“Kamu … semisal menikah dengan putra bungsu Eyang bagaimana?”
Mata Andina membulat, sebelum kemudian ia tertawa sumbang. “Eyang, jangan bercanda,” ucap Andina. Ia menatap wanita tua yang duduk di sampingnya sejak tadi. Namun, Eyang menggeleng. "Andina. Sebelumnya Eyang minta maaf, An,” ucap wanita tua itu. Beliau menggenggam tangan Andina lebih erat. “Dari saat kamu kecil, Eyang udah jatuh hati sama kamu. Kamu gadis yang baik, cantik, dan mandiri.” Eyang membawa tangan Andina ke pangkuannya dan menepuknya pelan sembari melanjutkan, “Apalagi kamu ditinggal mama kamu saat masih sekecil itu. Itu yang membuat Eyang pengen banget kamu jadi bagian dari keluarga Eyang. Jadi saat itu, Eyang putuskan untuk membuat perjanjian itu dengan Oma kamu, An. Agar kamu bisa masuk menjadi cucu Eyang." Andina membalas genggaman nenek mantan tunangannya tersebut. "Andina udah anggap Eyang Mar itu nenek sendiri. Jadi tidak perlu–" "Nggak bisa gitu, An.” Eyang memotong kalimat Andina. “Bagaimanapun Eyang mau kamu masuk ke dalam keluarga Narendra. Secara resmi. Sepenuhnya." Andina terdiam, kemudian menunduk. “Karena itu Eyang mengusulkan Andina untuk menikahi putra bungsu Eyang?” tanyanya kemudian. Suaranya terdengar lirih. “Tapi … Andina dengar, putra bungsu Eyang sudah pernah menikah.” “Duda bukan berarti orang jahat, An.” “Bukan itu maksud Andina, Eyang.” Eyang tersenyum. “Eyang paham. Tapi coba kamu pikirkan dulu sebentar ya.” Wanita tua itu bangkit berdiri sementara Andina masih diam. Apakah … sekarang Andina harus kembali menurut untuk dinikahkan dengan duda? Dan lagi, artinya Andina akan tetap bergabung ke keluarga yang sama dengan Kenneth sebagai keponakannya? Andina menggeleng. "Eyang ... kalau Andina menikah dengan putra Eyang, nanti Andina–” "Memang kenapa kalau kamu nikah sama Bram?" Sebelum Andina melanjutkan ucapannya, Sandra, mama tiri Andina menyela dengan nada tinggi, membuat Andina menoleh pada wanita dengan sanggul tinggi itu. “Maksud Eyang itu baik, An. Kamu selalu saja membangkang dulu.” Andina menghela napas panjang, tidak berniat menjawab. Ia terlalu lelah jika harus berdebat dengan mama tirinya. Sekalipun itu berarti ia akan selalu ditempatkan di posisi anak bandel dan durhaka tiap kali mama tirinya itu berucap. Akhirnya ia diam sampai Eyang dan keluarga mempelai pria izin untuk keluar terlebih dahulu. “Kamu mau menikah dengan putra bungsu Eyang Mar?” tanya sang ayah kemudian sembari menatap Andina. Andina kembali menggeleng. “Ayah, aku nggak bisa,” bisiknya. “Ck. Nggak bisa gitu dong!” ucap mama tiri Andina lagi, menyela dengan ketus. “Kamu ini harus berpikir panjang, An. Bisa kamu bayangkan apa yang akan terjadi kalau kamu menolak permintaan Eyang Mar? Semua bakal kena dampaknya, An! Jangan egois!” “Bukan aku yang memulai, Ma.” Akhirnya Andina membalas. “Bukan aku yang hamil sebelum kakaknya menikah.” Mama tiri Andina melotot. “Bukan salah Tamara kalau Kenneth sukanya sama dia, An!” tukasnya. “Berarti kamu nggak bisa jaga pasanganmu! Bisa-bisanya kamu menyalahkan adik sendiri.” Andina memejamkan matanya. Hampir saja Andina bangkit dan menampar mulut wanita itu keras-keras. Namun, ia tidak mau memancing keributan lebih jauh. Toh, tidak akan ada yang berubah. Posisinya di keluarga ini memang tidak ada kuat-kuatnya sama sekali., “Anakmu tuh,” ucap mama tiri Andina pada suaminya. “Bisa-bisanya menyalahkann adiknya seperti itu.” Hendra, sang ayah, mengusap wajahnya dengan kasar. “Tamara juga tidak bisa dibenarkan, San,” balas pria itu dengan suara lelah. “Sudah. Aku di sini tidak mau ada yang saling lempar kesalahan.” Pria itu kemudian menatap putri sulungnya. “Tapi benar kata Mama Sandra, An. Kamu nggak boleh egois. Sebelum kamu menolak, sekalipun kamu menolak, kamu harus pikirkan dulu apa dampaknya pada keluarga kita.” Andina menggigit bibir bagian bawahnya. Air mata kembali menggenangi sepasang matanya. Apakah saat Tamara menggoda calon suami Andina, adiknya itu berpikir tentang konsekuensi? "Eh, tapi aku nggak mau tahu ya ... Andina harus mau menerima pinangan Eyang Mar!” Tiba-tiba Sandra kembali bersuara. “Kalau sampai Andina menolak dan Tamara sama calon cucu kita jadi kena imbasnya, awas saja!” Lalu pada Andina, wanita itu menambahkan. “Jangan egois, An!" “Sudah, sudah. Kita bicarakan ini nanti!” Sang ayah melerai kemudian. “Sekarang kita harus segera ke gedung.” Andina menunduk, kembali merenungi nasib dan perkembangan terakhir sementara orang tuanya keluar ruangan. Seharusnya hari ini ia menikah, bukannya– "Mungkin kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini, An, Setelah apa yang baru saja terjadi hari ini.” Suara lembut nenek kandung Andina membuat gadis itu mendongak menatap Oma. “Tidak apa-apa. Pikirkan baik-baik.” Andina menggeleng. “Sekalipun begitu, Andina nggak yakin akan menerima pinangan Eyang Mar sekali lagi, Oma.” “Kenapa, Sayang?” “Oma tahu sendiri, pria itu sudah menikah dua kali dan di dua pernikahan itu juga, dua istrinya minta cerai. Satunya malah kabur,” ucap Andina. “Andina tidak tahu apa yang terjadi dalam pernikahan mereka, tapi bukankah itu membuktikan sesuatu, Oma? Kenapa semuanya memaksa ….” “An.” Panggilan lembut namun tegas itu mampu menghentikan protes yang hendak Andina ajukan. Tangan itu menepuk dan meremas lembut pundak Andina. “Seperti yang kamu katakan, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dalam pernikahan mereka.” “Namun,” lanjut Oma. “Oma kenal Bram. Dia anak yang baik.” Andina tertawa getir. “Anak baik tidak mungkin cerai dua kali, Oma,” ucap gadis itu. "Oma saja nggak tahu kenapa dia jadi duda dua kali, tapi kenapa Oma bisa kekeuh ngomong kalau dia itu orang yang baik? Bagaimana kalo dia ternyata KDRT?" “Sayang, ini sama dengan mengatakan kalau anak baik tidak mungkin diselingkuhi kekasihnya.” Ucapan Oma membuat Andina tertohok. Gadis itu diam, tidak membalas ucapan sang nenek. Oma mengelus rambut Andina dengan lembut. “Jangan menudingnya seperti itu ya, Sayang. Tidak boleh berprasangka buruk begitu. Bagaimana kalau nanti kamu coba ketemu dengan Bram dulu?” Tidak ada sahutan dari Andina. “Oma tidak memungkiri kamu butuh waktu, tapi Oma mohon ... tolong jangan kamu tolak pinangan dan niat baik dari Eyang Mar, ya?" bujuk suara itu lembut. “Kami mau yang terbaik untuk kamu. Untuk kita. Kamu tidak akan menyesal, Sayang. Oma berani bertaruh.” Andina kembali tersenyum getir. Ia sudah menyesal, sekarang. Karena waktu itu sempat menyanggupi pinangan Eyang Mar untuk menikah dengan Kenneth. Apa yang membuatnya berbeda sekarang? "Jadi menurut Oma, masa depan Andina cuma sekedar barang taruhan? Oma hendak bermain judi dengan masa depan Andina sendiri?" Akhirnya, gadis itu berucap. “Kalo begitu, apa yang akan Oma berikan sebagai kompensasi kalau sampai benar Om Bram bukan jodoh yang terbaik buat Andina dan cuma bisa hancurin masa depan Andina saja?"Altar itu berhiaskan bunga mawar. Perpaduan warna pink dan putih sesuai dengan permintaan Andina. Dengan karpet merah yang membentang panjang dari pintu sampai altar. Semua penuh bunga kesukaan Andina, belum lagi singgasana mereka di acara resepsi nanti, semua sesuai permintaan Andina, namun sayang sekali, bukan dia yang nantinya menjadi ratu di pelaminan itu. Secara tidak langsung, Andina merancang pernikahan ini untuk Tamara! Merancang pernikahan untuk adik dan calon suaminya. "Kok bukan Andina?"Seketika Andina menunduk ketika bisik-bisik yang mencatut namanya itu terdengar. Ia berada di barisan kursi bagian tengah, di mana untuk acara pemberkatan pagi ini, ada banyak tamu yang hadir untuk menyaksikan. “Iya, nggak jadi dia yang nikah sama Ken. Tapi adiknya.”“Si Tamara?”"Iya. Gosipnya sih si Tamara udah isi.""HAH? Serius?"Meskipun bukan ia yang berbuat dosa, Andina tetap merasa malu saat mendengar celetukan-celetukan temannya tersebut. Karenanya, gadis itu makin dalam menunduk
“Bukankah seharusnya kamu bersyukur dibebaskan dari lelaki berengsek macam keponakanku itu?"Andina segera menyeka air mata. “Bukan karena itu, Om.” Gadis itu menjawab dengan suara pelan. Andina tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, hingga akhirnya ia diam saja sampai mereka tiba di area parkir. Rupanya Bram membawa Andina ke mobilnya, sebuah SUV yang tampak ‘murah’ untuk ukuran keluarga kaya raya seperti Narendra.“Kita mau ke mana, Om?” tanya Andina pada akhirnya. Sejak tadi, ia menurut saja pada pria ini tanpa tahu ia akan dibawa ke mana."Ada beberapa hal yang ini aku bicarakan denganmu." Pria itu menjawab singkat sembari membuka pintu mobilnya untuk Andina. “Silakan masuk, An.”Tanpa banyak bicara, Andina segera naik ke dalam mobil.Sejujurnya ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Bram secepat ini, setelah pagi tadi ide perjodohan lain tercetus di pertemuan keluarga.Karenanya, ia agak kikuk dalam bersikap.“Kamu sudah makan?” tanya Bram tiba-tiba.Andina menggel
"Jadi begitu?"Andina menggumam, kembali menatap Bram yang baru saja selesai menceritakan semua alasan yang tadi Andina pertanyakan padanya. "Ya ... Begitu. Entah apa pendapatmu, yang jelas itulah yang terjadi sebenarnya." Bram menghela napas panjang, matanya sedikit memerah. Dengan satu tarikan, Bram menarik cangkir kopi miliknya mendekat. Meneguk cairan pekat itu beberapa kali lalu kembali meletakkan cangkir di atas meja. Sementara itu, Andina masih membisu. Melihat lawan bicaranya tengah menenangkan diri setelah panjang-lebar membuka lembar masa lalunya, Andina pun memilih melakukan hal yang sama.Andina menikmati secangkir cokelat yang dia pesan, berusaha mengenyahkan segala macam ragu yang masih menyelimuti hatinya. "Aku tidak ingin memaksamu percaya dengan semua ceritaku barusan, An. Tugasku hanya menjawab pertanyaan yang kamu ajukan tadi."Andina mengangkat wajah, ditatapnya Bram dengan saksama. "Aku mengerti, Om. Terimakasih sudah menceritakan semua kisah pahit Om padaku.
"Kenapa cuma minta private party? Kakak malu kawin sana duda cerai dua kali?" Ejek suara itu yang seketika membuat Andina menghela napas panjang. "Atau mungkin malu nikah sama lelaki pengangguran?" Belum sempat menjawab, Tamara sudah kembali menyerangnya lagi. Andina membalikkan badan, melangkah mendekati Tamara yang nampak menatapnya dengan tatapan mengejek. Mata Andina tertuju pada perut sang adik. Masih nampak rata, belum nampak kalau Tamara tengah berbadan dua. "Apapun itu setidaknya aku tidak menikah karena hamil lebih dulu, hamil di luar nikah. Jadi kenapa harus malu?" Bisa Andina lihat wajah cantik bersalut makeup Tamara terkejut. Sorot mata mengejek tadi berubah jadi sorot benci menahan marah. "Aku tidak harus merendahkan diriku di sentuh lelaki yang milik orang lain agar dinikahi. Dimana salahnya?" Ujar Andina menyerang balik sang adik. "Ka-u ...." Tamara mengeram, tangannya mengepal kuat. "Apa?" Tantang Andina tak takut. Dia sudah lelah mengalah dan berdiam diri.
"Kenapa kau biarkan anak perempuanmu dinikahi lelaki itu, Hen!"Andina yang hendak ke toilet seketika berhenti, telinganya menangkap obrolan yang menyebut nama ayahnya dan itu artinya ada sangkut pautnya dengan diri Andina. "Mau bagaimana lagi? Aku nggak bisa nolak pinangan Eyang Mar, Pakdhe." Jelas suara itu lirih. "Astaga, Hen!" Desis suara itu frustasi. "Apa maunya ibumu ini! Temenan sih temanan, tapi nggak ngorbanin cucu juga begini dong! Kamu tahu siapa Bram itu?"Kini nama suami Andina disebut. "A-aku--.""Dua istrinya kemarin aja minta cere, Hen! Satunya kabur, bisa kamu bayangkan laki-laki model apa Bram itu?" Rasanya Andina ingin berteriak, menjelaskan alasan yang kemarin Bram jelaskan padanya perihal perceraian lelaki itu dengan dua istrinya terdahulu, namun ia urungkan, Andina diam-diam ingin mendengar semua obrolan itu sejenak. "Kita kan nggak tahu apa yang terjadi sebenarnya, Dhe. Kata mama, Bram itu anak yang baik. Cu--.""Halah! Anak baik mana yang sampe setua itu
"Sesuai perintah mama, kita akan tinggal di sini."Andina tersenyum getir, tanpa perlu Bram jelaskan, Andina sudah paham bahwa ia dan Bram harus tinggal di sini. Rumah keluarga besar Narendra, yang mana itu artinya Andina akan tinggal bersama Ken dan Tamara juga. "Sampai kapan?" Tanya Andina yang tidak bisa membayangkan akan satu meja makan bersama mereka. "Sampai kita punya alasan kuat untuk angkat kaki dari sini!"Jawaban itu membuat mulut Andina bungkam. Rasanya sia-sia bertanya lebih lanjut jika Bram sudah berkata dengan nada demikian. Andina menghela napas panjang, ia turun dari mobil SUV milik Bram dan melangkah ke belakang mobil. "Mau apa?" Tanya Bram seraya membuka bagasi belakang. "Ambil koperku." Sama seperti Bram, Andina pun kini lebih suka tidak banyak bicara. "Biar aku yang bawa. Masuklah dulu!"Tanpa mengucap terimakasih, Andina membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam 'istana' keluarga Narendra, namun baru satu tangga dia pijaki, Andina menghentikan langkah dan
"Jadi kalian sudah putuskan hendak bulan madu kemana?"Hampir saja Andina tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia segera meraih gelas, meneguk isinya perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari ibunda ratu. Sementara Andina terkejut, Bram lain lagi. Ia bahkan masih bisa makan dengan tenang, lalu meletakkan sendoknya dengan hati-hati di atas piring. "Untuk sekarang belum. Kami bahkan belum membicarakan apapun tentang itu." Jawab Bram singkat. "Enak ya jadi Om. Kawin tiga kali semua Eyang yang bayarin, bahkan bulan madunya sekalian." Celetuk Ken disela-sela aktivitas makannya. Andina kontan melotot, jadi begini suasana makan malam di keluarga ini? "Kau kira cuma aku? Aku berani bertaruh sembilan puluh lima persen biaya pernikahan kontroversionalmu kemarin semua dari bapakmu!" Sahut Bram santai. "Uhuk-uhuk!" Entah refleks atau apa, Ken terbatuk-batuk, membuat Tamara dengan segera menyodorkan gelas berisi air milik sang suami. "Apa salahnya? Bapakku yang bayarin, bukan Om, kan?" Sahutn
"Kalian dari mana?"Sambutan itu yang pertama kali Bram dan Andina dapatkan ketika masuk ke dalam rumah. Nampak Mar menatap sepasang suami-istri itu dengan tatapan khawatir. "Menurut mama?" Bram hanya tersenyum simpul, ia tidak berniat menjelaskan kemana mereka berdua tadi pergi. "Mama sudah nasehatin si Ken, jangan diambil hati, biar nanti mas Ananta nasehati." Jelas Mar yang tentu tidak lupa apa yang terjadi sebelum Bram dan Andina pergi meninggalkan meja makan. "Mama atur sajalah. Males Bram urusan sama bocah kemaren sore itu." Bram meraih tangan Andina, hendak menariknya naik ke lantai atas ketika tangan itu mencegah tubuh Bram selangkah lebih maju. "Eh tunggu!" Ucapnya dengan nada serius. Bram menghela napas, ia melepaskan tangan Andina yang sudah dalam genggamannya. Fokus menatap sang mama sembari menantikan hal penting apa yang hendak disampaikan oleh wanita itu. "Ya, kenapa?""Mama serius tentang pertanyaan yang tadi mama ajukan ke kamu." Ucap Mar dengan begitu serius.