Praank ....Piring yang Indira pegang terjatuh ke lantai saat dirinya sedang mencuci piring, ia terkaget saat tib-tiba Tuan Mike memeluk tubuh rampingnya dari belakang. Sontak wanita cantik itu menoleh dan mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah.“Kamu itu tidak usah sok jual mahal, seorang janda gak usah mikiri harga diri segala! Kamu itu sama seperti perempuan di jalanan sana yang sudah jadi barang bekas dan mau melayani lelaki dengan harga murah,” hinanya dengan senyum menyeringai.“Tuan jangan kurang ajar, ya! Meskipun aku janda, aku gak serendah yang Tuan tuduhkan. Silakan Tuan cari perempuan lain di luaran sana yang bebas menjajakkan tubuhnya,” belanya dengan mata nanar ke arahnya.“Kalau kamu mau, aku siap menikahi kamu untuk dijadikan istri keduaku. Akan aku pastikan hidupmu dan anakmu terjamin,” ucapnya dengan penuh percaya diri.“Maaf, Tuan, aku tak berminat. Aku gak sudi di peristri lelaki bejat sepertimu,” geramnya.Plaaaaakk ...“Dasar perempuan kurang ajar, ber
Tok ... Tok ... Tok ....Tiga kali pintu kamarku diketuk, terdengar dari balik pintu suaraIbu Dian memanggil. Aku yang masih mondar-mandir berusaha Mendiamkan tangisan Manaf yang tak kunjung berhenti. LantasAku membukanya, meskipun dalam hatiku ada kekhawatiranmelanda. Takut kalau mantan suamiku bakal melihatku di sini.Setelah pintu dibuka ...Duaaarr ... seperti ada suara bom meledak. Lelaki itu berdiridi belakang Majikanku, aku dan mantan suamiku saling tertegun. Dari ekspresinya, dia kaget.“Mba, kenapa dengan Manaf? Apa dia sakit?” cecar Majikanku sambil memegang dahi anakku.“Tidak, Bu, cuma lagi rewel saja, nggak tahu kenapa tumbenbanget tantrum,” jawabku dengan salah tingkah saat melihat wajah mantan suamiku ada dihadapanku.“In_Indi_Ra, kamu?” suara lelaki itu terbata-bata dan tatapan mata elangnya tak lepas menatapku dengan mulut yang menganga.Sontak membuat wanita di depanku kaget, lalu menatap kami bergantian.“Van, kamu kenal dia?” tanyanya sambil menunjuk ke ara
Tidak lama kemudian, aku masuk ke kamar setelah mendengar ponselku berdering. Suara notifikasi WA, kulihat ternyata ada chat dari mantan suamiku.“Mau ngapain lagi dia? Apa dia belum puas menghinaku habis-habisan tanpa peduli perasaanku sedikit pun?” gumamku.Saat dibuka, kutersentak membacanya, tubuh ini luruh seketika ke lantai seperti tak bertulang.“In, aku punya penawaran bagus buat kamu! Bagaimana kalau Manaf ikut bersamaku, akan aku kasih berapa pun yang kamu minta. Tinggal sebut saja nominalnya, nanti aku langsung transfer. Aku kasihan melihat Manaf, bagaimana bisa kamu memberikan masa depan yang bagus, sedangkan kamu cuma ART!” ujarnya penuh penekanan.“Astaghfirullahal Adzim ... “ ucapku lirih.“Segitunya kamu merendahkan aku, Mas! Padahal masa depan itu sesuatu yang misteri, hanya Allah yang Maha Tahu!” gumamku.“ Manaf itu masih di bawah umur, jadi memang seharusnya dia ikut ibunya, aku tidak tertarik dengan tawaranmu! Lagi pula, masa depan itu kita nggak tahu. Kamu jangan
“In, besok kamu mau jalan jam berapa? Besok aku sif siang. Kalau kamu jalannya pagi, nanti aku akan mengantarmu ke terminal!” serunya membuatku terharu memiliki sahabat yang baik dan peduli.“Pagi jam 9 Sin, biar enggak kesorean di jalan,” balasku.“Ya sudah, besok aku ke situ!” timpalnya cepat.Menjelang subuh, seperti biasa aku menjalankan tugasku sebagai ART hingga semua selesai tepat waktu. Tiba-tiba Tuan Mike sudah berdiri di belakangku, aku terlonjak saat dia berdehem.“Dira ...,” apa benar hari ini kamu mau berhenti kerja? Apa karena sikapku membuatmu buru-buru mau pergi dari sini?” cecarnya dengan tatapan yang serius seraya langkahnya semakin maju mendekatiku meskipun aku mundur beberapa langkah.Dengan sigap dan tak membuang-buang waktu, Tuan Mike langsung memelukku dengan erat hingga rasanya sulit untuk melepaskan tangan kekarnya. Aku terperangkap dalam dekapannya, bibirnya terus melancarkan aksinya menciumi wajah dan bibirku. Aku tak bisa berbuat apa-apa, tenagaku kalah jau
Wanita berjilbab itu sekarang merapikan dan memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari. Sesaat dia duduk terdiam di pinggir dipan, netranya menatap ke langit-langit kamar dan termenung. Tiba-tiba ibunya sudah berdiri di ambang pintu kamarnya yang tidak ditutup. Lalu berdehem, sontak membuatnya kaget dan wajahnya menoleh ke sumber suara.“Ibu, ... bikin aku kaget saja!” serunya dengan senyum dan wajah yang pias.“Kamu kenapa melamun? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak? Oh, ya, dua minggu lalu, Revan datang ke sini memberikan surat cerai, memangnya apa yang terjadi sampai kalian memutuskan untuk bercerai? Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik?!” cecar Ibu dengan sendu dan tangannya mengelus pundak putrinya.Air matanya menetes seketika, dadanya begitu sesak, tenggorokan seperti tercekat dan lidahnya kelu untuk mengutarakan semuanya. Kini wanita yang sekarang menyandang status janda itu menangis dipelukan sang Ibu, pelukan yang menghangatkan dan mendamaikan jiwanya. Selama ini dia tidak pern
Di kediaman Pak Gunadi HermawanRumah megah dengan tiga lantai bak Istana Raja Sulaiman, dengan halaman yang begitu luas dan mobil-mobil mewah berjejer memenuhi garasi, ada kolam renang di halaman belakang serta beberapa pegawai yang melayani mereka setiap hari.Beliau adalah pengusaha kelas kakap di bidang pertambangan. Lelaki paruh baya itu memiliki istri yang bernama Sukma Atmaja, wanita yang berparas cantik meskipun usianya mendekati setengah abad.Pagi hari saat mereka sedang sarapan, tiba-tiba ponsel Pak Gunadi berdering. Beliau lantas membukanya untuk melihat siapa yang pagi-pagi sudah meneleponnya. Saat dibuka ternyata dari Rumah Sakit.“Assalamualaikum, selamat pagi! Apa ini Bapak Gunadi Hermawan?”“Walaikumsalam, selamat pagi, iya, benar, saya sendiri.”“Ini, Pak, saya mau mengabarkan kalau hasil tes DNA Bapak sudah keluar! Bapak bisa datang sekarang untuk mengambilnya.”“Oke, terima kasih, ya!”“Iya, sama-sama, Pak!”Wanita yang duduk di depannya sedari tadi mendengarkan ob
“Selamat datang, anakku. Sekarang kamu akan tinggal di sini bersama kami, rumah ini milikmu!” sapa papihnya dengan sumringah seraya merentangkan kedua tangannya seakan mempersilakan kehadiran Indira.“Terima kasih,” jawabnya dengan senyum yang menyungging sambil dan menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat.“Kalau kamu perlu sesuatu langsung saja ngomong sama kami, tidak usah sungkan, ya!” serunya dengan tatapan yang bahagia.“Iya, sekali lagi terima kasih,” balasnya malu seraya tersenyum.“Jangan terima kasih terus, dong, ini sudah menjadi kewajiban kami untuk membahagiakan kamu. Apalagi sudah puluhan tahun kami tidak menunaikan kewajiban atas nafkah untukmu karena kita terpisah. Dan sekarang kita sudah dipertemukan lagi, makanya kami akan penuhi semua kewajiban yang sempat tertunda kepadamu,” isak Tuan Gunadi seraya mengusap air mata yang sempat jatuh.“Sudah, Pih, jangan nangis, harusnya sekarang kita bahagia sudah bertemu anak kita,” timpal Ibu Sukma seraya menggandeng
Malam hari di kediaman orang tua kandung IndiraDi meja makan sudah terhidang beraneka macam makanan dan hidangan penutup. Semua tersaji lengkap bagai di restoran bintang lima. Ini semua untuk menyambut kedatangan Ibu Mala dan Pak Galang selaku orang yang berjasa merawat dan membesarkan putrinya dengan tulus. Sopir pribadinya sudah meluncur ke panti untuk menjemput mereka.Setiap hari, setiap saat, anak kandung Tuan Gunadi ini selalu berucap syukur atas semua nikmat-Nya.Suara Ibu Mala dan Pak Galang_ orang tua angkat Indira sudah terdengar menggema di ruang tamu. Wanita yang kini tampil cantik dan anggun dengan mengenakan gamis berwarna pich senada dengan jilbabnya berjalan menghampiri mereka. Dan dia digandeng oleh papih dan mamihnya di samping.“Bu, Pak,” sapanya seraya mencium punggung tangannya dan memeluknya.“Nak, MasyaAllah ... kamu cantik banget, sampai Ibu dan Bapak hampir tidak mengenali kamu!” pujinya dengan ekspresi wajah yang kaget.“Ah, Ibu sama Bapak bisa aja, nih!
“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla
“Pak,” sapanya dengan menundukkan sedikit kepala ke arahnya sambil tersenyum ramah.“Eh, Revan, kamu di sini juga? Siapa yang sakit?” tanya Pak Presdir seraya mengerutkan dahinya.“Istri saya, Pak, ngeluh sakit perut. Saya langsung bawa ke sini. Kata dokter suruh dirawat dulu untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut,” jelasnya penuh drama seraya memasang wajah sendu.” Bapak sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sakit?” tanya balik Revan dengan wajah terkejut.“Indira habis disiram air panas sampai melepuh di dadanya,” terangnya seraya netranya berembun.“Siapa yang melakukannya, Pak?cecarnya dengan penasaran.“Mamihnya Abi semalam bertemu di restoran pas saya lagi nerima telefon di luar,” jelasnya seraya mendengkus.“Kok, bisa begitu? Apa masalahnya?” desaknya makin penasaran.Kemudian Pak Presdir menceritakan kronologinya sampai di bawa ke RS. Obrolan mereka kian mele
“Abi, sudah berapa lama kamu pacaran dengan Indira?” Pak Presdir menatap Abi tajam sambil berdiri di halaman RS.“Anu ..., Pak, eehmm ... lima bulanan!” jawab Abi gugup sambil mengusap butiran kristal yang jatuh di pelipisnya yang tanpa perintah.“Belum lama berarti, ya?” Ayah Indira menganggukkan kepalanya beberapa kali.“Memangnya kenapa, Pak?” Rasa penasaran menguasai hati dan pikirannya membuat kekasih Indira ini mendelik.“Gini, Bi. Mumpung hubungan kalian belum lama, tolong, tinggalkan dan jauhi anak saya! Dia putriku satu-satunya. Saya gak mau ada orang yang menyakitinya.” “Tapi, Pak, saya sangat mencintainya, saya gak akan menyakitinya. Saya janji akan membahagiakannya.” Abi menatapnya penuh harap dan dengan menundukkan kepalanya sedikit seraya wajahnya pias.“Dari kejadian ini, saya merasa sedih dan kecewa sama mamihmu!” Tatapannya lurus ke depan seraya menyilangkan kedua ta
Pak Gunadi terkejut saat melihat putrinya merintih kesakitan. Rasa panas dan perih yang dirasakan putrinya akibat tersiram kopi panas.Pak Gunadi menatap putrinya tajam dan netranya turun ke dadanya yang basah dan berlumuran kopi.” Nak, kamu kenapa, apa yang terjadi?”“Dadaku panas, Pih, tersiram kopi.” Indira masih mengibas-ngibaskan tangannya ke dada seraya merintih kesakitan.Bu Arum kaget saat melihat Pak Gunadi tiba-tiba datang dan langsung memegang pundak wanita yang dibencinya. Aksinya begitu cepat membawa Indira keluar menuju ke Rumah Sakit. Lidahnya kelu, hanya beberapa kali menelan salivanya. pikirannya pun berkecamuk, menerka-nerka tentang ada hubungan apa di antara mereka. Yang dia pikir Indira sedang makan bersama putranya, tapi kenyataannya Pak Gunadi yang bersamanya.Pak Presdir membawa putrinya ke RS terdekat bersama dua body guardnya. Ibu Arum dan Alea mengik