"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"
Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?" Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--." "Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--." "Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu masih lontang-lantung jadi pengangguran? Untung dia keluarga konglomerat, kalo tidak? Bisa mati kelaparan anakmu nanti!" Andina sudah tidak sabar lagi, ia ingin menghampiri dua lelaki itu ketika ada tangan yang mencekalnya. Hampir Andina berteriak saking terkejut, namun ia masih bisa menahan diri. Ia menoleh dan mendapati lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya itu, tengah berdiri tepat di belakangnya. "O-om?" "Menguping pembicaraan orang tua itu tak baik. Sini!" Tanpa menunggu jawaban dari Andina, Bram segera menyeret istrinya menjauh. Andina sedikit kewalahan mengikuti langkah kaki Bram, begitu mereka sudah cukup jauh dari tempat dua lelaki itu mengobrol, Andina segera meminta penjelasan. "Om diam saja mereka ngomongin Om kayak gitu?" Tanya Andina heran, kenapa Bram tidak ingin menjelaskan apapun tentang kabar miring yang orang-orang sebarkan? "Terus aku harus apa?" Tanya Bram sangat santai. Andina benar-benar gemas! Bagaimana bisa Bram sesantai ini padahal banyak orang-orang melabelinya negatif? "Om! Harusnya--." "Jangan buang-buang energi untuk hal tak penting, An. Sudah kukatakan padamu, kan?" Potong Bram cepat. "Ta--." "Mereka tidak akan percaya, percaya padaku." Kembali Bram memotong kalimat Andina. Andina menghela napas panjang. Matanya tak lepas menatap lelaki yang berdiri di hadapannya ini. Tangan mereka bahkan masih bertaut, Bram seolah tak ingin melepaskan tangan Andina. "Tapi mereka keterlaluan!" Jujur Andina tidak suka dengan suara-suara yang dia dengar. "Sudahlah, akan ada saatnya nanti." "Kapan?" Kejar Andina gemas. "Suatu saat nanti." Mendengar itu, Andina kembali mendengus. Ia diam sesaat, sampai kemudian dering ponsel Bram mengejutkan mereka berdua. Bram melepaskan tangan Andina, segera merogoh saku jas dan nampak berkerut menatap ponsel. Wajah lelaki itu makin terlihat kaku. Tanpa sepatah kata, ia pergi dari harapan Andina setelah memberi kode pada Andina bahwa Bram harus mengangkat panggilan itu. "Dari siapa sih? Ngapain harus pergi?" *** "Ada apa ini?" Hendra menghela napas panjang, ibunya muncul, membuat ia merasa lega karena tidak harus menjadi bulan-bulanan pakdhe Mardi. "Ada apa? Kamu ini yang ada apa, Mur!" Omel lelaki Sepuh itu dengan wajah kesal. "Kamu terlalu sembrono!" Mendapat omelan dari kakak tertuanya, Mursiati hanya tersenyum, ia tentu sudah paham kemana arah bicara kakaknya ini. "Sembrono yang bagaimana, Mas?" Tanya Mur santai, ia menoleh ke arah Hendra, dari raut wajah lelaki itu, Mur sudah bisa menebak omelan apa yang tadi didapatkan anak lelakinya ini. "Kamu tahu kan siapa Bram itu?" Mendengar pertanyaan itu, sontak Mur tertawa keras. Semua sudah seperti tebakannya, pasti yang masih dibahas adalah Bram, anak sahabatnya yang kini berstatus cucu mantu Mursiati. "Tentu! Tentu aku tahu. Aku kenal ibunya dari sejak sekolah menengah pertama. Bukankah Mas Mardi tahu itu?" Lelaki berambut putih itu mendengus, nampak wajahnya terlihat sangat tidak suka. "Apa motivasimu menikahkan Andira dengan pengangguran seperti itu?" Mur kembali tersenyum, ia nampak menghela napas sejenak untuk kemudian menjawab pertanyaan yang kakaknya berikan. "Mas akan tahu nanti, yang jelas untuk urusan ini, aku tidak sembrono seperti yang tadi Mas katakan." Jawab Mur singkat. "Kamu itu! Ke--." "Sstt!" Potong Mur sambil tersenyum, "Jangan kebanyakan marah-marah ah, Mas! Nggak baik! Yuk mending duduk, kita makan sama-sama." Mardi mendengus, namun ia pasrah saja ketika sang adik membawanya pergi dari sana. Hanya tersisa Hendra yang kembali menghela napas panjang begitu dua orang tadi pergi dari hadapannya. "Selamat!" Desisnya lirih. "Apanya yang selamat?" Tanya suara itu tiba-tiba. Sandra muncul, ia menatap suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan menyelidik. Ditatap seperti itu, Hendra hanya tersenyum sambil menggeleng perlahan. "Itu pakdhe Mardi. Tahu sendiri, kan, dia gimana?" Jawab Hendra apa adanya. Entah mengapa, ia paling tidak bisa berbohong, membohongi Sandra, dalam hal apapun itu. "Emang dia ngomel apa lagi?" "Soal pernikahan Andina sama Bram." Mendengar itu kening Sandra berkerut, "Memang kenapa? Ada apa dengan pernikahan Andina sama Bram?" Sandra benar-benar penasaran, intinya apapun yang menyangkut tentang Andina, ia harus tahu! "Ya pakdhe protes, kenapa Andina dinikahkan sama Bram." Mata Sandra membulat, sedetik kemudian ia tertawa dengan nada setengah mengejek. "Memang kenapa kalo Andina nikah sama Bram? Mereka cocok. Lebih cocok dengan Bram sih ya daripada dengan Ken." Mendengar itu, Hendra mendengus perlahan. Sebenarnya dengan Ken pun Andina pantas! Anak pertamanya itu cantik, sama cantiknya dengan Tamara. Hanya saja memang Andina tipe yang tidak suka bersolek seperti sang adik. Ditambah kaca mata yang menjadi sahabat Andina sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, membuat penampilan Andina terlihat biasa saja. "Kamu tidak ingin menawari menantumu itu pekerjaan di kantor? Jadi OB mungkin? Daripada cuma nganggur, nggak malu dia sama Kenneth?" Ujar Sandra kemudian, setelah sang suami diam membisu tak menangapi. "Hust! Jaga mulut kamu, Ma!" Pekik Hendra dengan mata melotot. "Terserah apa katamu, tapi keluarga besar dia jauh lebih kaya dari kita. Bisa runyam kalau mereka dengar ucapanmu barusan!" Tentu Hendra harus memperingatkan sang istri. Karena bagaimanapun, level keluarga Narendra jauh di atas mereka. Mendengar teguran itu, Sandra nampak mengerucutkan bibir. Terlihat bahwa dia tidak suka diperingatkan seperti itu. "Meski begitu, kamu harus arahkan menantumu itu. Yang kaya ibunya, keluarganya, bukan dia. Mau sampai kapan dia bergantung pada nama besar keluarganya begitu?" Balas Sandra tak terima. "Ya tapi terserah juga sih, toh nanti kalau ada apa-apa, yang kena juga Andina, bukan anakku, kenapa jadi aku yang pusing begini?" Tanpa menunggu Hendra buka suara, Sandra segera melangkah menjauh. Bukankah bagus kalau suami anak tirinya itu hanya sampah di keluarga itu? Itu artinya, jika dibandingkan dengan Tamara, Andina makin tidak ada apa-apanya, kan?"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me
"Ibu mau ke optik Saputra Jaya?"Tentu saja Andina terkejut bukan main mendapati laki-laki dengan kemeja rapi itu menyapanya di depan pos security. Andina menatap lelaki paruh baya itu dengan saksama, siapa dia? Baru kali ini Andina melihat laki-laki ini dan bagaimana dia bisa tahu kalau Andina hendak pergi ke tempat itu? "Betul, maaf Bapak ini si--.""Saya Danu, Bu. Saya disuruh bapak anterin Ibu kesana. Mari."Dengan segera laki-laki itu memotong. Wajahnya ramah, suaranya lembut dengan begitu sopan. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Andina seketika menuruti apa yang lelaki itu perintahkan. Alis Andina berkerut, tangannya merogoh ponsel di dalam tas. "Bentar ya, Pak!" Ujarnya lalu sedikit menjauh dari lelaki asing yang memperkenalkan diri bernama Danu itu. "Kenapa, An?" Sapa suara itu setelah mengangkat panggilan telepon dari Andina. "Om nyuruh orang bu--.""Danu udah di sana?" Potong Bram yang seperti biasa selalu menyela. "Iya udah di depan, Om. Jadi ini Om yang nyuruh?
"Atas nama Andina Narendra?"Andina sedikit terkejut mendengar nama itu disematkan di nama belakangnya. Namun sedetik kemudian ia kembali sadar dan mengangguk pelan. "Iya, betul."Ia harus terbiasa dengan nama belakangnya yang baru. Nama belakang yang Andina dapat dari sang suami. Sebuah identitas bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Narendra. "Bapak sudah telfon dan kirim detail untuk kacamatanya, dan kebetulan sudah siap.""Hah?"Perempuan itu tersenyum dengan anggukan kepala, ia menyodorkan kotak kacamata ke hadapan Andina. Membuat Andina segera tersadar dari rasa terkejutnya. "Bisa dicek dan dicoba dulu, Kak! Silahkan!"Andina segera membuka kotak kacamata itu. Sebuah frame kacamata dengan list tipis berwarna hitam ada di dalam sana. Kacamata ini lebih modern, berbeda dengan kacamata Andina yang .... "Silahkan cerminnya, Kak.""Terimakasih!" Ucap Andina lalu mulai fokus pada kacamata yang ada di hadapannya. Andina segera melepas kacamata lamanya, meraih kacamata
"HAH? DIA SAMA SEKALI BELUM MENYENTUMU, AN?"Clara membelalak, ia menatap Andina dengan tatapan tidak percaya. Ditatap sedemikian serius, Andina sontak menghela napas panjang lalu menonyor kepala Clara dengan gemas. "Serius?" Kejar Clara ketika Andina tak kunjung bersuara. "Serius! Aku sendiri juga heran, apa aku sejelek itu sampai dia sama sekali tidak tertarik padaku?" Tanya Andina tidak mengerti, namun siapa bilang tidak ada yang tertarik padanya? Kenneth pernah memaksa Andina untuk mau berhubungan badan dengannya! Namun Andina tolak ajakan itu dengan tegas. "Alah, An! Kamu nggak sejelek itu! Lagipula nih, laki-laki itu bisa, An, nge-seks tanpa mandang rupa, perasaan partnernya. Asal dia sange mah, siapapun yang didepan dia ya dihajar!" Jelas Clara dengan wajah begitu meyakinkan. Andina menghela napas panjang, benar sih apa yang Clara katakan. Buktinya Kenneth pernah terus mendesaknya agar mau menjadi pelampiasan gairah lelaki itu. "Kamu tau apa alasan dia cerai dari kedua is
"Om? Om nggak apa-apa, kan?"Mendengar itu sontak Bram sersentak. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia ... Ah! Tapi bukan salah Bram juga! Penampilan Andina yang kini duduk di sebelahnya benar-benar berbeda. Bukan hanya karena frame kacamata yang Bram pilihkan sebagai ganti kacamata Andina yang lama, tetapi juga treatment yang Andina lakukan pada rambut panjangnya, mampu merubah penampilan Andina yang biasanya tampak cupu, menjadi sangat berbeda. "Om? Kenapa sih? A-aku keliatan aneh, ya?""Kamu cantik!" Jawab Bram reflek, ia segera membawa mobilnya pergi dari sana. Mendadak Bram menjadi canggung. Terlebih pendapat jujur yang tadi ia utarakan membuat suasana menjadi hening. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Andina saat ini? "Te-terimakasih banyak, Om." Desis suara itu yang juga terdengar begitu canggung. "Terimakasih untuk?" Bram berusaha menekan segala macam perasaan dalam dirinya yang berkecamuk. "Sekali lagi untuk kacamata dan lain-lain yang Om belikan