Indira Kerja
Hari ini langit terlihat cerah setelah beberapa hari cuaca mendung seperti hati Indira. Kicau burung saling bersahutan menyambut segarnya udara pagi. Bias keemasan tampak berkilauan di ufuk timur. Wanita berhijab itu harus menjalani hidupnya hanya berdua dengan anaknya meski sebenarnya tak pernah dia duga sebelumnya. Mencari pekerjaan adalah hal yang harus dia lakukan, setelah mantan suaminya menceraikannya belum lama ini. Setidaknya ia memiliki penghasilan agar tidak merepotkan siapa pun. Ah, biarlah kujalani dulu garis takdirku ini sendiri, berjuang meski jalannya tak akan mudah,” dalam hatinya. Indira ingin memperjuangkan masa depan anaknya, agar kelak dia bisa hidup bahagia. Memberikan kasih sayang dan perhatian penuh meski jadi single parent. Tidak seperti dirinya yang tak pernah merasakan kasih sayang dan belaian lembut dari orang tuanya. ***Keesokan harinya.“In, kamu sudah bangun,?” tanyanya sambil mengucek matanya yang masih sayup.“Iya, dari tadi,” jawab Indira dengan senyum yang menyungging.“Kamu, jadi hari ini mau kerja?” ujarnya.“Iya, jadi dong!” jawabnya dengan semangat.“Oke, aku mandi dulu ya! Mumpung hari ini aku sif siang nanti ngantar kamu dulu ke sana!” sambil berlalu dan masuk kamar mandi. Setelah selesai semua, mantan istri dari Revan itu bersiap untuk menemui calon majikannya yang diantar Sinta. Dengan mengendarai motor matiknya, mereka meluncur menuju rumah Ibu Dian. Rumahnya tak terlalu jauh, hanya saja kalau jalan kaki terasa jauhnya dan juga capek. Akhirnya mereka sampai di rumah tujuan, rumahnya yang tidak terlalu besar, lebih besar daripada rumah mantan suaminya. Tapi rumahnya terawat sehingga enak dipandang mata. Lalu mereka memencet bel yang ada di samping pintu dan tak lupa mengucapkan salam. Tidak lama kemudian yang punya rumah keluar. Seorang wanita cantik yang masih kelihatan muda dengan penampilan yang berkelas layaknya sosialita, rambutnya digulung ke atas, lalu menyapa. “Sinta, ada apa pagi-pagi datang kemari?” dengan senyum yang ikhlas.“Ini, Bu, katanya Ibu mencari orang untuk kerja, saya bawakan orangnya. Kebetulan ini sahabatku sedang mencari pekerjaan, mudah-mudahan Ibu masih membutuhkan,” jawab Sinta dengan penuh harap. Sinta sudah lama mengenal Ibu Dian, kebetulan wanita cantik itu menjadi owner di tempatnya bekerja. Menurutnya, Beliau orangnya baik, ramah, dan tidak sombong.“Oh, ya, memang saya lagi butuh orang, kebetulan ART saya mendadak berhenti. Kalau kamu siap menggantikan, kamu boleh kerja sekarang. Nanti saya tunjukkan kamar kamu dan kasih tahu tugas-tugasnya,” ujarnya dengan ramah.“Iya, Bu, saya siap kalau harus kerja sekarang, tapi apa boleh saya kerja sambil bawa anak?” tanya Indira sedikit gugup dengan raut muka yang tegang. “Boleh, gak papa, yang penting kamu kerjanya hati-hati dan jangan lengah,” tukasnya lembut.“Iya, Bu, saya ngerti,” dengan senyum riang sambil menjabat tangan Ibu Dian sebagai ucapan terima kasih. Lalu sang Nyonya rumah mengajaknya masuk dengan diikuti Indira dan Sinta dan menunjukkan kamar yang nantinya dia tempati. Dan juga memberitahu tugas-tugasnya, serta menceritakan siapa saja orang yang tinggal di situ. Wanita sosialita itu seorang ibu dengan dua orang anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah. Memiliki suami seorang Nakhoda yang pulangnya gak nentu, dia bernama Mike Hardi. Setelah semua dikasih tahu, Sinta pamit pada Indira dan Ibu Dian untuk pulang. “In, aku pulang dulu ya, kamu dan manaf baik-baik ya, di sini, kamu kerjanya hati-hati, kalau ada apa-apa kabari aku!” pesan Sinta sambil menyemangati sahabatnya. “Iya, Sin, terima kasih ya, atas semua bantuanmu. Aku tak akan melupakan budimu yang sangat berharga ini,” balas Indira sambil memeluk sahabatnya dengan erat. “Iya, sama-sama, kita ini sudah seperti saudara harus saling membantu. Deritamu, deritaku juga, dan bahagiamu, bahagiaku juga,” balasnya. “Bu Dian, terima kasih ya sudah menerima sahabatku untuk kerja di sini. Pokoknya Ibu tidak usah takut dan khawatir, sahabatku ini orang baik,” ujar Sinta. “Iya, sama-sama Sin. Ibu percaya sama kamu,” balasnya dengan senyum manisnya.Sejak hari ini, Indira sudah mulai bekerja dengan mengikuti arahan dari majikannya. Pekerjaannya dilakukan dengan penuh semangat. Belum lama majikannya pergi ke butiknya, katanya sih, Beliau pemilik butik yang besar di depan jalan raya. Ibu Dian seorang desainer ternama, dan rancangannya banyak dipakai kaum sosialita di kota-kota besar. Jam dua siang, kedua anak majikannya pulang sekolah, sebelum mereka bertanya tentang dirinya. Indira memperkenalkan diri sebagai ART di rumahnya, keduanya menerima dengan senang hati. Setelah semua selesai, wanita berhijab itu menemani anaknya di kamar untuk tidur. Kamarnya dengan ukuran yang lumayan besar, dengan kipas angin yang menempel di dinding, TV berwarna, dan satu set tempat tidur. Membuat mereka merasa nyaman. Setiap hari, mantan istri dari Revan menjalankan tugasnya seperti biasa. Anak-anak dari majikannya juga sudah mulai akrab dengan Manaf, bahkan mereka kerap kali mengajaknya main sudah seperti adiknya sendiri. Sehingga membuat Indira senang dan tenang dalam bekerja. Saat sedang bersih-bersih ruangan, tak sengaja netranya membola menatap pada sebuah foto di dinding yang ukurannya lumayan besar...Kok, bisa ada fotonya di rumah ini? Ada hubungan apa mereka??MERENUNGSaat sedang bersih-bersih ruangan, tak sengajaNetraku membola menatap pada sebuah foto di dinding yang ukurannya lumayan besar.“Kenapa Mas Revan bisa foto bersama keluarga Bu Dian?Ada hubungan apa mereka?” batinnya.Pikirannya mulai berkecamuk, jiwa penasarannya meronta-ronta.Dunia begitu sempit, usahaku untuk lari jauh dari bayang-bayang Mas Revan ternyata percuma.Justru sekarang wajah itu ada di hadapanku, wajah serupa garam yang menaburi luka dalam hatiku.Dulu lelaki itu pernah begitu hangat menyinari hidupku.Lalu dengan garangnya pula pernah mencampakkanku di saat sudah tak dibutuhkan lagi.Aku tak mengerti apa yang ada di benak seorang lelakiKetika menghianati istri dan anaknya. Tidak tahukah dia?Bahwa pernikahan adalah ikatan suci, janji di hadapan Tuhan.Belum pernah ada yang menyakitiku sedalam ini, sakit dan nyerinya bahkan tak bisa lagi aku deskripsikan. Mungkin karena aku mencintainya terlalu dalam, hingga akhirnya aku merasakan sakit dan kecewa yang men
Revan datang menemui Kamila di rumahnya untuk memberikan kabar gembira padanya.“Yank, surat cerai dari pengadilan sudah keluar. Itu artinya aku sudah terbebas dan tak sabar ingin segera menikahimu, wanita cantik dan idamanku,” tandasnya girang dengan senyum yang melebar menghiasi wajahnya.“Seriuuuuus ...? Akuu seneng banget dengernya, Beb. Aku juga sudah gak sabar ingin mendampingi hidupmu,” balasnya tak kalah girangnya sambil langsung memeluk lelaki tampan di hadapannya. Setelah melepaskan pelukannya, Kamila duduk di sofa ruang tamunya.Tiba-tiba Kamila terdiam, mengerucutkan ujung mulutnya seraya matanya berkelana ke sembarang arah.“Lah, kok, sekarang cemberut? Bukannya barusan senang. Ada apa?” tanya Revan seketika dengan memicingkan sebelah matanya.“Beb, nanti kalau kita sudah menikah, aku gak mau kamu masih berhubungan dengan mantan istri dan anakmu. Apalagi kalau harus mengirim u*n* untuk mereka, aku gak setuju!” pekiknya dengan merajuk dan suara manja.“Lah, emang kenapa?
“Tuan ... tolong ... jangan lakukan itu!” racauku berulang dengan berderai air mata. Namun, dia tidak mau mendengarnya.“Kamu, kan, seorang janda, pasti kamu sudah lama tidak dibelai lelaki!” hinanya dengan meringis seakan merendahkan.“Maaf, Tuan, meskipun aku janda, aku tidak murahan. Aku masih punya harga diri!” berangku dengan mata nyalang menatapnya.“Memangnya harga kamu berapa? Aku sanggup membayarmu berapa pun untuk wanita secantik kamu!” ledeknya sambil hendak menciumku.Beliau terus saja menyerangku hingga aku terkapar di sofa, badannya yang besar sudah berhasil menindihku.Daster yang aku pakai sobek seketika di bagian lengan, dan aku membalasnya dengan mencakar dadanya yang bidang hingga membekas dan berdarah.Tiba-tiba aku punya kekuatan entah dari mana datangnya, kakiku langsung menendang alat vitalnya hingga dia terjerembab ke lantai sambil meringis kesakitan. Aku langsung masuk kamar dan bergegas menguncinya.Badanku masih gemeteran dengan kejadian barusan,” Apa yang
Kamila menatap takjub dan kagum pada sebuah kalung dengan mata berbentuk hati dihiasi berlian-berlian kecil berwarna ungu. Tampak berkerlap-kerlip di matanya.“Lucu, Van.” Kamila tersenyum.” Thanks banget .... ““Suka?”“Ya,..., suka, lah .... “Revan beringsut dari tempat duduknya kemudian berdiri di belakang Kamila.”Mil, sini aku pakein kalungnya.”Kamila menjadi salah tingkah.Prank!!Gelas kosong Revan sekonyong-konyong jatuh di lantaikarena tak sengaja tersenggol olehnya. Revan bukannya menoleh ke bawah melainkan menatap pintu masukkafe yang berdaun ganda itu. Seolah yang menyebabkan gelas itu terjatuh sedang berdiri di luar. Ada kekuatan tak terlihat yang sepertinya membuat sikunya tahu-tahu menyenggoldan matanya menjadi tak awas.“Revan? Kamu kenapa?” tanya Kamila mengernyitkandahi, melihat Revan tiba-tiba kikuk.Revan memalingkan wajahnya dari arah pintu masukKe wajah Kamila.” Enggak, Mil. Aku mungkin terlalu bahagia karena di depan aku ada kamu.Revan tersenyum men
Langit terlihat menangis sore menjelang malam ini. Gelap berkuasa atas langit dan air mata langit turun dengan derasnya ke tanah. Membasahi seluruh pelosokdi kota ini yang mudah terkena bahaya banjir.Sementara itu, aku dari tadi sibuk mengotak-atik bendapipih berbentuk kotak ini. Rasa yang begitu kuat ingin menghubungi seseorang yang masih bertakhta di hatiku, aku yang tak bisa membohongi perasaan ini, kalau sebenarnya aku masih mencintai dan merindukannya. Ingin rasanya menelpon untuk menanyakan kabaratau sekedar ingin mendengar suaranya. Bagiku itu sudah lebih dari cukup. Tapi aku urungkan, ada rasa takut, ada gengsi dan juga kecewa, semua berkecamuk dalam hati ini.Kenapa cinta ini terlalu dalam, hingga sulit rasanya untuk melupakannya. Kadang hati ini menangis karena menahan gejolak rindu yang membuncah.Tiba-tiba ada suara dari arah belakang, suara itu ternyata Ibu Dian yang baru selesai mandi lalu menghampiri keberadaanku di teras belakang. Aku terpaku sambil menatap la
Matahari telah mengisi presensi tepat pada waktunya, hari ini tak lagi terlambat atau cepat. Sifat kemarahannya pun sedang tak muncul pagi ini. Biasanya sinar-sinar ultraviolet menerjang tak kenal ampun ke dalam kamar ini. Membangunkan secara otomatis sang penghuni kamar yang bernama lengkap Kamila Gunawan.Alarm jam meja berdering kasar mengusik tidur. Menarik Kamila tergesa-gesa dari alam mimpi. Ia membuka malas kedua bola matanya dan mengucek-uceknya sembari beranjak bangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya.“Hmm ..., jam berapa, sih?” ia menggaruk kepalanya walau tak gatal sekedar menggambarkan kalau ia masih mengumpulkan nyawa. Menghimpun tenaganya untuk menghadapi hari Minggu pagi.Ponselnya yang tergeletak di samping laptop di atas meja kamarnya berdering saat Kamila merasakan air dingin membasahi wajahnya di depan wastafel. Tertulis di layar ponselnya nama puj
Praank ....Piring yang Indira pegang terjatuh ke lantai saat dirinya sedang mencuci piring, ia terkaget saat tib-tiba Tuan Mike memeluk tubuh rampingnya dari belakang. Sontak wanita cantik itu menoleh dan mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah.“Kamu itu tidak usah sok jual mahal, seorang janda gak usah mikiri harga diri segala! Kamu itu sama seperti perempuan di jalanan sana yang sudah jadi barang bekas dan mau melayani lelaki dengan harga murah,” hinanya dengan senyum menyeringai.“Tuan jangan kurang ajar, ya! Meskipun aku janda, aku gak serendah yang Tuan tuduhkan. Silakan Tuan cari perempuan lain di luaran sana yang bebas menjajakkan tubuhnya,” belanya dengan mata nanar ke arahnya.“Kalau kamu mau, aku siap menikahi kamu untuk dijadikan istri keduaku. Akan aku pastikan hidupmu dan anakmu terjamin,” ucapnya dengan penuh percaya diri.“Maaf, Tuan, aku tak berminat. Aku gak sudi di peristri lelaki bejat sepertimu,” geramnya.Plaaaaakk ...“Dasar perempuan kurang ajar, ber
Tok ... Tok ... Tok ....Tiga kali pintu kamarku diketuk, terdengar dari balik pintu suaraIbu Dian memanggil. Aku yang masih mondar-mandir berusaha Mendiamkan tangisan Manaf yang tak kunjung berhenti. LantasAku membukanya, meskipun dalam hatiku ada kekhawatiranmelanda. Takut kalau mantan suamiku bakal melihatku di sini.Setelah pintu dibuka ...Duaaarr ... seperti ada suara bom meledak. Lelaki itu berdiridi belakang Majikanku, aku dan mantan suamiku saling tertegun. Dari ekspresinya, dia kaget.“Mba, kenapa dengan Manaf? Apa dia sakit?” cecar Majikanku sambil memegang dahi anakku.“Tidak, Bu, cuma lagi rewel saja, nggak tahu kenapa tumbenbanget tantrum,” jawabku dengan salah tingkah saat melihat wajah mantan suamiku ada dihadapanku.“In_Indi_Ra, kamu?” suara lelaki itu terbata-bata dan tatapan mata elangnya tak lepas menatapku dengan mulut yang menganga.Sontak membuat wanita di depanku kaget, lalu menatap kami bergantian.“Van, kamu kenal dia?” tanyanya sambil menunjuk ke ara
“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla
“Pak,” sapanya dengan menundukkan sedikit kepala ke arahnya sambil tersenyum ramah.“Eh, Revan, kamu di sini juga? Siapa yang sakit?” tanya Pak Presdir seraya mengerutkan dahinya.“Istri saya, Pak, ngeluh sakit perut. Saya langsung bawa ke sini. Kata dokter suruh dirawat dulu untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut,” jelasnya penuh drama seraya memasang wajah sendu.” Bapak sendiri sedang apa di sini? Siapa yang sakit?” tanya balik Revan dengan wajah terkejut.“Indira habis disiram air panas sampai melepuh di dadanya,” terangnya seraya netranya berembun.“Siapa yang melakukannya, Pak?cecarnya dengan penasaran.“Mamihnya Abi semalam bertemu di restoran pas saya lagi nerima telefon di luar,” jelasnya seraya mendengkus.“Kok, bisa begitu? Apa masalahnya?” desaknya makin penasaran.Kemudian Pak Presdir menceritakan kronologinya sampai di bawa ke RS. Obrolan mereka kian mele
“Abi, sudah berapa lama kamu pacaran dengan Indira?” Pak Presdir menatap Abi tajam sambil berdiri di halaman RS.“Anu ..., Pak, eehmm ... lima bulanan!” jawab Abi gugup sambil mengusap butiran kristal yang jatuh di pelipisnya yang tanpa perintah.“Belum lama berarti, ya?” Ayah Indira menganggukkan kepalanya beberapa kali.“Memangnya kenapa, Pak?” Rasa penasaran menguasai hati dan pikirannya membuat kekasih Indira ini mendelik.“Gini, Bi. Mumpung hubungan kalian belum lama, tolong, tinggalkan dan jauhi anak saya! Dia putriku satu-satunya. Saya gak mau ada orang yang menyakitinya.” “Tapi, Pak, saya sangat mencintainya, saya gak akan menyakitinya. Saya janji akan membahagiakannya.” Abi menatapnya penuh harap dan dengan menundukkan kepalanya sedikit seraya wajahnya pias.“Dari kejadian ini, saya merasa sedih dan kecewa sama mamihmu!” Tatapannya lurus ke depan seraya menyilangkan kedua ta
Pak Gunadi terkejut saat melihat putrinya merintih kesakitan. Rasa panas dan perih yang dirasakan putrinya akibat tersiram kopi panas.Pak Gunadi menatap putrinya tajam dan netranya turun ke dadanya yang basah dan berlumuran kopi.” Nak, kamu kenapa, apa yang terjadi?”“Dadaku panas, Pih, tersiram kopi.” Indira masih mengibas-ngibaskan tangannya ke dada seraya merintih kesakitan.Bu Arum kaget saat melihat Pak Gunadi tiba-tiba datang dan langsung memegang pundak wanita yang dibencinya. Aksinya begitu cepat membawa Indira keluar menuju ke Rumah Sakit. Lidahnya kelu, hanya beberapa kali menelan salivanya. pikirannya pun berkecamuk, menerka-nerka tentang ada hubungan apa di antara mereka. Yang dia pikir Indira sedang makan bersama putranya, tapi kenyataannya Pak Gunadi yang bersamanya.Pak Presdir membawa putrinya ke RS terdekat bersama dua body guardnya. Ibu Arum dan Alea mengik