"Om? Om nggak apa-apa, kan?"Mendengar itu sontak Bram sersentak. Dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia ... Ah! Tapi bukan salah Bram juga! Penampilan Andina yang kini duduk di sebelahnya benar-benar berbeda. Bukan hanya karena frame kacamata yang Bram pilihkan sebagai ganti kacamata Andina yang lama, tetapi juga treatment yang Andina lakukan pada rambut panjangnya, mampu merubah penampilan Andina yang biasanya tampak cupu, menjadi sangat berbeda. "Om? Kenapa sih? A-aku keliatan aneh, ya?""Kamu cantik!" Jawab Bram reflek, ia segera membawa mobilnya pergi dari sana. Mendadak Bram menjadi canggung. Terlebih pendapat jujur yang tadi ia utarakan membuat suasana menjadi hening. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Andina saat ini? "Te-terimakasih banyak, Om." Desis suara itu yang juga terdengar begitu canggung. "Terimakasih untuk?" Bram berusaha menekan segala macam perasaan dalam dirinya yang berkecamuk. "Sekali lagi untuk kacamata dan lain-lain yang Om belikan
"... Kamu mau aku minta eyang usir mereka dari rumah? Iya?"Tamara mengangkat wajah, ia menatap sang suami dengan mata berlinang. "Emang bisa? Bisa emang kita bujuk eyang buat usir mereka dari sini?" Tantang Tamara yang ragu, ia tidak berharap banyak hal itu bisa terwujud. Ken menghela napas panjang, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Melihat itu, Tamara makin yakin bahwa meskipun lelaki itu pengangguran, mereka tidak akan bisa melawan atau bahkan mengusir mereka dari sini. "Kita pindah aja gimana?" Tawar Ken yang mencoba mencari solusi. "Pindah?" Tamara membelalak terkejut. "Kemana?""Apartemen aku? Bulan depan masa sewanya habis. Jadi bisa kita tempati nanti."Mendengar itu kontan Tamara mencebik. Dengan tegas ia menggelengkan kepala. Ken memang punya aset sebuah apartemen, hanya saja unit itu begitu kecil! Hanya ada satu kamar di sana dan bukan apartemen tipe mewah. Sedangkan rumah ini ... Jangan ditanya! Rumah ini punya segalanya dengan kolam renang luas, halaman belakang den
"Kau lihat bagaimana dia menatapmu tadi?"Sembari melangkah menapaki anak tangga, Bram berbisik lirih ke telinga Andina. "Dia siapa?" Tanya Andina tak mengerti. "Siapa lagi kalau bukan adik kandung mu, ah ... Aku lupa, mantan tunangan kamu juga."Andina tertegun, ia mendengar nada aneh di akhir kalimat Bram. Namun Andina segera mengabaikannya, ia fokus pada kalimat yang Bram katakan barusan. "Memang kenapa?"Bram menghela napas panjang, ia tak menjawab, memilih untuk melangkah lebih cepat. Melihat itu, Andina ikut mempercepat langkah, ia segera mengejar langkah sang suami. "Om, memang ada apa?" Tanya Andina begitu mereka sudah ada di dalam kamar. Bram menjatuhkan diri di tepi ranjang, matanya menatap Andina yang masih berdiri di balik pintu. "Yang satu sirik liat perubahan kamu dan yang satu ...."Mendengar Bram tidak melanjutkan kalimatnya, Andina melangkah menghampiri Bram yang tengah duduk di tepi ranjang. Ia duduk tepat di samping Bram, membuat jarak mereka begitu dekat. "Y
"Om nggak buka tasnya, kan?" Bram mengumpat dalam hati, untung saja dia bisa mengendalikan diri, sehingga tetap terlihat tenang meskipun sekarang pikirannya sedang semrawut karena isi dalam paper bag milik Andina. "Memang apa isinya? Coba buka!" Titah Bram berusaha menyakinkan. "Ah tidak! Bu-bukan apa-apa!" Andina segera membawa paper bag itu, lalu membawanya dalam pelukan dan bergegas bangkit dari duduknya. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Bram yang segera mendesah panjang begitu Andina menghilang dari hadapannya. "Sialan!" Bram mendecih perlahan, kepalanya makin terasa sakit. Langkahnya terayun menuju tempat tidur, menjatuhkan tubuhnya di sana dan mencoba memejamkan mata, yang sialnya, malah bayangan nakal itu yang hadir dalam otaknya ketika mata Bram terpejam. Bram segera membuka kembali matanya, kepalanya sudah teramat sakit. Rasanya ia ingin .... Sesaat Bram tertegun, bukankah tadi Andina membawa serta paper bag itu m
"Om sudah bangun?"Andina yang baru saja berhasil membuka mata, sedikit terkejut dengan Bram yang keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Sepagi ini Bram sudah bangun? "Sudah. Kamu cepet mandi. Kita pergi pagi-pagi aja, sekalian cari sarapan di luar." Seulas senyum tergambar di wajah Andina, bagaimana tidak? Itu adalah sebuah ide yang sangat bagus! Tanpa membuang banyak waktu, Andina bangkit dari tempat tidur, ia hendak merapikannya ketika Bram mencekal tangan Andina dan memberi kode melalui gerakan kepala. "Mandilah. Ini biar aku yang urus." Titah Bram dengan nada tak ingin dibantah. Tanpa banyak bicara, Andina segera mengangguk dan melangkah menuju kamar mandi. Sepeninggal Andina, Bram mendengus perlahan, ia menjatuhkan tubuh di tepi ranjang, duduk sambil memijit pelipisnya dengan kedua tangan. Bram sama sekali tidak bisa tidur! Aroma tubuh dan rambut Andina, makin membuat sakit kepalanya terasa menyiksa. Sebuah alasan yang akhirnya membuat Bram memutuskan untuk m
"Nanti pulang jam berapa?"Di sinilah mereka duduk sekarang, di sebuah tikar milik pedangang bubur ayam yang mangkal tak jauh dari butik milik Clara. Andina mengangkat wajah, otaknya masih penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi antara Bram dengan Ken beserta ibunya. Bukankah tadi Bram mengatakan demikian? Punya dendam apa sebenarnya di antara mereka ini? Andina benar-benar dibuat penasaran! "An?"Panggilan itu sebenarnya begitu lirih, namun berhasil membuat Andina melonjak dan menoleh ke arah Bram dengan segera. Menyimpan terlebih dahulu semua rasa penasaran yang hinggap di kepalanya saat ini. "Kamu mikir apa sih?" Tanya Bram tanpa memberikan kesempatan Andina berbicara. "Ah tidak! Nggak apa-apa, Om. Nanti aku balik jam lima." Jawab Andina yang masih ingat pertanyaan yang Bram berikan tadi. "Jangan kemana-mana, jangan pulang duluan sebelum aku jemput. Jangan minta dianterin temen pulang. Pokoknya harus aku yang jemput kamu." Titahnya panjang-lebar. Seketika Andina men
"Hah? Belum kamu pake?"Andina yang berusaha tenang dan fokus pada lembar kosong di depan matanya, kontan mendengus dan melirik kesal ke arah Clara. Gadis itu menatapnya dengan tatapan terkejut yang seketika mampu membuat konsentrasi Andina buyar. Andina meletakkan pensil yang sejak tadi berada dalam genggaman, ia menoleh, balas menatap Clara yang masih menantikan jawaban dari Andina. "Kamu mau design ini cepet selesai, nggak?" Ancam Andina dengan nada serius. Meskipun Clara bos di sini, namun Andina juga punya peran penting. Ada tiga request customer untuk gaun pernikahan dan Andina bisa saja menjadikan hal ini sebagai ancaman. "Eh ... Ya nggak gitu juga dong! Ya harus selesai dong itunya. Bulan depan dipake itu, mepet banget waktunya." Sorot itu berubah mengiba, ditambah senyum lebar yang langsung membuat Andina mencebik gemas. "Makanya! Diem-diem dulu ngapa sih? Masih dua noh, katamu minggu depan revisi sketch sama kustomernya!" Omel Andina kembali meraih pensil yang tadi ia g
"Sudah jam makan siang?"Mendengar itu, Andina kehilangan kata-kata. Antara terkejut, bingung dan takjub. Bram bisa se perhatian ini kepadanya? Atau Andina saja yang terlalu PD dan berekspektasi tinggi? "Li-lima belas menit lagi, Om. Ada apa?" Andina tak mau Bram membaca keterkejutannya, meskipun ia yakin Bram tahu dari gugupnya nada bicara Andina. "Oke. Aku jemput. Kita makan siang sama-sama. Bosmu nggak nyediain lunch di kantor, kan?"Speechless! Jadi Bram mau bolak-balik tiga kali sehari mengantar-jemputnya ke butik Clara? Atau hanya kebetulan hari ini saja? "O-Om mau jemput aku?" Andina masih tidak percaya! "Siap-siap. Aku jalan sekarang!"Tanpa menunggu persetujuan Andina, Bram segera menutup sambungan telepon. Seperti biasanya, lelaki itu seolah tidak mau dibantah. Setelah sambungan terputus, Andina meletakkan ponsel di atas meja sambil menghela napas panjang, sebuah hal yang langsung disadari Clara yang kebetulan masuk ke dalam ruangan. "Eh kenapa?" Tanya Clara yang langs
"Loh, Om ngapain ke sini?"Ken sangat terkejut ketika mendapati Bram keluar dari ruangan Dharma dengan setelan jas yang begitu rapi. Kening Ken berkerut, jangan bilang kalau .... "Katanya nggak sudi jadi budak korporat, Om? Berubah pikiran nih?" Kejar Ken ketika sosok itu hanya tersenyum tanpa menjawab. "Emang enggak, siapa yang bilang aku ke sini buat jadi budak korporat?" Balas Bram sembari membalas tatapan menyelidik yang Ken tujukan padanya. "Lah? Terus?" Nampak wajah itu belum puas. Kalau bukan untuk melamar pekerjaan di sini, untuk apa omnya itu datang kemari dengan setelan jas rapi? "Ada lah, ntar kamu juga tau." Balas Bram lantas berlalu. Ditinggal begitu saja oleh Bram tanpa diberi jawaban, membuat Ken makin penasaran. Ia lantas melangkah ke depan pintu ruangan Dharma, baru saja ia hendak mengetuk pintu itu, Dharma ternyata sudah lebih dulu keluar dan membuatnya terkejut. "Astaga, Pakdhe!" Hampir Ken memekik, bagaimana tidak kalau tahu-tahu pintu terbuka dan sosok itu m
"Kamu ganteng bener loh kalau pakai jas begini!" Bram menoleh, ia menatap Andina yang berdiri sembari menatap ke arahnya. Bram tersenyum, merapikan dasinya lalu memakai jas sudah disiapkan Andina. "Lebih suka pakai kaos sama celana." Sahut Bram sembari memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Aku lebih suka kamu nggak pake baju."Bram membelalak, ia memutar tubuhnya hingga kini ia bisa melihat secara langsung Andina yang masih tegak berdiri menatap ke arahnya. Wajahnya nampak menahan tawa membuat Bram mendengus sembari melangkah menghampiri sang istri. "Eh apaan?" Andina bergegas menghindar, tawanya pecah sementara Bram, ia masih terus mengejar sang istri sampai akhirnya bisa menarik tubuh itu dalam pelukannya. "Lepasin ih!" Protes Andina sembari berusaha melepaskan diri. "Nggak! Nggak ada lepas! Tadi bilang apa?" Tanya Bram yang malah mempererat pelukannya. "Canda doang! Udah sana berangkat!" Usir Andina yang masih belum bisa melepaskan diri. Bram mendengus, ia mendekatkan
"Mas yakin dia nggak ngamuk nanti?" Andina melirik Bram, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sementara Dharma, tentu ia harus kembali ke kantor. "Kenapa ngamuk? Aku salah apa?" Tanya Bram santai. Andina mendengus, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil dengan mata terpejam. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, tentu Andina paham bagaimana karakter orang satu itu, komplit berserta istri dan anak bungsunya. Kalau dua anaknya yang lain, Andina tidak tahu karena mereka hidup di luar negeri dan dengar-dengar sudah berpindah kewarganegaraan. "Coba aja suruh ngamuk, udah berapa banyak dia bikin rugi aku." Desis Bram ketika istrinya terdiam. "Bukan soal duitnya aja, Mas. Tapi kan sama aja dia dibohongi sama kalian selama ini." Jelas Andina yang tengah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Bodo amat. Punya hak apa dia ingin tahu hal-hal pribadiku?"Andina mengalah, ia tidak lagi membantah. Masing-masing mereka fokus pada kegiatan masing-masing. Br
"Kita mau ketemu siapa?"Mereka sudah berada di dalam mobil, hendak pergi entah ke Selendra dulu atau Lajendra, Andina tidak tahu. Sejak tadi Bram bungkam, dilihat dari sorot wajahnya, ia tengah berpikir keras sekarang. "Banyak orang, Sayang. Nanti kamu juga akan tahu." Jawab Bram sekenanya. Andina menghela napas panjang, kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak banyak bertanya dan menunggu nanti siapa orang yang subuh tadi membuat janji dengan Bram. Apakah benar Dharmawan seperti dugaan Andina? Kalau benar dia, itu artinya selama ini Bram punya andil di perusahaan keluarga yang katanya sudah berpindah kepemilikan. 'Melunasi semua hutang Gunawan dan mengambil alih perusahaan? Rasanya tidak mungkin! Tapi apa yang tidak mungkin kalau--.'"An? Mikir apa?"Sontak Andina terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram tengah menatap ke arahnya dengan sorot penasaran. Seketika Andina tergagap, jujur rasanya ia ingin mengungkapkan semua rasa penasaran, namun Andina tidak mau dicap lancang, m
Pancingan Andina berhasil. Mar menceritakan semua dengan detail persis seperti obrolannya dengan Bram yang Andina curi dengar kemarin. Mar tidak berusaha menutupi apapun yang itu artinya, pertanyaan Andina perihal siapa yang ditelpon Bram belum mendapatkan jawaban. Andina menatap jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, agaknya memang ia harus bersabar untuk tahu apa-apa saja yang Bram masih rahasiakan darinya. Ia hendak membalikkan badan ketika tangan itu merengkuh tubuh Andina dari belakang. "Astaga! Mas!" Andina memekik terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram terkekeh tanpa melepaskan dekapan. "Kata mama tadi nyariin aku?" Tanya Bram malah mempererat pelukan itu. "Iyalah, orang bangun tau-tau nggak ada. Gimana nggak nyariin?" Jawab Andina dengan wajah masam. "Ada urusan tadi, jadi ya harus keluar sebentar." Jawab Bram santai, kini pelukan itu dia lepas. Kening Andina berkerut, ia membalikkan badan dan memperhatikan Bram dengan saksama. Tidak ada yang mencurigakan dari
Andina menggeliat, ia meraba sebelahnya. Kosong! Spontan mata Andina terbuka. Ia menarik selimut untuk menutupi dada dan tertegun sejenak sembari mengembalikan nyawanya yang masih sebagian belum kembali. Pukul dua dini hari. Andina perlahan bangkit. Ia mendapati pakaiannya ada di atas nakas, padahal beberapa jam yang lalu saat ia dan Bram akhirnya kembali masuk ke kamar, pakaian itu tercecer di segala sudut. "Mas?"Sembari perlahan-lahan turun, Andina mencoba memancing, memanggil suaminya berharap dia tengah berada di kamar mandi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Akhirnya Andina meraih baju-bajunya, memakai pakaian itu satu persatu lalu melangkah masuk ke walk in closet mereka. Benar, pintu kamar mandi terbuka dan kosong. Bram tidak ada di sana. Lalu kemana suaminya itu pergi pagi buta begini? Ia sudah membuka semua identitasnya, apakah Bram masih harus diam-diam pergi seperti dulu? Karena penasaran, Andina melangkah keluar kamar. Matanya menyipit ketika melihat cahaya dari ruang kerj
"Papa nggak nginep sini aja?" Andina mengantar tamu besar hari ini ke depan rumah. Bukan hanya dia, Bram dan Mar pun ikut mengantarkan. Sudah pukul sepuluh malam dan ini sudah masuk waktunya istirahat. "Nggak usahlah. Orang cuma deket kan rumahnya. Kapan-kapan aja papa sama mama mampir ke sini." Hendra menoleh, mengulaskan senyum di wajah sembari menatap Andina dengan saksama. Papa dan mama? Andina tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Memang wanita itu mau kembali berkunjung kemari? Andina meliriknya sekilas, bisa ia lihat wajah perempuan itu sangat tidak senang, meskipun berusaha menutupi dengan senyum, Andina yang sudah cukup lama hidup satu rumah dengan perempuan itu, tentu paham dan hafal betul tiap mimik dan topeng yang dia pakai."Intinya, rumah Bram sama Andina itu rumah Papa juga, jangan sungkan dan sering-sering main kemari ya, Pa." Bram ikut menambahi, sama seperti sang istri, hanya papa yang disebut olehnya, sedangkan Sandra? Agaknya tidak perlu dijelaskan lagi kenapa
"Ibu juga nggak nyangka ini, Hen. Ketipu sama Bram selama ini. Dikasih duit dibalikin, nggak pernah di rumah, ditawari kerjaan nggak mau, udah pikiran ibu kemana-mana." Curhat Mar di sela-sela makan malam, sementara Bram hanya menyimak sambil menahan tawa. "Hendra paham, Bu. Ya mungkin Bram lebih suka bekerja dalam diam. Ada kan beberapa orang yang begitu." Meskipun Mar adalah besannya, Hendra masih memanggilnya dengan panggilan ibu. Sudah sejak ia kecil dibiasakan memanggil Mar dengan sebutan ibu. Ketika sudah punya anak, sesekali di depan anak-anak, Hendra memanggil Mar dengan sebutan eyang. "Ya tapikan sebagai orang tua pikiran tetap kemana-mana kan, Hen? Mana kawin dua kali gagal. Makanya kemarin begitu Andina nggak jadi nikah sama Ken, ibu kawinin aja dia sama Andina." Hampir Andina tersedak, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia dan Bram nampak saling lirik dan lempar pandangan beberapa saat. Kenapa malah membahas hal ini? "Hendra seneng banget, Bu, liat Andina se
"Pas?"Andina tersenyum ketika heels soft pink itu terpasang di kaki. Sangat pas dan cantik di kakinya. Ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajah. Jadi anak buah Clara selama beberapa bulan memberi banyak sekali keuntungan untuk Andina. Dia jadi melek fashion untuk dirinya sendiri, pintar merawat tubuh dan juga bermake-up! Ditunjang dengan segala fasilitas yang Bram sodorkan, Andina yang sekarang sangat berbeda dengan Andina yang dulu. Andina bediri, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang ada di walk in closet. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Andina benar-benar sempurna. Crop blazer dan skirt knit membungkus tubuhnya dengan pas. Belum lagi rambutnya yang dia curly sedikit dan dia beri jepit mutiara, sungguh ini benar-benar sangat cantik! Andina bahkan sampai tidak bisa mengenali dirinya lagi. "An, su--."Andina segera menoleh, ia mendapat Bram tertegun menatapnya tanpa kedip. Andina tersenyum, ia melangkah menghampiri sang suami. "Kurang apa?" Tanyanya yang s