"Jadi begitu?"
Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama. Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi." Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku." Bram nampak mengukir senyum, sebuat senyum getir yang sesegera mungkin ia sudahi. "Kamu calon istriku, An, jadi kamu harus tahu semua tentangku. Ya meskipun sedikit-banyak kamu sudah mendengar cerita dari orang-orang, dan pasti semua cerita buruk yang bertebaran tentangku. Aku tahu tapi aku tidak peduli. Penilaian mereka tidak penting untukku." Lanjut Bram kemudian. Kini Andina yang lantas menyunggingkan senyum getir. Memang benar apa yang Bram katakan barusan. Sudah cukup banyak sekali desas-desus jelek tentang lelaki yang duduk bersamanya ini. Hal yang membuat Andina ragu untuk menerima perjodohannya dengan Bram. "Om tidak ingin membersihkan nama baik, Om?" Tanya Andina kembali menyesap cokelat miliknya. "Tak." Jawab Bram mantap, "Untuk apa? Selama itu tidak menganggu hidupku, biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka." "Om orangnya santai sekali, ya?" Entah pujian atau sindiran, Andina sendiri tidak tahu, yang jelas inilah tanggapan Andina tentang Bram. "Aku fleksibel, An. Aku bisa kok garang mukulin orang. Tapi tentu semua ada sebabnya, betul?" "Benar. Aku penasaran, kalau gosip buruk yang mereka sebar tentang Om saja masih bisa bikin Om tenang, lalu apa yang kemudian bikin Om bertindak, marah misalnya dan hendak bikin perhitungan." Andina ingin tahu, sejauh mana Bram bisa mengendalikan emosinya. Bram mengangkat wajah, menatap Andina dengan tatapan serius. Sebuah tatapan tajam namun masih terasa lembut di mata Andina. "Suruh mereka mengusikmu, maka aku akan maju." Bram kembali menarik cangkir kopinya. "Kalau gerombolan bocil tadi bukan perempuan, sudah kupastikan mulut mereka berpindah dari tempatnya. Sayang mereka perempuan, banci namanya kalau laki-laki sampai mukul perempuan. Benar, kan?" Andina tersentak, ia tidak menyangka bahwa kalimat itu yang akan keluar menjawab pertanyaan pancingan yang Andina lontarkan tadi. "Siapapun yang menganggu ibu, istri dan anak-anakku, maka jangan sebut namaku kalau mereka bisa hidup tenang." Lanjut Bram yang mendadak membuat Andina merinding. Mulut Andina mendadak kelu, ia tak mampu lagi berpikir saking terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bram. Dia .... "Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, An?" Andina hampir melonjak saking terkejut, untung ia bisa segera mengendalikan diridiri, sehingga tetap tenang meskipun ia yakin Bram melihat wajahnya terkejut tadi. "Ada. Ada satu lagi, Om. Tapi ...." Andina menghela napas panjang, tidak melanjutkan kalimat pertanyaannya. "Tapi apa?" Kejar Bram nampak penasaran. "Tapi aku takut Om tersinggung." Jawabnya takut-takut. "Kenapa aku harus tersinggung. Tanyakan! Tanyakan apa yang ingin kamu ketahui!" Kembali Andina menghela napas, matanya terpejam sesaat sampai kemudian ia menjawab sekaligus mengajukan pertanyaan itu. "Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaan Om, aku cuma penasaran, kenapa Om memilih untuk te-tap ngang-gur?" *** "Kalian kemana tadi?" Baik Andina dan Bram kompak tersenyum, mereka sudah kembali ke hotel tempat resepsi akan dilaksanakan. Baru sampai depan loby, Oma rupanya menunggu mereka. "Kita pergi keluar sebentar tadi, Oma." Jawab Andina lirih sedikit malu-malu. Wajah oma nampak sumringah, bisa Andina lihat ada sorot bahagia terpancar di sana. "Maaf kalau Bram tadi nggak kabarin Ibu dulu, ta--." "Ah nggak apa-apa, Bram. Nggak apa-apa!" Potong oma dengan senyum merekah di wajah. "Kalian istirahat kalau begitu. Nanti masih ada acara-acara penting." Andina dan Bram kompak saling menoleh, wajah Andina berubah ragu. Apakah perlu dia datang ke acara resepsi Tamara dan Kenneth nanti? "Oma naik ke kamar dulu, ya? Lega rasanya udah ketemu dan pastiin kamu baik-baik aja, An. Oma tinggal, ya?" Andina hanya mengangguk dan tersenyum. Ia membiarkan Oma melangkah ke lift di temani perawat yang selama dipekerjakan khusus untuk merawat oma. Sekarang tinggallah ia dan Bram di sini. "Kamu yakin akan datang nanti malam?" Tanya Bram seolah bisa membaca arti mata Andina saat menoleh ke arahnya tadi. "Ah ... Sebenanya aku--." "Heii ... Baru tadi perjodohan kalian dibicarakan, sekarang udah akrab aja ya kalian?" Itu suara Tamara! Andina segera menoleh ke sumber suara, mendapati sang adik sudah berganti pakaian, namun makeup itu masih melekat di wajah. "Agaknya emang sebenarnya kamu itu cocoknya sama om Bram, ya, Kak?" Lanjutnya ketika Andina masih diam membisu. "Kamu tidak punya sepatah dua patah kata penyesalan dan permohonan maaf atas apa yang sudah kamu lakukan pada kakakmu, Tam?" Bram bersuara, sorot mata itu nampak tak suka. "Pardon, Om? Penyesalan? Permohonan maaf? Untuk apa?" Balas Tamara dengan wajah sangat menyebalkan. "Kamu sudah menghancurkan hari pernikahan kakakmu sendiri dan kamu masih bertanya?" Nada bicara Bram naik setinggkat lebih tinggi, sementara Tamara, ia malah terbahak mendengar kalimat itu. "Menghancurkan?" Tanya Tamara sinis. "Dia yang nggak bisa jaga baik-baik milik dia, Om! Kenapa aku yang disalahkan? Dia yang sok suci nolak Ken, kalau kemudian dia tidur denganku, itu bukan salahku, kan?" Tantang Tamara sengit. "Tidak tahu malu!" Desis Bram dingin. "Tidak tahu malu? Siapa yang sebenarnya tidak tahu malu, Om? Aku atau Om?" Nada suara Tamara menahan amarah. "Dua kali kawin cerai, nganggur sukses ... Om nggak malu?" "TAMARA!" kontan Andina memekik, wajahnya memerah. Melihat itu Tamara malah tertawa dengan nada mengejek, menatap kakaknya dengan tatapan merendahkan. "Oh belain calon suami, ya? Cocok deh ya kalian berdua. Yang cowok problematik, ceweknya sok merasa paling suci, cantik dan playing victim." Bram menggerakkan tangan, hendak menampar mulut itu ketika tangan Andina sigap lebih dulu mencegah dan menggengam lembut tangan itu. "Jangan pernah ada lagi yang ngomong kalo apa yang aku lakukan itu kesalahan! Semua nggak bakalan kejadian kalo dia nggak sok jual mahal sama Ken. Sampai di sini paham, kan?" "Ok kalau begitu maumu, ok! Tapi tolong ingat satu hal juga bahwa Andina itu nggak selevel sama kamu. Murahan!" Bram menunjukk tepat di depan wajah Tamara. Ia terkejut setengah mati, begitu pula Andina yang entah mengapa merasa begitu puas melihat semua itu. Ia tersentak ketika Bram membawanya pergi depan Tamara. "Bagaimanan bisa kamu punya adik macam itu, An? Bagaimana bisa?""Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me
"Ibu mau ke optik Saputra Jaya?"Tentu saja Andina terkejut bukan main mendapati laki-laki dengan kemeja rapi itu menyapanya di depan pos security. Andina menatap lelaki paruh baya itu dengan saksama, siapa dia? Baru kali ini Andina melihat laki-laki ini dan bagaimana dia bisa tahu kalau Andina hendak pergi ke tempat itu? "Betul, maaf Bapak ini si--.""Saya Danu, Bu. Saya disuruh bapak anterin Ibu kesana. Mari."Dengan segera laki-laki itu memotong. Wajahnya ramah, suaranya lembut dengan begitu sopan. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Andina seketika menuruti apa yang lelaki itu perintahkan. Alis Andina berkerut, tangannya merogoh ponsel di dalam tas. "Bentar ya, Pak!" Ujarnya lalu sedikit menjauh dari lelaki asing yang memperkenalkan diri bernama Danu itu. "Kenapa, An?" Sapa suara itu setelah mengangkat panggilan telepon dari Andina. "Om nyuruh orang bu--.""Danu udah di sana?" Potong Bram yang seperti biasa selalu menyela. "Iya udah di depan, Om. Jadi ini Om yang nyuruh?
"Atas nama Andina Narendra?"Andina sedikit terkejut mendengar nama itu disematkan di nama belakangnya. Namun sedetik kemudian ia kembali sadar dan mengangguk pelan. "Iya, betul."Ia harus terbiasa dengan nama belakangnya yang baru. Nama belakang yang Andina dapat dari sang suami. Sebuah identitas bahwa ia sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Narendra. "Bapak sudah telfon dan kirim detail untuk kacamatanya, dan kebetulan sudah siap.""Hah?"Perempuan itu tersenyum dengan anggukan kepala, ia menyodorkan kotak kacamata ke hadapan Andina. Membuat Andina segera tersadar dari rasa terkejutnya. "Bisa dicek dan dicoba dulu, Kak! Silahkan!"Andina segera membuka kotak kacamata itu. Sebuah frame kacamata dengan list tipis berwarna hitam ada di dalam sana. Kacamata ini lebih modern, berbeda dengan kacamata Andina yang .... "Silahkan cerminnya, Kak.""Terimakasih!" Ucap Andina lalu mulai fokus pada kacamata yang ada di hadapannya. Andina segera melepas kacamata lamanya, meraih kacamata
"Caesar bobok?"Andina yang baru saja meletakkan Caesar di dalam box bayi, seketika menoleh ke sumber suara. Senyum Andina merekah tatkala sosok itu melangkah masuk dengan begitu perlahan. Tamara melongok ke dalam box, tersenyum lebar sembari memperhatikan Caesar dengan saksama. Entah mengapa, melihat wajah gembira dan senyum merekah itu, hati Andina benar-benar terasa bahagia dan begitu damai. "Duh ganteng banget keponakan tante." desisnya lirih sembari berpegangan pada tepian box. "Celine kemana? Kok nggak dibawa?" tanya Andina ketika sadar adiknya itu hanya datang seorang diri. Tamara menoleh, ia menghela napas panjang sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya. "Tengokin bayi ngajak bocil? Alamat bakalan ada huru-hara, Kak!" desisnya dengan wajah cemberut. Andina menerima paper bag dari sang adik. Nama yang tercetak di sana adalah sebuah patisserie kenamaan favorit mereka. "Jadi ini para busui mau tea time nih?" tanyanya sembari melirik Tamara. "Exactly! Pas banget nih C
"Loh Bram, ngapain di sini?"Bram dan Hendra menoleh, nampak Roy melangkah dengan santai menghampiri mereka. Di tangan Roy, ada satu kantong plastik besar yang entah apa isinya. Bram menatap lelaki itu dengan gemas, rasanya kalau tidak ada papa mertuanya di sini, sudah Bram pukuli lelaki satu ini. "Kamu nggak nungguin bini, Bram?" tanyanya masih dengan sangat santai. Bram melotot, ia mengusap wajahnya dengan kasar laku menatap tajam ke arah Roy. "Aku di sini ini ngapain sih, Roy? Lagi sabung ayam gitu?" jawab Bram sekenanya. Ia tengah risau, gelisah dan sangat khawatir tetapi cecurut yang sialnya menjadi orang kepercayaan Bram ini malah membuatnya gemas. "Ya enggak, maksudku kenapa kamu nggak nungguin di dalem? Nah di dalem Andina sama siapa?" tanyanya sembari meletakkan kantong plastik di kursi, Roy segera menjabat tangan Hendra dengan sopan. "Kamu mau aku pingsan di dalem terus nambahin kerjaan dokternya?" tanya Bram dengan sorot mata tajam. Mendengar itu, diluar dugaan Roy t
“Sakit?”Bram menatap Andina dengan penuh rasa khawatir, sejak beberapa jam yang lalu, Andina sudah merasakan mulas dan sensasi nyeri di perut. Bahkan kini mereka sudah berada di rumah sakit sekarang, bersiap di kamar VVIP yang sudah Bram pesan jauh-jauh hari.“Lumayanlah, Mas.” jawab Andina sembari tersenyum, ia masih berusaha tenang, meskipun mulas itu makin teratur.“Operasi aja gimana? Biar aku bi—““Eh, nggak mau!”Andina segera menarik tangan Bram yang hendak melangkah menuju pintu, ia memaksa suaminya kembali duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.“Kenapa nggak mau sih? Aku takut kamu kenapa-napa, Sayang!” wajah Bram sudah begitu panik, bisa Andina lihat sorot itu nampak gusar.“Dokter bilang semua baik, nggak ada indikasi serius jadi aku pengen lahiran normal aja, Mas.” tegas Andina tanpa melepaskan tangan Bram yang ia genggam.“Aku nggak tega liat kamu kesakitan, An. Udah deh kita operasi aja.”Kembali Andina menggeleng. Mendengar cerita Tamara perihal efek-efek yang dia ra
"Pelan-pelan, Sayang!"Andina tersenyum, semenjak dia hamil, Bram benar-benar memperlakukan dia dengan begitu lembut. Semua yang Andina mau selalu dituruti tanpa perlu waktu lama. Andina yang sehari-hari sudah diratukan oleh Bram, kini makin dimanjakan dengan sangat ugal-ugalan! "Agenda hari ini kamu ada jadwal manicure, creambath sama kita cari perlengkapan bayi!"Bukan salah Andina kalau ia lantas terkekeh, kepalanya mendongak, menatap Bram yang masih berdiri dan nampak bersiap membantu Andina berdiri. "Sejak kapan owner perusahaan ternama, resto ternama jadi aspri aku?" goda Andina yang membuat Bram ikut terkekeh. "Lah kamu baru tahu kalau the real bos dari owner perusahaan ternama itu kamu? Dan jangan lupa ini!" Bram jongkok di depan Andina, mengelus dan mengecup perut Andina yang menyembul. Andina tersenyum, ia mengusap lembut kepala Bram, merapikan rambut lelaki itu dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan. "Makasih bikin aku jadi perempuan yang paling beruntung di dunia,
Dua bulan kemudian .... "Eh Kak? Kamu nggak apa-apa?"Tamara seketika panik ketika tubuh kakaknya hampir saja terhuyung jatuh kalau tidak berpegangan pada meja ganti popok Celine. Wajah Andina memang pucat, namun tadi dia masih lincah, dan kini. "Tam ... ini kok tiba-tiba aku pusing banget, ya? Tolongin dong." Mata Andina terpejam, satu tangannya memijat pelipis perlahan. Tamara tak banyak bicara, ia segera meletakan botol lotion milik celine dan memapah kakaknya yang nampak payah itu. Mereka sudah hampir dekat ke sofa menyusui yang ada di kamar Tamara ketika tubuh Andina melemas dan ambruk ke bawah, Tamara langsung menahan tubuh itu sebelum mencium lantai, sekuat tenaga ia membantu kakaknya sampai ke sofa, lalu berteriak-teriak panik sembari membetulkan posisi Andina. "PA ... PAPA! TOLONGIN KAKAK PINGSAN, PA!" teriak Tamara panik, ia lupa kalau Celine tengah tertidur pulas di dalam box. Untung saja bayi itu tidak terbangun, Tamara mengusap-usap hidung Andina dengan minyak telon
"Eh ngapain?"Andina kontan mendorong Bram yang hendak ikut masuk ke kamar mandi. Mata lelaki itu membulat, menatap Andina dengan tatapan protes. Andina pun membalas tatapan itu, ia masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan menutup akses lelaki itu masuk ke dalam. "Mau ikut!" jawab Bram persis seperti anak kecil. "Nggak ada ikut! Tungguin luar!" tegas Andina yang segera masuk dan menutup pintu kamar mandi. Sejenak Andina bersandar di balik pintu. Jantungnya berdegup kencang. Sebenarnya ia belum ada tanda-tanda hamil, telat haid pun baru seminggu dan Bram sudah begitu bernafsu untuk tahu hasil 'kerja keras' mereka selama liburan di Jepang.Andina segera melangkah menuju kloset, ia sudah mempersiapkan semuanya. Testpack sudah berada di tangan dan kalau boleh jujur, Andina sangat takut saat ini. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan? Bagaimana kalau dia mengecewakan? "Nggak akan tahu kalau nggak dicoba!" gumam Andina lirih lalu meletakkan benda itu di wastafel. Ia segera
Sandra menghentikan kakinya begitu masuk ke dalam ruangan. Matanya menyapu para hadirin yang datang. Bisa dia lihat ada Hendra, Mursiyati, Mariani bahkan ayah dari mendiang Theresa pun turut hadir.Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, seumur hidup, setelah pembunuhan itu dia lakukan, Sandra belum pernah setakut ini. Bulu kuduk Sandra mendadak meremang, ia bahkan melonjak terkejut ketika polwan yang mengawalnya mencolek bahu Sandra dan memberinya kode untuk melangkah masuk.Dengan kepala tertunduk, Sandra melangkah menuju tempat yang sudah disediakan untuknya. Pengacara yang Sandra pilih, sudah hadir dan duduk di sana. Namun Sandra tahu betul bahwa dia tidak boleh berharap banyak pada hari ini. Memang apa yang dia harapkan? Bisa bebas seperti puluhan tahun yang lalu? Mustahil!Sandra duduk di kursi, ia masih belum berani mengangkat wajah sampai kemudian pengacaranya menyenggol lengan Sandra dengan siku.“Bu ... Ibu nggak apa-apa?”***“Hari ini, kan?”Baru saja Bram henda
"Ada apa?" Mereka sudah di lounge bandara sekarang, Bram nampak memasukkan ponsel ke dalam tas, ia baru saja selesai menerima telepon, entah dari siapa, Andina tidak tahu. "Sidang putusan untuk kasus pembunuhan mama digelar tiga hari lagi, Sayang."Mata Andina membulat, ia menghela napas lalu menganggukkan kepala perlahan. Melihat itu nampak kening Bram berkerut, ia menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu nggak pengen aku ba--""Aku nggak pengen dateng ke persidangan itu. Aku udah nggak pengen liat mukanya lagi. Aku cuma pengen denger kabar kalo dia dapet hukuman seberat-beratnya, Mas." potong suara itu lirih. Bram segera menjatuhkan diri di sofa yang ada tepat di sebelah Andina duduk. Ia meraih tangan Andina, meremas tangan itu dengan begitu lembut. "Dia tidak akan bisa mengelak lagi, Sayang. Tidak ada yang bisa membantunya lolos kali ini." gumam Bram dengan nada mantap. Andina tersenyum, ingin rasanya ia menghapus wajah dan semua kenangan akan kehidupan Andina yan
"Papa tunggu sini, ya?"Tamara menoleh, ia melayangkan tatapan protes itu ke arah Hendra. "Loh, kan Papa aku minta nemenin." gumam Tamara merajuk. Hendra menghela napas panjang, ia melangkah mendekati Tamara, mengusap lembut puncak kepala anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang. "Ini kan papa temenin, Tam. Cuma kalau untuk sampai ke dalam, papa nggak sanggup. Papa nggak bisa liat wajah laki-laki yang udah mengkhianati dan menyakiti hati anak papa sampai sedalam ini." ucap Hendra lirih, "Lagipun, kalian harus membahas banyak hal di dalam, yang itu diluar kewenangan papa untuk tahu. Jadi papa tunggu di sini, ya? Bicarakan baik-baik dengan kepala dingin."Tamara mendengus, mau bagaimana lagi? Yang dikatakan Hendra ada benarnya! Tamara harus masuk dan duduk membahas banyak hal perihal masa depan anak mereka. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu, ya? Aku masuk ke dalam dulu."Hendra mengangguk pelan, ia tersenyum dan menatap Tamara yang melangkah masuk ke dalam. Sepeninggal Tamara,