“Bukankah seharusnya kamu bersyukur dibebaskan dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"
Andina segera menyeka air mata.
“Bukan karena itu, Om.” Gadis itu menjawab dengan suara pelan.
Andina tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, hingga akhirnya ia diam saja sampai mereka tiba di area parkir. Rupanya Bram membawa Andina ke mobilnya, sebuah SUV yang tampak ‘murah’ untuk ukuran keluarga kaya raya seperti Narendra.
“Kita mau ke mana, Om?” tanya Andina pada akhirnya. Sejak tadi, ia menurut saja pada pria ini tanpa tahu ia akan dibawa ke mana.
"Ada beberapa hal yang ini aku bicarakan denganmu." Pria itu menjawab singkat sembari membuka pintu mobilnya untuk Andina. “Silakan masuk, An.”
Tanpa banyak bicara, Andina segera naik ke dalam mobil.
Sejujurnya ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Bram secepat ini, setelah pagi tadi ide perjodohan lain tercetus di pertemuan keluarga.
Karenanya, ia agak kikuk dalam bersikap.
“Kamu sudah makan?” tanya Bram tiba-tiba.
Andina menggeleng. “Belum, Om.”
Mana bisa Andina makan dengan kondisi seperti itu tadi?
Mendengar jawaban Andina, Bram mengangguk. Pria itu kemudian serius dengan kemudi, tidak mengatakan apa pun lagi. Memang, setahu Andina, memang sosok ini terkenal irit bicara..
Andina jarang bertemu dengan Bram. Hanya ketika ia berkunjung ke kediaman Narendra saja, kadang Andina berpapasan dengan pria ini. Namun, Ia banyak mendengar cerita tentang Bram dari Kenneth.
Terutama tentang bagaimana lelaki ini kawin-cerai sudah dua kali. Bagaimana sang paman pengangguran banyak gaya yang kerap mengecewakan keluarga, hobi menghabiskan harta Narendra.
Namun, setelah melihat mobil ‘sederhana’ milik Bram, Andina berpikir kalau pria ini tidak menghamburkan harta seperti yang dikatakan Ken.
Sekalipun mungkin soal kawin cerai dan penganggurannya benar. Andina jadi penasaran kenapa pria ini menduda dua–
“Ada yang mau kamu katakan padaku?”
Andina tersentak saat Bram bertanya. Rupanya sejak tadi tanpa sadar ia mengamati sosok itu dalam diam.
“Um,” Andina jadi salah tingkah. “Itu … kita mau mengobrol di mana, Om?”
“Sebentar lagi sampai.”
Rupanya pria itu membawa Andina ke sebuah kafe yang cukup populer di kota tersebut. Andina tahu karena banyak ulasan unggulan untuk kafe ini, baik dari makanan, layanan, dan suasananya. Bahkan sempat viral.
Ternyata pria tiga puluh tahunan ini tahu tempat seperti ini juga. Apa asal pilih ya?
Mesin mobil dimatikan, refleks Andina melepas seat belt. Gadis itu segera membuka pintu mobil dan lebih dulu melangkah turun.
Bram menyusul tak lama kemudian, lalu memimpin jalan agar Andina untuk mengikuti langkahnya.
"Selamat siang, Pak."
"Meja untuk dua orang. Tolong yang sedikit privasi." Bram berucap pada salah seorang pramusaji yang menyapa mereka.
Pramusaji tersebut menatap Bram sejenak, lalu beralih pada Andina sebelum kemudian mengangguk.
"Oh baik, Bapak. Mari ikut saya."
Bram mengangguk. Ia membiarkan Andina mendahului langkahnya dan mengekor di belakang si pramusaji dengan seragam bernuansa cokelat tersebut.
Lajendra.
Sebuah nama unik yang untuk cafe dengan hidangan dan konsep milineal. Jujur ini kali pertama Andina menginjakkan kakinya kemari. Rupanya benar, cafe ini cukup menarik untuk dikunjungi.
“Silakan, mau pesan apa?” tanya si pramusaji ketika Andina dan Bram sudah duduk berhadapan.
Bram menyodorkan buku menunya pada Andina, mendorong gadis itu agar memesan lebih dahulu.
Andina meraih buku menu yang disodorkan padanya, lalu ia membuka halaman demi halaman menu yang ada di sana.
"Chocolate mint hangat." Andina akhirnya menatapkan pilihan, lalu menyodorkan menunya pada Bram.
“Itu saja?” tanya pria yang lebih tua tersebut.
Andina mengangguk.
“Katamu, kamu belum makan,” ucap Bram.
“Eh, iya,” ucap Andina. “Tapi aku nggak lapar, Om.”
“Mungkin kamu tidak merasa lapar, tapi tubuhmu tetap butuh makan.” Bram mengambil buku menu dari tangan Andina. Pria itu memilih minuman untuk dirinya dan menunjuk sebuah gambar di buku menu, pada gambar croissant mini dengan taburan keju dan herbs. “Dan ini.”
“Baik, Pak. Menu itu memang cocok dimakan dengan chocolate mint hangat Nona ini.” Si pramusaji tersenyum dan mengambil kembali buku menunya. "Kalau begitu mohon ditunggu sebentar."
Setelah si pramusaji berlalu, tidak ada yang bicara antara Andina maupun Bramasta.
“Aku tidak bisa membuat keponakan berengsekku itu meminta maaf padamu,” ucap Bram tiba-tiba, memecah keheningan. “Karena itu, meskipun ulahnya tidak ada sangkut pautnya denganku, sebagai pamannya, aku minta maaf.”
Andina tersenyum kecil. "Seperti yang Om katakan, Om tidak ada sangkut pautnya. Kenapa Om jadi yang minta maaf?" balasnya. “Oknumnya saja tidak minta maaf.”
Bram menghela napas. Tatapannya yang tajam terarah lurus pada gadis di hadapan, membuat Andina salah tingkah.
“Jadi,” ucap Andina kemudian. “Apakah maksudnya mengobrol tadi, adalah serah terima permintaan maaf?”
Sebenarnya tanpa perlu bertanya, Andina sudah paham dan tahu apa yang hendak lelaki ini bicarakan dengannya. Namun, ia perlu pancingan untuk masuk ke topik tersebut.
Bram tidak langsung menjawab.
“Ini soal permintaan ibuku,” ucap pria itu kemudian. "Tentu beliau sudah bicarakan hal ini padamu, kan?"
Andina tersenyum sopan. Kemudian .kepalanya terangguk pelan. "Apa tanggapan Om perihal rencana itu?" tanyanya.
Bram menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pandangan. Wajahnya nampak gusar selama sesaat, sebelum kemudian mata tenangnya kembali terarah pada Andina.
"Aku tidak mungkin membantah keinginan beliau,” kata pria itu pada akhirnya. “Usiaku sudah tidak muda lagi. Dan aku sudah pernah menikah. Mungkin kamu sudah pernah mendengarnya.”
Sekali lagi, Andina mengangguk.
“Oleh karena itu, aku paham jika kamu menolak pinangan ibuku.”
Andina menunduk. Gadis itu kembali berpikir sambil memainkan kuku yang ditempel manik swarovski yang didesain khusus untuk pernikahan Andina yang batal hari ini.
Akan tetapi, sama seperti Bram, ia pun tidak punya kuasa untuk menolak perjodohan ini.
"Aku tahu ini berat bagimu, An.” Bram kembali berkata. “Karenanya, aku tidak akan menyalahkanmu jika kamu menolak.”
"Tapi, Om,” ucap Andina pada akhirnya. “Aku pun sama, Om. Mereka hanya memberiku waktu untuk menenangkan diri, bukan untuk menolak perjodohan ini."
Hening.
Baik Bram maupun Andina terdiam. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing hingga kemudian Bram kembali bersuara.
“Apa kamu takut padaku?”
Sepasang mata Andina melebar, tidak menyangka pertanyaan blak-blakan tersebut.
Yah, sebenarnya ia tidak takut pada Bram. Jika iya, tentu ia tidak akan ada di sini.
Namun, Andina khawatir ia akan dikecewakan lagi.
Karenanya, ia ungkapkan hal itu pada Bram, tanpa menduga ucapan pria itu selanjutnya membuat Andina makin terkejut.
"Jika memang kita harus menikah,” kata Bram. “Aku akan pastikan kamu bahagia, An.”
"Jadi begitu?"Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama.Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi."Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku.
"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me
"Ibu mau ke optik Saputra Jaya?"Tentu saja Andina terkejut bukan main mendapati laki-laki dengan kemeja rapi itu menyapanya di depan pos security. Andina menatap lelaki paruh baya itu dengan saksama, siapa dia? Baru kali ini Andina melihat laki-laki ini dan bagaimana dia bisa tahu kalau Andina hendak pergi ke tempat itu? "Betul, maaf Bapak ini si--.""Saya Danu, Bu. Saya disuruh bapak anterin Ibu kesana. Mari."Dengan segera laki-laki itu memotong. Wajahnya ramah, suaranya lembut dengan begitu sopan. Namun itu saja belum cukup untuk membuat Andina seketika menuruti apa yang lelaki itu perintahkan. Alis Andina berkerut, tangannya merogoh ponsel di dalam tas. "Bentar ya, Pak!" Ujarnya lalu sedikit menjauh dari lelaki asing yang memperkenalkan diri bernama Danu itu. "Kenapa, An?" Sapa suara itu setelah mengangkat panggilan telepon dari Andina. "Om nyuruh orang bu--.""Danu udah di sana?" Potong Bram yang seperti biasa selalu menyela. "Iya udah di depan, Om. Jadi ini Om yang nyuruh?