"Jadi begitu?"
Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama. Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi." Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku." Bram nampak mengukir senyum, sebuat senyum getir yang sesegera mungkin ia sudahi. "Kamu calon istriku, An, jadi kamu harus tahu semua tentangku. Ya meskipun sedikit-banyak kamu sudah mendengar cerita dari orang-orang, dan pasti semua cerita buruk yang bertebaran tentangku. Aku tahu tapi aku tidak peduli. Penilaian mereka tidak penting untukku." Lanjut Bram kemudian. Kini Andina yang lantas menyunggingkan senyum getir. Memang benar apa yang Bram katakan barusan. Sudah cukup banyak sekali desas-desus jelek tentang lelaki yang duduk bersamanya ini. Hal yang membuat Andina ragu untuk menerima perjodohannya dengan Bram. "Om tidak ingin membersihkan nama baik, Om?" Tanya Andina kembali menyesap cokelat miliknya. "Tak." Jawab Bram mantap, "Untuk apa? Selama itu tidak menganggu hidupku, biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka." "Om orangnya santai sekali, ya?" Entah pujian atau sindiran, Andina sendiri tidak tahu, yang jelas inilah tanggapan Andina tentang Bram. "Aku fleksibel, An. Aku bisa kok garang mukulin orang. Tapi tentu semua ada sebabnya, betul?" "Benar. Aku penasaran, kalau gosip buruk yang mereka sebar tentang Om saja masih bisa bikin Om tenang, lalu apa yang kemudian bikin Om bertindak, marah misalnya dan hendak bikin perhitungan." Andina ingin tahu, sejauh mana Bram bisa mengendalikan emosinya. Bram mengangkat wajah, menatap Andina dengan tatapan serius. Sebuah tatapan tajam namun masih terasa lembut di mata Andina. "Suruh mereka mengusikmu, maka aku akan maju." Bram kembali menarik cangkir kopinya. "Kalau gerombolan bocil tadi bukan perempuan, sudah kupastikan mulut mereka berpindah dari tempatnya. Sayang mereka perempuan, banci namanya kalau laki-laki sampai mukul perempuan. Benar, kan?" Andina tersentak, ia tidak menyangka bahwa kalimat itu yang akan keluar menjawab pertanyaan pancingan yang Andina lontarkan tadi. "Siapapun yang menganggu ibu, istri dan anak-anakku, maka jangan sebut namaku kalau mereka bisa hidup tenang." Lanjut Bram yang mendadak membuat Andina merinding. Mulut Andina mendadak kelu, ia tak mampu lagi berpikir saking terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bram. Dia .... "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, An?" Andina hampir melonjak saking terkejut, untung ia bisa segera mengendalikan diridiri, sehingga tetap tenang meskipun ia yakin Bram melihat wajahnya terkejut tadi. "Ada. Ada satu lagi, Om. Tapi ...." Andina menghela napas panjang, tidak melanjutkan kalimat pertanyaannya. "Tapi apa?" Kejar Bram nampak penasaran. "Tapi aku takut Om tersinggung." Jawabnya takut-takut. "Kenapa aku harus tersinggung. Tanyakan! Tanyakan apa yang ingin kamu ketahui!" Kembali Andina menghela napas, matanya terpejam sesaat sampai kemudian ia menjawab sekaligus mengajukan pertanyaan itu. "Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaan Om, aku cuma penasaran, kenapa Om memilih untuk te-tap ngang-gur?" *** "Kalian kemana tadi?" Baik Andina dan Bram kompak tersenyum, mereka sudah kembali ke hotel tempat resepsi akan dilaksanakan. Baru sampai depan loby, Oma rupanya menunggu mereka. "Kita pergi keluar sebentar tadi, Oma." Jawab Andina lirih sedikit malu-malu. Wajah oma nampak sumringah, bisa Andina lihat ada sorot bahagia terpancar di sana. "Maaf kalau Bram tadi nggak kabarin Ibu dulu, ta--." "Ah nggak apa-apa, Bram. Nggak apa-apa!" Potong oma dengan senyum merekah di wajah. "Kalian istirahat kalau begitu. Nanti masih ada acara-acara penting." Andina dan Bram kompak saling menoleh, wajah Andina berubah ragu. Apakah perlu dia datang ke acara resepsi Tamara dan Kenneth nanti? "Oma naik ke kamar dulu, ya? Lega rasanya udah ketemu dan pastiin kamu baik-baik aja, An. Oma tinggal, ya?" Andina hanya mengangguk dan tersenyum. Ia membiarkan Oma melangkah ke lift di temani perawat yang selama dipekerjakan khusus untuk merawat oma. Sekarang tinggallah ia dan Bram di sini. "Kamu yakin akan datang nanti malam?" Tanya Bram seolah bisa membaca arti mata Andina saat menoleh ke arahnya tadi. "Ah ... Sebenanya aku--." "Heii ... Baru tadi perjodohan kalian dibicarakan, sekarang udah akrab aja ya kalian?" Itu suara Tamara! Andina segera menoleh ke sumber suara, mendapati sang adik sudah berganti pakaian, namun makeup itu masih melekat di wajah. "Agaknya emang sebenarnya kamu itu cocoknya sama om Bram, ya, Kak?" Lanjutnya ketika Andina masih diam membisu. "Kamu tidak punya sepatah dua patah kata penyesalan dan permohonan maaf atas apa yang sudah kamu lakukan pada kakakmu, Tam?" Bram bersuara, sorot mata itu nampak tak suka. "Pardon, Om? Penyesalan? Permohonan maaf? Untuk apa?" Balas Tamara dengan wajah sangat menyebalkan. "Kamu sudah menghancurkan hari pernikahan kakakmu sendiri dan kamu masih bertanya?" Nada bicara Bram naik setinggkat lebih tinggi, sementara Tamara, ia malah terbahak mendengar kalimat itu. "Menghancurkan?" Tanya Tamara sinis. "Dia yang nggak bisa jaga baik-baik milik dia, Om! Kenapa aku yang disalahkan? Dia yang sok suci nolak Ken, kalau kemudian dia tidur denganku, itu bukan salahku, kan?" Tantang Tamara sengit. "Tidak tahu malu!" Desis Bram dingin. "Tidak tahu malu? Siapa yang sebenarnya tidak tahu malu, Om? Aku atau Om?" Nada suara Tamara menahan amarah. "Dua kali kawin cerai, nganggur sukses ... Om nggak malu?" "TAMARA!" kontan Andina memekik, wajahnya memerah. Melihat itu Tamara malah tertawa dengan nada mengejek, menatap kakaknya dengan tatapan merendahkan. "Oh belain calon suami, ya? Cocok deh ya kalian berdua. Yang cowok problematik, ceweknya sok merasa paling suci, cantik dan playing victim." Bram menggerakkan tangan, hendak menampar mulut itu ketika tangan Andina sigap lebih dulu mencegah dan menggengam lembut tangan itu. "Jangan pernah ada lagi yang ngomong kalo apa yang aku lakukan itu kesalahan! Semua nggak bakalan kejadian kalo dia nggak sok jual mahal sama Ken. Sampai di sini paham, kan?" "Ok kalau begitu maumu, ok! Tapi tolong ingat satu hal juga bahwa Andina itu nggak selevel sama kamu. Murahan!" Bram menunjukk tepat di depan wajah Tamara. Ia terkejut setengah mati, begitu pula Andina yang entah mengapa merasa begitu puas melihat semua itu. Ia tersentak ketika Bram membawanya pergi depan Tamara. "Bagaimanan bisa kamu punya adik macam itu, An? Bagaimana bisa?""Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me
"Ibu mau ke optik Saputra Jaya?"Tentu saja Andina terkejut bukan main mendapati laki-laki dengan kemeja rapi itu menyapanya di depan pos security. Andina menatap lelaki paruh baya itu dengan saksama, siapa dia? Baru kali ini Andina melihat laki-laki ini dan bagaimana dia bisa tahu kalau Andina hendak pergi ke tempat itu? "Betul, maaf Bapak ini si--.""Saya Danu, Bu. Saya disuruh bapak anterin Ibu kesana. Mari."Dengan segera laki-laki itu memotong. Wajahnya ramah, suaranya lembut dengan begitu sopan. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Andina seketika menuruti apa yang lelaki itu perintahkan. Alis Andina berkerut, tangannya merogoh ponsel di dalam tas. "Bentar ya, Pak!" Ujarnya lalu sedikit menjauh dari lelaki asing yang memperkenalkan diri bernama Danu itu. "Kenapa, An?" Sapa suara itu setelah mengangkat panggilan telepon dari Andina. "Om nyuruh orang bu--.""Danu udah di sana?" Potong Bram yang seperti biasa selalu menyela. "Iya udah di depan, Om. Jadi ini Om yang nyuruh?
"Atas nama Andina Narendra?"Andina sedikit terkejut mendengar nama itu disematkan di nama belakangnya. Namun sedetik kemudian ia kembali sadar dan mengangguk pelan. "Iya, betul."Ia harus terbiasa dengan nama belakangnya yang baru. Nama belakang yang Andina dapat dari sang suami. Sebuah identitas bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Narendra. "Bapak sudah telfon dan kirim detail untuk kacamatanya, dan kebetulan sudah siap.""Hah?"Perempuan itu tersenyum dengan anggukan kepala, ia menyodorkan kotak kacamata ke hadapan Andina. Membuat Andina segera tersadar dari rasa terkejutnya. "Bisa dicek dan dicoba dulu, Kak! Silahkan!"Andina segera membuka kotak kacamata itu. Sebuah frame kacamata dengan list tipis berwarna hitam ada di dalam sana. Kacamata ini lebih modern, berbeda dengan kacamata Andina yang .... "Silahkan cerminnya, Kak.""Terimakasih!" Ucap Andina lalu mulai fokus pada kacamata yang ada di hadapannya. Andina segera melepas kacamata lamanya, meraih kacamata
"Loh, Om ngapain ke sini?"Ken sangat terkejut ketika mendapati Bram keluar dari ruangan Dharma dengan setelan jas yang begitu rapi. Kening Ken berkerut, jangan bilang kalau .... "Katanya nggak sudi jadi budak korporat, Om? Berubah pikiran nih?" Kejar Ken ketika sosok itu hanya tersenyum tanpa menjawab. "Emang enggak, siapa yang bilang aku ke sini buat jadi budak korporat?" Balas Bram sembari membalas tatapan menyelidik yang Ken tujukan padanya. "Lah? Terus?" Nampak wajah itu belum puas. Kalau bukan untuk melamar pekerjaan di sini, untuk apa omnya itu datang kemari dengan setelan jas rapi? "Ada lah, ntar kamu juga tau." Balas Bram lantas berlalu. Ditinggal begitu saja oleh Bram tanpa diberi jawaban, membuat Ken makin penasaran. Ia lantas melangkah ke depan pintu ruangan Dharma, baru saja ia hendak mengetuk pintu itu, Dharma ternyata sudah lebih dulu keluar dan membuatnya terkejut. "Astaga, Pakdhe!" Hampir Ken memekik, bagaimana tidak kalau tahu-tahu pintu terbuka dan sosok itu m
"Kamu ganteng bener loh kalau pakai jas begini!" Bram menoleh, ia menatap Andina yang berdiri sembari menatap ke arahnya. Bram tersenyum, merapikan dasinya lalu memakai jas sudah disiapkan Andina. "Lebih suka pakai kaos sama celana." Sahut Bram sembari memperhatikan pantulan dirinya di cermin. "Aku lebih suka kamu nggak pake baju."Bram membelalak, ia memutar tubuhnya hingga kini ia bisa melihat secara langsung Andina yang masih tegak berdiri menatap ke arahnya. Wajahnya nampak menahan tawa membuat Bram mendengus sembari melangkah menghampiri sang istri. "Eh apaan?" Andina bergegas menghindar, tawanya pecah sementara Bram, ia masih terus mengejar sang istri sampai akhirnya bisa menarik tubuh itu dalam pelukannya. "Lepasin ih!" Protes Andina sembari berusaha melepaskan diri. "Nggak! Nggak ada lepas! Tadi bilang apa?" Tanya Bram yang malah mempererat pelukannya. "Canda doang! Udah sana berangkat!" Usir Andina yang masih belum bisa melepaskan diri. Bram mendengus, ia mendekatkan
"Mas yakin dia nggak ngamuk nanti?" Andina melirik Bram, mereka sudah dalam perjalanan pulang sekarang. Sementara Dharma, tentu ia harus kembali ke kantor. "Kenapa ngamuk? Aku salah apa?" Tanya Bram santai. Andina mendengus, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil dengan mata terpejam. Perlahan-lahan ia menghela napas panjang, tentu Andina paham bagaimana karakter orang satu itu, komplit berserta istri dan anak bungsunya. Kalau dua anaknya yang lain, Andina tidak tahu karena mereka hidup di luar negeri dan dengar-dengar sudah berpindah kewarganegaraan. "Coba aja suruh ngamuk, udah berapa banyak dia bikin rugi aku." Desis Bram ketika istrinya terdiam. "Bukan soal duitnya aja, Mas. Tapi kan sama aja dia dibohongi sama kalian selama ini." Jelas Andina yang tengah mempersiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. "Bodo amat. Punya hak apa dia ingin tahu hal-hal pribadiku?"Andina mengalah, ia tidak lagi membantah. Masing-masing mereka fokus pada kegiatan masing-masing. Br
"Kita mau ketemu siapa?"Mereka sudah berada di dalam mobil, hendak pergi entah ke Selendra dulu atau Lajendra, Andina tidak tahu. Sejak tadi Bram bungkam, dilihat dari sorot wajahnya, ia tengah berpikir keras sekarang. "Banyak orang, Sayang. Nanti kamu juga akan tahu." Jawab Bram sekenanya. Andina menghela napas panjang, kalau sudah begini, rasanya lebih baik tidak banyak bertanya dan menunggu nanti siapa orang yang subuh tadi membuat janji dengan Bram. Apakah benar Dharmawan seperti dugaan Andina? Kalau benar dia, itu artinya selama ini Bram punya andil di perusahaan keluarga yang katanya sudah berpindah kepemilikan. 'Melunasi semua hutang Gunawan dan mengambil alih perusahaan? Rasanya tidak mungkin! Tapi apa yang tidak mungkin kalau--.'"An? Mikir apa?"Sontak Andina terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram tengah menatap ke arahnya dengan sorot penasaran. Seketika Andina tergagap, jujur rasanya ia ingin mengungkapkan semua rasa penasaran, namun Andina tidak mau dicap lancang, m
Pancingan Andina berhasil. Mar menceritakan semua dengan detail persis seperti obrolannya dengan Bram yang Andina curi dengar kemarin. Mar tidak berusaha menutupi apapun yang itu artinya, pertanyaan Andina perihal siapa yang ditelpon Bram belum mendapatkan jawaban. Andina menatap jendela kamar yang mengarah ke halaman belakang, agaknya memang ia harus bersabar untuk tahu apa-apa saja yang Bram masih rahasiakan darinya. Ia hendak membalikkan badan ketika tangan itu merengkuh tubuh Andina dari belakang. "Astaga! Mas!" Andina memekik terkejut, ia menoleh dan mendapati Bram terkekeh tanpa melepaskan dekapan. "Kata mama tadi nyariin aku?" Tanya Bram malah mempererat pelukan itu. "Iyalah, orang bangun tau-tau nggak ada. Gimana nggak nyariin?" Jawab Andina dengan wajah masam. "Ada urusan tadi, jadi ya harus keluar sebentar." Jawab Bram santai, kini pelukan itu dia lepas. Kening Andina berkerut, ia membalikkan badan dan memperhatikan Bram dengan saksama. Tidak ada yang mencurigakan dari
Andina menggeliat, ia meraba sebelahnya. Kosong! Spontan mata Andina terbuka. Ia menarik selimut untuk menutupi dada dan tertegun sejenak sembari mengembalikan nyawanya yang masih sebagian belum kembali. Pukul dua dini hari. Andina perlahan bangkit. Ia mendapati pakaiannya ada di atas nakas, padahal beberapa jam yang lalu saat ia dan Bram akhirnya kembali masuk ke kamar, pakaian itu tercecer di segala sudut. "Mas?"Sembari perlahan-lahan turun, Andina mencoba memancing, memanggil suaminya berharap dia tengah berada di kamar mandi. Sunyi. Tidak ada jawaban. Akhirnya Andina meraih baju-bajunya, memakai pakaian itu satu persatu lalu melangkah masuk ke walk in closet mereka. Benar, pintu kamar mandi terbuka dan kosong. Bram tidak ada di sana. Lalu kemana suaminya itu pergi pagi buta begini? Ia sudah membuka semua identitasnya, apakah Bram masih harus diam-diam pergi seperti dulu? Karena penasaran, Andina melangkah keluar kamar. Matanya menyipit ketika melihat cahaya dari ruang kerj
"Papa nggak nginep sini aja?" Andina mengantar tamu besar hari ini ke depan rumah. Bukan hanya dia, Bram dan Mar pun ikut mengantarkan. Sudah pukul sepuluh malam dan ini sudah masuk waktunya istirahat. "Nggak usahlah. Orang cuma deket kan rumahnya. Kapan-kapan aja papa sama mama mampir ke sini." Hendra menoleh, mengulaskan senyum di wajah sembari menatap Andina dengan saksama. Papa dan mama? Andina tersenyum kecut mendengar kalimat itu. Memang wanita itu mau kembali berkunjung kemari? Andina meliriknya sekilas, bisa ia lihat wajah perempuan itu sangat tidak senang, meskipun berusaha menutupi dengan senyum, Andina yang sudah cukup lama hidup satu rumah dengan perempuan itu, tentu paham dan hafal betul tiap mimik dan topeng yang dia pakai."Intinya, rumah Bram sama Andina itu rumah Papa juga, jangan sungkan dan sering-sering main kemari ya, Pa." Bram ikut menambahi, sama seperti sang istri, hanya papa yang disebut olehnya, sedangkan Sandra? Agaknya tidak perlu dijelaskan lagi kenapa
"Ibu juga nggak nyangka ini, Hen. Ketipu sama Bram selama ini. Dikasih duit dibalikin, nggak pernah di rumah, ditawari kerjaan nggak mau, udah pikiran ibu kemana-mana." Curhat Mar di sela-sela makan malam, sementara Bram hanya menyimak sambil menahan tawa. "Hendra paham, Bu. Ya mungkin Bram lebih suka bekerja dalam diam. Ada kan beberapa orang yang begitu." Meskipun Mar adalah besannya, Hendra masih memanggilnya dengan panggilan ibu. Sudah sejak ia kecil dibiasakan memanggil Mar dengan sebutan ibu. Ketika sudah punya anak, sesekali di depan anak-anak, Hendra memanggil Mar dengan sebutan eyang. "Ya tapikan sebagai orang tua pikiran tetap kemana-mana kan, Hen? Mana kawin dua kali gagal. Makanya kemarin begitu Andina nggak jadi nikah sama Ken, ibu kawinin aja dia sama Andina." Hampir Andina tersedak, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia dan Bram nampak saling lirik dan lempar pandangan beberapa saat. Kenapa malah membahas hal ini? "Hendra seneng banget, Bu, liat Andina se
"Pas?"Andina tersenyum ketika heels soft pink itu terpasang di kaki. Sangat pas dan cantik di kakinya. Ia sudah selesai membersihkan diri dan merias wajah. Jadi anak buah Clara selama beberapa bulan memberi banyak sekali keuntungan untuk Andina. Dia jadi melek fashion untuk dirinya sendiri, pintar merawat tubuh dan juga bermake-up! Ditunjang dengan segala fasilitas yang Bram sodorkan, Andina yang sekarang sangat berbeda dengan Andina yang dulu. Andina bediri, menatap bayangan dirinya di cermin besar yang ada di walk in closet. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Andina benar-benar sempurna. Crop blazer dan skirt knit membungkus tubuhnya dengan pas. Belum lagi rambutnya yang dia curly sedikit dan dia beri jepit mutiara, sungguh ini benar-benar sangat cantik! Andina bahkan sampai tidak bisa mengenali dirinya lagi. "An, su--."Andina segera menoleh, ia mendapat Bram tertegun menatapnya tanpa kedip. Andina tersenyum, ia melangkah menghampiri sang suami. "Kurang apa?" Tanyanya yang s