Mas Revan baru saja berangkat kerja. Aku yang sedari tadi sibuk berkemas, memasukkan barang-barangku dan punya Manaf ke dalam koper ukuran sedang.
Aku sudah diminta keluar dari Istana yang sudah lima tahun kami tempati. Segala kemewahan dan kenyamanan itu bakal aku tinggalkan. Semua sirna bertepatan dengan jatuhnya talak. Kisah cinta kami harus berakhir cukup sampai di sini. Semua sudah beres, tinggal aku telepon Sinta_sahabatku. Aku ingin meminta tolong padanya untuk dicarikan tempat tinggal untuk kami. Sebenarnya Mas Revan sudah membelikan kami rumah, tapi aku gak mau menerimanya. Bukannya aku sombong atau gengsi, tapi aku gak mau mengenang semua tentangnya, terlalu sakit hati ini karenanya. Aku ingin pergi sejauh mungkin agar tidak ada kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Hanya Sinta yang bisa menolongku, karena aku tidak punya keluarga atau saudara. Sedari kecil aku tinggal di panti asuhan, dan tidak tahu siapa orang tuaku, karena Ibu panti tidak pernah bercerita. Aku malu kalau harus balik ke panti, aku gak mau merepotkan dan membuat susah orang-orang di panti. Mereka sudah terlalu baik padaku. Jangan sampai karena masalahku, mereka jadi ikut menanggung beban hidup kami. Aku mencari nomor telpon Sinta di deretan kontak ponselku. Kugeser tombol hijau untuk memulai panggilan. Aku memulai obrolan dengan mengucapkan salam, dan Sinta pun membalasnya. Aku langsung memulai inti pembicaraan. “Sin, boleh gak aku minta tolong,?” tanyaku agak sedikit malu.“Iya, ada apa, In? Kenapa suaramu serak gitu? Kamu nangis y?” dia mencecarku dengan penuh iba. “Aku ke rumahmu sekarang, ya, nanti aku cerita semuanya.” Ujarku dengan suara parau. “Ya sudah ke sini saja, aku tunggu ya!” balasnya cepat. Panggilan telepon aku matikan, aku bergegas keluar dari rumah ini setelah semua rapi. Aku harus terima kenyataan pahit ini, meninggalkan rumah ini dan segala kenangannya. Mengabaikan semua mimpi yang pernah diukir berdua. Pernikahan kami harus kandas dan tak bernilai lagi di matanya. Semua sudah kuperjuangkan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Berbanding terbalik dengan dia, yang tak mau mempertahankannya. Berjuang sendiri akan terasa percuma dan sia-sia belaka. Segala upayaku untuk memberikan yang terbaik serupa dengan tanah yang tandus dan gersang, mengharapkan turunnya hujan. Hanya sakit dan perih yang dirasa. Kaki ini berat untuk melangkah pergi, tapi mau gak mau aku harus pergi. Kukunci rumah ini dan kuletakkan di bawah keset, lalu aku keluar dari gerbang rumahnya dan menunggu angkot lewat yang akan membawaku menuju terminal bus. Sinta dan ibunya begitu baik dan ramah menyambut kedatanganku. Sinta langsung menghambur memelukku. “In, kamu kenapa ke sini bawa koper? Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya penasaran.“A- aku sudah ditalak sama Mas Revan,” dengan suara parau dan linangan air mata. “Kenapa In, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu?” Sinta mencecarku dengan tatapan penuh iba. “ Mas Revan kembali lagi sama mantan kekasihnya, yang sudah mapan dan mandiri. Berbeda denganku yang cuma ibu rumah tangga,” jawabku dengan deraian air mata. “Kurang ajar banget suami kamu! Lihat saja nanti, dia bakal menerima karmanya! Kamu yang sabar ya, badai pasti berlalu. Kamu harus kuat dan semangat demi anakmu.” “Iya, Sin, terima kasih ya, kamu sudah menguatkanku.” “Iya, pokoknya aku akan membantumu melewati masalah ini. Aku gak akan membiarkanmu melewati semua ini sendiri, karena kita sudah jadi keluarga,” ujarnya membuatku tenang. Sinta ini sahabatku dari kecil, aku mengenalnya sewaktu tinggal di panti asuhan yang lama. Rumahnya yang begitu dekat dengan panti membuat kami sering bertemu, kemudian kami jadi akrab. Namun, kami harus terpisah karena panti asuhan harus dipindahkan ke kota, dan aku sendiri tak tahu kenapa di pindah. Sinta kemudian memberikan alamat rumah dan nomor telepon untuk kami terus berhubungan. Hubungan baik ini berlanjut sampai sekarang, dan aku berharap agar persahabatan ini bisa sampai menua bersama. Aku dan Manaf masuk ke kamar yang sudah di sediakan, kami istirahat dulu untuk menghilangkan penat. Selepas Magrib, Sinta dan ibunya sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Aku merasa gak enak hati kalau cuma diam saja di kamar tanpa membantu mereka. “Ehhmm, Sin, Ibu, lagi pada bikin apa?” suaraku membuat mereka menengok dan menatapku dengan senyuman. “Ini, Ibu lagi masak opor, goreng kerupuk dan tempe,” ujar Ibu dengan suara yang lembut. “Ya, sudah, aku bantuin ya!” aku menawarkan bantuan kepada mereka dengan tulus. “Tidak usah, kamu jagain Manaf saja takut dia nangis dan nyariin kamu,” jawabnya serentak. “Sin, Ibu, maaf ya kalau kehadiran kami jadi merepotkan dan jadi beban kamu dan Ibu.” “Jangan ngomong begitu, kami di sini sudah menganggapmu saudara dan bagian dari keluarga kami. Tidak ada yang merepotkan dan direpotkan. “Terima kasih ya Sin, Ibu, sudah mau menerimaku di sini. Kalau tidak ada kalian, aku bingung harus kemana, aku di sini tidak punya keluarga.” “Iya, In, sama-sama. Kamu jangan sedih ya, kami ada untuk kamu dan Manaf.” Aku memeluk Ibu dan Sinta berbarengan, terharu aku di buatnya. Kadang terbesit dalam pikiranku, kemana orang tuaku? Kenapa mereka meninggalkanku sendirian di panti tanpa perasaan? Apa aku anak yang tak di inginkan? Menurut Ibu panti, aku ditemukan tergeletak di depan gerbang panti. Tanpa identitas, dan tanpa bekal apa pun, hanya baju yang melekat di tubuhku. Terkadang takdir terasa pahit untuk di jalani, dan terasa berat untuk dilalui. Dia akan datang tanpa peduli. Banyak yang kita tak mau dan banyak pula yang kita tak suka. Tapi itu sudah menjadi ketetapan-Nya. Tidak ada yang sia-sia, dan yakinlah dalam setiap ujian dan cobaan pasti ada hikmah yang terkandung. Selepas kami makan malam, dan Manaf pun sudah tertidur pulas, Ibu juga sudah masuk kamar. Aku dan Sinta duduk di teras depan rumahnya sambil ngobrol dan curhat. “Sin, tolong carikan aku kerjaan ya, tapi yang bisa bawa anak!” ujarku dengan penuh harap. “Eee, kalau kerja yang full time, kayaknya gak bisa, mungkin kalau paro waktu bisa,” balasnya dengan nada penuh penyesalan. “Kalau kerja paro waktu, kerja apa? Aku sih mau aja, kerja apa pun yang penting halal buat menyambung hidup,” balasku. “Ya, paling buruh cuci gosok, beberes rumah di perumahan-perumahan. Kalau kamu mau nanti aku ajak kamu ketemu orangnya, dia Ibu Dian namanya. Soalnya dua hari yang lalu aku ketemu sama Bu Dian di jalan, dan dia meminta tolong untuk dicarikan orang yang mau kerja di rumahnya. Soalnya ARTnya berhenti mendadak. “Ya, aku mau Sin. Alhamdulillah kalau ada mah,” jawabku girang sambil loncat-loncat kecil. “Oke, besok aku antar kamu ketemu sama Ibu Dian ya.” “Oke, siiiip.”Indira KerjaHari ini langit terlihat cerah setelah beberapa hari cuaca mendung seperti hati Indira. Kicau burung saling bersahutan menyambut segarnya udara pagi. Bias keemasan tampak berkilauan di ufuk timur.Wanita berhijab itu harus menjalani hidupnya hanya berdua dengan anaknya meski sebenarnya tak pernah dia duga sebelumnya. Mencari pekerjaan adalah hal yang harus dia lakukan, setelah mantan suaminya menceraikannya belum lama ini. Setidaknya ia memiliki penghasilan agar tidak merepotkan siapa pun.Ah, biarlah kujalani dulu garis takdirku ini sendiri, berjuang meski jalannya tak akan mudah,” dalam hatinya.Indira ingin memperjuangkan masa depan anaknya, agar kelak dia bisa hidup bahagia. Memberikan kasih sayang dan perhatian penuh meski jadi single parent. Tidak seperti dirinya yang tak pernah merasakan kasih sayang dan belaian lembut dari orang tuanya.***Keesokan harinya.“In, kamu sudah bangun,?” tanyanya sambil mengucek matanya yang masih sayup.“Iya, dari tadi,” jawab Ind
MERENUNGSaat sedang bersih-bersih ruangan, tak sengajaNetraku membola menatap pada sebuah foto di dinding yang ukurannya lumayan besar.“Kenapa Mas Revan bisa foto bersama keluarga Bu Dian?Ada hubungan apa mereka?” batinnya.Pikirannya mulai berkecamuk, jiwa penasarannya meronta-ronta.Dunia begitu sempit, usahaku untuk lari jauh dari bayang-bayang Mas Revan ternyata percuma.Justru sekarang wajah itu ada di hadapanku, wajah serupa garam yang menaburi luka dalam hatiku.Dulu lelaki itu pernah begitu hangat menyinari hidupku.Lalu dengan garangnya pula pernah mencampakkanku di saat sudah tak dibutuhkan lagi.Aku tak mengerti apa yang ada di benak seorang lelakiKetika menghianati istri dan anaknya. Tidak tahukah dia?Bahwa pernikahan adalah ikatan suci, janji di hadapan Tuhan.Belum pernah ada yang menyakitiku sedalam ini, sakit dan nyerinya bahkan tak bisa lagi aku deskripsikan. Mungkin karena aku mencintainya terlalu dalam, hingga akhirnya aku merasakan sakit dan kecewa yang men
Revan datang menemui Kamila di rumahnya untuk memberikan kabar gembira padanya.“Yank, surat cerai dari pengadilan sudah keluar. Itu artinya aku sudah terbebas dan tak sabar ingin segera menikahimu, wanita cantik dan idamanku,” tandasnya girang dengan senyum yang melebar menghiasi wajahnya.“Seriuuuuus ...? Akuu seneng banget dengernya, Beb. Aku juga sudah gak sabar ingin mendampingi hidupmu,” balasnya tak kalah girangnya sambil langsung memeluk lelaki tampan di hadapannya. Setelah melepaskan pelukannya, Kamila duduk di sofa ruang tamunya.Tiba-tiba Kamila terdiam, mengerucutkan ujung mulutnya seraya matanya berkelana ke sembarang arah.“Lah, kok, sekarang cemberut? Bukannya barusan senang. Ada apa?” tanya Revan seketika dengan memicingkan sebelah matanya.“Beb, nanti kalau kita sudah menikah, aku gak mau kamu masih berhubungan dengan mantan istri dan anakmu. Apalagi kalau harus mengirim u*n* untuk mereka, aku gak setuju!” pekiknya dengan merajuk dan suara manja.“Lah, emang kenapa?
“Tuan ... tolong ... jangan lakukan itu!” racauku berulang dengan berderai air mata. Namun, dia tidak mau mendengarnya.“Kamu, kan, seorang janda, pasti kamu sudah lama tidak dibelai lelaki!” hinanya dengan meringis seakan merendahkan.“Maaf, Tuan, meskipun aku janda, aku tidak murahan. Aku masih punya harga diri!” berangku dengan mata nyalang menatapnya.“Memangnya harga kamu berapa? Aku sanggup membayarmu berapa pun untuk wanita secantik kamu!” ledeknya sambil hendak menciumku.Beliau terus saja menyerangku hingga aku terkapar di sofa, badannya yang besar sudah berhasil menindihku.Daster yang aku pakai sobek seketika di bagian lengan, dan aku membalasnya dengan mencakar dadanya yang bidang hingga membekas dan berdarah.Tiba-tiba aku punya kekuatan entah dari mana datangnya, kakiku langsung menendang alat vitalnya hingga dia terjerembab ke lantai sambil meringis kesakitan. Aku langsung masuk kamar dan bergegas menguncinya.Badanku masih gemeteran dengan kejadian barusan,” Apa yang
Kamila menatap takjub dan kagum pada sebuah kalung dengan mata berbentuk hati dihiasi berlian-berlian kecil berwarna ungu. Tampak berkerlap-kerlip di matanya.“Lucu, Van.” Kamila tersenyum.” Thanks banget .... ““Suka?”“Ya,..., suka, lah .... “Revan beringsut dari tempat duduknya kemudian berdiri di belakang Kamila.”Mil, sini aku pakein kalungnya.”Kamila menjadi salah tingkah.Prank!!Gelas kosong Revan sekonyong-konyong jatuh di lantaikarena tak sengaja tersenggol olehnya. Revan bukannya menoleh ke bawah melainkan menatap pintu masukkafe yang berdaun ganda itu. Seolah yang menyebabkan gelas itu terjatuh sedang berdiri di luar. Ada kekuatan tak terlihat yang sepertinya membuat sikunya tahu-tahu menyenggoldan matanya menjadi tak awas.“Revan? Kamu kenapa?” tanya Kamila mengernyitkandahi, melihat Revan tiba-tiba kikuk.Revan memalingkan wajahnya dari arah pintu masukKe wajah Kamila.” Enggak, Mil. Aku mungkin terlalu bahagia karena di depan aku ada kamu.Revan tersenyum men
Langit terlihat menangis sore menjelang malam ini. Gelap berkuasa atas langit dan air mata langit turun dengan derasnya ke tanah. Membasahi seluruh pelosokdi kota ini yang mudah terkena bahaya banjir.Sementara itu, aku dari tadi sibuk mengotak-atik bendapipih berbentuk kotak ini. Rasa yang begitu kuat ingin menghubungi seseorang yang masih bertakhta di hatiku, aku yang tak bisa membohongi perasaan ini, kalau sebenarnya aku masih mencintai dan merindukannya. Ingin rasanya menelpon untuk menanyakan kabaratau sekedar ingin mendengar suaranya. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Tapi aku urungkan, ada rasa takut, ada gengsi dan juga kecewa, semua berkecamuk dalam hati ini.Kenapa cinta ini terlalu dalam, hingga sulit rasanya untuk melupakannya. Kadang hati ini menangis karena menahan gejolak rindu yang membuncah.Tiba-tiba ada suara dari arah belakang, suara itu ternyata Ibu Dian yang baru selesai mandi lalu menghampiri keberadaanku di teras belakang. Aku terpaku sambil menatap la
Matahari telah mengisi presensi tepat pada waktunya, hari ini tak lagi terlambat atau cepat. Sifat kemarahannya pun sedang tak muncul pagi ini. Biasanya sinar-sinar ultraviolet menerjang tak kenal ampun ke dalam kamar ini. Membangunkan secara otomatis sang penghuni kamar yang bernama lengkap Kamila Gunawan.Alarm jam meja berdering kasar mengusik tidur. Menarik Kamila tergesa-gesa dari alam mimpi. Ia membuka malas kedua bola matanya dan mengucek-uceknya sembari beranjak bangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya.“Hmm ..., jam berapa, sih?” ia menggaruk kepalanya walau tak gatal sekedar menggambarkan kalau ia masih mengumpulkan nyawa. Menghimpun tenaganya untuk menghadapi hari Minggu pagi.Ponselnya yang tergeletak di samping laptop di atas meja kamarnya berdering saat Kamila merasakan air dingin membasahi wajahnya di depan wastafel. Tertulis di layar ponselnya nama puj
Praank ....Piring yang Indira pegang terjatuh ke lantai saat dirinya sedang mencuci piring, ia terkaget saat tib-tiba Tuan Mike memeluk tubuh rampingnya dari belakang. Sontak wanita cantik itu menoleh dan mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah.“Kamu itu tidak usah sok jual mahal, seorang janda gak usah mikiri harga diri segala! Kamu itu sama seperti perempuan di jalanan sana yang sudah jadi barang bekas dan mau melayani lelaki dengan harga murah,” hinanya dengan senyum menyeringai.“Tuan jangan kurang ajar, ya! Meskipun aku janda, aku gak serendah yang Tuan tuduhkan. Silakan Tuan cari perempuan lain di luaran sana yang bebas menjajakkan tubuhnya,” belanya dengan mata nanar ke arahnya.“Kalau kamu mau, aku siap menikahi kamu untuk dijadikan istri keduaku. Akan aku pastikan hidupmu dan anakmu terjamin,” ucapnya dengan penuh percaya diri.“Maaf, Tuan, aku tak berminat. Aku gak sudi di peristri lelaki bejat sepertimu,” geramnya.Plaaaaakk ...“Dasar perempuan kurang ajar, ber
“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla
“Pak,” sapanya dengan menundukkan sedikit kepala ke arahnya sambil tersenyum ramah.“Eh, Revan, kamu di sini juga? Siapa yang sakit?” tanya Pak Presdir seraya mengerutkan dahinya.“Istri saya, Pak, ngeluh sakit perut. Saya langsung bawa ke sini. Kata dokter suruh dirawat dulu untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut,” jelasnya penuh drama seraya memasang wajah sendu.” Bapak sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sakit?” tanya balik Revan dengan wajah terkejut.“Indira habis disiram air panas sampai melepuh di dadanya,” terangnya seraya netranya berembun.“Siapa yang melakukannya, Pak?cecarnya dengan penasaran.“Mamihnya Abi semalam bertemu di restoran pas saya lagi nerima telefon di luar,” jelasnya seraya mendengkus.“Kok, bisa begitu? Apa masalahnya?” desaknya makin penasaran.Kemudian Pak Presdir menceritakan kronologinya sampai di bawa ke RS. Obrolan mereka kian mele
“Abi, sudah berapa lama kamu pacaran dengan Indira?” Pak Presdir menatap Abi tajam sambil berdiri di halaman RS.“Anu ..., Pak, eehmm ... lima bulanan!” jawab Abi gugup sambil mengusap butiran kristal yang jatuh di pelipisnya yang tanpa perintah.“Belum lama berarti, ya?” Ayah Indira menganggukkan kepalanya beberapa kali.“Memangnya kenapa, Pak?” Rasa penasaran menguasai hati dan pikirannya membuat kekasih Indira ini mendelik.“Gini, Bi. Mumpung hubungan kalian belum lama, tolong, tinggalkan dan jauhi anak saya! Dia putriku satu-satunya. Saya gak mau ada orang yang menyakitinya.” “Tapi, Pak, saya sangat mencintainya, saya gak akan menyakitinya. Saya janji akan membahagiakannya.” Abi menatapnya penuh harap dan dengan menundukkan kepalanya sedikit seraya wajahnya pias.“Dari kejadian ini, saya merasa sedih dan kecewa sama mamihmu!” Tatapannya lurus ke depan seraya menyilangkan kedua ta
Pak Gunadi terkejut saat melihat putrinya merintih kesakitan. Rasa panas dan perih yang dirasakan putrinya akibat tersiram kopi panas.Pak Gunadi menatap putrinya tajam dan netranya turun ke dadanya yang basah dan berlumuran kopi.” Nak, kamu kenapa, apa yang terjadi?”“Dadaku panas, Pih, tersiram kopi.” Indira masih mengibas-ngibaskan tangannya ke dada seraya merintih kesakitan.Bu Arum kaget saat melihat Pak Gunadi tiba-tiba datang dan langsung memegang pundak wanita yang dibencinya. Aksinya begitu cepat membawa Indira keluar menuju ke Rumah Sakit. Lidahnya kelu, hanya beberapa kali menelan salivanya. pikirannya pun berkecamuk, menerka-nerka tentang ada hubungan apa di antara mereka. Yang dia pikir Indira sedang makan bersama putranya, tapi kenyataannya Pak Gunadi yang bersamanya.Pak Presdir membawa putrinya ke RS terdekat bersama dua body guardnya. Ibu Arum dan Alea mengik