"Sudah?" Suara itu menyapa Andina dengan lembut. Andina yang baru saja beres menjalani me timenya, sudah berdiri di depan pintu masuk loby. "Om masih sibuk? Kalo gitu mending a--." "Tengok ke arah jam tiga dari tempatmu berdiri. Aku sudah di sini sejak beberapa saat yang lalu." Potong suara itu yang langsung membuat mata Andina membelalak. Tanpa membalas kalimat itu, Andina segera celingak-celinguk sesuai instruksi yang tadi Bram berikan. Benar saja! Mobil Bram terpakir di bawah pohon tak jauh dari pintu masuk loby mall. "Oke, aku kesana Om!" Andina mematikan sambungan telepon, ia memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas. Langkahnya segera terayun menuju di mana mobil Bram berada. Bram sudah sejak menunggu di sana? Kenapa dia tidak memberitahu Andina? "Maaf kalau lama, Om." Desis Andina begitu masuk ke dalam mobil. "Nggak masalah, yang penting kamu happy." Ucap Bram lalu menghidupkan mesin mobil. Andina melirik Bram dari tempatnya duduk, kalimat tadi masih terngian
"Mana kunyuk itu? Nggak pulang dia? Mobilnya nggak ada, tumben?" Tanya Bram pada salah seorang pekerja di rumahnya. "Oh Mas Ken? Belum pulang, Mas. Nggak kasih kabar juga ke rumah." Jawab suara itu sopan. "Istrinya nggak ada, mana mungkin dia balik." Gumam Bram lalu melangkah menuju anak tangga. Siapa yang tak tahu kelakuan bocah itu di luar rumah? Semua tahu, tapi agaknya semua memilih tutup mata. Bram pun tidak peduli, semua tingkah-polah anak itu sama sekali tidak merugikan Bram. Atau sebenarnya malah menguntungkan? Bukankah karena polah anak itu, Bram jadi bisa memiliki Andina sekarang ini? Bram mendesah panjang. Ia memang memiliki Andina, namun bukan 'memiliki' seperti apa yang dipikirkan orang-orang. Mereka hanya terikat status, tanpa diikuti hal-hal lain yang semestinya. Bram menekan knop pintu, mendorong pintu dan membawa kakinya melangkah. Langkah Bram terhenti ketika melihat Andina tengah sibuk menyusun baju-baju baru yang tadi ia belikan untuk sang istri. Penampilan
"Masih sakit?"Disela-sela permainan mereka, Bram masih terpikirkan untuk menanyakan hal itu. Ia tahu betul, ini adalah yang pertama kali untuk Andina. Cengkeraman kuat tangan Andina, jeritan kecil saat Bram mulai merangsak masuk dan tak lupa lelehan air mata serta sensasi ketat yang teramat sangat dari diri Andina di bawah sana adalah bukti otentik bahwa Bram adalah laki-laki pertama dalam hidup Andina. Mata itu perlahan membuka, ada sisa bayangan air mata di sana. Bram tahu, dari sorot mata itu, Andina tengah kebingungan dengan apa yang kini ia rasakan. Bram berani bertaruh, rasa perih dan sakit itu masih mendominasi, meskipun rasa nikmat itu sudah perlahan-lahan memanjakan Andina. Sebenarnya Bram ingin mempercepat temponya, namun ia begitu takut ini akan semakin menyakiti sang istri. Bram memang sudah dua kali menikah sebelumnya. Namun menghadapi perawan, ini baru pertama kali untuk Bram dalam seumur hidup. Lawan main Bram yang dulu-dulu sudah mempunyai jam terbang yang tinggi, k
Bram mengerjapkan mata dan sedikit terkejut ketika menyadari ada tangan yang memeluk tubuhnya erat-erat. Ia tersenyum ketika mendapati siapa pemilik tangan yang memeluk tubuhnya itu. Tubuh mereka masih polos tanpa sehelai benang pun, hanya selimut yang menyembunyikan kenyataan itu sampai atas dada. Bram menjatuhkan kecupan di puncak kepala sang istri. Entah mengapa, kini rasanya hidup Bram seperti terlahir kembali. Ada semangat yang sebelumnya padam, kini kembali menyala dan membara. Membakar tidak hanya gairah Bram yang telah lama terpendam, tetapi juga semangat hidup dan daya juangnya kembali. "Love you, An!" Bisik Bram lirih. Ya! Tidak salah lagi, Bram memang sudah jatuh hati pada istri yang dipilihkan ibunya. Gadis yang awalnya Bram tolak karena bukan hanya jarak umur mereka yang cukup jauh, tetapi juga status Andina yang merupakan mantan tunangan dari keponakannya sendiri. Terlebih malam apa yang baru saja mereka lewati bersama, makin membuat Bram terpikat oleh gadis yang dic
"An? Kamu nggak kerja?"Andina samar-samar mendengar suara itu. Ia mengerjapkan mata, nampak cahaya matahari sudah masuk memenuhi kamar. Begitu melihat wajah itu begitu dekat, mata Andina sontak terbuka lebar. Benar saja, Bram sudah duduk di tepi ranjang, wajahnya bahkan condong menunduk dan berjarak tak jauh dari wajah Andina. "O-Om? Jam berapa?" Tanya Andina yang sedetik kemudian langsung mencari dinding di mana jam itu berada. "Astaga! Jam tujuh?"Seketika Andina bangkit, saking spontannya, puncak kepala Andina sampai bertubrukan dengan wajah Bram. Nampak mereka mengaduh bersamaan. "Maaf Om!" Desis Andina yang seketika menyentuh bagian wajah Bram yang beradu dengan kepalanya tadi."Its okay, An. Nggak apa-apa. Bangun, cepat bersiap lalu aku anter kerja." Titahnya tegas. "Oh ya, satu lagi ... Sampai kapan kamu mau terus panggil aku Om begitu?"Pertanyaan itu menyimpan nada gemas, Andina hanya nyengir lebar ditanya begitu, sementara Bram masih menatap Andina dengan saksama. Mata m
"Sedetail itu dia perhatian sama kamu, An?" Clara membelalakan mata, Andina hanya melirik sekilas, kembali sibuk dengan jarum dan payet di piring. "Gila, An! Bener-bener jackpot ini mah!" Lanjut Clara yang masih nampak berapi-api. "Dia seefort itu, seperhatian itu dan kamu belum bisa terima dia di hati kamu, An?"Jemari Andina yang tadi sibuk memasang payet di gaun pesta, seketika terhenti mendengar pertanyaan yang Clara lontarkan. Andina nampak tertegun sejenak, membuat Clara sontek nyengir lebar dan menggeser duduknya sediki lebih dekat."Hayo loh ... Ngaku coba, kamu udah ada rasa, kan?" Desak Clara yang selalu bisa membaca ekspresi dan sorot mata Andina.Melihat Andina yang nampak panik ditanya begitu, tawa Clara seketika pecah. Ia tertawa sambil menarik piring berisi payet yang ada di depan Andina, merebut paksa jarum dari tangan Andina lalu menatap Andina dengan tatapan antusias. "Lingerie kemarin udah dicoba berarti? Gimana, dia bukan gay, kan?""Bukanlah!" Sahut Andina cepat
"Nunggu lama?"Andina tersenyum, ia segera memakai seat belt terlebih dahulu daripada menjawab pertanyaan yang Bram ajukan padanya."Nggak kok, lagian tadi juga belum kelar, Mas. Sekalian rampungin pasang kristal, nanggung. Emang Mas tadi dari mana?"Sebuah kesempatan kalau Andina bilang. Bukankah dia penasaran setengah mati dengan segala macam gerak-gerik suaminya ini? Jadi seperti yang Clara sarankan tadi, Andina harus banyak mengajak lelaki itu mengobrol. "Dapet undangan main golf. Kapan-kapan ikut, ya?"Speechless. Undangan main golf? Dari siapa dan sejak kapan suaminya ini suka main golf? Atau sebenarnya sudah dari dulu dan Andina baru tahu sekarang ini? "Dari siapa? Aku baru tahu kalau Mas suka main golf. Cantik-cantik pasti caddy-nya, kan?" Cecar Andina yang entah mengapa hatinya merasa tak suka jika ingat wanita-wanita cantik yang bekerja di lapangan golf itu. Diluar dugaan, Bram terbahak tepat satu detik setelah Andina mencecarnya dengan pertanyaan beruntun. Mendengar taw
"Mama masih betah di sana, ya?" Tanya Andina pada Bram, ini sudah hari ke delapan. "Ken katanya tadi udah nyusul. Paling telat lusa udah balik. Kenapa?" Jawab Bram tanpa mengangkat wajah dari depan layar ponsel. Melihat sang suami fokus pada ponsel dan terkesan mengabaikan, Andina seketika menjadi kesal. Ia mengerucutkan bibir, melangkah ke kemari pakaian dan mengambil sesuatu dari sana. Bram masih sibuk berkutat dengan ponselnya, Andina pun segera melangkah menuju kamar mandi, membiarkan Bram asik dengan entah apa yang ada di sana. Password ponsel Bram adalah hal yang belum Andina dapatkan saat ini. Ah ... Bukan hanya pasword, berapa nominal deposito milik suami dan apa yang dia lakukan di luar rumah pun Andina belum mendapatkan jawaban. Ia tidak mau terlalu terburu-buru, Andina tak ingin Bram punya pemikiran negatif tentang dirinya. Andina segera melucuti pakaiannya, ia sudah rapi dengan sleep dress satin sebenarnya, namun melihat Bram yang nampak asik dengan ponsel, m