Share

Bab 2

Author: Syaard86
last update Last Updated: 2025-01-07 17:46:50

Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan.

Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya.

"Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung.

Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik.

Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan."

Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka waktu pinjaman, dan konsekuensi jika aku gagal melunasinya.

Sambil duduk, Pak Juan menatapku serius. "Aku akan transfer setelah kamu menandatanganinya," ucapnya tenang.

Nervous, aku hanya mampu mengangguk pelan.

"Jadi, kamu yakin bisa mengembalikannya dalam lima bulan?" tanyanya, matanya menatapku tajam.

Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Insha Allah, Pak. Saya akan bekerja keras untuk melunasinya."

Dia mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap dingin. "Baik, kalau begitu tanda tangani jika sudah yakin."

Lembaran kertas itu bergeser di tanganku, tapi ketegangan membuatku sulit berkonsentrasi. Tanpa membaca detilnya, aku langsung menekan pena ke atas kertas. Harapan bahwa Mas Sandi bisa segera menjalani operasi adalah satu-satunya yang menguasai pikiranku.

Ketika ponselku berdering dengan notifikasi, aku segera mengeceknya. Layar menunjukkan transfer uang sebesar dua puluh juta rupiah dari rekening Pak Juan. "Terima kasih Pak, atas segala bantuannya," kataku sambil menatap mata Pak Juan yang duduk dengan postur yang tegap di balik meja kerjanya.

Dia hanya mengangguk. "Ingat, Dini. Jangan lupa apa yang telah kita sepakati."

Aku mengangguk cepat. "Tentu, Pak."

Aku menggenggam erat surat perjanjian dan beranjak meninggalkan ruangan dengan langkah yang ringan, meski hatiku masih di selimuti kegelisahan.

"Mas Sandi, sebentar lagi kamu akan berjalan lagi," bisikku dalam hati, sambil melipat surat perjanjian tersebut dan menyimpannya di dalam kamarku.

Langkahku terburu-buru kembali ke kamar Pak Juan setelah mendengar isak tangis Dean yang memecah kesunyian. Di dalam kamar, Pak Juan tampak berusaha meredam tangis Dean.

Dia menggendong tubuh mungil itu, sambil mengusap lembut punggungnya. Tangisan Dean pelan-pelan mereda, namun ketika dia menoleh dan melihat aku di ambang pintu, tangisannya pecah kembali.

"Dean, kenapa nangis lagi? Papa kan sudah gendong," ujar Pak Juan sambil memandangku, seolah menegaskan bahwa Dean perlu memberiku waktu untuk beristirahat sejenak. Mungkin karena tahu aku banyak masalah dan sedikit lelah.

Aku mendekat dan mengambil alih Dean dari gendongannya. "Sini, Bos kecil. Jangan nangis lagi ya," ucapku lembut. Ajaibnya, tangisan Dean langsung berhenti.

Pak Juan menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Anak papa benar-benar curang, kenapa langsung diam di gendongannya Mbak Dini, padahal papa sudah menggendong kamu. Apa Mbak Dini lebih nyaman di banding papa?"

Pak Juan mengusap kepala putranya dengan lembut. Terlihat sekali kalau ia begitu sangat menyanginya.

"Pak Juan istirahat saja, biar Bos kecil sama saya," ujarku seraya menggendong Dean keluar dari kamar itu setelah Pak Juan mengangguk setuju.

Akan tetapi baru saja sampai di pintu Dean menangis dan tak ingin keluar dari kamar, dengan terpaksa, aku kembali memasuki kamar Pak Juan.

"Ada apa sayang? Apa kamu mau tidur sama Papa?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya ingin mengambil alih Dean tapi Dean menggelengkan kepalanya dan memelukku erat.

Aku kembali menenangkan bocah kecil itu. Suasana begitu canggung, aku hanya diam menidurkan Dean. Begitu juga dengan Pak Dean yang duduk sambil memainkan ponselnya.

Tak lama Dean kembali tidur di dalam gendonganku.

"Kalau Dean sudah tidur baringkan saja di ranjang. Kamu istirahat saja," ucap Pak Juan dan aku pun dengan patuh menidurkan bocah kecil ini di atas ranjang dengan sangat hati-hati.

Aku berjalan gontai keluar kamar Pak Juan, menutup pintunya dengan sangat pelan agar tak mengganggu Dean yang sudah terlelap.

Baru saja aku duduk, Dean sudah kembali menangis dan mencariku.

Aku kembali masuk saat Pak Juan berusaha membujuk anaknya untuk jangan menangis lagi.

Melihatku datang menghampirinya, Dean langsung berhenti menangis.

"Ada apa Bos kecil? Kenapa menangis? Apa kamu lapar?" tanyaku sambil mengusap kepalanya.

Dean menggelengkan kepalanya, ia malah mengalungkan kedua tangannya yang mungil itu di leherku dan mencium pipiku.

Pak Juan yang melihat tingkah lucu anaknya hanya menggelengkan kepalanya.

"Sekarang, Bos kecil bobo ya, sama papa. Mbak Dini duduk di sana," ucapku sambil menunjuk kursi yang ada di sudut kamar.

Dean mengangguk dengan antusias.

Aku pun berpindah tempat duduk di kursi yang barada di sudut kamar Pak Juan. Sedangkan Pak Juan sendiri sedang menepuk-nepuk punggung Dean dengan lembut.

Aku hanya memperhatikan mereka berdua. Akan tetapi lama-lama mataku terasa berat. Dan tanpa sadar aku terlelap.

Saat aku terbangun, aku terkejut mendapati diriku berada di tempat tidur, dengan Dean di sampingku. Pak Juan tidur di sofa.

"Astaga. Apa yang terjadi?" gumamku panik.

Aku segera bangkit dan membangunkan Pak Juan. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa ada di tempat tidur ini," ucapku tergagap.

Bagaimana bisa aku tidur di tempat tidur majikanku. Padahal seingatku aku duduk di kursi tapi kenapa sekarang malah berada di atas kasur. Sungguh aku tidak sengaja.

Pak Juan hanya tersenyum tipis. "Kamu tertidur di sofa. Dean tidak mau lepas dari kamu, jadi aku memindahkan kalian ke tempat tidur. Nggak apa-apa."

"Saya minta maaf, Pak. Saya nggak tahu bagaimana bisa saya tidur di atas tempat tidur, Pak Juan," ucapku penuh sesal.

Aku masih berdiri dengan menundukkan kepala. Sangat tidak sopan seorang pengasuh ikut tidur di tempat tidur majikan.

"Tak apa, asal Dean nggak rewel lagi," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Pak Juan beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera berlalu keluar dari tempat itu menuju kamarku. Membersihkan diri dan menyiapkan sarapan untuk si kecil.

Ponselku berdering, aku dengan cepat menggeser tombol berwarna hijau itu.

"Halo Mas, aku sudah mendapat pinjaman dari majikanku. Kamu bisa segera mendaftar operasi kakimu," ucapku dengan penuh semangat.

"Benarkah? Makasih ya Din, aku janji setelah aku sembuh aku akan bekerja dan akan membayarnya" ujar Mas Sandi dengan antusias. Ia begitu bersemangat, terlihat sekali kalau ia tak sabar untuk segera bisa berjalan normal.

"Iya, aku akan mentransfernya. Sebentar ya," kataku yang masih harus sibuk dengan pekerjaanku.

Berkali-kali Mas Sandi mengucapkan terima kasih padaku dan berjanji akan bekerja keras untuk membayar hutang itu.

Sambungan telepon pun terputus. Aku segera mentransfer uang itu pada suamiku.

"Dini, aku titip Dean ya. Aku harus bertemu dengan klien hari ini," ucap Pak Juan sesaat setelah menghabiskan sarapannya.

Ia menciumi pipi Dean yang gembul. Sebagai seorang pengacara tentunya Pak Juan begitu sibuk.

"Iya Pak. Saya akan menjaga bos kecil," jawabku sopan sambil berdiri di belakang stroller.

Pak Juan mengusap kepala Dean berulang kali. Menatap wajah anak itu cukup lama, entah apa yang ada di fikirannya.

"Sayang, kamu jangan rewel ya. Papa nggak bisa temani kamu main. Kamu boleh tidur sama Mbak Dini di kamar papa," ucapnya yang membuat ku terkejut. Jelas saja aku tidak akan berani untuk tidur di kamar itu lagi.

"Maaf Pak, saya tidur di kamar bos kecil saja. Atau bos kecil saya bawa ke kamar saja," sahutku. Rasanya tidak sopan jika harus tidur di kamar Pak Juan.

Pak Juan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Terserah, asal Dean tidak rewel."

Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Pak Juan saat ia sedang dalam perjalanan dinas.

"Dini, apa Dean baik-baik saja?"

Kerena Dean sedang anteng bermain, dengan cepat aku membalasnya. "Nggak Pak, bos kecil sedang bermain," balasku seraya mengirimkan gambar Dean yang sedang asyik bermain.

Beberapa menit kemudian, dia mengirim pesan lagi. "Kalau ada apa-apa, segera kabari aku. Aku ada urusan penting dengan Kiranti dari Kota Hasta."

Aku tertegun membaca pesan itu. Nama itu, Kiranti terdengar tidak asing, tapi entah kenapa menimbulkan rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku menatap Dean yang tertawa riang dengan mainannya, mencoba menenangkan diriku. Namun, firasat itu tetap menghantui pikiranku.

Malam itu, setelah Dean tertidur, aku duduk di sofa kamarku, memandangi surat perjanjian yang sudah kutandatangani. Kata-kata "konsekuensi gagal bayar" terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Apa yang sebenarnya telah aku masuki?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 3

    Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua

    Last Updated : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 4

    Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari

    Last Updated : 2025-01-08
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 5

    Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J

    Last Updated : 2025-01-09
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 6

    Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka

    Last Updated : 2025-01-10
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 7

    Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i

    Last Updated : 2025-01-11
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 8

    Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu

    Last Updated : 2025-01-12
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 9

    Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen

    Last Updated : 2025-01-13
  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 10

    Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita

    Last Updated : 2025-01-14

Latest chapter

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 128

    Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 127

    Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 126

    Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 125

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 124

    Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 123

    Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 122

    Pagi itu, Juan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasi dengan ekspresi serius. Sejak ia memutuskan untuk lebih seimbang antara karier dan keluarga, ada banyak hal yang harus ia atur. Namun, pagi ini terasa lebih spesial. Dini masuk ke kamar dengan secangkir kopi di tangan, menyandarkan tubuhnya di pintu sambil memperhatikan suaminya yang terlihat gagah dengan setelan jas. “Hari ini sidang penting, ya?” Juan menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari tangan Dini. “Iya. Kasus ini cukup rumit, tapi aku yakin bisa menanganinya.” Dini mendekat, membetulkan kerah kemeja suaminya dengan penuh perhatian. “Aku yakin juga. Kamu selalu bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin.” Juan tersenyum sambil mengecup kening Dini. “Terima kasih, sayang. Dukunganmu selalu jadi kekuatanku.” Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil yang berlari menuju kamar mereka. Dean muncul di ambang pintu dengan piyama bergambar dinosaurus, matanya masih mengantuk. “Papa mau pergi?”

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 121

    Pagi itu, matahari mulai naik, menerangi rumah kecil yang kini penuh kehangatan. Dini sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan sarapan, sementara Juan masih sibuk di ruang kerjanya, membaca beberapa berkas kasus yang harus ia tangani. Di dapur, Dean yang sudah rapi dengan pakaian bermainnya duduk di kursi tinggi, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu sarapan. “Mama, hari ini kita mau ke mana?” tanyanya dengan penuh semangat. Dini tersenyum sambil menuangkan susu ke dalam gelas kecil. “Hari ini kita mau ke taman, sayang. Papa juga ikut.” Dean bersorak kecil. “Yeay! Papa ikut!” Juan, yang baru saja selesai dari ruang kerjanya, berjalan ke dapur dengan senyum mengembang. “Siapa yang senang Papa ikut?” tanyanya pura-pura tak tahu. Dean langsung turun dari kursinya dan berlari memeluk Juan. “Aku! Papa janji nggak kerja terus, kan?” Juan menggendong Dean dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. “Papa janji hari ini cuma buat Dean dan Mama.” Dini menatap mereka dengan se

  • Perjanjian Di Ujung Pengkhianatan   Bab 120

    Malam di rumah Juan dan Dini terasa begitu tenang. Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Dean, mereka akhirnya bisa duduk berdua di ruang keluarga. Juan sedang membaca sebuah dokumen penting di laptopnya, sementara Dini sibuk menyulam kain dengan motif bunga yang cantik. “Besok kamu ada jadwal sidang lagi?” tanya Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari sulamannya. Juan mengangguk. “Iya, kasus ini cukup besar. Aku harus memastikan semua bukti dan argumenku kuat. Lawan kita kali ini cukup licik.” Dini menatap Juan dengan khawatir. “Hati-hati, ya. Kamu tahu aku selalu mendukungmu, tapi aku juga nggak mau kamu terlalu terbebani.” Juan tersenyum, lalu menutup laptopnya dan mendekat ke arah Dini. “Aku tahu. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bisa bekerja dengan baik. Aku nggak akan berlebihan, janji.” Dini tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Juan. “Baiklah. Aku percaya padamu.” *** Keesokan paginya, Juan berangkat lebih awal ke kantornya. Saat tiba, ia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status