แชร์

Bab 4

ผู้เขียน: Syaard86
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-08 17:24:11

Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?

Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?

Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk.

"Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."

Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.

Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan.

"Pak Juan hari ini pulang, Mbak. Katanya ada urusan penting di kantor yang harus diselesaikan langsung," jelasnya sambil membereskan ruang tamu.

Jantungku berdebar tak karuan mendengar itu. Entah kenapa, setiap kali Pak Juan ada di rumah, ada perasaan canggung yang sulit dijelaskan. Mungkin karena sikapnya yang sering perhatian pada hal-hal kecil.

Aku melanjutkan pekerjaanku seperti biasa, memastikan Dean sudah siap menyambut kepulangan ayahnya.

Aku memastikan Dean sudah bersih dan rapi. Bocah itu tampak ceria, mengenakan pakaian terbaiknya. Saat suara mobil Pak Juan terdengar, Dean merangkak dengan semangat ke arah pintu.

Pak Juan masuk, wajahnya terlihat lelah tetapi tetap membawa senyum tipis.

"Halo, bos kecil," sapanya sambil berjongkok untuk menyapa Dean lalu menggendongnya. Matanya kemudian beralih padaku, memberikan anggukan kecil.

Aku yang berdiri di dekat Dean berniat membantu menggendong bocah itu, tetapi tangan kami tak sengaja bersentuhan. Sentuhan itu hanya sesaat, tetapi cukup untuk membuatku menarik tangan dengan gugup.

 Pak Juan pun terlihat sama kikuknya, meski ia langsung mengalihkan perhatian dengan menggendong Dean dan mencium pipinya.

"Sudah besar, ya? Papa hampir nggak mengenali bos kecil," ucapnya dengan nada lembut, membuat Dean tertawa kecil.

Aku hanya berdiri di sana, berusaha mengendalikan debar jantungku. Pak Juan menoleh ke arahku dan tersenyum tipis.

 "Dini, nanti ke ruang kerja sebentar, ya? Saya ada sesuatu yang ingin dibicarakan."

Aku mengangguk pelan, meski tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang mulai merayap.

Setelah memastikan Dean tertidur, aku menuju ruang kerja Pak Juan. Ia sudah menungguku di sana, duduk dengan santai di kursinya.

Pak Juan langsung mengisyaratkan aku untuk duduk di hadapannya. 

"Ada yang ingin saya tanyakan," katanya tanpa basa-basi begitu aku duduk.

Aku mengangguk pelan, menunggu ia melanjutkan.

"Apa kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?" tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu seperti tamparan. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Bahagia? Apa itu penting saat aku hanya berusaha bertahan hidup?

"Kenapa Pak Juan tanya seperti itu?" aku mencoba mengalihkan.

Ia menghela napas panjang, lalu menatapku dengan mata yang penuh arti. "Karena saya melihat kamu seperti seseorang yang terjebak. Kamu melakukan segalanya untuk orang lain, tapi lupa bertanya pada dirimu sendiri, apa yang sebenarnya kamu inginkan."

Aku tersenyum tipis, pahit. "Tugas saya sekarang hanya memastikan semuanya baik-baik saja, Pak. Kebahagiaan saya tidak penting."

"Kamu salah, Dini," jawabnya cepat. "Kebahagiaanmu penting, terutama untuk anakmu. Jika kamu tidak bahagia, bagaimana kamu bisa memberikan yang terbaik untuk dia?"

"Kalau saya berhenti sekarang, siapa yang akan menopang keluarga saya? Siapa yang akan merawat suami saya? Saya tidak punya pilihan," jawabku akhirnya, suara bergetar menahan emosi.

Pak Juan mengamati wajahku beberapa detik sebelum akhirnya bersandar di kursinya. "Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi sebenarnya pilihan itu ada. Kamu hanya perlu keberanian untuk mengambilnya."

Aku tertegun. Kata-katanya benar, tetapi apa aku punya pilihan?

Siang itu, setelah keluar dari ruang kerja Pak Juan, aku memutuskan untuk menelepon Mas Sandi. Aku harus bicara dengannya, menjelaskan semuanya, dan mungkin mencari solusi bersama.

Panggilan tersambung, tetapi yang menjawab bukan Mas Sandi.

"Halo, ini siapa?" suara seorang perempuan terdengar di seberang sana.

Aku terdiam, merasa aneh. "Saya Dini, istrinya Mas Sandi. Bisa bicara dengan Mas Sandi?"

Perempuan itu tertawa kecil. "Oh, jadi kamu istrinya. Kiranti di sini, partner bisnis suamimu. Dia sedang sibuk, nanti saja kamu telepon lagi, ya."

Mendengar itu, aku pun memutuskan sambungan telepon.

Partner bisnis? Perempuan itu terdengar begitu santai, tetapi nadanya membuat perasaanku tak nyaman.

Aku terdiam duduk dengan menyandarkan kepalaku yang terasa berat, tak tahu harus bagaimana lagi. Pikuranku terasa buntu, seolah masalah datang bertubi-tubi menghampiriku.

Aku ingin beranjak masuk ke dalam kamarku, tetapi suara ponselku berdering, menampilkan nama Mas Sandi. Aku segera mengangkatnya.

"Din, ada apa telepon?" tanya Mas Sandi.

"Mas, aku mau tanya soal Kiranti. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia yang mengangkat teleponmu tadi?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.

Mas Sandi terdiam sejenak. "Kiranti itu partner bisnis sekaligus teman lama. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku hanya ingin membangun usaha kecil supaya kamu nggak perlu bekerja jauh lagi."

"Tapi kenapa kamu tidak pernah cerita sebelumnya? Kenapa dia bisa sedekat itu denganmu sampai mengangkat teleponku?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.

"Din, aku sudah bilang, dia hanya teman!" suara Mas Sandi mulai meninggi. "Kenapa kamu selalu mencurigai aku? Apa kamu pikir aku tidak pantas dipercaya?"

"Mas, aku nggak bilang begitu. Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya," balasku, mencoba menenangkan diri.

"Din, aku nggak mau ribut sekarang. Aku lagi sibuk. Kita bahas ini nanti," katanya buru-buru.

"Sibuk? Selalu sibuk! Mas, kapan kamu bisa benar-benar ada untuk aku?" aku mulai kehilangan kendali.

"Din, jangan mulai lagi. Kamu cuma capek, makanya sensitif," balasnya dengan nada defensif.

"Aku capek, Mas, karena kamu nggak pernah paham. Semua beban ini aku yang tanggung, tapi kamu malah—" suaraku tercekat, mencoba menahan emosi.

"Jadi sekarang aku yang salah? Aku cuma berusaha memperbaiki keadaan kita, Din. Kalau kamu nggak mau bantu, ya sudah!" bentaknya sebelum memutus telepon.

Aku menatap layar ponselku dengan tangan gemetar. Masalah ini seperti tidak ada ujungnya. Siapa sebenarnya Kiranti? Apa benar dia hanya teman?

Malam itu, aku duduk di tepi tempat tidur, menatap Dean yang tertidur nyenyak. Di luar, hujan turun membawa hawa dingin yang menyelimuti rumah.

Langkah kaki mendekat, dan aku mendapati Pak Juan berdiri di ambang pintu, membawa selimut tambahan.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut.

Aku mengangguk, meskipun jelas-jelas aku tidak baik-baik saja. Pak Juan mendekat, menyelimuti Dean, lalu menatapku.

"Kalau kamu butuh bantuan, katakan. Jangan memikul semuanya sendirian," ucapnya sebelum pergi, meninggalkan aku dengan pikiran yang semakin kacau.

Di antara suara hujan yang terus berjatuhan, pikiranku dipenuhi kebimbangan. Antara kenyataan yang membuatku lelah dan jalan yang mungkin ada, aku tahu satu hal—aku tak bisa terus seperti ini. Tetapi, bagaimana caranya melangkah keluar dari lingkaran ini?

Suara hujan terus berlanjut, seperti melodi sedih yang mengiringi malamku. Di antara bayangan masa lalu, keraguan pada suamiku, dan perhatian Pak Juan yang semakin sering kurasakan, aku tahu satu hal—aku tidak bisa terus seperti ini. Tetapi untuk mengambil langkah pertama, aku harus mencari keberanian.

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-09
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-10
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-07
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 2

    Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-07
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-01-08

บทล่าสุด

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 2

    Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

DMCA.com Protection Status