Share

Bab 3

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-08 12:02:20

Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang

"Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri.

Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain.

Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya.

"Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon.

"Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat.

Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertuaku tampak duduk di sampingnya, tersenyum menenangkan.

"Iya Mas, semoga operasinya lancar. Maaf aku nggak bisa ada di sana," kataku dengan nada lirih. Sebagai istri aku merasa gagal mendampinginya di saat penting seperti ini.

Mas Sandi tersenyum padaku. "Nggak papa, Din. Kamu sudah berupaya sangat keras padaku. Makasih ya, sudah mengupayakan uang untuk operasiku," ucapnya.

Kedua mataku berkaca-kaca menatap wajah Mas Sandi yang sudah beberapa bulan ini tidak pernah aku melihatnya secara langsung. Hanya lewat video call kami melepas rindu.

Mas Sandi mengusap air matanya dan memberikan ponselnya pada ibu mertuaku.

"Nggak papa Dini. Kami di sini baik-baik saja. Kamu jaga kesehatan ya, jangan biarkan badanmu sakit," ucap wanita yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.

"Iya Bu, pasti," jawabku sambil mengangguk. Telepon pun segera aku akhiri karena Dean merengek sudah bosan bermain.

Aku mendorong stroller menuju taman depan rumah. Berkeliling di sana hingga Dean terlelap dengan sendirinya.

Saat malam menjelang, aku menemani Dean berada di kamarnya. Membacakan cerita untuknya sambil mengistirahatkan badan.

Tiba-tiba, Mbak Mira, asisten rumah tangga lain, mengetuk pintu.

"Mbak Dini, kamu di minta Pak Juan buat mengangkat panggilannya," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya.

"Ada apa? Pakai ponsel kamu aja Mbak," jawabku yang sedikit malas mengambil ponselku yang ada di kamar karena tadi batrainya tinggal 10 persen.

"Halo Pak, ada apa?" tanyaku.

"Dini, kenapa kamu nggak angkat ponselmu sendiri? Cepat ambil ponselmu dan balas panggilanku. Jangan gunakan ponsel orang lain!" ucapnya dengan nada mendesak.

Aku terdiam dan panggilan itu terputus. Aku kembalikan ponsel itu pada Mira, asisten rumah tangga.

Heran rasanya dengan majikanku itu kenapa dia sudah seperti pacarku saja yang tidak membalas pesan atau teleponnya dia akan marah-marah padaku, padahal tadi juga sudah telepon dan melihat putranya baik-baik saja. Aneh!

"Dean sayang, sebentar ya, Mbak Dini ambil ponsel dulu di kamar," pamitku pada bocah laki-laki berumur satu tahun itu.

Dia menganggukkan kepalanya dan kembali bermain dengan pengawasan Mbak Mira.

Aku melangkah gontai menuju ke kamar mengambil ponselku. Mengerutkan dahi begitu membuka benda pipih itu yang banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Pak Juan.

"Dini, kamu di mana? Kenapa nggak angkat telepon dariku? Apa yang terjadi?" Begitulah pesan dari Pak Juan dan masih banyak pertanyaan yang lainnya.

Sebenarnya Pak Juan itu khawatir pada anaknya atau padaku?

Sambil menghela napas, aku segera membalas pesan tersebut. Tak lama, ponselku berdering lagi.

"Iya Pak, bos kecil baik-baik saja. Dia sedang bermain," jawabku langsung, mencoba meredakan kekhawatirannya.

Aku mengarahkan kamera ponselku pada Dean yang sedang merangkak menghampiriku dan duduk di pangkuanku dengan manja.

"Ayo sayang, sapa papa," ucapku pada Dean yang sudah berdiri dengan berpegangan padaku.

"Halo, sayang," sapa Pak Juan pada anaknya tapi tatapannya ada yang ganjil karena tatapan itu mengarah padaku.

Aku mengarahkan kamera pada wajah Dean.

"Hei, sayang, kok nggak kelihatan," tanya Pak Juan tiba-tiba.

Aku memeriksa ponselku apakah kameranya mati atau bagaimana karena Pak Juan tidak bisa melihat wajah anaknya.

Ponselku baik-baik saja dan kameranya masih jernih dan jelas. Lalu apanya yang nggak kelihatan?

''Pak, apa sekarang sudah jelas?'' tanyaku pada Pak Juan sambil memperlihatkan wajah Dean dan wajahku di depan layar ponsel.

Pak Juan mengangguk pelan. "Sudah," jawabnya pendek, tapi tatapannya meninggalkan tanda tanya besar di pikiranku. Entahlah mungkin karena ia rindu dengan anaknya.

***

Hari terus berlalu, sudah hampir tiga bulan setelah Mas Sandi operasi, ia sudah berjalan normal kembali. Tapi masalah baru muncul, ia mulai mendesakku untuk mengirim uang lebih yang katanya untuk membuka usaha.

''Ayolah Din, ini juga untuk kebaikan kita. Kamu nggak perlu lagi kerja jauh-jauh. Setelah usahaku ini berjalan lancar, kamu pulang saja untuk menjalankan usaha kita,'' ucapnya dengan nada penuh harap.

''Tapi Mas, masalahnya bukan itu. Aku masih punya hutang pada bosku dan aku harus segera melunasinya,'' jawabku tegas, mencoba mempertahankan pendirianku.

''Kenapa sih Din, apa kamu tidak percaya padaku? Ya, aku memang orang cacat yang tak pantas untuk di percaya,'' ucap Mas Sandi dengan nada suara berubah, terdengar lebih rendah.

Ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya terlihat sangat sedih.

Aku merasa bersalah melihat hal itu, dada ini terasa sesak bagaikan terhimpit beban berat.

Sebenarnya aku tidak tega tapi mau bagaimana lagi. Aku tak mau berhutang lagi pada Pak Juan, sudah cukup tak mau lagi menanggung beban.

''Maaf Mas, bukannya aku tak mau tapi aku-,''

''Tak apa, Din. Aku tak mungkin menyusahkanmu. Aku memang suami yang tak berguna,'' ujar Mas Sandi yang membuatku semakin merasa bersalah.

Aku membuang napas dengan kasar. "Bukan seperti maksudku Mas, setiap kali ada masalah kamu pasti mengatakan hal itu, seolah aku adalah seorang istri yang kejam!" sahutku emosi.

Mas Sandi tersulut emosinya. "Kalau kamu nggak mau ya sudah. Kamu memang tak percaya padaku, aku hanya bisa menyusahkanmu!" potongnya tajam.

Aku terduduk lemas. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Saat itu, suara Pak Juan mengagetkanku.

"Ada apa, Din? Kenapa kamu terlihat sedih?" tanya Pak Juan yang tiba-tiba saja berdiri di sampingku sambil menggendong Dean.

Aku terkejut dan tak tahu harus menjawab apa. Sedangkan Mas Sandi masih berbicara.

"Selama kita menikah, aku memang belum bisa membahagiakanmu. Tapi satu yang perlu kamu tahu, Din, kalau aku sangat mencintai kamu," bisik Mas Sandi lewat telepon, suaranya getir.

Aku menutup mata, mencoba menyembunyikan malu ketika memikirkan pertengkaran ini didengar oleh Pak Juan. Pak Juan mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya apa yang terjadi.

"Sebentar ya Mas, Pak Juan ada di sini," bisikku dengan suara yang hampir tak terdengar, sambil memandang Pak Juan yang tampak penasaran.

"Halah, kamu alasan saja. Kamu sudah tidak mau terima telepon dariku kan karena hidup kamu sudah enak di kota, jadi kamu mau menghindar dariku kan?" sindir Mas Sandi dengan nada sinis.

Kepalaku menggeleng pelan, menyangkal. "Mas, kamu ngomong apa sih!" ucapku, kesal mewarnai suaraku.

"Kenapa! Apa kamu sudah punya pengganti aku karena aku hanya orang cacat!" teriak Mas Sandi, suaranya meninggi, penuh emosi, lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Wajahku memanas, pipi merah padam seraya menahan rasa terhina dan kesal yang bercampur menjadi satu.

Aku tergagap, mencoba menjawab, tapi ponsel di tanganku tiba-tiba terjatuh. Pak Juan memungutnya, tapi tidak langsung memberikannya padaku.

"Kamu baru saja bicara dengan suamimu?" tanyanya lagi, nadanya terdengar datar tapi penuh perhatian.

Aku hanya mengangguk tak mampu berkata-kata. Tatapannya tajam seperti mencoba membaca pikiranku.

"Dini, kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri," ucapnya tiba-tiba membuatku tertegun.

Kata-kata itu menggema di pikiranku. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya ingin di katakan oleh Pak Juan?

Kalimat Pak Juan terus terngiang di benakku saat aku berjalan kembali ke kamar. Pilihan? Apa aku benar-benar punya pilihan? Atau aku hanya terjebak dalam lingkaran tanggung jawab yang tak berujung?

Di luar, suara hujan turun, seolah menggambarkan gejolak yang ada di dalam hatiku.

Bab terkait

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 2

    Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 2

    Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

DMCA.com Protection Status