Pengkhianatan, adalah hal yang paling menyakitkan dalam suatu hubungan pernikahan. Itulah yang Divya alami. Bahkan jauh menyakitkan, karena pelakor di rumah tangganya, justru ibunya sendiri. Ikuti kisahnya disini.
View More"Kok sepi," gumamku sendiri.
Tak biasanya kondisi rumah tampak lengang begini. Biasanya ibu selalu ada di teras mengurus tanamannya setiap aku pulang kerja.
Bik Sum, juga tak tampak batang hidungnya. Wangi masakannya juga belum tercium. Padahal, biasanya kalau aku pulang kerja, wangi masakan Bik Sum, selalu menggugah seleraku.
"Astagfirullah, lupa kalau ini masih jam 2." Kutepuk sendiri jidatku.
Aku lupa, kalau hari ini aku pulang lebih cepat dari sekolah tempatku mengajar. Biasanya, setelah jam pelajaran berakhir. Aku mengajar les beberapa siswa yang masih belum mengerti materi pelajaran yang kuberikan di kelas. Tapi hari ini, mereka pada libur les, karena ingin melaksanakan tugas kelompok di rumah salah satu siswa.
Kucoba membuka pintu depan, ternyata dikunci. Huft, mana nggak bawa kunci cadangan lagi. Coba ke belakang ah, siapa tau, Bik Sum sama Ibu lagi di dapur. Kalau jam segini, Bapak biasanya masih di kantor desa.
Sambil mengelus perutku yang membuncit, aku jalan lagi dari samping rumah, mau ke arah belakang. Belum lagi aku sampai di belakang rumah, aku mendengar suara aneh dari kamar Ibu. Jendelanya ditutup, jadi aku tak bisa melihat ke dalam.
Kucoba menempelkan telingaku ke jendela kamar. Supaya bisa lebih jelas mendengar, suara apa itu.
Dahiku mengernyit, seperti suara ranjang yang bergoyang. Aku hafal suaranya, karena suara itu sangat khas. Kalau aku sedang bermesraan dengan Mas Bima, suara itu juga terdengar dari ranjang kami. Apalagi aku juga mendengar suara lenguhan-lenguhan nikmat dari dalam sana.
Apa Bapak udah pulang? Hmm, dasar lah. Udah tua juga. Aku jadi mengulum senyum sendiri. Malu juga, kok jadi nguping pergulatan orangtuaku.
Cepat aku berjalan ke belakang lagi. Ada orang, berarti pintu belakang nggak dikunci. Biasanya begitu sih. Kalau ada orang di rumah, tapi nggak ada yang di depan. Hanya pintu depan aja yang dikunci.
Benar saja, pintu belakang nggak dikunci. Aku masuk dengan mengendap-ngendap. Takut mengganggu pertarungan sengit Bapak sama Ibu. Bik Sum juga nggak ada. Kemana dia? Apa disuruh Ibu ke warung? Biar nggak ganggu.
Pintu kamarku juga kubuka pelan sekali, jangan sampai suaranya terdengar sama Bapak Ibu. Sampai di dalam kamar, kuletakkan tasku di atas nakas. Pinggangku pegel sekali. Usia kandunganku sudah tujuh bulan, sudah mulai terasa berat. Rebahan sejenak mungkin akan meredakan rasa pegal di pinggangku.
"Loh, itukan jaket sama baju kerja Mas Bima? Apa Mas Bima udah pulang?" gumamku saat melihat baju kerja suamiku sudah di sangkutkan di belakang pintu kamar.
Mas Bima biasanya pulang sore dari kebun. Tapi ini masih jam 2. Dia juga nggak ngabari aku kalau pulang cepat. Biasanya kalau Mas Bima pulang cepat, dia akan menelepon aku, sekalian jemput aku di sekolah.
Entah kenapa perasaanku jadi tak karuan. Apalagi teringat suara dari kamar Ibu. Tidak tidak, Divya, jangan berpikiran negatif tentang suami dan ibumu.
Aku ingin keluar lagi dari kamarku. Seperti tadi, aku juga membuka pintu kamarku sangat hati-hati. Baru lagi pintu kamarku terbuka sedikit. Alangkah terkejutnya aku, melihat Mas Bima keluar dari kamar ibuku hanya dengan memakai celana kolor saja. Cepat aku tutup lagi pintu kamarku, tapi tidak terlalu rapat.
Ya Allah, apa ini? Aku rasanya kehilangan kekuatan, bahkan untuk menopang tubuhku sendiri. Aku limbung, cepat aku bersandar ke dinding kamarku. Adrenalinku benar-benar terpacu, bahkan lebih ngeri dari melihat hantu.
Mas Bima belum menyadari, kalau aku ada di rumah. Aku mengintipnya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Dia langsung ke dapur, sudah menjadi kebiasannya. Setiap habis bercinta, dia akan minum segelas air putih. Aku kembali bersandar di dinding kamarku.
Saking syoknya, aku bahkan tak bisa berkata apa-apa. Aku ingin tak berpikiran buruk. Tapi bagaimana bisa? Apa yang dilakukan Mas Bima di kamar Ibu? Sakit, sakit sekali dada ini. Kupukuli dadaku sekuat tenaga, dadaku terasa sangat sesak. Sabar Divya, bisa jadi semua tak seperti yang kamu pikirkan.
"Bim, kamu nanti jemput Divya?" Kudengar suara Ibu.
"Iya Bu. Sebentar lagi aja. Jam segini dia belum pulang. Masih bisa …." Mas Bima berkata sangat lembut. Padahal biasanya, Mas Bima sama Ibu sangat jarang berkomunikasi.
"Ah kamu. Apa masih sanggup?"
"Mau coba. Satu ronde lagi."
"Nanti Bik Sum keburu pulang."
"Dia pasti lama. Perempuan kalau sudah disuruh beli baju, pasti butuh waktu berjam-jam."
Menjijikkan sekali mendengar perbincangan mereka yang penuh nafsu itu.
Perlahan aku buka lagi pintu kamarku. Mataku tak mampu berkedip melihat pemandangan menjijikkan di depan mataku. Pintu kamarku memang langsung ke arah dapur, jadi aku bisa melihat dengan jelas, apa yang Mas Bima dan Ibu lakukan.
Ibuku hanya memakai lingeri merah, terlihat tanpa dalaman apapun. Mas Bima dengan rakusnya melahap dada ibuku sambil meremas bokongnya. Dadaku bergemuruh melihat permainan mereka.
Kukepalkan tanganku, untuk mengumpulkan segenap tenagaku. Perutku terasa sangat tegang. Mungkin anakku di dalam sana, juga bisa merasakan, apa yang kurasakan saat ini.
Aku harus kuat, perlahan aku langkahkan kakiku. Mereka terlalu asik dengan perbuatan binalnya, hingga tak menyadari kehadiranku. Kuambil vas bunga yang ada di meja makan. Kuangkat, lalu kulemparkan ke arah mereka.
PLETAK
Tepat sasaran. Vas bunga itu mengenai kepala Mas Bima. Sontak dia menghentikan aktifitasnya.
"Divya." Ibu dan Mas Bima sangat terkejut melihatku.
Ibu cepat merapikan lingerienya. Buat apa juga dirapikan, bahkan memakai lingerie saja pun dia sudah terlihat telanjang di mataku. Tak ada gunanya lingerie itu menempel di badannya.
"Tega kalian!" kataku dengan bibir bergetar, menahan marah juga sakit di hatiku.
"Divya, maaf Mas khilaf." Mas Bima mendekatiku, berusaha memegang tanganku, tapi segera kutepis dengan kasar. Tak sudi aku dipegang oleh tangannya yang kotor.
Tangan yang sudah menjelahi setiap ceruk tubuh ibuku dengan liar. Jijik, aku jijik bila harus disentuhnya.
"Divya, kamu tenang ya." Ibu juga berusaha membujukku.
Aku menatap tajam pada Ibu. Sungguh, aku sangat tak menyangka, ibuku sendiri sanggup berbuat sehina ini. Apalagi kepadaku, anaknya sendiri.
Sedikitpun tak terlintas di benakku, akan ada perselingkuhan antara suami dan ibuku. Tak ada gelagat yang mencurigakan selama ini, bahkan Mas Bima dan Ibu terlihat kaku dan menjaga jarak kalau di depanku dan Bapak.
Kuakui ibuku masih terlihat cantik dan seksi di usianya yang masih empat puluh dua tahun. Tubuhnya begitu terawat. Ibu memang rajin melakukan perawatan tubuh ke salon, juga luluran di rumah dibantu Bik Sum. Bahkan Ibu juga ikut club fitnes. Wajar kalau tubuhnya tetap seksi. Ibu menikah dengan Bapak di saat usianya masih delapan belas tahun, sedangkan Bapak berusia empat puluh tahun. Sebab itu Ibu masih terlihat muda meski memiliki anak yang sudah menikah.
Tapi … kenapa ibu tega menjadi pelakor di rumah tanggaku? Rasanya aku hampir gila memikirkan semua ini.
Rasanya gemuruh di dadaku tak.mau berhenti. Aku berusaha untuk tak mengeluarkan air mataku. Aku tak mau terlihat lemah. Lihat saja, akan aku bongkar perselingkuhan kalian.
Ya Allah, perutku semakin tegang. Sakit sekali rasanya.
"AAAAAAAAAA!" Aku menjerit sekuat tenagaku. Air mata ku deras mengalir, tak bisa kubendung lagi seberapa kuat pun aku menahan.
Aku lempari mereka berdua dengan benda apa saja yang ada di dekatku. Ibu dan Mas Bima, berusaha mengelak dari amukanku.
"Auhhh. Ya Allah." Perutku sangat sakit.
Kupegangi perutku, keringat dingin mulai membasahi wajahku, berbaur dengan air mata yang tak henti mengalir. Aku duduk di kursi yang masih tersisa, setelah beberapa kursi kulemparkan ke arah Ibu dan Mas Bima. Sambil meringis memegangi perutku.
"Divya, sabar. Jangan emosi begini, kamu sedang hamil," kata Ibu.
Aku semakin melotot pada Ibu. Segampang itu dia bicara. Tidakkah dia merasa sakit yang kurasakan di hatiku? Katanya, seorang ibu akan merasa sakit bila anak perempuannya disakiti oleh suaminya sendiri. Lalu … bagaimana dengan ibuku?
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments