Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.
Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup. Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya. "Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik. Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat. "Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati. Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit. Pak Juan tampak cemas, tapi sempat mematung di tempat. "Pak Juan, cepat!" seruku membuyarkan lamunannya. Ia segera tersadar, mengambil dompetnya, lalu mengikuti langkahku keluar. Sesampainya di rumah sakit, Dean segera diperiksa oleh dokter dan dinyatakan harus dirawat inap. Sepanjang proses itu, Pak Juan hampir tidak melepaskan pandangannya dari Dean, dan sesekali dariku. "Pak Juan, kalau mau ke kantor nggak apa-apa. Biar saya yang jaga bos kecil," ujarku setelah memastikan Dean tenang di ranjangnya. "Tapi, Din..." Pak Juan tampak ragu. "Nggak papa, Pak. Bos kecil akan baik-baik saja," kataku meyakinkannya. Pak Juan mengangguk, tapi masih tampak gelisah. "Kalau ada apa-apa, langsung kabari saya, ya," pesannya sebelum keluar dari ruangan. Siang harinya, Pak Juan kembali dengan membawa makanan. "Kamu makan dulu, Din. Biar Dean aku yang jaga," katanya sambil meraih Dean dari pangkuanku. Saat ia mengangkat Dean, tanpa sengaja tangannya menyentuh lenganku. Meski hanya sekilas, aku merasa seperti tersetrum. "Maaf, Din. Aku nggak sengaja," ucapnya buru-buru, wajahnya tampak canggung. Aku hanya mengangguk, berusaha menenangkan diriku. Malam di Ruang Rawat Malam harinya, aku dan Pak Juan tidur tetap berada di ruangan Dean. Ia duduk di sofa bed di sudut ruangan, sementara aku berada di ranjang mendampingi Dean yang tertidur. "Pak Juan, Bapak bisa istirahat. Saya yang jaga bos kecil," kataku memecah keheningan. Pak Juan yang fokus pada tabletnya, mendongak ke arahku. "Nggak apa-apa, Din. Kamu juga perlu istirahat," balasnya dengan suara lembut, tapi tegas. Aku menghela napas, tidak ingin berdebat lagi. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya terdengar bunyi lembut dari alat medis di dekat ranjang Dean. Namun, keheningan itu membuatku merasa canggung. Sesekali aku melirik ke arah Pak Juan. Ia tampak gelisah, berusaha mencari posisi tidur yang nyaman. "Apa nggak dingin, Pak?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh, sedikit terkejut. "Sedikit, tapi aku nggak apa-apa." Aku ragu sejenak sebelum menawarkan selimut cadangan. "Ini, Pak. Gunakan saja selimut ini." Pak juan menerima selimu itu, tapi tangan kami sempat bersentuhan. Seketika, aku menatik tanganku dengan gugup. Pak Juan tampak salah tingkah, lalu buru-buru mengucapkan terima kasih. Semalaman, aku sulit tidur. Meskipun ruangan itu cukup besar, keberadaan Pak Juan begitu terasa. Beberapa kali aku mendengar suara kursi sofa berderit saat ia bergerak gelisah. Hingga, di tengah malam, aku terbangun oleh suara air dari kamar mandi. Samar-samar, aku mendengar sesuatu. "Dini..." Aku mengerutkan kening, mengira itu hanya halusinasiku. Namun, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. "Dini... ah." Jantungku berdetak lebih cepat. Apa mungkin itu Pak Juan? Atau aku hanya salah dengar? Pikiranku berusaha menyangkal berbagai kemungkinan. Ketika akhirnya Pak Juan keluar dari kamar mandi, ia tampak sedikit terkejut melihatku terjaga. "Kamu masih terjaga, Din?" tanyanya, mencoba terdengar santai. "Baru saja bangun," jawabku singkat sambil membenahi selimut Dean. Aku memilih tidak membahas apa yang baru saja kudengar. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, Dean akhirnya diizinkan pulang. Pak Juan terlihat sangat lega, bahkan wajahnya lebih cerah daripada biasanya. "Nanti, kalau Dean sudah lebih sehat, papa janji kita jalan-jalan, ya," ujarnya lembut sambil mengelus rambut bocah kecil itu. Dean tersenyum kecil, meski tubuhnya masih terlihat lemah. Aku yang menyaksikan interaksi itu ikut tersenyum. Di balik tatapannya yang tegas, Pak Juan ternyata ayah yang sangat penyayang. "Oh ya, Din. Selama di rumah sakit, kamu kerja keras banget. Aku mau kasih bonus buat kamu. Terima kasih, ya," katanya tulus. Aku tersenyum, merasa dihargai. Beberapa hari setelah Dean pulang, Pak Juan benar-benar menepati janjinya. Ia mengajakku dan Dean ke pusat perbelanjaan. "Ayo, Din, kita jalan-jalan biar Dean nggak bosan di rumah terus," katanya pagi itu. Aku sempat ragu, tapi melihat antusiasme Dean, aku pun setuju. Di mal, kami berjalan-jalan sambil melihat-lihat pakaian anak-anak. Pak Juan terlihat serius memilihkan pakaian untuk Dean, sementara aku membantu Dean mencoba beberapa baju. Kami merasa seperti keluarga yang utuh dan hangat. Pak Juan, meskipun tenggelam dalam kesibukannya, selalu menyisihkan waktu berkualitas untuk putra semata wayangnya. Dia memerankan peran ganda sebagai ayah dan ibu, membuat dada ini berdesir dengan iri. "Bisakah Mas Sandi mencintai anak kita kelak seperti itu?" pikirku sambil memandang Pak Juan yang tengah memilih baju untuk Dean. "Dean suka ini?" tanyaku sambil menunjukkan kaus berwarna biru. Dean mengangguk, dan Pak Juan tersenyum. "Bagus. Kamu memang tahu apa yang Dean suka," ujarnya sambil menatapku. Aku tersipu mendengar ucapannya, tapi sebelum sempat membalas, ponselku tiba-tiba bergetar di saku. Aku mengeluarkannya dan melihat nama ibu mertuaku di layar. "Dini, kamu harus tanggung jawab! Sertifikat rumah sudah diambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak kirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan!" suara ibu mertuaku langsung terdengar keras begitu aku menjawab panggilan itu. Jantungku serasa berhenti. "Tapi, Bu, bukannya dulu aku sudah kirim uang untuk melunasi hutang itu?" tanyaku berusaha tenang. "Lunasi apanya! Sekarang kamu pulang kalau nggak percaya. Percuma kerja di kota tapi nggak ada hasilnya!" teriaknya lagi sebelum menutup telepon. Aku terdiam, merasa kepalaku berputar. "Dini, ada apa?" suara Pak Juan membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihat tatapannya yang penuh perhatian. "Nggak apa-apa, Pak. Cuma telepon dari rumah," jawabku singkat, berusaha menenangkan diri. Pak Juan tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk cerita, ya. Aku bisa bantu kalau perlu." Aku hanya tersenyum kecil, merasa bingung harus berkata apa. Sisa waktu di pusat perbelanjaan itu terasa sedikit canggung bagiku. Meskipun aku berusaha menyembunyikan kegelisahanku, aku tahu Pak Juan bisa merasakannya. Sepulang dari mal, aku memutuskan untuk berpikir lebih jernih sebelum mengambil tindakan. Aku tahu, masalah ini belum selesai, dan mungkin akan semakin rumit.Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
"Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
"Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti