Share

BAB 6 Hari Andina

"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang.

"Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi.

Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua.

"Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?"

Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah.

"Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik.

"Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat.

"Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.

"Harusnya kamu sadar diri, Kak! Lihat penampilanmu! Norak! Cupu! Kampungan! Jangan sa--."

"STOP!" Potong Andina keras. "Apakah tujuan hidupmu hanya untuk mengusikku? Perlu aku tekankan aku tidak pernah mengusik atau menganggu urusan pribadimu. Jadi tolong hentikan mulutmu sebelum kesabaranku habis!"

Bukannya takut, Tamara malah tertawa dengan nada mengejek. Ia melipat dua tangan di dada, melayangkan tatapan merendahkan ke arah sang kakak.

"Kamu berani mengancamku? Siapa kamu? Kamu pikir dengan menikah dengan lelaki pengangguran itu, lantas kamu punya power untuk melawanku?" Tanyanya dengan nada sombong. "Kamu memang masuk jadi anggota keluarga Narendra, tapi lihat siapa suami kamu? Apa yang bisa kamu banggakan dari laki-laki model om Bram begitu?"

"Kamu tidak banyak tahu, jadi tidak perlu banyak bicara!" Sanggah Andina yang sudah berada di batas kesabaran.

"Oh membela calon suami? Ti--."

"Perlu aku ingatkan kamu sedang hamil, jadi tolong jaga ucapan dan kelakuanmu. Sekarang bisa pergi dari sini?" Potong Andina berusaha tetap berpikir jernih. Ia harus menjauhi konflik dengan adiknya ini.

Sudah beberapa kali mereka berkonflik. Semuanya tidak memberikan keuntungan dan keadilan apapun bagi Andina tak peduli Tamaralah yang memulai duluan.

Mata Tamara membulat, ia tertawa sumbang dengan ekspresi yang sangat menyebalkan. Dan tanpa berkata-kata lagi, ia melangkah keluar meninggalkan Andina dalam ruangan itu.

Sepeninggal Tamara, Andina hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali. Tak peduli siapa pengantin laki-lakinya, hari ini adalah hari besar Andina. Setelah hari besarnya yang lain terenggut dan ia hanya mendapatkan luka dan rasa malu, Andina tidak ingin mengacaukan hari ini! Tidak sama sekali!

"Oma lihat Tamara keluar dari sini, apalagi yang dia lakukan, An?"

Andina terkejut, bisa dia lihat neneknya sudah muncul dari depan pintu kamar. Andina tersenyum kecut, sebenarnya tanpa harus bertanya, neneknya sudah tahu apa jawaban dari pertanyaannya barusan.

"Apa lagi memang, Oma? Oma kayak nggak kenal aja sama cucu Oma yang satu itu."

Oma menganggukkan kepala. Terlihat sekali bahwa dia tidak ingin memperpanjang masalah. Ia segera menghampiri Andina, menempuk lembut pundak Andina sambil tersenyum simpul.

"Akhirnya hari ini kamu menikah, An. Terimakasih sudah menerima pinangan Eyang Mar. Kamu benar-benar anak yang baik." Puji Oma tulus.

"Bukankah aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya, Oma?" Tanya Andina sarkas, ia lantas tertawa lirih, rasanya tidak adil memang, tapi bisa apa?

Oma hanya tersenyum, ia menggenggam tangan Andina lalu membawanya melangkah keluar. Tidak ada acara di hotel, semua persiapan hanya dari rumah. Pemberkatan di gereja dan perayaan untuk kedua belah pihak keluarga di salah satu vila milik keluarga Narendra.

"Oma bisa pastikan kamu tidak akan pernah menyesal, An. Kamu akan bahagia." Bisik Oma sembari membawa Andina menuruni anak tangga.

"Oma tentu tidak lupa dengan taruhan yang Oma tempo lalu janjikan, bukan?" Tanya Andina mengingatkan.

"Tentu tidak!" Tegas Oma mantap. "Kebun teh di Karanganyar akan jatuh ke tanganmu, An. Dan tidak akan ada lagi perjodohan yang akan Oma paksakan padamu, dengan siapapun itu. Apakah itu belum cukup?"

***

"Anak ayah cantik sekali." Desis Hendra dengan mata berkaca-kaca.

"Benarkah? Bukankah hanya Tamara anak ayah yang paling cantik?" Sengaja Andina menyindir, meskipun sebenarnya ini bukan waktu yang tepat.

Hendra tersenyum getir, ia membaca sorot mata terluka yang Andina tujukan padanya. Hendra tahu semua ini tidak adil, tapi dia bisa apa? Dia berada di bawa tekanan ibu dan istrinya!

"Kamu cantik, An! Sangat cantik seperti almarhumah bundamu."

Mendengar nama itu disebut, mata Andina memanas. Bayangan wajah cantik dalam foto yang selalu dia pandangi sebelum tidur kembali berkelebat. Apakah di atas sana mamanya bahagia?

"Sudah saatnya, An!" Bisik Hendra yang seketika menghilangkan bayangan cantik itu dari pikiran Andina.

Andina mengangguk, ia mencengkeram kuat buket bunga dalam genggamannya. Satu tangannya ia tautkan pada lengan Hendra. Ian menghela napas panjang, mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan sakral itu.

Benarkah Andina akan bahagia setelah ini?

Perlahan Andina melangkah beriringan dengan langkah kaki sang ayah. Dadanya bergemuruh. Ada perasaan haru dan pedih yang bergejolak menjadi satu. Entah bagaimana Andina mendiskripsikan, yang jelas hari ini jantungnya berdebar-debar dua kali lebih cepat dalam setiap waktu.

Ketika mereka masuk ke dalam ruangan penuh dengan bunga, Andina menundukkan wajah. Ia sama sekali tidak berani menatap apapun kecuali gaun yang bergerak seiring langkah kakinya beradu.

"Nah Bram, Ayah titip anak gadis Ayah, ya?" Ucap Hendra yang membuat air mata Andina rasanya ingin tumpah.

"Jangan khawatir, Ayah ... Bram janji akan jaga Andina seperti Ayah jaga dia selama ini." Suara itu terdengar begitu tenang dan mantab.

Andina sedikit terkejut ketika tangannya diraih oleh Hendra, digenggam sesaat lalu kemudian disatukan dengan tangan itu. Saat inilah Andina mengangkat wajahnya, menatap sosok itu dari balik veil yang menutupi kepala sampai depan dada.

Bram nampak gagah seperti biasa dengan setelan jas yang membukus tubuh. Dia sudah terbiasa dengan pakaian itu, namun entah mengapa untuk hari ini, pesona lelaki itu nampak lain.

Wajahnya yang biasanya selalu bersih, hari ini nampak bersih dan bersinar. Entah hanya Andina yang merasa seperti itu atau bagaimana, namun inilah yang dia lihat detik ini.

"Sudah siap, An?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status