Aku ditalak karena dianggapnya tidak bisa mandiri dan mencari uang. Siapa yang mengira dia justru menikahi wanita yang sakit-sakitan hingga bergantung terus padanya. Apakah dia akan menyesal setelah melihatku hidup mandiri dan mapan?
View MoreSuamiku marah karena di matanya aku terlihat santai dan berleha-lehe. Dia mengeluh capek karena harus mencari nafkah seorang diri. Dulu dia tidak pemarah seperti ini. Ada apa sebenarnya? Apa yang coba dia sembunyikan dariku?
Bab 1“Enak banget, kamu! suami capek-capek kerja, kamu malah enak-enakan nonton televisi sambil makan cemilan!” teriak Mas Revan. Aku terlonjak mendengar suara bariton yang terdengar dari arah ruang tamu. Itu suara Mas Revan_suamiku, karena asyiknya nonton TV sampai tidak mendengar lelakiku pulang. Sekarang sudah jam 21.00, dia telat pulang, biasanya setelah Magrib sudah sampai rumah. “Tak biasanya lelaki yang bertubuh atletik itu teriak-teriak sambil ngomong yang menusuk sanubariku, itu bukan sifatnya. Tapi kenapa sekarang begitu? Pikiranku berkecamuk, apa yang terjadi dengan suamiku? batinku.“Mas, sudah pulang?” kucium punggung tangannya dengan takzim. “Tumben, Mas, pulang terlambat? apa Mas lembur?” kucecar lelaki yang berhidung mancung itu.“Mas pulang seperti biasa, hanya tadi habis nongkrong sama teman-teman,” ketus suamiku.“Sudah makan belum, Mas? Ini aku sudah masak makanan kesukaanmu. Ada masakan jengkol, rendang, sama tumis daun pepaya.” Aku berjalan mengambil piring dan sendok di rak untuk suamiku.“Mas sudah makan tadi di luar sama teman, sekarang mau langsung istirahat, capek banget.” Mas Revan berlalu dan pergi ke kamar di lantai dua.“Oh ya, Manaf mana kenapa tidak kelihatan?” Suamiku berhenti sejenak lalu menengok ke belakang dan menatapku tajam.“Sudah tidur, Mas, dari tadi. Makanya aku duduk santai sambil menunggu Mas pulang.” Aku sambil membereskan makanan yang gak jadi dimakan oleh suamiku. Di dalam kamar aku melihat Mas Revan sedang memegang benda pipih berbentuk kotak, sambil asyik memainkan jemarinya dengan senyum menyungging di bibirnya. Tidak tahulah dengan siapa lelakiku berkirim pesan. “Mas, mau aku pijit?” rayuku sambil memeluk tubuh atletiknya dari belakang.“Boleh, kebetulan Mas lagi tidak enak badan, badan pada sakit,” jawabnya dengan antusias. Saat suamiku membuka kausnya, mataku terbelalak melihat kenyataan di depan mata. Di dada bidangnya banyak bekas gambar bibir perempuan dengan lipstik merah terang. Pikiranku mulai tak karuan, tubuhku lunglai seketika, butiran kristal tidak terasa jatuh dari netra mataku, kututup mulut ini dengan kedua tanganku agar tidak bersuara. “Apa yang kaulakukan di belakangku, Mas? Batinku.Aku mulai memijat-mijatnya dari ujung kaki dulu, baru ke betisnya. Tanganku bekerja tapi pikiranku entah berkelana ke mana. “Urutnya yang benar! Kayak tak punya tenaga, tidak berasa tahu!” bentaknya membuatku terlonjak kaget.“Ma-maaf, Mas, mungkin aku capek jadi tenagaku berkurang,” dalihku sambil menyeka buliran air yang menetes di pipi dengan punggung tanganku. “Memangnya, kamu seharian ngerjain apa? Orang tidak kerja, cuma tiduran, lihat TV. Terus capek apanya?” Cecarnya dengan tatapan mata elangnya membuatku tertunduk takut. “Mas, kenapa ngomongnya begitu? Picik banget pikiranmu. Kamu pikirlah! Siapa yang membereskan rumah setiap hari, kalau bukan aku! Mas kira baju kotor bisa bersih sendiri? Piring kotor bisa bersih sendiri terus jalan sendiri ke raknya? Lantai kotor bisa bening sendiri? Tanaman di depan bisa menyiram sendiri? Belum lagi anak kita yang masih balita, siapa yang mau momong, apalagi sekarang dia lagi aktif-aktifnya. Memang itu semua tidak pakai tenaga?” belaku tak terima dianggap santai-santai di rumah. “Kenapa kamu jadi ceramah kayak ibu ustazah?” timpalnya berang.“Mas yang mulai dulu,” sambungku.“Harusnya Mas yang marah, setiap hari pusing sendirian memikirkan pengeluaran yang lebih besar daripada pemasukan. Mas harus kerja sendiri, kamu tidak mau kerja bantu suami,” terangnya lagi seraya tatapan matanya menusuk jantungku dan suaranya naik satu oktaf. “Bukan, bukan aku tidak mau, Mas. Tapi kalau aku kerja siapa yang jaga Manaf?” jawabku seraya memegang kedua tangannya. Kulihat dia mendengkus dan kedua tangannya melepaskan genggaman tanganku lalu menarik rambutnya dengan kasar. “Kalau kayak begini terus, Mas bisa stres!” berangnya.“Kamu itu kenapa sih, Mas? Akhir-akhir ini sikapmu berubah tidak seperti yang dulu, penuh kelembutan dan kehangatan,” tanyaku lembut. “Aku kangen Mas Revan yang dulu, yang perhatian, humoris, dan penyayang,” lirihku dengan air mata ini tak terasa mengalir lagi tanpa perintah. “Mungkin sekarang aku sudah bosan dengan kehidupan rumah tangga seperti ini terus, capek!” serunya emosi. “Apa Mas punya wanita lain?” tanyaku penasaran seraya menatapnya penuh selidik.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Indira!” bentaknya seraya telunjuknya mengarah ke wajahku. “Tidak perlu teriak! Kupingku masih normal untuk mendengar,” jelasku dengan santai, namun sakit hati ini mendengar bentakannya. Tidak lama kemudian telepon seluler Mas Revan berdering. Ada panggilan masuk, lalu dia mengangkatnya sambil berjalan ke luar kamar dan membanting pintu dengan keras. Aku juga keluar hendak ke dapur mau mengambil minum, sedari tadi tenggorokanku kering karena adu mulut dengannya sambil mataku mencari keberadaan lelaki pemarah itu. Saat kulihat ternyata dia lagi ngomong sama seseorang lewat sambungan telepon selulernya di teras belakang, samar-samar kudengar di seberang sana suara perempuan. Waktu menjelang pagi, tapi mata ini sulit untuk aku pejamkan. Aku bergegas bangun dan menunaikan salat sunah setiap kali hati ini di landa kecemasan. Kupanjatkan doa kepada Sang Khalik agar dimudahkan dalam menapaki bahtera rumah tangga ini. Setelah salat Subuh, seperti biasa aku memasak untuk sarapan dan bekal Mas Revan. Walau hati ini masih kesal karenanya, tapi melayaninya adalah kewajibanku sebagai istri. Kukesampingkan ego ini demi baktiku pada suami. “Mas, ayo sarapan!” Aku menata masakan di atas meja lalu mengambil piring dan menyendokkan nasi untuknya.Mas Revan keluar dari kamar mengenakan baju kemeja biru dan jam tangan membuatnya semakin gagah dan keren. Kami duduk bersama, hening, tak ada suara, hanya ada suara piring dan sendok yang saling beradu. Di raut wajahnya masih terlihat amarah sisa pertengkaran semalam. “Mas berangkat kerja dulu, tolong jaga Manaf!” serunya datar tanpa aksi dan ekspresi seperti biasanya.“Iya pasti, hati-hati, Mas, di jalan,” jawabku dengan senyuman tanpa balasan. Kumelangkah masuk, mataku tertuju pada benda pipih di atas kasur. Aku membukanya yang tanpa kunci, aku mengecek aplikasi berlogo gambar gagang telepon. Aku terkejut melihat banyaknya pesan mesra dan foto-foto Mas Revan dengan perempuan lain yang tidak senonoh. “Mas ... sejauh inikah kau berbuat? Apa kau tidak memikirkan perasaanku?” gerutuku kesal sambil tanganku memukul-mukul kasur.“Siapa perempuan itu ... ?” gumamku dengan rasa penasaran yang meronta-ronta.Sore menjelang malam, ketika azan Magrib berkumandang. Suara deru mobil terdengar di halaman, tidak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk. Kubergegas membukanya. “Mas,” sapaku ramah dan tak lupa senyum untuknya.“Mas, sudah makan belum? Ini makanan sudah siap,” tanyaku seraya meraih tas kerja dari tangannya. “Mas mandi dulu, gerah,” timpalnya dingin.Selepas kami makan, kami bercengkerama sambil lihat acara TV. Kuberanikan diri bertanya tentang siapa wanita yang ada di HP-nya.“Ma_mas, aku mau tanya, boleh enggak?” ucapku ragu.“Mau tanya apa?” timpalnya dengan mata yang tetap fokus pada acara televisi. “Foto perempuan siapa di ponselmu?” tanyaku ragu seraya sesekali menatap wajahnya.“Kamu buka-buka HP, Mas? Kamu lihat semuanya?” cecarnya penuh murka dan tatapan mata elangnya tak lepas menatapku. “I_iya, Mas,” lirihku gugup.“Pl***k, lancang kamu ya, itu privasi! Dasar tak punya etika!” geramnya.“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla
“Pak,” sapanya dengan menundukkan sedikit kepala ke arahnya sambil tersenyum ramah.“Eh, Revan, kamu di sini juga? Siapa yang sakit?” tanya Pak Presdir seraya mengerutkan dahinya.“Istri saya, Pak, ngeluh sakit perut. Saya langsung bawa ke sini. Kata dokter suruh dirawat dulu untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut,” jelasnya penuh drama seraya memasang wajah sendu.” Bapak sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sakit?” tanya balik Revan dengan wajah terkejut.“Indira habis disiram air panas sampai melepuh di dadanya,” terangnya seraya netranya berembun.“Siapa yang melakukannya, Pak?cecarnya dengan penasaran.“Mamihnya Abi semalam bertemu di restoran pas saya lagi nerima telefon di luar,” jelasnya seraya mendengkus.“Kok, bisa begitu? Apa masalahnya?” desaknya makin penasaran.Kemudian Pak Presdir menceritakan kronologinya sampai di bawa ke RS. Obrolan mereka kian mele
“Abi, sudah berapa lama kamu pacaran dengan Indira?” Pak Presdir menatap Abi tajam sambil berdiri di halaman RS.“Anu ..., Pak, eehmm ... lima bulanan!” jawab Abi gugup sambil mengusap butiran kristal yang jatuh di pelipisnya yang tanpa perintah.“Belum lama berarti, ya?” Ayah Indira menganggukkan kepalanya beberapa kali.“Memangnya kenapa, Pak?” Rasa penasaran menguasai hati dan pikirannya membuat kekasih Indira ini mendelik.“Gini, Bi. Mumpung hubungan kalian belum lama, tolong, tinggalkan dan jauhi anak saya! Dia putriku satu-satunya. Saya gak mau ada orang yang menyakitinya.” “Tapi, Pak, saya sangat mencintainya, saya gak akan menyakitinya. Saya janji akan membahagiakannya.” Abi menatapnya penuh harap dan dengan menundukkan kepalanya sedikit seraya wajahnya pias.“Dari kejadian ini, saya merasa sedih dan kecewa sama mamihmu!” Tatapannya lurus ke depan seraya menyilangkan kedua ta
Pak Gunadi terkejut saat melihat putrinya merintih kesakitan. Rasa panas dan perih yang dirasakan putrinya akibat tersiram kopi panas.Pak Gunadi menatap putrinya tajam dan netranya turun ke dadanya yang basah dan berlumuran kopi.” Nak, kamu kenapa, apa yang terjadi?”“Dadaku panas, Pih, tersiram kopi.” Indira masih mengibas-ngibaskan tangannya ke dada seraya merintih kesakitan.Bu Arum kaget saat melihat Pak Gunadi tiba-tiba datang dan langsung memegang pundak wanita yang dibencinya. Aksinya begitu cepat membawa Indira keluar menuju ke Rumah Sakit. Lidahnya kelu, hanya beberapa kali menelan salivanya. pikirannya pun berkecamuk, menerka-nerka tentang ada hubungan apa di antara mereka. Yang dia pikir Indira sedang makan bersama putranya, tapi kenyataannya Pak Gunadi yang bersamanya.Pak Presdir membawa putrinya ke RS terdekat bersama dua body guardnya. Ibu Arum dan Alea mengik
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments