Altar itu berhiaskan bunga mawar. Perpaduan warna pink dan putih sesuai dengan permintaan Andina. Dengan karpet merah yang membentang panjang dari pintu sampai altar. Semua penuh bunga kesukaan Andina, belum lagi singgasana mereka di acara resepsi nanti, semua sesuai permintaan Andina, namun sayang sekali, bukan dia yang nantinya menjadi ratu di pelaminan itu. Secara tidak langsung, Andina merancang pernikahan ini untuk Tamara! Merancang pernikahan untuk adik dan calon suaminya.
"Kok bukan Andina?" Seketika Andina menunduk ketika bisik-bisik yang mencatut namanya itu terdengar. Ia berada di barisan kursi bagian tengah, di mana untuk acara pemberkatan pagi ini, ada banyak tamu yang hadir untuk menyaksikan. “Iya, nggak jadi dia yang nikah sama Ken. Tapi adiknya.” “Si Tamara?” "Iya. Gosipnya sih si Tamara udah isi." "HAH? Serius?" Meskipun bukan ia yang berbuat dosa, Andina tetap merasa malu saat mendengar celetukan-celetukan temannya tersebut. Karenanya, gadis itu makin dalam menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajah dan matanya yang sedikit tampak sembab. "Serius!" ucap suara yang lain. "Anaknya Kenneth?" "Hooh!" Tampaknya orang-orang itu tidak tahu kalau Andina bisa mendengar semua obrolan itu. Namun, ia tetap diam. Dadanya masih terasa sesak, dan tidak mungkin lekas pulih juga karena perkembangan kasus ini makin rumit saja untuknya. Semula Andina tidak menginginkan perjodohan dengan Kenneth. Namun, dua pihak keluarga memaksa karena menuruti wasiat para tertua. Apalagi sang ayah, yang menilai pria yang digadang-gadang sebagai pewaris keluarga Narendra itu adalah pria yang baik untuk menjadi menantunya. Karenanya, ia menerima. Andina mencoba membuka hati dan akhirnya dekat dengan Kenneth, hingga hal itu menumbuhkan sebuah rasa di hati Andina. Sampai akhirnya ia mulai menerima perjodohan yang awalnya memang dipaksakan ini. Namun, akhirnya Kenneth justru tega mengkhianatinya. Bukan dengan wanita sembarangan, tetapi dengan adik kandungnya sendiri! Bagaimana hati Andina tidak hancur? "Tapi hitungannya berarti si Ken ini selingkuhnya udah lumayan lama ya?" Andina kembali mendengar kasak-kusuk obrolan yang tidak jauh darinya. “Yah, sampai ketahuan hamil begitu Tamaranya. Pertanyaannya, kapan Andina tahu sih.” “Justru pertanyaannya itu, kenapa bisa si Kenneth selingkuh, apalagi sama adik tunangannya sendiri.” “Itu mah udah jelas jawabannya.” “Apa?” “Wajar nggak sih? Secara Tamara lebih cantik, lebih populer. Lebih segalanya dibanding Andina yang cupu itu.” “Oh, kirain berhubungan soal masalah ranjang.” Tubuh Andina membeku mendengar itu. “Maksudnya, habis icip Andina, si Ken kurang puas terus coba sama adiknya sampai gol?” “Bisa jadi~” “Tapi memang Ken bisa nafsu sama Andina?” Sementara gerombolan perempuan di dekatnya itu terkikik pelan, Andina mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, saat Kenneth memaksanya ke ranjang tapi ditolak oleh Andina. Apakah karena penolakan itu Kenneth lantas melampiaskan semua gairahnya pada Tamara? Atau memang pria itu berengsek? Tapi apakah Andina tetap salah karena tidak bisa menahan pria itu di sisinya? Tidak memberikan kesucian yang dijaganya pada tunangan yang dijodohkan padanya itu? Bagaimana jika– “Andina. Di sini kamu rupanya.” Suara maskulin itu membuat Andina mendongak, tepat ketika pikirannya mulai kembali semrawut. Di hadapannya sekarang sudah berdiri pria matang dengan balutan jas rapi dan penampilan menawan. Lelaki itu kira-kira berumur tiga puluh lima tahun, namun garis wajah tegas dan rambut rapi membuat sosok itu terlihat makin berwibawa dan memiliki daya tarik tersendiri. Dialah Bramasta Narendra, putra bungsu Eyang Mar. Sosok lelaki yang disodorkan keluarga untuk Andina nikahi. "O-Om?" ucap Andina, terkejut mendapati Bram menghampirinya. Pria itu menatap wajah Andina selama beberapa saat dengan sorot mata tak terbaca, sebelum kemudian mengalihkan pandangannya pada gerombolan yang sejak tadi menggosipkan Andina. Seperti tengah memberikan peringatan dalam diam. Andina mengikuti pandangan sosok itu dan melihat wajah empat orang wanita sebayanya berubah pucat. “Andina.” Wanita berkacamata itu kembali menoleh ke arah paman kecil mantan tunangannya dan mendapati Bram tengah mengulurkan tangan padanya. "Ayo pergi. Telingamu tidak layak mendengarkan obrolan tidak berbobot seperti itu.” Tanpa pikir panjang, Andina mengangguk. Ia mungkin akan merasa malu jika sebelumnya ia ketahuan mendengarkan diam-diam dan tidak bereaksi, ataupun kabur dari sana tanpa konfrontasi. Kehadiran pria ini benar-benar menyelamatkannya. Gadis itu menyambut uluran tangan Bram dan berdiri, lalu melangkah pergi dari sana. Melewati tempat empat teman Andina yang sejak tadi menggosipkannya, mengikuti ke mana pria itu membawa Andina. Namun, setelah pergi agak jauh dari tempatnya tadi, tanpa sadar air mata Andina jatuh juga. Sekalipun isakannya tidak pecah. "Kenapa menangis?” Ucapan pria yang masih menggenggam tangannya tersebut membuat Andina mendongak. “Bukankah seharusnya kamu bahagia karena bebas dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"“Bukankah seharusnya kamu bersyukur dibebaskan dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"Andina segera menyeka air mata. “Bukan karena itu, Om.” Gadis itu menjawab dengan suara pelan. Andina tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, hingga akhirnya ia diam saja sampai mereka tiba di area parkir. Rupanya Bram membawa Andina ke mobilnya, sebuah SUV yang tampak ‘murah’ untuk ukuran keluarga kaya raya seperti Narendra.“Kita mau ke mana, Om?” tanya Andina pada akhirnya. Sejak tadi, ia menurut saja pada pria ini tanpa tahu ia akan dibawa ke mana."Ada beberapa hal yang ini aku bicarakan denganmu." Pria itu menjawab singkat sembari membuka pintu mobilnya untuk Andina. “Silakan masuk, An.”Tanpa banyak bicara, Andina segera naik ke dalam mobil.Sejujurnya ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Bram secepat ini, setelah pagi tadi ide perjodohan lain tercetus di pertemuan keluarga.Karenanya, ia agak kikuk dalam bersikap.“Kamu sudah makan?” tanya Bram tiba-tiba.Andina menggel
"Jadi begitu?"Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama.Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi."Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku.
"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.
"Jangan lupa nanti ke optik yang aku sarankan, An. Sudah aku share ke nomor WA-mu."Andina yang baru saja selesai mengeringkan rambut sontak menoleh. Bram sudah rapi dengan kaos dan celana pendek. Dari bau parfum yang menguar, sepertinya lelaki itu hendak pergi keluar rumah. "Baik, Om. Nanti aku kesana." Jawab Andina patuh. "Selain ke optik, kamu ada agenda apa hari ini?"Mendengar agenda yang ditanyakan Bram, kontan seulas senyum terukir di wajah Andina. Ia segera membetulkan posisi duduknya, membuat Bram yang sudah hendak melangkah keluar kamar kontan membatalkan niatnya. "Aku mau ke butik temen, Om. Rencana kalau boleh aku mau kerja sama dia. Dia sedang ca--.""Hah? Apa?"Andina menghentikan kalimatnya, ia menatap wajah Bram yang nampak terkejut itu."Ya aku mau kerja sama temen aku. Dia cari desainer buat butik dan bridal dia, Om." Jelas Andina takut Bram salah tangkap dengan kalimatnya barusan. "Kenapa harus kerja sama dia?"Kini kening Andina berkerut. Ia tidak tahu harus me