Share

BAB 4 Deep Talk

“Bukankah seharusnya kamu bersyukur dibebaskan dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"

Andina segera menyeka air mata. 

“Bukan karena itu, Om.” Gadis itu menjawab dengan suara pelan. 

Andina tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, hingga akhirnya ia diam saja sampai mereka tiba di area parkir. Rupanya Bram membawa Andina ke mobilnya, sebuah SUV yang tampak ‘murah’ untuk ukuran keluarga kaya raya seperti Narendra.

“Kita mau ke mana, Om?” tanya Andina pada akhirnya. Sejak tadi, ia menurut saja pada pria ini tanpa tahu ia akan dibawa ke mana.

"Ada beberapa hal yang ini aku bicarakan denganmu." Pria itu menjawab singkat sembari membuka pintu mobilnya untuk Andina. “Silakan masuk, An.”

Tanpa banyak bicara, Andina segera naik ke dalam mobil.

Sejujurnya ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Bram secepat ini, setelah pagi tadi ide perjodohan lain tercetus di pertemuan keluarga.

Karenanya, ia agak kikuk dalam bersikap.

“Kamu sudah makan?” tanya Bram tiba-tiba.

Andina menggeleng. “Belum, Om.”

Mana bisa Andina makan dengan kondisi seperti itu tadi?

Mendengar jawaban Andina, Bram mengangguk. Pria itu kemudian serius dengan kemudi, tidak mengatakan apa pun lagi. Memang, setahu Andina, memang sosok ini terkenal irit bicara.. 

Andina jarang bertemu dengan Bram. Hanya ketika ia berkunjung ke kediaman Narendra saja, kadang Andina berpapasan dengan pria ini. Namun, Ia banyak mendengar cerita tentang Bram dari Kenneth. 

Terutama tentang bagaimana lelaki ini kawin-cerai sudah dua kali. Bagaimana sang paman pengangguran banyak gaya yang kerap mengecewakan keluarga, hobi menghabiskan harta Narendra.

Namun, setelah melihat mobil ‘sederhana’ milik Bram, Andina berpikir kalau pria ini tidak menghamburkan harta seperti yang dikatakan Ken.

Sekalipun mungkin soal kawin cerai dan penganggurannya benar. Andina jadi penasaran kenapa pria ini menduda dua–

“Ada yang mau kamu katakan padaku?” 

Andina tersentak saat Bram bertanya. Rupanya sejak tadi tanpa sadar ia mengamati sosok itu dalam diam.

“Um,” Andina jadi salah tingkah. “Itu … kita mau mengobrol di mana, Om?”

“Sebentar lagi sampai.”

Rupanya pria itu membawa Andina ke sebuah kafe yang cukup populer di kota tersebut. Andina tahu karena banyak ulasan unggulan untuk kafe ini, baik dari makanan, layanan, dan suasananya. Bahkan sempat viral.

Ternyata pria tiga puluh tahunan ini tahu tempat seperti ini juga. Apa asal pilih ya?

Mesin mobil dimatikan, refleks Andina melepas seat belt. Gadis itu segera membuka pintu mobil dan lebih dulu melangkah turun. 

Bram menyusul tak lama kemudian, lalu memimpin jalan agar Andina untuk mengikuti langkahnya. 

"Selamat siang, Pak."

"Meja untuk dua orang. Tolong yang sedikit privasi." Bram berucap pada salah seorang pramusaji yang menyapa mereka.

Pramusaji tersebut menatap Bram sejenak, lalu beralih pada Andina sebelum kemudian mengangguk.

"Oh baik, Bapak. Mari ikut saya."

Bram mengangguk. Ia membiarkan Andina mendahului langkahnya dan mengekor di belakang si pramusaji dengan seragam bernuansa cokelat tersebut. 

Lajendra. 

Sebuah nama unik yang untuk cafe dengan hidangan dan konsep milineal. Jujur ini kali pertama Andina menginjakkan kakinya kemari. Rupanya benar, cafe ini cukup menarik untuk dikunjungi. 

“Silakan, mau pesan apa?” tanya si pramusaji ketika Andina dan Bram sudah duduk berhadapan.

Bram menyodorkan buku menunya pada Andina, mendorong gadis itu agar memesan lebih dahulu.

Andina meraih buku menu yang disodorkan padanya, lalu ia membuka halaman demi halaman menu yang ada di sana. 

"Chocolate mint hangat." Andina akhirnya menatapkan pilihan, lalu menyodorkan menunya pada Bram.

“Itu saja?” tanya pria yang lebih tua tersebut.

Andina mengangguk.

“Katamu, kamu belum makan,” ucap Bram.

“Eh, iya,” ucap Andina. “Tapi aku nggak lapar, Om.”

“Mungkin kamu tidak merasa lapar, tapi tubuhmu tetap butuh makan.” Bram mengambil buku menu dari tangan Andina. Pria itu memilih minuman untuk dirinya dan menunjuk sebuah gambar di buku menu, pada gambar croissant mini dengan taburan keju dan herbs. “Dan ini.”

“Baik, Pak. Menu itu memang cocok dimakan dengan chocolate mint hangat Nona ini.” Si pramusaji tersenyum dan mengambil kembali buku menunya. "Kalau begitu mohon ditunggu sebentar."

Setelah si pramusaji berlalu, tidak ada yang bicara antara Andina maupun Bramasta.

“Aku tidak bisa membuat keponakan berengsekku itu meminta maaf padamu,” ucap Bram tiba-tiba, memecah keheningan. “Karena itu, meskipun ulahnya tidak ada sangkut pautnya denganku, sebagai pamannya, aku minta maaf.”

Andina tersenyum kecil. "Seperti yang Om katakan, Om tidak ada sangkut pautnya. Kenapa Om jadi yang minta maaf?" balasnya. “Oknumnya saja tidak minta maaf.”

Bram menghela napas. Tatapannya yang tajam terarah lurus pada gadis di hadapan, membuat Andina salah tingkah.

“Jadi,” ucap Andina kemudian. “Apakah maksudnya mengobrol tadi, adalah serah terima permintaan maaf?”

Sebenarnya tanpa perlu bertanya, Andina sudah paham dan tahu apa yang hendak lelaki ini bicarakan dengannya. Namun, ia perlu pancingan untuk masuk ke topik tersebut.

Bram tidak langsung menjawab. 

“Ini soal permintaan ibuku,” ucap pria itu kemudian. "Tentu beliau sudah bicarakan hal ini padamu, kan?"

Andina tersenyum sopan. Kemudian .kepalanya terangguk pelan. "Apa tanggapan Om perihal rencana itu?" tanyanya.

Bram menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pandangan. Wajahnya nampak gusar selama sesaat, sebelum kemudian mata tenangnya kembali terarah pada Andina. 

"Aku tidak mungkin membantah keinginan beliau,” kata pria itu pada akhirnya. “Usiaku sudah tidak muda lagi. Dan aku sudah pernah menikah. Mungkin kamu sudah pernah mendengarnya.”

Sekali lagi, Andina mengangguk.

“Oleh karena itu, aku paham jika kamu menolak pinangan ibuku.”

Andina menunduk. Gadis itu kembali berpikir sambil memainkan kuku yang ditempel manik swarovski yang didesain khusus untuk pernikahan Andina yang batal hari ini. 

Akan tetapi, sama seperti Bram, ia pun tidak punya kuasa untuk menolak perjodohan ini.

"Aku tahu ini berat bagimu, An.” Bram kembali berkata. “Karenanya, aku tidak akan menyalahkanmu jika kamu menolak.”

"Tapi, Om,” ucap Andina pada akhirnya. “Aku pun sama, Om. Mereka hanya memberiku waktu untuk menenangkan diri, bukan untuk menolak perjodohan ini." 

Hening.

Baik Bram maupun Andina terdiam. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing hingga kemudian Bram kembali bersuara. 

“Apa kamu takut padaku?”

Sepasang mata Andina melebar, tidak menyangka pertanyaan blak-blakan tersebut.

Yah, sebenarnya ia tidak takut pada Bram. Jika iya, tentu ia tidak akan ada di sini.

Namun, Andina khawatir ia akan dikecewakan lagi.

Karenanya, ia ungkapkan hal itu pada Bram, tanpa menduga ucapan pria itu selanjutnya membuat Andina makin terkejut.

"Jika memang kita harus menikah,” kata Bram. “Aku akan pastikan kamu bahagia, An.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
~kho~
aseeekkk... pegang janjimu loh bram, gak boleh ingkar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status