Share

BAB 5 Hinaan

"Jadi begitu?"

Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. 

"Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. 

Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. 

Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama.

Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. 

"Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi."

Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. 

"Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku."

Bram nampak mengukir senyum, sebuat senyum getir yang sesegera mungkin ia sudahi. 

"Kamu calon istriku, An, jadi kamu harus tahu semua tentangku. Ya meskipun sedikit-banyak kamu sudah mendengar cerita dari orang-orang, dan pasti semua cerita buruk yang bertebaran tentangku. Aku tahu tapi aku tidak peduli. Penilaian mereka tidak penting untukku." Lanjut Bram kemudian. 

Kini Andina yang lantas menyunggingkan senyum getir. Memang benar apa yang Bram katakan barusan. Sudah cukup banyak sekali desas-desus jelek tentang lelaki yang duduk bersamanya ini. Hal yang membuat Andina ragu untuk menerima perjodohannya dengan Bram. 

"Om tidak ingin membersihkan nama baik, Om?" Tanya Andina kembali menyesap cokelat miliknya. 

"Tak." Jawab Bram mantap, "Untuk apa? Selama itu tidak menganggu hidupku, biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka."

"Om orangnya santai sekali, ya?" Entah pujian atau sindiran, Andina sendiri tidak tahu, yang jelas inilah tanggapan Andina tentang Bram. 

"Aku fleksibel, An. Aku bisa kok garang mukulin orang. Tapi tentu semua ada sebabnya, betul?"

"Benar. Aku penasaran, kalau gosip buruk yang mereka sebar tentang Om saja masih bisa bikin Om tenang, lalu apa yang kemudian bikin Om bertindak, marah misalnya dan hendak bikin perhitungan." Andina ingin tahu, sejauh mana Bram bisa mengendalikan emosinya. 

Bram mengangkat wajah, menatap Andina dengan tatapan serius. Sebuah tatapan tajam namun masih terasa lembut di mata Andina. 

"Suruh mereka mengusikmu, maka aku akan maju." Bram kembali menarik cangkir kopinya. "Kalau gerombolan bocil tadi bukan perempuan, sudah kupastikan mulut mereka berpindah dari tempatnya. Sayang mereka perempuan, banci namanya kalau laki-laki sampai mukul perempuan. Benar, kan?"

Andina tersentak, ia tidak menyangka bahwa kalimat itu yang akan keluar menjawab pertanyaan pancingan yang Andina lontarkan tadi. 

"Siapapun yang menganggu ibu, istri dan anak-anakku, maka jangan sebut namaku kalau mereka bisa hidup tenang." Lanjut Bram yang mendadak membuat Andina merinding. 

Mulut Andina mendadak kelu, ia tak mampu lagi berpikir saking terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bram. Dia .... 

"Ada yang ingin kamu tanyakan lagi, An?"

Andina hampir melonjak saking terkejut, untung ia bisa segera mengendalikan diridiri,  sehingga tetap tenang meskipun ia yakin Bram melihat wajahnya terkejut tadi. 

"Ada. Ada satu lagi, Om. Tapi ...."

Andina menghela napas panjang, tidak melanjutkan kalimat pertanyaannya. 

"Tapi apa?" Kejar Bram nampak penasaran. 

"Tapi aku takut Om tersinggung." Jawabnya takut-takut. 

"Kenapa aku harus tersinggung. Tanyakan! Tanyakan apa yang ingin kamu ketahui!"

Kembali Andina menghela napas, matanya terpejam sesaat sampai kemudian ia menjawab sekaligus mengajukan pertanyaan itu. 

"Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaan Om, aku cuma penasaran, kenapa Om memilih untuk te-tap ngang-gur?"

***

"Kalian kemana tadi?"

Baik Andina dan Bram kompak tersenyum, mereka sudah kembali ke hotel tempat resepsi akan dilaksanakan. Baru sampai depan loby, Oma rupanya menunggu mereka. 

"Kita pergi keluar sebentar tadi, Oma." Jawab Andina lirih sedikit malu-malu. 

Wajah oma nampak sumringah, bisa Andina lihat ada sorot bahagia terpancar di sana. 

"Maaf kalau Bram tadi nggak kabarin Ibu dulu, ta--."

"Ah nggak apa-apa, Bram. Nggak apa-apa!" Potong oma dengan senyum merekah di wajah. "Kalian istirahat kalau begitu. Nanti masih ada acara-acara penting."

Andina dan Bram kompak saling menoleh, wajah Andina berubah ragu. Apakah perlu dia datang ke acara resepsi Tamara dan Kenneth nanti? 

"Oma naik ke kamar dulu, ya? Lega rasanya udah ketemu dan pastiin kamu baik-baik aja, An. Oma tinggal, ya?"

Andina hanya mengangguk dan tersenyum. Ia membiarkan Oma melangkah ke lift di temani perawat yang selama dipekerjakan khusus untuk merawat oma. Sekarang tinggallah ia dan Bram di sini. 

"Kamu yakin akan datang nanti malam?" Tanya Bram seolah bisa membaca arti mata Andina saat menoleh ke arahnya tadi. 

"Ah ... Sebenanya aku--."

"Heii ... Baru tadi perjodohan kalian dibicarakan, sekarang udah akrab aja ya kalian?"

Itu suara Tamara! 

Andina segera menoleh ke sumber suara, mendapati sang adik sudah berganti pakaian, namun makeup itu masih melekat di wajah. 

"Agaknya emang sebenarnya kamu itu cocoknya sama om Bram, ya, Kak?" Lanjutnya ketika Andina masih diam membisu. 

"Kamu tidak punya sepatah dua patah kata penyesalan dan permohonan maaf atas apa yang sudah kamu lakukan pada kakakmu, Tam?" Bram bersuara, sorot mata itu nampak tak suka. 

"Pardon, Om? Penyesalan? Permohonan maaf? Untuk apa?" Balas Tamara dengan wajah sangat menyebalkan. 

"Kamu sudah menghancurkan hari pernikahan kakakmu sendiri dan kamu masih bertanya?" Nada bicara Bram naik setinggkat lebih tinggi, sementara Tamara, ia malah terbahak mendengar kalimat itu. 

"Menghancurkan?" Tanya Tamara sinis. "Dia yang nggak bisa jaga baik-baik milik dia, Om! Kenapa aku yang disalahkan? Dia yang sok suci nolak Ken, kalau kemudian dia tidur denganku, itu bukan salahku, kan?" Tantang Tamara sengit. 

"Tidak tahu malu!" Desis Bram dingin. 

"Tidak tahu malu? Siapa yang sebenarnya tidak tahu malu, Om? Aku atau Om?" Nada suara Tamara menahan amarah. "Dua kali kawin cerai, nganggur sukses ... Om nggak malu?"

"TAMARA!" kontan Andina memekik, wajahnya memerah. 

Melihat itu Tamara malah tertawa dengan nada mengejek, menatap kakaknya dengan tatapan merendahkan. 

"Oh belain calon suami, ya? Cocok deh ya kalian berdua. Yang cowok problematik, ceweknya sok merasa paling suci, cantik dan playing victim."

Bram menggerakkan tangan, hendak menampar mulut itu ketika tangan Andina sigap lebih dulu mencegah dan menggengam lembut tangan itu. 

"Jangan pernah ada lagi yang ngomong kalo apa yang aku lakukan itu kesalahan! Semua nggak bakalan kejadian kalo dia nggak sok jual mahal sama Ken. Sampai di sini paham, kan?"

"Ok kalau begitu maumu, ok! Tapi tolong ingat satu hal juga bahwa Andina itu nggak selevel sama kamu. Murahan!" Bram menunjukk tepat di depan wajah  Tamara. 

Ia terkejut setengah mati, begitu pula Andina yang entah mengapa merasa begitu puas melihat semua itu. Ia tersentak ketika Bram membawanya pergi depan Tamara. 

"Bagaimanan bisa kamu punya adik macam itu, An? Bagaimana bisa?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
~kho~
Tamara adik tiri koq ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status