"Atas nama Andina Narendra?"Andina sedikit terkejut mendengar nama itu disematkan di nama belakangnya. Namun sedetik kemudian ia kembali sadar dan mengangguk pelan. "Iya, betul."Ia harus terbiasa dengan nama belakangnya yang baru. Nama belakang yang Andina dapat dari sang suami. Sebuah identitas bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Narendra. "Bapak sudah telfon dan kirim detail untuk kacamatanya, dan kebetulan sudah siap.""Hah?"Perempuan itu tersenyum dengan anggukan kepala, ia menyodorkan kotak kacamata ke hadapan Andina. Membuat Andina segera tersadar dari rasa terkejutnya. "Bisa dicek dan dicoba dulu, Kak! Silahkan!"Andina segera membuka kotak kacamata itu. Sebuah frame kacamata dengan list tipis berwarna hitam ada di dalam sana. Kacamata ini lebih modern, berbeda dengan kacamata Andina yang .... "Silahkan cerminnya, Kak.""Terimakasih!" Ucap Andina lalu mulai fokus pada kacamata yang ada di hadapannya. Andina segera melepas kacamata lamanya, meraih kacamata
"HAH? DIA SAMA SEKALI BELUM MENYENTUMU, AN?"Clara membelalak, ia menatap Andina dengan tatapan tidak percaya. Ditatap sedemikian serius, Andina sontak menghela napas panjang lalu menonyor kepala Clara dengan gemas. "Serius?" Kejar Clara ketika Andina tak kunjung bersuara. "Serius! Aku sendiri juga heran, apa aku sejelek itu sampai dia sama sekali tidak tertarik padaku?" Tanya Andina tidak mengerti, namun siapa bilang tidak ada yang tertarik padanya? Kenneth pernah memaksa Andina untuk mau berhubungan badan dengannya! Namun Andina tolak ajakan itu dengan tegas. "Alah, An! Kamu nggak sejelek itu! Lagipula nih, laki-laki itu bisa, An, nge-seks tanpa mandang rupa, perasaan partnernya. Asal dia sange mah, siapapun yang didepan dia ya dihajar!" Jelas Clara dengan wajah begitu meyakinkan. Andina menghela napas panjang, benar sih apa yang Clara katakan. Buktinya Kenneth pernah terus mendesaknya agar mau menjadi pelampiasan gairah lelaki itu. "Kamu tau apa alasan dia cerai dari kedua is
"Om? Om nggak apa-apa, kan?"Mendengar itu sontak Bram sersentak. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia ... Ah! Tapi bukan salah Bram juga! Penampilan Andina yang kini duduk di sebelahnya benar-benar berbeda. Bukan hanya karena frame kacamata yang Bram pilihkan sebagai ganti kacamata Andina yang lama, tetapi juga treatment yang Andina lakukan pada rambut panjangnya, mampu merubah penampilan Andina yang biasanya tampak cupu, menjadi sangat berbeda. "Om? Kenapa sih? A-aku keliatan aneh, ya?""Kamu cantik!" Jawab Bram reflek, ia segera membawa mobilnya pergi dari sana. Mendadak Bram menjadi canggung. Terlebih pendapat jujur yang tadi ia utarakan membuat suasana menjadi hening. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Andina saat ini? "Te-terimakasih banyak, Om." Desis suara itu yang juga terdengar begitu canggung. "Terimakasih untuk?" Bram berusaha menekan segala macam perasaan dalam dirinya yang berkecamuk. "Sekali lagi untuk kacamata dan lain-lain yang Om belikan
"... Kamu mau aku minta eyang usir mereka dari rumah? Iya?"Tamara mengangkat wajah, ia menatap sang suami dengan mata berlinang. "Emang bisa? Bisa emang kita bujuk eyang buat usir mereka dari sini?" Tantang Tamara yang ragu, ia tidak berharap banyak hal itu bisa terwujud. Ken menghela napas panjang, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Melihat itu, Tamara makin yakin bahwa meskipun lelaki itu pengangguran, mereka tidak akan bisa melawan atau bahkan mengusir mereka dari sini. "Kita pindah aja gimana?" Tawar Ken yang mencoba mencari solusi. "Pindah?" Tamara membelalak terkejut. "Kemana?""Apartemen aku? Bulan depan masa sewanya habis. Jadi bisa kita tempati nanti."Mendengar itu kontan Tamara mencebik. Dengan tegas ia menggelengkan kepala. Ken memang punya aset sebuah apartemen, hanya saja unit itu begitu kecil! Hanya ada satu kamar di sana dan bukan apartemen tipe mewah. Sedangkan rumah ini ... Jangan ditanya! Rumah ini punya segalanya dengan kolam renang luas, halaman belakang den
"Kau lihat bagaimana dia menatapmu tadi?"Sembari melangkah menapaki anak tangga, Bram berbisik lirih ke telinga Andina. "Dia siapa?" Tanya Andina tak mengerti. "Siapa lagi kalau bukan adik kandung mu, ah ... Aku lupa, mantan tunangan kamu juga."Andina tertegun, ia mendengar nada aneh di akhir kalimat Bram. Namun Andina segera mengabaikannya, ia fokus pada kalimat yang Bram katakan barusan. "Memang kenapa?"Bram menghela napas panjang, ia tak menjawab, memilih untuk melangkah lebih cepat. Melihat itu, Andina ikut mempercepat langkah, ia segera mengejar langkah sang suami. "Om, memang ada apa?" Tanya Andina begitu mereka sudah ada di dalam kamar. Bram menjatuhkan diri di tepi ranjang, matanya menatap Andina yang masih berdiri di balik pintu. "Yang satu sirik liat perubahan kamu dan yang satu ...."Mendengar Bram tidak melanjutkan kalimatnya, Andina melangkah menghampiri Bram yang tengah duduk di tepi ranjang. Ia duduk tepat di samping Bram, membuat jarak mereka begitu dekat. "Y
"Om nggak buka tasnya, kan?" Bram mengumpat dalam hati, untung saja dia bisa mengendalikan diri, sehingga tetap terlihat tenang meskipun sekarang pikirannya sedang semrawut karena isi dalam paper bag milik Andina. "Memang apa isinya? Coba buka!" Titah Bram berusaha menyakinkan. "Ah tidak! Bu-bukan apa-apa!" Andina segera membawa paper bag itu, lalu membawanya dalam pelukan dan bergegas bangkit dari duduknya. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Bram yang segera mendesah panjang begitu Andina menghilang dari hadapannya. "Sialan!" Bram mendecih perlahan, kepalanya makin terasa sakit. Langkahnya terayun menuju tempat tidur, menjatuhkan tubuhnya di sana dan mencoba memejamkan mata, yang sialnya, malah bayangan nakal itu yang hadir dalam otaknya ketika mata Bram terpejam. Bram segera membuka kembali matanya, kepalanya sudah teramat sakit. Rasanya ia ingin .... Sesaat Bram tertegun, bukankah tadi Andina membawa serta paper bag itu m
"Om sudah bangun?"Andina yang baru saja berhasil membuka mata, sedikit terkejut dengan Bram yang keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Sepagi ini Bram sudah bangun? "Sudah. Kamu cepet mandi. Kita pergi pagi-pagi aja, sekalian cari sarapan di luar." Seulas senyum tergambar di wajah Andina, bagaimana tidak? Itu adalah sebuah ide yang sangat bagus! Tanpa membuang banyak waktu, Andina bangkit dari tempat tidur, ia hendak merapikannya ketika Bram mencekal tangan Andina dan memberi kode melalui gerakan kepala. "Mandilah. Ini biar aku yang urus." Titah Bram dengan nada tak ingin dibantah. Tanpa banyak bicara, Andina segera mengangguk dan melangkah menuju kamar mandi. Sepeninggal Andina, Bram mendengus perlahan, ia menjatuhkan tubuh di tepi ranjang, duduk sambil memijit pelipisnya dengan kedua tangan. Bram sama sekali tidak bisa tidur! Aroma tubuh dan rambut Andina, makin membuat sakit kepalanya terasa menyiksa. Sebuah alasan yang akhirnya membuat Bram memutuskan untuk m
"Nanti pulang jam berapa?"Di sinilah mereka duduk sekarang, di sebuah tikar milik pedangang bubur ayam yang mangkal tak jauh dari butik milik Clara. Andina mengangkat wajah, otaknya masih penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Bram dengan Ken beserta ibunya. Bukankah tadi Bram mengatakan demikian? Punya dendam apa sebenarnya di antara mereka ini? Andina benar-benar dibuat penasaran! "An?"Panggilan itu sebenarnya begitu lirih, namun berhasil membuat Andina melonjak dan menoleh ke arah Bram dengan segera. Menyimpan terlebih dahulu semua rasa penasaran yang hinggap di kepalanya saat ini. "Kamu mikir apa sih?" Tanya Bram tanpa memberikan kesempatan Andina berbicara. "Ah tidak! Nggak apa-apa, Om. Nanti aku balik jam lima." Jawab Andina yang masih ingat pertanyaan yang Bram berikan tadi. "Jangan kemana-mana, jangan pulang duluan sebelum aku jemput. Jangan minta dianterin temen pulang. Pokoknya harus aku yang jemput kamu." Titahnya panjang-lebar. Seketika Andina men
"Siap?"Mereka sudah berdiri di depan pintu ruang inap Tamara, Andina menoleh ke arah Bram, mengangguk cepat lalu meraih knop pintu. Perlahan ia mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam dan berdiri mematung sembari menatap yang ada di sana. Baik Andina maupun Tamara sama-sama tertegun, mereka saling pandang sampai kemudian Tamara bangkit dari sofa dan berhambur memeluk Andina."Kenapa nangis?" Andina tak sadar bahwa di detik dia bertanya pada sang adik, dia pun tenah menitikkan air mata."Aku minta maaf, Kak. Aku udah banyak banget dosa sama kamu. Aku jahat, aku bukan adik yang baik. Demi apapun, tolong maafkan aku." desis suara itu bercampur tangis. Andina mengela napas panjang, dibiarkan air matanya menitik. Ia mengusap punggung Tamara, membawa wanita itu melangkah ke sofa yang ada di ruangan. Andina mendudukkan Tamara di sofa, mencengkeram lembut bahu sang adik sembari menatapnya dengan saksama."Kamu mau aku memaafkan mu?" tanya Andina tanpa memalingkan wajah. Bisa dia lihat T
"Tamara nungguin di sini aja, Pa. Boleh?"Hendra menghela napas panjang, hari ini Tamara sudah boleh pulang karena kondisinya sudah stabil, hanya saja untuk bayinya, dokter masih harus merawatnya secara intensif sampai kondisinya stabil dan bisa ikut dibawa pulang. "Kalau begitu, biar papa nego sama pihak rumah sakit untuk perpanjangan kamarmu."Mereka tidak pakai asuransi dan kamar yang mereka sewa bukan kamar komersil. Agaknya dari pihak rumah sakit tidak akan keberatan jika mereka memperpanjang sewa kamar sampai bayi Tamara bisa ikut pulang. "Terimakasih banyak, Pa." ucap Tamara dengan nada getir. Hendra tersenyum, ia melangkah mendekati anak bungsunya itu, menatap mata yang seketika memerah dan menitikkan air mata. Hendra tidak pernah mengira, bahwa Tamara yang sejak kecil selalu dia manjakan, harus bernasib semalang ini. "Kamu sudah tentukan keputusan-keputusan apa yang akan kamu ambil setelah ini?" sebuah obrolan dewasa yang terdengar sangat serius. Mendapat pertanyaan itu,
"Papa sangat bersyukur dan berterimakasih kamu sudah mau memaafkan papamu ini, An."Hendra melangkah keluar rumah, ditemani Bram dan Andina yang turut mengantarkan Hendra ke depan. Setelah bicara dari hati ke hati, Andina akhirnya luluh dan memilih untuk memaafkan semua. Ya ... semua yang sudah terjadi kecuali wanita jahat itu. Hati Andina sudah lebih tenang. Sakit yang dia rasakan sampai membuat sesak dada, kini sudah lenyap tak bersisa. "Andina tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi dulu, Pa. Lagi pun, semua sudah terjadi, apapun yang kita lakukan tidak akan bisa membuat semua balik lagi. Jadi berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan." ucap Andina dengan mata memerah. "Papa paham, An. Papa benar-benar bangga sama kamu. Kamu putri terbaik yang papa miliki, An."Dipuji begitu Andina hanya tersenyum getir, ia menghela napas panjang, memalingkan wajah sejenak untuk menyembunyikan air mata yang kembali mengambang. "Papa izin pamit, ya. Kalian ist
"Mama denger kakak nolak ajakan Ken buat berhubungan badan, Oma. Waktu itu malam hari, pas rumah sepi dan dia main ke rumah." Tamara mulai menceritakan petaka apa yang dia ciptakan sendiri kala itu. Sebuah petaka yang sungguh sangat dia sesali kini. "Mereka ribut, Ken terus pamit pulang. Dan setelah malam itu mama punya rencana buat nyingkirin kakak dari perjodohan itu."Mursiyati menghela napas panjang, tidak ada kemarahan di wajah itu. Toh mau marah pun tidak ada artinya sekarang. Tamara sudah mendapatkan hukuman dari apa yang sudah dia lakukan, jadi untuk apa marah? "Terus mulai kapan rencana mamamu jalan?" rasa penasaran Mursiyati masih besar, peristiwa itu sangat memalukan, ia tidak akan pernah lupa akan hari itu. "Seminggu setelahnya, waktu ulang tahun papa. Oma ingat kita undang Ken buat gabung makan malam?"Ingatan Mursiyati kembali pada masa itu. Ah benar! Ken ikut datang dan makan malam bersama mereka saat itu. Ia masuk kamar lebih dulu, jadi tidak tahu apa-apa saja yang
"Mengapa aku harus kesana?" tanya Andina dengan nada dingin. Wajah Sandra terus terbayang-bayang, membuat emosi Andina kembali bergejolak jika teringat apa yang sudah perempuan itu lakukan pada ibunya. "Bagaimanapun, kalian saudara kandung, An. Ibu kalian boleh beda, tapi asal mula kalian tetap satu, papa Hendra. Kalian dari sumber sperma yang sama." jelas Bram tanpa memalingkan wajah. Andina menghela napas panjang, matanya tiba-tiba memanas. Namun ia berusaha menahan semua perasaan yang mulai bergejolak memporak-porandakan dirinya. "Faktanya, dia yang tidak mau bersaudara denganku, Mas. Aku masih ingat dulu ... aku membawakan dia hasil kerajinan tangan dari sekolah yang aku buat khusus untuknya, kubelikan beberapa tangkai mawar untuk dia, tapi Mas tahu apa yang dia lakukan?"Andina menjeda ceritanya, melirik Bram yang pada saat yang sama tengah melirik juga ke arah Andina. "Biar ku tebak, dia tak mau menerima hadiah dari mu?"Andina tersenyum getir. "Dia terima vas berserta maw
'Mamamu yang menyebabkan kecelakaan itu, Tam. Dia yang membunuh mama Andina.'Dunia Tamara seolah terhenti seketika. Obrolan itu sudah berakhir beberapa saat yang lalu, namun tiap detail obrolan masih berdengung di telinga Tamara. Masalah apa lagi ini? Jadi bukan hanya Ken yang akan dipenjara, tetapi juga mamanya? Lalu bagaimana hidup Tamara selanjutnya? Setelah ini dia harus bagaimana? "Tam ... ngelamun?" Tamara tersentak, Hendra tersenyum getir, ia datang membawa kotak pizza dan sushi yang sama, seperti yang dia pesan untuk Tamara tadi."Kamu tadi belum jadi makan, kan? Ayo sekarang makan." Hendra membuka kotak pizza, menyodorkan tepat di depan Tamara. Melihat bagaimana Hendra men-treat dirinya, Tamara kontan menitikkan air mata. Hatinya yang kalut dan kacau mendadak berubah sedikit lebih tenang, ia masih punya Hendra dan laki-laki ini adalah orang yang mencintai Tamara tanpa syarat, tanpa batas waktu berakhir. "Aku nggak lapar, Pa. Nggak napsu mau makan." jawab Tamara yang hany
"Rahasia apa lagi yang kalian tutupi dari aku?"Selera makan Tamara lenyap seketika, ia yakin masih ada yang ditutupi darinya, oleh karena itu ia mencecar empat orang yang duduk di sekeliling bed. Ada Mur yang baru saja datang beberapa saat yang lalu, bisa Tamara lihat neneknya itu terkejut, mungkin dia juga baru tahu, berbeda dengan tiga orang yang lain. Tamara merasa tubuhnya begitu ringan. Ia kehilangan semangat dan apapun itu. Bisa dibayangkan, kamu yang belum menerima kenyataan bahwa suamimu bangkrut dan semua aset disita, berikut milik mertuamu, lalu mendadak harus melahirkan lebih awal, masih ditambah mendapat kenyataan bahwa suamimu ternyata menghamili wanita lain dan harus berhadapan dengan hukum. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Tamara saat ini? "Lebih baik kamu istirahat dulu, Tam. Kamu butuh banyak istirahat setelah apa yang terjadi." Mar tersenyum kikuk, sangat ketara sekali bahwa dia ingin mengalihkan pembicaraan. "Nggak bisa gitu, Eyang! Aku yakin masih ada yang d
"Jangan dicabut lagi, ya? Kecuali nanti dokter yang suruh." Hendra berbisik, infus sudah kembali terpasang di tempatnya, sementara Tamara, ia masih berada dalam pelukan Hendra, terisak dengan nada lirih. "Sudah tenang? Papa nunggu kamu cerita, Tam."Walau sebenarnya Hendra sudah tahu semua masalah yang bahkan Tamara mungkin belum tahu, tapi tentu dia perlu berpura-pura pada awalnya. Mendadak kalimat Andina kembali terngiang-ngiang di kepala.'Aku yang dapat karmanya, Pa! Aku yang harus nanggung semua dosa Papa!'Apakah mungkin bukan hanya Andina yang harus menanggung karma dan dosa atas apa yang dulu Hendra lakukan? Rasanya Hendra ingin bunuh diri! Bagaimana tidak, dua anak gadisnya sedang sama-sama hancur seperti ini! Rasanya hati Hendra remuk redam, rasanya benar-benar sakit luar biasa! Tapi kalau Hendra bunuh diri, lalu bagaimana dengan nasib anak-anaknya? Lebih tepatnya Tamara. Dengan kondisi mertua yang bangkrut, suami tersandung permasalahan hukum sepelik ini yang bahkan sudah
Mata Tamara berbinar cerah melihat kotak berisi sushi kenamaan itu sudah berada di meja kecil dipangkuannya. Bukan hanya sushi, tapi juga satu pan mini pizza lengkap dengan fusili kesukaan Tamara. Ada rasa haru menyeruak di hati Tamara. Papanya selalu ingat apa-apa saja yang dia suka dan tak peduli kini dia sudah menjadi seorang ibu, Hendra tetap menganggapnya putri kecil dan selalu memanjakan Tamara. "Habiskan, oke?" Hendra mengacak rambut Tamara dengan gemas, membuat Tamara mencebik dan menatap papanya itu dengan penuh bahagia. "Oke! Siapa takut?" tantang Tamara yang mulai meraih sumpit dan mengambil varian sushi yang ingin ia makan untuk pertama kali. Nasi yang digulung dengan isian salmon dan pepaya serta taburan tobiko ditepiannya adalah varian yang Tamara pilih. Lidahnya sudah begitu rindu citarasa ini. Tamara memejamkan mata ketika ia mengunyah makanan itu pertama kali. Rasa bahagianya meledak-ledak, ia tersenyum sembari satu tangannya meraih ponsel, hendak memotret makanann