"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me
"Ibu mau ke optik Saputra Jaya?"Tentu saja Andina terkejut bukan main mendapati laki-laki dengan kemeja rapi itu menyapanya di depan pos security. Andina menatap lelaki paruh baya itu dengan saksama, siapa dia? Baru kali ini Andina melihat laki-laki ini dan bagaimana dia bisa tahu kalau Andina hendak pergi ke tempat itu? "Betul, maaf Bapak ini si--.""Saya Danu, Bu. Saya disuruh bapak anterin Ibu kesana. Mari."Dengan segera laki-laki itu memotong. Wajahnya ramah, suaranya lembut dengan begitu sopan. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Andina seketika menuruti apa yang lelaki itu perintahkan. Alis Andina berkerut, tangannya merogoh ponsel di dalam tas. "Bentar ya, Pak!" Ujarnya lalu sedikit menjauh dari lelaki asing yang memperkenalkan diri bernama Danu itu. "Kenapa, An?" Sapa suara itu setelah mengangkat panggilan telepon dari Andina. "Om nyuruh orang bu--.""Danu udah di sana?" Potong Bram yang seperti biasa selalu menyela. "Iya udah di depan, Om. Jadi ini Om yang nyuruh?
"Atas nama Andina Narendra?"Andina sedikit terkejut mendengar nama itu disematkan di nama belakangnya. Namun sedetik kemudian ia kembali sadar dan mengangguk pelan. "Iya, betul."Ia harus terbiasa dengan nama belakangnya yang baru. Nama belakang yang Andina dapat dari sang suami. Sebuah identitas bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Narendra. "Bapak sudah telfon dan kirim detail untuk kacamatanya, dan kebetulan sudah siap.""Hah?"Perempuan itu tersenyum dengan anggukan kepala, ia menyodorkan kotak kacamata ke hadapan Andina. Membuat Andina segera tersadar dari rasa terkejutnya. "Bisa dicek dan dicoba dulu, Kak! Silahkan!"Andina segera membuka kotak kacamata itu. Sebuah frame kacamata dengan list tipis berwarna hitam ada di dalam sana. Kacamata ini lebih modern, berbeda dengan kacamata Andina yang .... "Silahkan cerminnya, Kak.""Terimakasih!" Ucap Andina lalu mulai fokus pada kacamata yang ada di hadapannya. Andina segera melepas kacamata lamanya, meraih kacamata
"HAH? DIA SAMA SEKALI BELUM MENYENTUMU, AN?"Clara membelalak, ia menatap Andina dengan tatapan tidak percaya. Ditatap sedemikian serius, Andina sontak menghela napas panjang lalu menonyor kepala Clara dengan gemas. "Serius?" Kejar Clara ketika Andina tak kunjung bersuara. "Serius! Aku sendiri juga heran, apa aku sejelek itu sampai dia sama sekali tidak tertarik padaku?" Tanya Andina tidak mengerti, namun siapa bilang tidak ada yang tertarik padanya? Kenneth pernah memaksa Andina untuk mau berhubungan badan dengannya! Namun Andina tolak ajakan itu dengan tegas. "Alah, An! Kamu nggak sejelek itu! Lagipula nih, laki-laki itu bisa, An, nge-seks tanpa mandang rupa, perasaan partnernya. Asal dia sange mah, siapapun yang didepan dia ya dihajar!" Jelas Clara dengan wajah begitu meyakinkan. Andina menghela napas panjang, benar sih apa yang Clara katakan. Buktinya Kenneth pernah terus mendesaknya agar mau menjadi pelampiasan gairah lelaki itu. "Kamu tau apa alasan dia cerai dari kedua is
"Om? Om nggak apa-apa, kan?"Mendengar itu sontak Bram sersentak. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia ... Ah! Tapi bukan salah Bram juga! Penampilan Andina yang kini duduk di sebelahnya benar-benar berbeda. Bukan hanya karena frame kacamata yang Bram pilihkan sebagai ganti kacamata Andina yang lama, tetapi juga treatment yang Andina lakukan pada rambut panjangnya, mampu merubah penampilan Andina yang biasanya tampak cupu, menjadi sangat berbeda. "Om? Kenapa sih? A-aku keliatan aneh, ya?""Kamu cantik!" Jawab Bram reflek, ia segera membawa mobilnya pergi dari sana. Mendadak Bram menjadi canggung. Terlebih pendapat jujur yang tadi ia utarakan membuat suasana menjadi hening. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Andina saat ini? "Te-terimakasih banyak, Om." Desis suara itu yang juga terdengar begitu canggung. "Terimakasih untuk?" Bram berusaha menekan segala macam perasaan dalam dirinya yang berkecamuk. "Sekali lagi untuk kacamata dan lain-lain yang Om belikan
"... Kamu mau aku minta eyang usir mereka dari rumah? Iya?"Tamara mengangkat wajah, ia menatap sang suami dengan mata berlinang. "Emang bisa? Bisa emang kita bujuk eyang buat usir mereka dari sini?" Tantang Tamara yang ragu, ia tidak berharap banyak hal itu bisa terwujud. Ken menghela napas panjang, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Melihat itu, Tamara makin yakin bahwa meskipun lelaki itu pengangguran, mereka tidak akan bisa melawan atau bahkan mengusir mereka dari sini. "Kita pindah aja gimana?" Tawar Ken yang mencoba mencari solusi. "Pindah?" Tamara membelalak terkejut. "Kemana?""Apartemen aku? Bulan depan masa sewanya habis. Jadi bisa kita tempati nanti."Mendengar itu kontan Tamara mencebik. Dengan tegas ia menggelengkan kepala. Ken memang punya aset sebuah apartemen, hanya saja unit itu begitu kecil! Hanya ada satu kamar di sana dan bukan apartemen tipe mewah. Sedangkan rumah ini ... Jangan ditanya! Rumah ini punya segalanya dengan kolam renang luas, halaman belakang den