Share

Bab 3

Author: Syaard86
last update Last Updated: 2025-01-08 12:02:20

Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang

"Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri.

Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain.

Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya.

"Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon.

"Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat.

Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertuaku tampak duduk di sampingnya, tersenyum menenangkan.

"Iya Mas, semoga operasinya lancar. Maaf aku nggak bisa ada di sana," kataku dengan nada lirih. Sebagai istri aku merasa gagal mendampinginya di saat penting seperti ini.

Mas Sandi tersenyum padaku. "Nggak papa, Din. Kamu sudah berupaya sangat keras padaku. Makasih ya, sudah mengupayakan uang untuk operasiku," ucapnya.

Kedua mataku berkaca-kaca menatap wajah Mas Sandi yang sudah beberapa bulan ini tidak pernah aku melihatnya secara langsung. Hanya lewat video call kami melepas rindu.

Mas Sandi mengusap air matanya dan memberikan ponselnya pada ibu mertuaku.

"Nggak papa Dini. Kami di sini baik-baik saja. Kamu jaga kesehatan ya, jangan biarkan badanmu sakit," ucap wanita yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.

"Iya Bu, pasti," jawabku sambil mengangguk. Telepon pun segera aku akhiri karena Dean merengek sudah bosan bermain.

Aku mendorong stroller menuju taman depan rumah. Berkeliling di sana hingga Dean terlelap dengan sendirinya.

Saat malam menjelang, aku menemani Dean berada di kamarnya. Membacakan cerita untuknya sambil mengistirahatkan badan.

Tiba-tiba, Mbak Mira, asisten rumah tangga lain, mengetuk pintu.

"Mbak Dini, kamu di minta Pak Juan buat mengangkat panggilannya," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya.

"Ada apa? Pakai ponsel kamu aja Mbak," jawabku yang sedikit malas mengambil ponselku yang ada di kamar karena tadi batrainya tinggal 10 persen.

"Halo Pak, ada apa?" tanyaku.

"Dini, kenapa kamu nggak angkat ponselmu sendiri? Cepat ambil ponselmu dan balas panggilanku. Jangan gunakan ponsel orang lain!" ucapnya dengan nada mendesak.

Aku terdiam dan panggilan itu terputus. Aku kembalikan ponsel itu pada Mira, asisten rumah tangga.

Heran rasanya dengan majikanku itu kenapa dia sudah seperti pacarku saja yang tidak membalas pesan atau teleponnya dia akan marah-marah padaku, padahal tadi juga sudah telepon dan melihat putranya baik-baik saja. Aneh!

"Dean sayang, sebentar ya, Mbak Dini ambil ponsel dulu di kamar," pamitku pada bocah laki-laki berumur satu tahun itu.

Dia menganggukkan kepalanya dan kembali bermain dengan pengawasan Mbak Mira.

Aku melangkah gontai menuju ke kamar mengambil ponselku. Mengerutkan dahi begitu membuka benda pipih itu yang banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Pak Juan.

"Dini, kamu di mana? Kenapa nggak angkat telepon dariku? Apa yang terjadi?" Begitulah pesan dari Pak Juan dan masih banyak pertanyaan yang lainnya.

Sebenarnya Pak Juan itu khawatir pada anaknya atau padaku?

Sambil menghela napas, aku segera membalas pesan tersebut. Tak lama, ponselku berdering lagi.

"Iya Pak, bos kecil baik-baik saja. Dia sedang bermain," jawabku langsung, mencoba meredakan kekhawatirannya.

Aku mengarahkan kamera ponselku pada Dean yang sedang merangkak menghampiriku dan duduk di pangkuanku dengan manja.

"Ayo sayang, sapa papa," ucapku pada Dean yang sudah berdiri dengan berpegangan padaku.

"Halo, sayang," sapa Pak Juan pada anaknya tapi tatapannya ada yang ganjil karena tatapan itu mengarah padaku.

Aku mengarahkan kamera pada wajah Dean.

"Hei, sayang, kok nggak kelihatan," tanya Pak Juan tiba-tiba.

Aku memeriksa ponselku apakah kameranya mati atau bagaimana karena Pak Juan tidak bisa melihat wajah anaknya.

Ponselku baik-baik saja dan kameranya masih jernih dan jelas. Lalu apanya yang nggak kelihatan?

''Pak, apa sekarang sudah jelas?'' tanyaku pada Pak Juan sambil memperlihatkan wajah Dean dan wajahku di depan layar ponsel.

Pak Juan mengangguk pelan. "Sudah," jawabnya pendek, tapi tatapannya meninggalkan tanda tanya besar di pikiranku. Entahlah mungkin karena ia rindu dengan anaknya.

***

Hari terus berlalu, sudah hampir tiga bulan setelah Mas Sandi operasi, ia sudah berjalan normal kembali. Tapi masalah baru muncul, ia mulai mendesakku untuk mengirim uang lebih yang katanya untuk membuka usaha.

''Ayolah Din, ini juga untuk kebaikan kita. Kamu nggak perlu lagi kerja jauh-jauh. Setelah usahaku ini berjalan lancar, kamu pulang saja untuk menjalankan usaha kita,'' ucapnya dengan nada penuh harap.

''Tapi Mas, masalahnya bukan itu. Aku masih punya hutang pada bosku dan aku harus segera melunasinya,'' jawabku tegas, mencoba mempertahankan pendirianku.

''Kenapa sih Din, apa kamu tidak percaya padaku? Ya, aku memang orang cacat yang tak pantas untuk di percaya,'' ucap Mas Sandi dengan nada suara berubah, terdengar lebih rendah.

Ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya terlihat sangat sedih.

Aku merasa bersalah melihat hal itu, dada ini terasa sesak bagaikan terhimpit beban berat.

Sebenarnya aku tidak tega tapi mau bagaimana lagi. Aku tak mau berhutang lagi pada Pak Juan, sudah cukup tak mau lagi menanggung beban.

''Maaf Mas, bukannya aku tak mau tapi aku-,''

''Tak apa, Din. Aku tak mungkin menyusahkanmu. Aku memang suami yang tak berguna,'' ujar Mas Sandi yang membuatku semakin merasa bersalah.

Aku membuang napas dengan kasar. "Bukan seperti maksudku Mas, setiap kali ada masalah kamu pasti mengatakan hal itu, seolah aku adalah seorang istri yang kejam!" sahutku emosi.

Mas Sandi tersulut emosinya. "Kalau kamu nggak mau ya sudah. Kamu memang tak percaya padaku, aku hanya bisa menyusahkanmu!" potongnya tajam.

Aku terduduk lemas. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Saat itu, suara Pak Juan mengagetkanku.

"Ada apa, Din? Kenapa kamu terlihat sedih?" tanya Pak Juan yang tiba-tiba saja berdiri di sampingku sambil menggendong Dean.

Aku terkejut dan tak tahu harus menjawab apa. Sedangkan Mas Sandi masih berbicara.

"Selama kita menikah, aku memang belum bisa membahagiakanmu. Tapi satu yang perlu kamu tahu, Din, kalau aku sangat mencintai kamu," bisik Mas Sandi lewat telepon, suaranya getir.

Aku menutup mata, mencoba menyembunyikan malu ketika memikirkan pertengkaran ini didengar oleh Pak Juan. Pak Juan mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya apa yang terjadi.

"Sebentar ya Mas, Pak Juan ada di sini," bisikku dengan suara yang hampir tak terdengar, sambil memandang Pak Juan yang tampak penasaran.

"Halah, kamu alasan saja. Kamu sudah tidak mau terima telepon dariku kan karena hidup kamu sudah enak di kota, jadi kamu mau menghindar dariku kan?" sindir Mas Sandi dengan nada sinis.

Kepalaku menggeleng pelan, menyangkal. "Mas, kamu ngomong apa sih!" ucapku, kesal mewarnai suaraku.

"Kenapa! Apa kamu sudah punya pengganti aku karena aku hanya orang cacat!" teriak Mas Sandi, suaranya meninggi, penuh emosi, lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Wajahku memanas, pipi merah padam seraya menahan rasa terhina dan kesal yang bercampur menjadi satu.

Aku tergagap, mencoba menjawab, tapi ponsel di tanganku tiba-tiba terjatuh. Pak Juan memungutnya, tapi tidak langsung memberikannya padaku.

"Kamu baru saja bicara dengan suamimu?" tanyanya lagi, nadanya terdengar datar tapi penuh perhatian.

Aku hanya mengangguk tak mampu berkata-kata. Tatapannya tajam seperti mencoba membaca pikiranku.

"Dini, kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri," ucapnya tiba-tiba membuatku tertegun.

Kata-kata itu menggema di pikiranku. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya ingin di katakan oleh Pak Juan?

Kalimat Pak Juan terus terngiang di benakku saat aku berjalan kembali ke kamar. Pilihan? Apa aku benar-benar punya pilihan? Atau aku hanya terjebak dalam lingkaran tanggung jawab yang tak berujung?

Di luar, suara hujan turun, seolah menggambarkan gejolak yang ada di dalam hatiku.

Related chapters

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

    Last Updated : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

    Last Updated : 2025-01-09
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

    Last Updated : 2025-01-10
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 7

    Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i

    Last Updated : 2025-01-11
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 8

    Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu

    Last Updated : 2025-01-12
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 9

    Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen

    Last Updated : 2025-01-13
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 10

    Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita

    Last Updated : 2025-01-14
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 11

    Malam itu, aku duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah dingin. Pikiran terus berkecamuk, mencoba merangkai petunjuk yang mulai terbuka. Pesan ancaman, kedatangan Bu Marlinah, dan kabar tentang orang asing yang mendatangi rumahnya—semuanya terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap. Dean sudah tertidur di kamar, dan rumah terasa sunyi. Aku memutuskan untuk membuka laci meja di ruang kerja Pak Juan. Di sana, aku menemukan sebuah map bertuliskan "Kiranti - Hasta." Jantungku berdegup lebih cepat. Meski ragu, aku membuka map itu. Di dalamnya terdapat salinan dokumen perceraian Kiranti, termasuk daftar aset yang diperebutkan dalam proses hukum. Salah satu dokumen menarik perhatianku: surat kepemilikan tanah dan rumah atas nama Kiranti yang terletak di Hasta. Aku terkejut membaca catatan kecil di sudut halaman itu, yang tampaknya ditulis tangan oleh Juan: "Tanah ini sudah dijual sebelum perceraian selesai. Uang hasil penjualan masuk ke rekening bersama Kiranti dan sese

    Last Updated : 2025-01-15

Latest chapter

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 54

    Dini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 53

    Langkah Dini terasa berat saat meninggalkan rumah Juan. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap hatinya sendiri. Namun, ia tahu, bertahan hanya akan membuat semuanya lebih sulit. Diana menatap kepergian Dini dengan seringai puas. Setelah memastikan Dini benar-benar keluar dari rumah, ia berbalik ke,, arah Juan yang masih berdiri di ambang pintu dapur, matanya terpaku pada punggung Dini yang semakin menjauh. "Kamu seharusnya berterima kasih padaku," ujar Diana dengan nada mengejek. "Aku baru saja menyingkirkan masalahmu." Juan menoleh dengan tatapan tajam. "Kamu yang menjadi masalah, Diana." Diana terkekeh. "Oh, ayolah, Juan. Aku ini ibu dari anakmu. Kamu tidak bisa begitu saja menghapus keberadaanku." Juan menghela napas panjang, menekan amarah yang mendidih di dadanya. "Keberadaanmu bukan masalahnya. Tapi cara dan niatmu yang selalu penuh tipu daya, itulah yang membuatku muak." Diana mendekat, meletakkan tangannya di dada Juan. "Kita bisa kembali seperti

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 52

    Dini duduk di taman belakang rumah, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dadanya sesak. Hatinya terasa hancur, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Adegan di kamar Juan tadi terus terputar di benaknya. Diana di sana, bersikap seolah-olah masih memiliki hak atas pria itu. Dan Juan… pria itu tidak menolaknya dengan cukup tegas di awal. Dini menghela napas panjang. Mungkin selama ini ia terlalu berharap. Terlalu nyaman di dalam rumah ini, terlalu nyaman berada di samping Juan dan Dean. Tapi siapa dia? Hanya seorang pengasuh, bukan siapa-siapa. Ponselnya bergetar. Nama Juan terpampang di layar. Dini menatapnya ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. "Dini," suara Juan terdengar serak, namun tetap tegas. Dini tetap diam, berpura-pura tidak mendengar. "Aku tahu kau di sini," lanjut Juan, lalu duduk di bangku taman di sampingnya. Hening. "Aku tidak tahu apa yang kau l

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 51

    Dini mengamati dari jauh saat Diana semakin berani bergerak di dalam rumah Juan. Wanita itu kini sering terlihat di dapur, berbincang dengan Mira, asisten rumah tangga yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada Diana. Tidak hanya itu, Diana juga mulai lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu, seolah sengaja menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Juan atau mendekati Dean. Dini merasa tak nyaman, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Ia tak ingin membuat masalah bertambah rumit. Namun, rasa gelisah itu semakin besar ketika suatu sore, ia melihat Diana duduk di teras belakang bersama Juan, membawa dua cangkir kopi. Juan tampak enggan, tetapi Diana tetap tersenyum dan berbicara dengan lembut. "Kau masih ingat kopi favoritmu, kan?" suara Diana terdengar begitu akrab. "Aku sengaja membuatnya sendiri. Dulu kau suka sekali kopi buatanku." Juan menatap cangkir itu dengan ragu. "Diana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu." "Aku tahu," Diana menghela napas pura-pura sedih. "Ak

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 50

    Dini berjalan cepat menuju kamarnya, berusaha mengabaikan suara Diana yang masih terdengar dari belakang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit perasaannya. Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikiran buruk mulai merayapi benaknya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Juan tadi, tetapi pemandangan Diana keluar dari sana dengan pakaian tidur yang menggoda sudah cukup membuat hatinya hancur. Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Dini terdiam, tidak berniat menjawab. Namun, suara yang menyusul ketukan itu membuatnya kembali tersadar. "Dini, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya," suara Juan terdengar dari luar. Dini menggigit bibirnya. Ia ragu. Namun, hatinya juga ingin mendengar penjelasan. Dengan langkah pelan, ia akhirnya membuka pintu. Juan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia memang baru saja terlibat dalam sesuatu yang membuatny

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 49

    Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 48

    Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 47

    Dini menghindari tatapan Juan, berusaha menarik tangannya dari genggamannya. Tapi Juan tidak melepaskannya begitu saja. “Dini, aku serius.” Suara Juan terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. Dini menelan ludah. “Pak, jangan seperti ini. Saya hanya pengasuh Dean. Dan… Diana masih ada di sini.” Juan mengepalkan rahangnya, jelas tidak menyukai nama itu disebut. “Diana bukan masalahku lagi. Aku hanya ingin kamu percaya padaku.” Dini tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tapi dia tetap menganggap kalian masih bersama. Dan saya…” Ia menggigit bibir, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat saya harus memilih antara perasaan saya atau harga diri saya.” Juan terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dini lebih dulu melangkah mundur. “Selamat malam, Pak Juan.” Dini berbalik dan pergi, meninggalkan Juan yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf Pak, aku ngg

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 46

    Pagi itu, Dini berusaha bersikap seperti biasa. Ia tetap mengurus Dean, memastikan anak itu sarapan dengan lahap sebelum bermain di taman. Namun, hatinya masih terasa berat setelah kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Diana yang dengan berani menyelinap ke kamar Juan. Meskipun Juan menolaknya, tetap saja Dini merasa gelisah. Di dapur, Mira datang membawa nampan berisi cangkir teh. Wanita itu memandang Dini dengan tatapan penuh arti. "Mbak Dini, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Dini tersentak dari lamunannya. "Hah? Aku baik-baik saja, kenapa, Mir?" Mira mendekat, menurunkan suara. "Tadi pagi aku lihat Bu Diana keluar dari kamar Pak Juan. Mukanya kelihatan kesal, tapi bajunya masih pakai baju tidur." Dini berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku nggak tahu, Mir. Itu urusan mereka." Mira menghela napas pelan. "Aku cuma kasihan sama Mbak. Aku tahu Mbak ada perasaan sama Pak Juan. Tapi kalau Bu Diana masih di sini... hati-hati, Mbak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status