"Om sudah bangun?"Andina yang baru saja berhasil membuka mata, sedikit terkejut dengan Bram yang keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Sepagi ini Bram sudah bangun? "Sudah. Kamu cepet mandi. Kita pergi pagi-pagi aja, sekalian cari sarapan di luar." Seulas senyum tergambar di wajah Andina, bagaimana tidak? Itu adalah sebuah ide yang sangat bagus! Tanpa membuang banyak waktu, Andina bangkit dari tempat tidur, ia hendak merapikannya ketika Bram mencekal tangan Andina dan memberi kode melalui gerakan kepala. "Mandilah. Ini biar aku yang urus." Titah Bram dengan nada tak ingin dibantah. Tanpa banyak bicara, Andina segera mengangguk dan melangkah menuju kamar mandi. Sepeninggal Andina, Bram mendengus perlahan, ia menjatuhkan tubuh di tepi ranjang, duduk sambil memijit pelipisnya dengan kedua tangan. Bram sama sekali tidak bisa tidur! Aroma tubuh dan rambut Andina, makin membuat sakit kepalanya terasa menyiksa. Sebuah alasan yang akhirnya membuat Bram memutuskan untuk m
"Nanti pulang jam berapa?"Di sinilah mereka duduk sekarang, di sebuah tikar milik pedangang bubur ayam yang mangkal tak jauh dari butik milik Clara. Andina mengangkat wajah, otaknya masih penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Bram dengan Ken beserta ibunya. Bukankah tadi Bram mengatakan demikian? Punya dendam apa sebenarnya di antara mereka ini? Andina benar-benar dibuat penasaran! "An?"Panggilan itu sebenarnya begitu lirih, namun berhasil membuat Andina melonjak dan menoleh ke arah Bram dengan segera. Menyimpan terlebih dahulu semua rasa penasaran yang hinggap di kepalanya saat ini. "Kamu mikir apa sih?" Tanya Bram tanpa memberikan kesempatan Andina berbicara. "Ah tidak! Nggak apa-apa, Om. Nanti aku balik jam lima." Jawab Andina yang masih ingat pertanyaan yang Bram berikan tadi. "Jangan kemana-mana, jangan pulang duluan sebelum aku jemput. Jangan minta dianterin temen pulang. Pokoknya harus aku yang jemput kamu." Titahnya panjang-lebar. Seketika Andina men
"Hah? Belum kamu pake?"Andina yang berusaha tenang dan fokus pada lembar kosong di depan matanya, kontan mendengus dan melirik kesal ke arah Clara. Gadis itu menatapnya dengan tatapan terkejut yang seketika mampu membuat konsentrasi Andina buyar. Andina meletakkan pensil yang sejak tadi berada dalam genggaman, ia menoleh, balas menatap Clara yang masih menantikan jawaban dari Andina. "Kamu mau design ini cepet selesai, nggak?" Ancam Andina dengan nada serius. Meskipun Clara bos di sini, namun Andina juga punya peran penting. Ada tiga request customer untuk gaun pernikahan dan Andina bisa saja menjadikan hal ini sebagai ancaman. "Eh ... Ya nggak gitu juga dong! Ya harus selesai dong itunya. Bulan depan dipake itu, mepet banget waktunya." Sorot itu berubah mengiba, ditambah senyum lebar yang langsung membuat Andina mencebik gemas. "Makanya! Diem-diem dulu ngapa sih? Masih dua noh, katamu minggu depan revisi sketch sama kustomernya!" Omel Andina kembali meraih pensil yang tadi ia g
"Sudah jam makan siang?"Mendengar itu, Andina kehilangan kata-kata. Antara terkejut, bingung dan takjub. Bram bisa se perhatian ini kepadanya? Atau Andina saja yang terlalu PD dan berekspektasi tinggi? "Li-lima belas menit lagi, Om. Ada apa?" Andina tak mau Bram membaca keterkejutannya, meskipun ia yakin Bram tahu dari gugupnya nada bicara Andina. "Oke. Aku jemput. Kita makan siang sama-sama. Bosmu nggak nyediain lunch di kantor, kan?"Speechless! Jadi Bram mau bolak-balik tiga kali sehari mengantar-jemputnya ke butik Clara? Atau hanya kebetulan hari ini saja? "O-Om mau jemput aku?" Andina masih tidak percaya! "Siap-siap. Aku jalan sekarang!"Tanpa menunggu persetujuan Andina, Bram segera menutup sambungan telepon. Seperti biasanya, lelaki itu seolah tidak mau dibantah. Setelah sambungan terputus, Andina meletakkan ponsel di atas meja sambil menghela napas panjang, sebuah hal yang langsung disadari Clara yang kebetulan masuk ke dalam ruangan. "Eh kenapa?" Tanya Clara yang langs
"Aku dapat kabar, setelah kita pergi tadi, mama ribut sama Ken. Dia diusir."Andina seketika menghentikan kunyahannya, ia segera mengangkat wajah, menatap Bram dengan ekspresi terkejut. "Dia diusir sama mama?" Andina terkejut, itu artinya .... "Jangan sedih dulu, paling dua hari ntar dia balik."Andina yang tadi sudah sangat antusias, seketika mencebik kesal. Ia bahkan reflek mencubit lengan Bram yang duduk tepat di sebelahnya. Sebuah spontanitas yang sedetik kemudian membuatnya canggung. "Serius. Dua hari aja ntar dia balik." Ujar Bram lagi. "Kenapa pake balik lagi?" Tanya Andina sembari pura-pura menyendok nasinya. "Sejak kapan mama-papanya kasih izin dia keluar dari rumah itu?" Memang benar, bukankah Bram sudah menceritakan kenapa Ken harus ikut tinggal di rumah itu? Sementara mama dan papanya bolak-balik urus bisnis keluar negeri. Menurut cerita Bram, keluarga Ken tidak punya aset properti selain apartment untuk sekedar singgah di negera ini. Semua pasti akan kembali ke ista
"Kamu merasa ada yang aneh nggak sih sama keluarga suami kamu? Kok rasanya ganjil gitu, ya?"Clara terlihat tengah berpikir keras, keningnya bahkan sampai berkerut. Andina yang tadinya sudah serius dengan design yang ada di depan mata, mendadak konsentrasinya buyar. Apa yang membuat gadis itu terlihat begitu keras berpikir? "Aneh gimana?" Meskipun Clara sahabt baik Andina, namun Andina tentu tidak sembarangan menceritakan semua hal tentang keluarga suaminya, hanya beberapa dan ya ... belum tersentuh oleh Bram adalah satu dari beberapa hal yang Andina ceritakan pada Clara. "Ya aneh, An. Mereka pengusaha, kan? Kenapa kakak ipar kamu nggak punya satupun aset properti di sini?" Tanya Clara yang ternyata sudah berpikiran sampai ke sana. "Mereka ada apartmen, Ra. Dan infonya gedung untuk kantor mereka itu udah gedung milik sendiri." Jelas Andina yang kembali mencoba serius dengan pekerjaannya. "Nah! Gedung perkantoran aja mereka ada loh, masak cuma rumah mereka nggak beli?" Protes Clar
"Tuh kan? Apa aku bilang!" Bisik Bram ketika mereka melangkah menuju meja makan malam ini. Ken sudah duduk di sebelah sang istri. Melihat itu, Andina tersenyum masam, ia lantas balas berbisik dengan begitu lirih. "Om salah. Tadi kata Om dua hari baru balik ke rumah. Lah ini? Belum juga sehari." Bisik Andina lalu segera menjauhkan wajah. Bram tidak menjawab, langkah mereka sudah begitu dekat dengan meja makan. Bram segera menaik kursi, mempersilahkan Andina duduk lalu menarik satu lagi untuk dia sendiri. "Malam, Ma." Sapa Bram begitu dia duduk. Hanya Mar yang dia sapa, tidak dengan sepasang suami-istri yang sudah lebih dulu duduk di depan mereka. "Gimana hari pertama kerja, An?" Mar hanya menanggapi sapaan itu dengan seulas senyum, ia malah tertarik dengan hari pertama Andina bekerja. "Langsung sibuk, Ma. Punya bos temen sendiri ternyata lebih menyebalkan." Kelakar Andina yang kembali sukses membuat senyum Mar menghiasi wajah. "Terkadang memang gitu sih. Yang penting kamu enjoy
"Kalian hati-hati jaga rumah, ya? Mama tinggal dulu."Setelah sarapan, Mar segera bersiap berangkat. Bahkan barang bawaannya dan Tamara yang entah apa tujuannya ikut, sudah tertata rapi di bagasi mobil. Andina tersenyum, agaknya selama seminggu ini ia bisa sedikit tenang berada di rumah, ya kecuali kalau suami dari sang adik sudah pulang bekerja. "Kabarin kalau udah sampai sana ya, Ma. Mama hati-hati di jalan." Andina mencium punggung telapak tangan Mar dengan penuh hormat, disusul suaminya dan juga Ken yang tentu saja ikut melepas istrinya pergi bersama sang nenek. "Ken, kamu kalo jadi nyusul bawa mobil sendiri. Kebiasaan kalau balik sini nggak muat mobilnya buat bawa oleh-oleh."Diberi pesan begitu, Ken sontak membelalak. Hanya sebentar karena sedetik kemudian ia mengangguk pelan, tanda bahwa ia mengerti dan paham dengan titah yang ibu ratu berikan. "Baik Eyang. Nanti Ken bawa mobil sendiri." Desisnya kemudian. Mar tidak lagi banyak bicara, ia segera masuk ke dalam mobil yang p