Share

BAB 7 Niat Sandra

"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"

Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina.

"Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih.

"Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"

Kini nama suami Andina disebut.

"A-aku--."

"Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?"

Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak.

"Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--."

"Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu masih lontang-lantung jadi pengangguran? Untung dia keluarga konglomerat, kalo tidak? Bisa mati kelaparan anakmu nanti!"

Andina sudah tidak sabar lagi, ia ingin menghampiri dua lelaki itu ketika ada tangan yang mencekalnya. Hampir Andina berteriak saking terkejut, namun ia masih bisa menahan diri. Ia menoleh dan mendapati lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya itu, tengah berdiri tepat di belakangnya.

"O-om?"

"Menguping pembicaraan orang tua itu tak baik. Sini!"

Tanpa menunggu jawaban dari Andina, Bram segera menyeret istrinya menjauh. Andina sedikit kewalahan mengikuti langkah kaki Bram, begitu mereka sudah cukup jauh dari tempat dua lelaki itu mengobrol, Andina segera meminta penjelasan.

"Om diam saja mereka ngomongin Om kayak gitu?" Tanya Andina heran, kenapa Bram tidak ingin menjelaskan apapun tentang kabar miring yang orang-orang sebarkan?

"Terus aku harus apa?" Tanya Bram sangat santai.

Andina benar-benar gemas! Bagaimana bisa Bram sesantai ini padahal banyak orang-orang melabelinya negatif?

"Om! Harusnya--."

"Jangan buang-buang energi untuk hal tak penting, An. Sudah kukatakan padamu, kan?" Potong Bram cepat.

"Ta--."

"Mereka tidak akan percaya, percaya padaku." Kembali Bram memotong kalimat Andina.

Andina menghela napas panjang. Matanya tak lepas menatap lelaki yang berdiri di hadapannya ini. Tangan mereka bahkan masih bertaut, Bram seolah tak ingin melepaskan tangan Andina.

"Tapi mereka keterlaluan!" Jujur Andina tidak suka dengan suara-suara yang dia dengar.

"Sudahlah, akan ada saatnya nanti."

"Kapan?" Kejar Andina gemas.

"Suatu saat nanti."

Mendengar itu, Andina kembali mendengus. Ia diam sesaat, sampai kemudian dering ponsel Bram mengejutkan mereka berdua.

Bram melepaskan tangan Andina, segera merogoh saku jas dan nampak berkerut menatap ponsel. Wajah lelaki itu makin terlihat kaku. Tanpa sepatah kata, ia pergi dari harapan Andina setelah memberi kode pada Andina bahwa Bram harus mengangkat panggilan itu.

"Dari siapa sih? Ngapain harus pergi?"

***

"Ada apa ini?"

Hendra menghela napas panjang, ibunya muncul, membuat ia merasa lega karena tidak harus menjadi bulan-bulanan pakdhe Mardi.

"Ada apa? Kamu ini yang ada apa, Mur!" Omel lelaki Sepuh itu dengan wajah kesal. "Kamu terlalu sembrono!"

Mendapat omelan dari kakak tertuanya, Mursiati hanya tersenyum, ia tentu sudah paham kemana arah bicara kakaknya ini.

"Sembrono yang bagaimana, Mas?" Tanya Mur santai, ia menoleh ke arah Hendra, dari raut wajah lelaki itu, Mur sudah bisa menebak omelan apa yang tadi didapatkan anak lelakinya ini.

"Kamu tahu kan siapa Bram itu?"

Mendengar pertanyaan itu, sontak Mur tertawa keras. Semua sudah seperti tebakannya, pasti yang masih dibahas adalah Bram, anak sahabatnya yang kini berstatus cucu mantu Mursiati.

"Tentu! Tentu aku tahu. Aku kenal ibunya dari sejak sekolah menengah pertama. Bukankah Mas Mardi tahu itu?"

Lelaki berambut putih itu mendengus, nampak wajahnya terlihat sangat tidak suka.

"Apa motivasimu menikahkan Andira dengan pengangguran seperti itu?"

Mur kembali tersenyum, ia nampak menghela napas sejenak untuk kemudian menjawab pertanyaan yang kakaknya berikan.

"Mas akan tahu nanti, yang jelas untuk urusan ini, aku tidak sembrono seperti yang tadi Mas katakan." Jawab Mur singkat.

"Kamu itu! Ke--."

"Sstt!" Potong Mur sambil tersenyum, "Jangan kebanyakan marah-marah ah, Mas! Nggak baik! Yuk mending duduk, kita makan sama-sama."

Mardi mendengus, namun ia pasrah saja ketika sang adik membawanya pergi dari sana. Hanya tersisa Hendra yang kembali menghela napas panjang begitu dua orang tadi pergi dari hadapannya.

"Selamat!" Desisnya lirih.

"Apanya yang selamat?" Tanya suara itu tiba-tiba.

Sandra muncul, ia menatap suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan menyelidik.

Ditatap seperti itu, Hendra hanya tersenyum sambil menggeleng perlahan.

"Itu pakdhe Mardi. Tahu sendiri, kan, dia gimana?" Jawab Hendra apa adanya. Entah mengapa, ia paling tidak bisa berbohong, membohongi Sandra, dalam hal apapun itu.

"Emang dia ngomel apa lagi?"

"Soal pernikahan Andina sama Bram."

Mendengar itu kening Sandra berkerut, "Memang kenapa? Ada apa dengan pernikahan Andina sama Bram?" Sandra benar-benar penasaran, intinya apapun yang menyangkut tentang Andina, ia harus tahu!

"Ya pakdhe protes, kenapa Andina dinikahkan sama Bram."

Mata Sandra membulat, sedetik kemudian ia tertawa dengan nada setengah mengejek.

"Memang kenapa kalo Andina nikah sama Bram? Mereka cocok. Lebih cocok dengan Bram sih ya daripada dengan Ken."

Mendengar itu, Hendra mendengus perlahan. Sebenarnya dengan Ken pun Andina pantas! Anak pertamanya itu cantik, sama cantiknya dengan Tamara. Hanya saja memang Andina tipe yang tidak suka bersolek seperti sang adik. Ditambah kaca mata yang menjadi sahabat Andina sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, membuat penampilan Andina terlihat biasa saja.

"Kamu tidak ingin menawari menantumu itu pekerjaan di kantor? Jadi OB mungkin? Daripada cuma nganggur, nggak malu dia sama Kenneth?" Ujar Sandra kemudian, setelah sang suami diam membisu tak menangapi.

"Hust! Jaga mulut kamu, Ma!" Pekik Hendra dengan mata melotot. "Terserah apa katamu, tapi keluarga besar dia jauh lebih kaya dari kita. Bisa runyam kalau mereka dengar ucapanmu barusan!"

Tentu Hendra harus memperingatkan sang istri. Karena bagaimanapun, level keluarga Narendra jauh di atas mereka.

Mendengar teguran itu, Sandra nampak mengerucutkan bibir. Terlihat bahwa dia tidak suka diperingatkan seperti itu.

"Meski begitu, kamu harus arahkan menantumu itu. Yang kaya ibunya, keluarganya, bukan dia. Mau sampai kapan dia bergantung pada nama besar keluarganya begitu?" Balas Sandra tak terima. "Ya tapi terserah juga sih, toh nanti kalau ada apa-apa, yang kena juga Andina, bukan anakku, kenapa jadi aku yang pusing begini?"

Tanpa menunggu Hendra buka suara, Sandra segera melangkah menjauh. Bukankah bagus kalau suami anak tirinya itu hanya sampah di keluarga itu? Itu artinya, jika dibandingkan dengan Tamara, Andina makin tidak ada apa-apanya, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status