Share

Bab 2

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 17:46:50

Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan.

Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya.

"Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung.

Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik.

Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan."

Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka waktu pinjaman, dan konsekuensi jika aku gagal melunasinya.

Sambil duduk, Pak Juan menatapku serius. "Aku akan transfer setelah kamu menandatanganinya," ucapnya tenang.

Nervous, aku hanya mampu mengangguk pelan.

"Jadi, kamu yakin bisa mengembalikannya dalam lima bulan?" tanyanya, matanya menatapku tajam.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Insha Allah, Pak. Saya akan bekerja keras untuk melunasinya."

Dia mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap dingin. "Baik, kalau begitu tanda tangani jika sudah yakin."

Lembaran kertas itu bergeser di tanganku, tapi ketegangan membuatku sulit berkonsentrasi. Tanpa membaca detilnya, aku langsung menekan pena ke atas kertas. Harapan bahwa Mas Sandi bisa segera menjalani operasi adalah satu-satunya yang menguasai pikiranku.

Ketika ponselku berdering dengan notifikasi, aku segera mengeceknya. Layar menunjukkan transfer uang sebesar dua puluh juta rupiah dari rekening Pak Juan. "Terima kasih Pak, atas segala bantuannya," kataku sambil menatap mata Pak Juan yang duduk dengan postur yang tegap di balik meja kerjanya.

Dia hanya mengangguk. "Ingat, Dini. Jangan lupa apa yang telah kita sepakati."

Aku mengangguk cepat. "Tentu, Pak."

Aku menggenggam erat surat perjanjian dan beranjak meninggalkan ruangan dengan langkah yang ringan, meski hatiku masih di selimuti kegelisahan.

"Mas Sandi, sebentar lagi kamu akan berjalan lagi," bisikku dalam hati, sambil melipat surat perjanjian tersebut dan menyimpannya di dalam kamarku.

Langkahku terburu-buru kembali ke kamar Pak Juan setelah mendengar isak tangis Dean yang memecah kesunyian. Di dalam kamar, Pak Juan tampak berusaha meredam tangis Dean.

Dia menggendong tubuh mungil itu, sambil mengusap lembut punggungnya. Tangisan Dean pelan-pelan mereda, namun ketika dia menoleh dan melihat aku di ambang pintu, tangisannya pecah kembali.

"Dean, kenapa nangis lagi? Papa kan sudah gendong," ujar Pak Juan sambil memandangku, seolah menegaskan bahwa Dean perlu memberiku waktu untuk beristirahat sejenak. Mungkin karena tahu aku banyak masalah dan sedikit lelah.

Aku mendekat dan mengambil alih Dean dari gendongannya. "Sini, Bos kecil. Jangan nangis lagi ya," ucapku lembut. Ajaibnya, tangisan Dean langsung berhenti.

Pak Juan menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Anak papa benar-benar curang, kenapa langsung diam di gendongannya Mbak Dini, padahal papa sudah menggendong kamu. Apa Mbak Dini lebih nyaman di banding papa?"

Pak Juan mengusap kepala putranya dengan lembut. Terlihat sekali kalau ia begitu sangat menyanginya.

"Pak Juan istirahat saja, biar Bos kecil sama saya," ujarku seraya menggendong Dean keluar dari kamar itu setelah Pak Juan mengangguk setuju.

Akan tetapi baru saja sampai di pintu Dean menangis dan tak ingin keluar dari kamar, dengan terpaksa, aku kembali memasuki kamar Pak Juan.

"Ada apa sayang? Apa kamu mau tidur sama Papa?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya ingin mengambil alih Dean tapi Dean menggelengkan kepalanya dan memelukku erat.

Aku kembali menenangkan bocah kecil itu. Suasana begitu canggung, aku hanya diam menidurkan Dean. Begitu juga dengan Pak Dean yang duduk sambil memainkan ponselnya.

Tak lama Dean kembali tidur di dalam gendonganku.

"Kalau Dean sudah tidur baringkan saja di ranjang. Kamu istirahat saja," ucap Pak Juan dan aku pun dengan patuh menidurkan bocah kecil ini di atas ranjang dengan sangat hati-hati.

Aku berjalan gontai keluar kamar Pak Juan, menutup pintunya dengan sangat pelan agar tak mengganggu Dean yang sudah terlelap.

Baru saja aku duduk, Dean sudah kembali menangis dan mencariku.

Aku kembali masuk saat Pak Juan berusaha membujuk anaknya untuk jangan menangis lagi.

Melihatku datang menghampirinya, Dean langsung berhenti menangis.

"Ada apa Bos kecil? Kenapa menangis? Apa kamu lapar?" tanyaku sambil mengusap kepalanya.

Dean menggelengkan kepalanya, ia malah mengalungkan kedua tangannya yang mungil itu di leherku dan mencium pipiku.

Pak Juan yang melihat tingkah lucu anaknya hanya menggelengkan kepalanya.

"Sekarang, Bos kecil bobo ya, sama papa. Mbak Dini duduk di sana," ucapku sambil menunjuk kursi yang ada di sudut kamar.

Dean mengangguk dengan antusias.

Aku pun berpindah tempat duduk di kursi yang barada di sudut kamar Pak Juan. Sedangkan Pak Juan sendiri sedang menepuk-nepuk punggung Dean dengan lembut.

Aku hanya memperhatikan mereka berdua. Akan tetapi lama-lama mataku terasa berat. Dan tanpa sadar aku terlelap.

Saat aku terbangun, aku terkejut mendapati diriku berada di tempat tidur, dengan Dean di sampingku. Pak Juan tidur di sofa.

"Astaga. Apa yang terjadi?" gumamku panik.

Aku segera bangkit dan membangunkan Pak Juan. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa ada di tempat tidur ini," ucapku tergagap.

Bagaimana bisa aku tidur di tempat tidur majikanku. Padahal seingatku aku duduk di kursi tapi kenapa sekarang malah berada di atas kasur. Sungguh aku tidak sengaja.

Pak Juan hanya tersenyum tipis. "Kamu tertidur di sofa. Dean tidak mau lepas dari kamu, jadi aku memindahkan kalian ke tempat tidur. Nggak apa-apa."

"Saya minta maaf, Pak. Saya nggak tahu bagaimana bisa saya tidur di atas tempat tidur, Pak Juan," ucapku penuh sesal.

Aku masih berdiri dengan menundukkan kepala. Sangat tidak sopan seorang pengasuh ikut tidur di tempat tidur majikan.

"Tak apa, asal Dean nggak rewel lagi," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Pak Juan beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera berlalu keluar dari tempat itu menuju kamarku. Membersihkan diri dan menyiapkan sarapan untuk si kecil.

Ponselku berdering, aku dengan cepat menggeser tombol berwarna hijau itu.

"Halo Mas, aku sudah mendapat pinjaman dari majikanku. Kamu bisa segera mendaftar operasi kakimu," ucapku dengan penuh semangat.

"Benarkah? Makasih ya Din, aku janji setelah aku sembuh aku akan bekerja dan akan membayarnya" ujar Mas Sandi dengan antusias. Ia begitu bersemangat, terlihat sekali kalau ia tak sabar untuk segera bisa berjalan normal.

"Iya, aku akan mentransfernya. Sebentar ya," kataku yang masih harus sibuk dengan pekerjaanku.

Berkali-kali Mas Sandi mengucapkan terima kasih padaku dan berjanji akan bekerja keras untuk membayar hutang itu.

Sambungan telepon pun terputus. Aku segera mentransfer uang itu pada suamiku.

"Dini, aku titip Dean ya. Aku harus bertemu dengan klien hari ini," ucap Pak Juan sesaat setelah menghabiskan sarapannya.

Ia menciumi pipi Dean yang gembul. Sebagai seorang pengacara tentunya Pak Juan begitu sibuk.

"Iya Pak. Saya akan menjaga bos kecil," jawabku sopan sambil berdiri di belakang stroller.

Pak Juan mengusap kepala Dean berulang kali. Menatap wajah anak itu cukup lama, entah apa yang ada di fikirannya.

"Sayang, kamu jangan rewel ya. Papa nggak bisa temani kamu main. Kamu boleh tidur sama Mbak Dini di kamar papa," ucapnya yang membuat ku terkejut. Jelas saja aku tidak akan berani untuk tidur di kamar itu lagi.

"Maaf Pak, saya tidur di kamar bos kecil saja. Atau bos kecil saya bawa ke kamar saja," sahutku. Rasanya tidak sopan jika harus tidur di kamar Pak Juan.

Pak Juan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Terserah, asal Dean tidak rewel."

Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Pak Juan saat ia sedang dalam perjalanan dinas.

"Dini, apa Dean baik-baik saja?"

Kerena Dean sedang anteng bermain, dengan cepat aku membalasnya. "Nggak Pak, bos kecil sedang bermain," balasku seraya mengirimkan gambar Dean yang sedang asyik bermain.

Beberapa menit kemudian, dia mengirim pesan lagi. "Kalau ada apa-apa, segera kabari aku. Aku ada urusan penting dengan Kiranti dari Kota Hasta."

Aku tertegun membaca pesan itu. Nama itu, Kiranti terdengar tidak asing, tapi entah kenapa menimbulkan rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menatap Dean yang tertawa riang dengan mainannya, mencoba menenangkan diriku. Namun, firasat itu tetap menghantui pikiranku.

Malam itu, setelah Dean tertidur, aku duduk di sofa kamarku, memandangi surat perjanjian yang sudah kutandatangani. Kata-kata "konsekuensi gagal bayar" terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Apa yang sebenarnya telah aku masuki?

Bab terkait

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-07

Bab terbaru

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 2

    Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 1

    "Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti

DMCA.com Protection Status