"Nanti pulang jam berapa?"Di sinilah mereka duduk sekarang, di sebuah tikar milik pedangang bubur ayam yang mangkal tak jauh dari butik milik Clara. Andina mengangkat wajah, otaknya masih penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Bram dengan Ken beserta ibunya. Bukankah tadi Bram mengatakan demikian? Punya dendam apa sebenarnya di antara mereka ini? Andina benar-benar dibuat penasaran! "An?"Panggilan itu sebenarnya begitu lirih, namun berhasil membuat Andina melonjak dan menoleh ke arah Bram dengan segera. Menyimpan terlebih dahulu semua rasa penasaran yang hinggap di kepalanya saat ini. "Kamu mikir apa sih?" Tanya Bram tanpa memberikan kesempatan Andina berbicara. "Ah tidak! Nggak apa-apa, Om. Nanti aku balik jam lima." Jawab Andina yang masih ingat pertanyaan yang Bram berikan tadi. "Jangan kemana-mana, jangan pulang duluan sebelum aku jemput. Jangan minta dianterin temen pulang. Pokoknya harus aku yang jemput kamu." Titahnya panjang-lebar. Seketika Andina men
"Hah? Belum kamu pake?"Andina yang berusaha tenang dan fokus pada lembar kosong di depan matanya, kontan mendengus dan melirik kesal ke arah Clara. Gadis itu menatapnya dengan tatapan terkejut yang seketika mampu membuat konsentrasi Andina buyar. Andina meletakkan pensil yang sejak tadi berada dalam genggaman, ia menoleh, balas menatap Clara yang masih menantikan jawaban dari Andina. "Kamu mau design ini cepet selesai, nggak?" Ancam Andina dengan nada serius. Meskipun Clara bos di sini, namun Andina juga punya peran penting. Ada tiga request customer untuk gaun pernikahan dan Andina bisa saja menjadikan hal ini sebagai ancaman. "Eh ... Ya nggak gitu juga dong! Ya harus selesai dong itunya. Bulan depan dipake itu, mepet banget waktunya." Sorot itu berubah mengiba, ditambah senyum lebar yang langsung membuat Andina mencebik gemas. "Makanya! Diem-diem dulu ngapa sih? Masih dua noh, katamu minggu depan revisi sketch sama kustomernya!" Omel Andina kembali meraih pensil yang tadi ia g
"Sudah jam makan siang?"Mendengar itu, Andina kehilangan kata-kata. Antara terkejut, bingung dan takjub. Bram bisa se perhatian ini kepadanya? Atau Andina saja yang terlalu PD dan berekspektasi tinggi? "Li-lima belas menit lagi, Om. Ada apa?" Andina tak mau Bram membaca keterkejutannya, meskipun ia yakin Bram tahu dari gugupnya nada bicara Andina. "Oke. Aku jemput. Kita makan siang sama-sama. Bosmu nggak nyediain lunch di kantor, kan?"Speechless! Jadi Bram mau bolak-balik tiga kali sehari mengantar-jemputnya ke butik Clara? Atau hanya kebetulan hari ini saja? "O-Om mau jemput aku?" Andina masih tidak percaya! "Siap-siap. Aku jalan sekarang!"Tanpa menunggu persetujuan Andina, Bram segera menutup sambungan telepon. Seperti biasanya, lelaki itu seolah tidak mau dibantah. Setelah sambungan terputus, Andina meletakkan ponsel di atas meja sambil menghela napas panjang, sebuah hal yang langsung disadari Clara yang kebetulan masuk ke dalam ruangan. "Eh kenapa?" Tanya Clara yang langs
"Aku dapat kabar, setelah kita pergi tadi, mama ribut sama Ken. Dia diusir."Andina seketika menghentikan kunyahannya, ia segera mengangkat wajah, menatap Bram dengan ekspresi terkejut. "Dia diusir sama mama?" Andina terkejut, itu artinya .... "Jangan sedih dulu, paling dua hari ntar dia balik."Andina yang tadi sudah sangat antusias, seketika mencebik kesal. Ia bahkan reflek mencubit lengan Bram yang duduk tepat di sebelahnya. Sebuah spontanitas yang sedetik kemudian membuatnya canggung. "Serius. Dua hari aja ntar dia balik." Ujar Bram lagi. "Kenapa pake balik lagi?" Tanya Andina sembari pura-pura menyendok nasinya. "Sejak kapan mama-papanya kasih izin dia keluar dari rumah itu?" Memang benar, bukankah Bram sudah menceritakan kenapa Ken harus ikut tinggal di rumah itu? Sementara mama dan papanya bolak-balik urus bisnis keluar negeri. Menurut cerita Bram, keluarga Ken tidak punya aset properti selain apartment untuk sekedar singgah di negera ini. Semua pasti akan kembali ke ista
"Kamu merasa ada yang aneh nggak sih sama keluarga suami kamu? Kok rasanya ganjil gitu, ya?" Clara terlihat tengah berpikir keras, keningnya bahkan sampai berkerut. Andina yang tadinya sudah serius dengan design yang ada di depan mata, mendadak konsentrasinya buyar. Apa yang membuat gadis itu terlihat begitu keras berpikir? "Aneh gimana?" Meskipun Clara sahabt baik Andina, namun Andina tentu tidak sembarangan menceritakan semua hal tentang keluarga suaminya, hanya beberapa dan ya ... belum tersentuh oleh Bram adalah satu dari beberapa hal yang Andina ceritakan pada Clara. "Ya aneh, An. Mereka pengusaha, kan? Kenapa kakak ipar kamu nggak punya satupun aset properti di sini?" Tanya Clara yang ternyata sudah berpikiran sampai ke sana. "Mereka ada apartmen, Ra. Dan infonya gedung untuk kantor mereka itu udah gedung milik sendiri." Jelas Andina yang kembali mencoba serius dengan pekerjaannya. "Nah! Gedung perkantoran aja mereka ada loh, masak cuma rumah mereka nggak beli?"
"Tuh kan? Apa aku bilang!" Bisik Bram ketika mereka melangkah menuju meja makan malam ini. Ken sudah duduk di sebelah sang istri. Melihat itu, Andina tersenyum masam, ia lantas balas berbisik dengan begitu lirih. "Om salah. Tadi kata Om dua hari baru balik ke rumah. Lah ini? Belum juga sehari." Bisik Andina lalu segera menjauhkan wajah. Bram tidak menjawab, langkah mereka sudah begitu dekat dengan meja makan. Bram segera menaik kursi, mempersilahkan Andina duduk lalu menarik satu lagi untuk dia sendiri. "Malam, Ma." Sapa Bram begitu dia duduk. Hanya Mar yang dia sapa, tidak dengan sepasang suami-istri yang sudah lebih dulu duduk di depan mereka. "Gimana hari pertama kerja, An?" Mar hanya menanggapi sapaan itu dengan seulas senyum, ia malah tertarik dengan hari pertama Andina bekerja. "Langsung sibuk, Ma. Punya bos temen sendiri ternyata lebih menyebalkan." Kelakar Andina yang kembali sukses membuat senyum Mar menghiasi wajah. "Terkadang memang gitu sih. Yang penting kamu enjoy
"Kalian hati-hati jaga rumah, ya? Mama tinggal dulu."Setelah sarapan, Mar segera bersiap berangkat. Bahkan barang bawaannya dan Tamara yang entah apa tujuannya ikut, sudah tertata rapi di bagasi mobil. Andina tersenyum, agaknya selama seminggu ini ia bisa sedikit tenang berada di rumah, ya kecuali kalau suami dari sang adik sudah pulang bekerja. "Kabarin kalau udah sampai sana ya, Ma. Mama hati-hati di jalan." Andina mencium punggung telapak tangan Mar dengan penuh hormat, disusul suaminya dan juga Ken yang tentu saja ikut melepas istrinya pergi bersama sang nenek. "Ken, kamu kalo jadi nyusul bawa mobil sendiri. Kebiasaan kalau balik sini nggak muat mobilnya buat bawa oleh-oleh."Diberi pesan begitu, Ken sontak membelalak. Hanya sebentar karena sedetik kemudian ia mengangguk pelan, tanda bahwa ia mengerti dan paham dengan titah yang ibu ratu berikan. "Baik Eyang. Nanti Ken bawa mobil sendiri." Desisnya kemudian. Mar tidak lagi banyak bicara, ia segera masuk ke dalam mobil yang p
"Ini semua, Om?"Bukan salah Andina kalau ia sampai membelalakkan mata. Baju yang dia bawa cukup banyak. Sampai tiga kantong belanja. Belum yang Bram bawa. Dan jangan lupakan, mereka belanja di departemen store yang cukup tersohor. Meskipun tidak semahal brand baju yang ibu ratu suka pakai, namun berbelanja sebegini banyak pasti tidak mungkin hanya habis tiga-empat juta saja! Darimana Bram akan membayarnya? Kartu kredit itu? Tapi siapa yang nanti akan membayar? Apakah mama mertuanya? Atau jangan-jangan itu kartu kredit yang diberikan mama mertua Andina untuk anak lelakinya itu? "Iya semua. Cocok kok kamu pakai." Sahut Bram seraya melenggang menuju kasir. "Ya tapi ... Om!" Andina segera mengejar langkah Bram yang sudah cukup jauh darinya. "Om kita perlu pilih lagi deh bajunya. Ma--.""Untuk apa? Udah bawa sini!" Bram meletakkan tas yang dia bawa ke atas meja kasir, lalu meraih tas di tangan Andina."Ta--.""Katanya mau creambath? Sana sekalian mau spa atau apa terserah. Biar aku yan
"Siap?"Mereka sudah berdiri di depan pintu ruang inap Tamara, Andina menoleh ke arah Bram, mengangguk cepat lalu meraih knop pintu. Perlahan ia mendorong pintu, melangkah masuk ke dalam dan berdiri mematung sembari menatap yang ada di sana. Baik Andina maupun Tamara sama-sama tertegun, mereka saling pandang sampai kemudian Tamara bangkit dari sofa dan berhambur memeluk Andina."Kenapa nangis?" Andina tak sadar bahwa di detik dia bertanya pada sang adik, dia pun tenah menitikkan air mata."Aku minta maaf, Kak. Aku udah banyak banget dosa sama kamu. Aku jahat, aku bukan adik yang baik. Demi apapun, tolong maafkan aku." desis suara itu bercampur tangis. Andina mengela napas panjang, dibiarkan air matanya menitik. Ia mengusap punggung Tamara, membawa wanita itu melangkah ke sofa yang ada di ruangan. Andina mendudukkan Tamara di sofa, mencengkeram lembut bahu sang adik sembari menatapnya dengan saksama."Kamu mau aku memaafkan mu?" tanya Andina tanpa memalingkan wajah. Bisa dia lihat T
"Tamara nungguin di sini aja, Pa. Boleh?"Hendra menghela napas panjang, hari ini Tamara sudah boleh pulang karena kondisinya sudah stabil, hanya saja untuk bayinya, dokter masih harus merawatnya secara intensif sampai kondisinya stabil dan bisa ikut dibawa pulang. "Kalau begitu, biar papa nego sama pihak rumah sakit untuk perpanjangan kamarmu."Mereka tidak pakai asuransi dan kamar yang mereka sewa bukan kamar komersil. Agaknya dari pihak rumah sakit tidak akan keberatan jika mereka memperpanjang sewa kamar sampai bayi Tamara bisa ikut pulang. "Terimakasih banyak, Pa." ucap Tamara dengan nada getir. Hendra tersenyum, ia melangkah mendekati anak bungsunya itu, menatap mata yang seketika memerah dan menitikkan air mata. Hendra tidak pernah mengira, bahwa Tamara yang sejak kecil selalu dia manjakan, harus bernasib semalang ini. "Kamu sudah tentukan keputusan-keputusan apa yang akan kamu ambil setelah ini?" sebuah obrolan dewasa yang terdengar sangat serius. Mendapat pertanyaan itu,
"Papa sangat bersyukur dan berterimakasih kamu sudah mau memaafkan papamu ini, An."Hendra melangkah keluar rumah, ditemani Bram dan Andina yang turut mengantarkan Hendra ke depan. Setelah bicara dari hati ke hati, Andina akhirnya luluh dan memilih untuk memaafkan semua. Ya ... semua yang sudah terjadi kecuali wanita jahat itu. Hati Andina sudah lebih tenang. Sakit yang dia rasakan sampai membuat sesak dada, kini sudah lenyap tak bersisa. "Andina tidak pernah tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi dulu, Pa. Lagi pun, semua sudah terjadi, apapun yang kita lakukan tidak akan bisa membuat semua balik lagi. Jadi berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya yang bisa aku lakukan." ucap Andina dengan mata memerah. "Papa paham, An. Papa benar-benar bangga sama kamu. Kamu putri terbaik yang papa miliki, An."Dipuji begitu Andina hanya tersenyum getir, ia menghela napas panjang, memalingkan wajah sejenak untuk menyembunyikan air mata yang kembali mengambang. "Papa izin pamit, ya. Kalian ist
"Mama denger kakak nolak ajakan Ken buat berhubungan badan, Oma. Waktu itu malam hari, pas rumah sepi dan dia main ke rumah." Tamara mulai menceritakan petaka apa yang dia ciptakan sendiri kala itu. Sebuah petaka yang sungguh sangat dia sesali kini. "Mereka ribut, Ken terus pamit pulang. Dan setelah malam itu mama punya rencana buat nyingkirin kakak dari perjodohan itu."Mursiyati menghela napas panjang, tidak ada kemarahan di wajah itu. Toh mau marah pun tidak ada artinya sekarang. Tamara sudah mendapatkan hukuman dari apa yang sudah dia lakukan, jadi untuk apa marah? "Terus mulai kapan rencana mamamu jalan?" rasa penasaran Mursiyati masih besar, peristiwa itu sangat memalukan, ia tidak akan pernah lupa akan hari itu. "Seminggu setelahnya, waktu ulang tahun papa. Oma ingat kita undang Ken buat gabung makan malam?"Ingatan Mursiyati kembali pada masa itu. Ah benar! Ken ikut datang dan makan malam bersama mereka saat itu. Ia masuk kamar lebih dulu, jadi tidak tahu apa-apa saja yang
"Mengapa aku harus kesana?" tanya Andina dengan nada dingin. Wajah Sandra terus terbayang-bayang, membuat emosi Andina kembali bergejolak jika teringat apa yang sudah perempuan itu lakukan pada ibunya. "Bagaimanapun, kalian saudara kandung, An. Ibu kalian boleh beda, tapi asal mula kalian tetap satu, papa Hendra. Kalian dari sumber sperma yang sama." jelas Bram tanpa memalingkan wajah. Andina menghela napas panjang, matanya tiba-tiba memanas. Namun ia berusaha menahan semua perasaan yang mulai bergejolak memporak-porandakan dirinya. "Faktanya, dia yang tidak mau bersaudara denganku, Mas. Aku masih ingat dulu ... aku membawakan dia hasil kerajinan tangan dari sekolah yang aku buat khusus untuknya, kubelikan beberapa tangkai mawar untuk dia, tapi Mas tahu apa yang dia lakukan?"Andina menjeda ceritanya, melirik Bram yang pada saat yang sama tengah melirik juga ke arah Andina. "Biar ku tebak, dia tak mau menerima hadiah dari mu?"Andina tersenyum getir. "Dia terima vas berserta maw
'Mamamu yang menyebabkan kecelakaan itu, Tam. Dia yang membunuh mama Andina.'Dunia Tamara seolah terhenti seketika. Obrolan itu sudah berakhir beberapa saat yang lalu, namun tiap detail obrolan masih berdengung di telinga Tamara. Masalah apa lagi ini? Jadi bukan hanya Ken yang akan dipenjara, tetapi juga mamanya? Lalu bagaimana hidup Tamara selanjutnya? Setelah ini dia harus bagaimana? "Tam ... ngelamun?" Tamara tersentak, Hendra tersenyum getir, ia datang membawa kotak pizza dan sushi yang sama, seperti yang dia pesan untuk Tamara tadi."Kamu tadi belum jadi makan, kan? Ayo sekarang makan." Hendra membuka kotak pizza, menyodorkan tepat di depan Tamara. Melihat bagaimana Hendra men-treat dirinya, Tamara kontan menitikkan air mata. Hatinya yang kalut dan kacau mendadak berubah sedikit lebih tenang, ia masih punya Hendra dan laki-laki ini adalah orang yang mencintai Tamara tanpa syarat, tanpa batas waktu berakhir. "Aku nggak lapar, Pa. Nggak napsu mau makan." jawab Tamara yang hany
"Rahasia apa lagi yang kalian tutupi dari aku?"Selera makan Tamara lenyap seketika, ia yakin masih ada yang ditutupi darinya, oleh karena itu ia mencecar empat orang yang duduk di sekeliling bed. Ada Mur yang baru saja datang beberapa saat yang lalu, bisa Tamara lihat neneknya itu terkejut, mungkin dia juga baru tahu, berbeda dengan tiga orang yang lain. Tamara merasa tubuhnya begitu ringan. Ia kehilangan semangat dan apapun itu. Bisa dibayangkan, kamu yang belum menerima kenyataan bahwa suamimu bangkrut dan semua aset disita, berikut milik mertuamu, lalu mendadak harus melahirkan lebih awal, masih ditambah mendapat kenyataan bahwa suamimu ternyata menghamili wanita lain dan harus berhadapan dengan hukum. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Tamara saat ini? "Lebih baik kamu istirahat dulu, Tam. Kamu butuh banyak istirahat setelah apa yang terjadi." Mar tersenyum kikuk, sangat ketara sekali bahwa dia ingin mengalihkan pembicaraan. "Nggak bisa gitu, Eyang! Aku yakin masih ada yang d
"Jangan dicabut lagi, ya? Kecuali nanti dokter yang suruh." Hendra berbisik, infus sudah kembali terpasang di tempatnya, sementara Tamara, ia masih berada dalam pelukan Hendra, terisak dengan nada lirih. "Sudah tenang? Papa nunggu kamu cerita, Tam."Walau sebenarnya Hendra sudah tahu semua masalah yang bahkan Tamara mungkin belum tahu, tapi tentu dia perlu berpura-pura pada awalnya. Mendadak kalimat Andina kembali terngiang-ngiang di kepala.'Aku yang dapat karmanya, Pa! Aku yang harus nanggung semua dosa Papa!'Apakah mungkin bukan hanya Andina yang harus menanggung karma dan dosa atas apa yang dulu Hendra lakukan? Rasanya Hendra ingin bunuh diri! Bagaimana tidak, dua anak gadisnya sedang sama-sama hancur seperti ini! Rasanya hati Hendra remuk redam, rasanya benar-benar sakit luar biasa! Tapi kalau Hendra bunuh diri, lalu bagaimana dengan nasib anak-anaknya? Lebih tepatnya Tamara. Dengan kondisi mertua yang bangkrut, suami tersandung permasalahan hukum sepelik ini yang bahkan sudah
Mata Tamara berbinar cerah melihat kotak berisi sushi kenamaan itu sudah berada di meja kecil dipangkuannya. Bukan hanya sushi, tapi juga satu pan mini pizza lengkap dengan fusili kesukaan Tamara. Ada rasa haru menyeruak di hati Tamara. Papanya selalu ingat apa-apa saja yang dia suka dan tak peduli kini dia sudah menjadi seorang ibu, Hendra tetap menganggapnya putri kecil dan selalu memanjakan Tamara. "Habiskan, oke?" Hendra mengacak rambut Tamara dengan gemas, membuat Tamara mencebik dan menatap papanya itu dengan penuh bahagia. "Oke! Siapa takut?" tantang Tamara yang mulai meraih sumpit dan mengambil varian sushi yang ingin ia makan untuk pertama kali. Nasi yang digulung dengan isian salmon dan pepaya serta taburan tobiko ditepiannya adalah varian yang Tamara pilih. Lidahnya sudah begitu rindu citarasa ini. Tamara memejamkan mata ketika ia mengunyah makanan itu pertama kali. Rasa bahagianya meledak-ledak, ia tersenyum sembari satu tangannya meraih ponsel, hendak memotret makanann