasaran Mursiyati masih besar, peristiwa itu sangat memalukan, ia tidak akan pernah lupa akan hari itu. "Seminggu setelahnya, waktu ulang tahun papa. Oma ingat kita undang Ken buat gabung makan malam?"Ingatan Mursiyati kembali pada masa itu. Ah benar! Ken ikut datang dan makan malam bersama mereka saat itu. Ia masuk kamar lebih dulu, jadi tidak tahu apa-apa saja yang
"Mengapa aku harus kesana?" tanya Andina dengan nada dingin. Wajah Sandra terus terbayang-bayang, membuat emosi Andina kembali bergejolak jika teringat apa yang sudah perempuan itu lakukan pada ibunya. "Bagaimanapun, kalian saudara kandung, An. Ibu kalian boleh beda, tapi asal mula kalian tetap satu, papa Hendra. Kalian dari sumber sperma yang sama." jelas Bram tanpa memalingkan wajah. Andina menghela napas panjang, matanya tiba-tiba memanas. Namun ia berusaha menahan semua perasaan yang mulai bergejolak memporak-porandakan dirinya. "Faktanya, dia yang tidak mau bersaudara denganku, Mas. Aku masih ingat dulu ... aku membawakan dia hasil kerajinan tangan dari sekolah yang aku buat khusus untuknya, kubelikan beberapa tangkai mawar untuk dia, tapi Mas tahu apa yang dia lakukan?"Andina menjeda ceritanya, melirik Bram yang pada saat yang sama tengah melirik juga ke arah Andina. "Biar ku tebak, dia tak mau menerima hadiah dari mu?"Andina tersenyum getir. "Dia terima vas berserta maw
'Mamamu yang menyebabkan kecelakaan itu, Tam. Dia yang membunuh mama Andina.'Dunia Tamara seolah terhenti seketika. Obrolan itu sudah berakhir beberapa saat yang lalu, namun tiap detail obrolan masih berdengung di telinga Tamara. Masalah apa lagi ini? Jadi bukan hanya Ken yang akan dipenjara, tetapi juga mamanya? Lalu bagaimana hidup Tamara selanjutnya? Setelah ini dia harus bagaimana? "Tam ... ngelamun?" Tamara tersentak, Hendra tersenyum getir, ia datang membawa kotak pizza dan sushi yang sama, seperti yang dia pesan untuk Tamara tadi."Kamu tadi belum jadi makan, kan? Ayo sekarang makan." Hendra membuka kotak pizza, menyodorkan tepat di depan Tamara. Melihat bagaimana Hendra men-treat dirinya, Tamara kontan menitikkan air mata. Hatinya yang kalut dan kacau mendadak berubah sedikit lebih tenang, ia masih punya Hendra dan laki-laki ini adalah orang yang mencintai Tamara tanpa syarat, tanpa batas waktu berakhir. "Aku nggak lapar, Pa. Nggak napsu mau makan." jawab Tamara yang hany
"Rahasia apa lagi yang kalian tutupi dari aku?"Selera makan Tamara lenyap seketika, ia yakin masih ada yang ditutupi darinya, oleh karena itu ia mencecar empat orang yang duduk di sekeliling bed. Ada Mur yang baru saja datang beberapa saat yang lalu, bisa Tamara lihat neneknya itu terkejut, mungkin dia juga baru tahu, berbeda dengan tiga orang yang lain. Tamara merasa tubuhnya begitu ringan. Ia kehilangan semangat dan apapun itu. Bisa dibayangkan, kamu yang belum menerima kenyataan bahwa suamimu bangkrut dan semua aset disita, berikut milik mertuamu, lalu mendadak harus melahirkan lebih awal, masih ditambah mendapat kenyataan bahwa suamimu ternyata menghamili wanita lain dan harus berhadapan dengan hukum. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Tamara saat ini? "Lebih baik kamu istirahat dulu, Tam. Kamu butuh banyak istirahat setelah apa yang terjadi." Mar tersenyum kikuk, sangat ketara sekali bahwa dia ingin mengalihkan pembicaraan. "Nggak bisa gitu, Eyang! Aku yakin masih ada yang d
"Jangan dicabut lagi, ya? Kecuali nanti dokter yang suruh." Hendra berbisik, infus sudah kembali terpasang di tempatnya, sementara Tamara, ia masih berada dalam pelukan Hendra, terisak dengan nada lirih. "Sudah tenang? Papa nunggu kamu cerita, Tam."Walau sebenarnya Hendra sudah tahu semua masalah yang bahkan Tamara mungkin belum tahu, tapi tentu dia perlu berpura-pura pada awalnya. Mendadak kalimat Andina kembali terngiang-ngiang di kepala.'Aku yang dapat karmanya, Pa! Aku yang harus nanggung semua dosa Papa!'Apakah mungkin bukan hanya Andina yang harus menanggung karma dan dosa atas apa yang dulu Hendra lakukan? Rasanya Hendra ingin bunuh diri! Bagaimana tidak, dua anak gadisnya sedang sama-sama hancur seperti ini! Rasanya hati Hendra remuk redam, rasanya benar-benar sakit luar biasa! Tapi kalau Hendra bunuh diri, lalu bagaimana dengan nasib anak-anaknya? Lebih tepatnya Tamara. Dengan kondisi mertua yang bangkrut, suami tersandung permasalahan hukum sepelik ini yang bahkan sudah
Mata Tamara berbinar cerah melihat kotak berisi sushi kenamaan itu sudah berada di meja kecil dipangkuannya. Bukan hanya sushi, tapi juga satu pan mini pizza lengkap dengan fusili kesukaan Tamara. Ada rasa haru menyeruak di hati Tamara. Papanya selalu ingat apa-apa saja yang dia suka dan tak peduli kini dia sudah menjadi seorang ibu, Hendra tetap menganggapnya putri kecil dan selalu memanjakan Tamara. "Habiskan, oke?" Hendra mengacak rambut Tamara dengan gemas, membuat Tamara mencebik dan menatap papanya itu dengan penuh bahagia. "Oke! Siapa takut?" tantang Tamara yang mulai meraih sumpit dan mengambil varian sushi yang ingin ia makan untuk pertama kali. Nasi yang digulung dengan isian salmon dan pepaya serta taburan tobiko ditepiannya adalah varian yang Tamara pilih. Lidahnya sudah begitu rindu citarasa ini. Tamara memejamkan mata ketika ia mengunyah makanan itu pertama kali. Rasa bahagianya meledak-ledak, ia tersenyum sembari satu tangannya meraih ponsel, hendak memotret makanann