Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan.
Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka waktu pinjaman, dan konsekuensi jika aku gagal melunasinya. Sambil duduk, Pak Juan menatapku serius. "Aku akan transfer setelah kamu menandatanganinya," ucapnya tenang. Nervous, aku hanya mampu mengangguk pelan. "Jadi, kamu yakin bisa mengembalikannya dalam lima bulan?" tanyanya, matanya menatapku tajam. Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. "Insha Allah, Pak. Saya akan bekerja keras untuk melunasinya." Dia mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap dingin. "Baik, kalau begitu tanda tangani jika sudah yakin." Lembaran kertas itu bergeser di tanganku, tapi ketegangan membuatku sulit berkonsentrasi. Tanpa membaca detilnya, aku langsung menekan pena ke atas kertas. Harapan bahwa Mas Sandi bisa segera menjalani operasi adalah satu-satunya yang menguasai pikiranku. Ketika ponselku berdering dengan notifikasi, aku segera mengeceknya. Layar menunjukkan transfer uang sebesar dua puluh juta rupiah dari rekening Pak Juan. "Terima kasih Pak, atas segala bantuannya," kataku sambil menatap mata Pak Juan yang duduk dengan postur yang tegap di balik meja kerjanya. Dia hanya mengangguk. "Ingat, Dini. Jangan lupa apa yang telah kita sepakati." Aku mengangguk cepat. "Tentu, Pak." Aku menggenggam erat surat perjanjian dan beranjak meninggalkan ruangan dengan langkah yang ringan, meski hatiku masih di selimuti kegelisahan. "Mas Sandi, sebentar lagi kamu akan berjalan lagi," bisikku dalam hati, sambil melipat surat perjanjian tersebut dan menyimpannya di dalam kamarku. Langkahku terburu-buru kembali ke kamar Pak Juan setelah mendengar isak tangis Dean yang memecah kesunyian. Di dalam kamar, Pak Juan tampak berusaha meredam tangis Dean. Dia menggendong tubuh mungil itu, sambil mengusap lembut punggungnya. Tangisan Dean pelan-pelan mereda, namun ketika dia menoleh dan melihat aku di ambang pintu, tangisannya pecah kembali. "Dean, kenapa nangis lagi? Papa kan sudah gendong," ujar Pak Juan sambil memandangku, seolah menegaskan bahwa Dean perlu memberiku waktu untuk beristirahat sejenak. Mungkin karena tahu aku banyak masalah dan sedikit lelah. Aku mendekat dan mengambil alih Dean dari gendongannya. "Sini, Bos kecil. Jangan nangis lagi ya," ucapku lembut. Ajaibnya, tangisan Dean langsung berhenti. Pak Juan menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Anak papa benar-benar curang, kenapa langsung diam di gendongannya Mbak Dini, padahal papa sudah menggendong kamu. Apa Mbak Dini lebih nyaman di banding papa?" Pak Juan mengusap kepala putranya dengan lembut. Terlihat sekali kalau ia begitu sangat menyanginya. "Pak Juan istirahat saja, biar Bos kecil sama saya," ujarku seraya menggendong Dean keluar dari kamar itu setelah Pak Juan mengangguk setuju. Akan tetapi baru saja sampai di pintu Dean menangis dan tak ingin keluar dari kamar, dengan terpaksa, aku kembali memasuki kamar Pak Juan. "Ada apa sayang? Apa kamu mau tidur sama Papa?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya ingin mengambil alih Dean tapi Dean menggelengkan kepalanya dan memelukku erat. Aku kembali menenangkan bocah kecil itu. Suasana begitu canggung, aku hanya diam menidurkan Dean. Begitu juga dengan Pak Dean yang duduk sambil memainkan ponselnya. Tak lama Dean kembali tidur di dalam gendonganku. "Kalau Dean sudah tidur baringkan saja di ranjang. Kamu istirahat saja," ucap Pak Juan dan aku pun dengan patuh menidurkan bocah kecil ini di atas ranjang dengan sangat hati-hati. Aku berjalan gontai keluar kamar Pak Juan, menutup pintunya dengan sangat pelan agar tak mengganggu Dean yang sudah terlelap. Baru saja aku duduk, Dean sudah kembali menangis dan mencariku. Aku kembali masuk saat Pak Juan berusaha membujuk anaknya untuk jangan menangis lagi. Melihatku datang menghampirinya, Dean langsung berhenti menangis. "Ada apa Bos kecil? Kenapa menangis? Apa kamu lapar?" tanyaku sambil mengusap kepalanya. Dean menggelengkan kepalanya, ia malah mengalungkan kedua tangannya yang mungil itu di leherku dan mencium pipiku. Pak Juan yang melihat tingkah lucu anaknya hanya menggelengkan kepalanya. "Sekarang, Bos kecil bobo ya, sama papa. Mbak Dini duduk di sana," ucapku sambil menunjuk kursi yang ada di sudut kamar. Dean mengangguk dengan antusias. Aku pun berpindah tempat duduk di kursi yang barada di sudut kamar Pak Juan. Sedangkan Pak Juan sendiri sedang menepuk-nepuk punggung Dean dengan lembut. Aku hanya memperhatikan mereka berdua. Akan tetapi lama-lama mataku terasa berat. Dan tanpa sadar aku terlelap. Saat aku terbangun, aku terkejut mendapati diriku berada di tempat tidur, dengan Dean di sampingku. Pak Juan tidur di sofa. "Astaga. Apa yang terjadi?" gumamku panik. Aku segera bangkit dan membangunkan Pak Juan. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa ada di tempat tidur ini," ucapku tergagap. Bagaimana bisa aku tidur di tempat tidur majikanku. Padahal seingatku aku duduk di kursi tapi kenapa sekarang malah berada di atas kasur. Sungguh aku tidak sengaja. Pak Juan hanya tersenyum tipis. "Kamu tertidur di sofa. Dean tidak mau lepas dari kamu, jadi aku memindahkan kalian ke tempat tidur. Nggak apa-apa." "Saya minta maaf, Pak. Saya nggak tahu bagaimana bisa saya tidur di atas tempat tidur, Pak Juan," ucapku penuh sesal. Aku masih berdiri dengan menundukkan kepala. Sangat tidak sopan seorang pengasuh ikut tidur di tempat tidur majikan. "Tak apa, asal Dean nggak rewel lagi," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. Pak Juan beranjak dari sofa dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera berlalu keluar dari tempat itu menuju kamarku. Membersihkan diri dan menyiapkan sarapan untuk si kecil. Ponselku berdering, aku dengan cepat menggeser tombol berwarna hijau itu. "Halo Mas, aku sudah mendapat pinjaman dari majikanku. Kamu bisa segera mendaftar operasi kakimu," ucapku dengan penuh semangat. "Benarkah? Makasih ya Din, aku janji setelah aku sembuh aku akan bekerja dan akan membayarnya" ujar Mas Sandi dengan antusias. Ia begitu bersemangat, terlihat sekali kalau ia tak sabar untuk segera bisa berjalan normal. "Iya, aku akan mentransfernya. Sebentar ya," kataku yang masih harus sibuk dengan pekerjaanku. Berkali-kali Mas Sandi mengucapkan terima kasih padaku dan berjanji akan bekerja keras untuk membayar hutang itu. Sambungan telepon pun terputus. Aku segera mentransfer uang itu pada suamiku. "Dini, aku titip Dean ya. Aku harus bertemu dengan klien hari ini," ucap Pak Juan sesaat setelah menghabiskan sarapannya. Ia menciumi pipi Dean yang gembul. Sebagai seorang pengacara tentunya Pak Juan begitu sibuk. "Iya Pak. Saya akan menjaga bos kecil," jawabku sopan sambil berdiri di belakang stroller. Pak Juan mengusap kepala Dean berulang kali. Menatap wajah anak itu cukup lama, entah apa yang ada di fikirannya. "Sayang, kamu jangan rewel ya. Papa nggak bisa temani kamu main. Kamu boleh tidur sama Mbak Dini di kamar papa," ucapnya yang membuat ku terkejut. Jelas saja aku tidak akan berani untuk tidur di kamar itu lagi. "Maaf Pak, saya tidur di kamar bos kecil saja. Atau bos kecil saya bawa ke kamar saja," sahutku. Rasanya tidak sopan jika harus tidur di kamar Pak Juan. Pak Juan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Terserah, asal Dean tidak rewel." Keesokan harinya, aku menerima pesan dari Pak Juan saat ia sedang dalam perjalanan dinas. "Dini, apa Dean baik-baik saja?" Kerena Dean sedang anteng bermain, dengan cepat aku membalasnya. "Nggak Pak, bos kecil sedang bermain," balasku seraya mengirimkan gambar Dean yang sedang asyik bermain. Beberapa menit kemudian, dia mengirim pesan lagi. "Kalau ada apa-apa, segera kabari aku. Aku ada urusan penting dengan Kiranti dari Kota Hasta." Aku tertegun membaca pesan itu. Nama itu, Kiranti terdengar tidak asing, tapi entah kenapa menimbulkan rasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku menatap Dean yang tertawa riang dengan mainannya, mencoba menenangkan diriku. Namun, firasat itu tetap menghantui pikiranku. Malam itu, setelah Dean tertidur, aku duduk di sofa kamarku, memandangi surat perjanjian yang sudah kutandatangani. Kata-kata "konsekuensi gagal bayar" terus terngiang-ngiang di kepalaku. Aku menarik napas dalam-dalam. Apa yang sebenarnya telah aku masuki?Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Aku masih terpaku di kasur, memandangi layar ponsel yang kini terasa seperti bara panas di tanganku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku: "Sandi menikah dengan Kiranti." Pikiranku kacau. Aku mencoba menyangkal, mencari alasan bahwa temanku pasti salah. Tapi bayangan semua kejadian selama ini mulai terangkai seperti potongan puzzle yang akhirnya menyatu. Uang yang tidak pernah sampai ke juragan Kardi. Sikap Mas Sandi yang semakin dingin dan selalu menghindari pembicaraan serius. Desakan ibu mertuaku yang tiba-tiba semakin intens. Semuanya masuk akal sekarang. Aku tidak bisa diam saja. Tanganku gemetar saat mencoba menghubungi Mas Sandi. Ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya dia mengangkatnya. "Ada apa, Din? Malam-malam gini kok telepon?" tanyanya dengan nada datar. "Aku mau tanya, Mas. Jujur sama aku. Apa benar Mas menikah lagi?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi. Mas Sandi terdiam sejenak, lalu terdengar helaan napas panjang. "Siapa yang bilang begitu?" "Bukan i
Perjalanan ke kampung halaman terasa begitu panjang, meskipun sebenarnya hanya membutuhkan beberapa jam. Sepanjang jalan, aku terjebak dalam pikiranku sendiri. Juan yang duduk di sampingku sesekali melirik, mungkin ingin memastikan aku baik-baik saja. "Kalau kamu butuh waktu sendiri nanti, aku bisa menunggu di tempat lain," kata Juan memecah keheningan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa benar-benar menanggapi. Pikiran tentang apa yang akan aku hadapi begitu mendominasi. Apa yang akan aku katakan pada ibu mertua? Apa aku harus menanyakan langsung pada Sandi? Atau sebaiknya aku diam saja dan menyerahkan semuanya pada waktu? Ketika kami tiba di depan rumah orang tuaku, suasana begitu sunyi. Rumah kecil itu terlihat seperti biasa, tetapi kali ini terasa asing. Aku menghela napas panjang sebelum turun dari mobil. "Din, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa, panggil aku," kata Juan, suaranya lembut. Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Pak." *** Saat aku melangkah masuk ke rumah ibu
Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Udara dingin menusuk kulit, dan bau tanah basah bercampur embun seolah mencerminkan hatiku yang berat. Tidak ada kicau burung seperti biasanya, hanya keheningan yang memeluk kampung kecil ini. Aku duduk di teras rumah sambil memandangi halaman yang sepi. Juan keluar dari rumah, membawa dua cangkir teh hangat, dan meletakkannya di depanku. "Minumlah dulu. Kamu butuh tenaga," katanya lembut. Aku mengangguk tanpa berkata apa-apa, terlalu lelah untuk membalas. Pikiranku masih berkutat pada percakapan semalam dengan Sandi dan ancaman Juragan Kardi. Hidupku seperti berada di ujung jurang. "Din, aku tahu ini tidak mudah, tapi kamu harus mengambil keputusan," kata Juan lagi, menatapku penuh empati. "Apa yang harus saya lakukan, Pak? Semuanya terasa begitu berat," jawabku dengan suara bergetar. Juan terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-katanya. "Kadang, kita harus memilih jalan yang paling sulit untuk menemukan kebahagiaan kita sen
Pagi itu, Juan tampak sibuk dengan berkas-berkas yang baru saja diantarkan oleh kurir dari kantornya. Aku duduk di ruang tamu, memandangi Dean yang tertidur pulas setelah semalaman rewel. Tapi pikiranku tidak bisa tenang. Pesan ancaman yang kuterima semalam terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apa maksudnya? Apakah ini dari Juragan Kardi? Atau... ada hal lain yang lebih besar yang belum aku ketahui? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan pengkhianatan Sandi dan Bu Marlinah terus menghantuiku. Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Juan yang melihatku dari meja kerjanya segera menghampiri. "Dini, kamu nggak bisa terus begini," katanya lembut sambil duduk di depanku. "Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu?" Aku menatapnya ragu. Rasanya berat untuk menceritakan semuanya, terutama tentang Kiranti, yang ternyata pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Tapi aku tahu, jika ada seseorang yang bisa membantuku, itu adalah Juan. "Pak, saya perlu cerita
Dini menyadari satu hal—ia tidak boleh terjebak di sini terlalu lama. Tidak setelah ia melihat bagaimana ekspresi Sandi yang semakin gelap dan penuh perhitungan. _"Kamu benar-benar keterlaluan, Sandi,"_ ucap Dini, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak cepat. Sandi menyeringai. "Kamu terlalu baik, Dini. Terlalu mudah percaya." Bu Marlinah, yang tadinya tampak lemah, kini duduk tegak. Wajahnya yang berpura-pura kesakitan kini berubah sinis. "Dulu kamu begitu mudah dibodohi, Dini. Aku pikir kali ini pun akan sama." Dini merasa darahnya mendidih. Ia bukan lagi perempuan lemah yang dulu bisa mereka tipu begitu saja. _"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?"_ tanyanya dingin. Sandi melangkah lebih dekat, kali ini tanpa basa-basi. "Uang. Dan kamu akan membantuku mendapatkannya." Dini menggeleng. "Aku tidak punya uang sebanyak itu." Sandi mencibir. "Tapi Juan punya. Dan kamu bisa memanfaatkannya." Dini menahan napas. Jadi ini rencana mereka? Memanfaatkannya
Langkah Dini terasa berat saat meninggalkan rumah Juan. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap hatinya sendiri. Namun, ia tahu, bertahan hanya akan membuat semuanya lebih sulit. Diana menatap kepergian Dini dengan seringai puas. Setelah memastikan Dini benar-benar keluar dari rumah, ia berbalik ke,, arah Juan yang masih berdiri di ambang pintu dapur, matanya terpaku pada punggung Dini yang semakin menjauh. "Kamu seharusnya berterima kasih padaku," ujar Diana dengan nada mengejek. "Aku baru saja menyingkirkan masalahmu." Juan menoleh dengan tatapan tajam. "Kamu yang menjadi masalah, Diana." Diana terkekeh. "Oh, ayolah, Juan. Aku ini ibu dari anakmu. Kamu tidak bisa begitu saja menghapus keberadaanku." Juan menghela napas panjang, menekan amarah yang mendidih di dadanya. "Keberadaanmu bukan masalahnya. Tapi cara dan niatmu yang selalu penuh tipu daya, itulah yang membuatku muak." Diana mendekat, meletakkan tangannya di dada Juan. "Kita bisa kembali seperti
Dini duduk di taman belakang rumah, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Dadanya sesak. Hatinya terasa hancur, meskipun ia sendiri tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Adegan di kamar Juan tadi terus terputar di benaknya. Diana di sana, bersikap seolah-olah masih memiliki hak atas pria itu. Dan Juan… pria itu tidak menolaknya dengan cukup tegas di awal. Dini menghela napas panjang. Mungkin selama ini ia terlalu berharap. Terlalu nyaman di dalam rumah ini, terlalu nyaman berada di samping Juan dan Dean. Tapi siapa dia? Hanya seorang pengasuh, bukan siapa-siapa. Ponselnya bergetar. Nama Juan terpampang di layar. Dini menatapnya ragu, sebelum akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. "Dini," suara Juan terdengar serak, namun tetap tegas. Dini tetap diam, berpura-pura tidak mendengar. "Aku tahu kau di sini," lanjut Juan, lalu duduk di bangku taman di sampingnya. Hening. "Aku tidak tahu apa yang kau l
Dini mengamati dari jauh saat Diana semakin berani bergerak di dalam rumah Juan. Wanita itu kini sering terlihat di dapur, berbincang dengan Mira, asisten rumah tangga yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada Diana. Tidak hanya itu, Diana juga mulai lebih sering menghabiskan waktu di ruang tamu, seolah sengaja menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Juan atau mendekati Dean. Dini merasa tak nyaman, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Ia tak ingin membuat masalah bertambah rumit. Namun, rasa gelisah itu semakin besar ketika suatu sore, ia melihat Diana duduk di teras belakang bersama Juan, membawa dua cangkir kopi. Juan tampak enggan, tetapi Diana tetap tersenyum dan berbicara dengan lembut. "Kau masih ingat kopi favoritmu, kan?" suara Diana terdengar begitu akrab. "Aku sengaja membuatnya sendiri. Dulu kau suka sekali kopi buatanku." Juan menatap cangkir itu dengan ragu. "Diana, kita tidak bisa kembali ke masa lalu." "Aku tahu," Diana menghela napas pura-pura sedih. "Ak
Dini berjalan cepat menuju kamarnya, berusaha mengabaikan suara Diana yang masih terdengar dari belakang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit perasaannya. Sesampainya di kamar, ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke dinding. Pikiran-pikiran buruk mulai merayapi benaknya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar Juan tadi, tetapi pemandangan Diana keluar dari sana dengan pakaian tidur yang menggoda sudah cukup membuat hatinya hancur. Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Dini terdiam, tidak berniat menjawab. Namun, suara yang menyusul ketukan itu membuatnya kembali tersadar. "Dini, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka pintunya," suara Juan terdengar dari luar. Dini menggigit bibirnya. Ia ragu. Namun, hatinya juga ingin mendengar penjelasan. Dengan langkah pelan, ia akhirnya membuka pintu. Juan berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sedikit berantakan, menunjukkan bahwa ia memang baru saja terlibat dalam sesuatu yang membuatny
Malam itu, Dini berusaha menghindari Juan dan Diana. Ia sibuk di dapur, membantu Mira membereskan peralatan makan malam. Namun, pikirannya terus dipenuhi dengan peringatan Mira tadi pagi. Sementara itu, Diana tampak semakin percaya diri. Ia mengenakan gaun hitam yang elegan, rambutnya ditata rapi, dan riasannya sempurna. Dengan senyum penuh arti, ia melangkah menuju ruang kerja Juan. Saat Dini beranjak ke kamar, Mira menahannya. "Mbak, aku lihat Bu Diana masuk ke kamar Pak Juan lagi." Dini menggigit bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Diana mencoba mendekati Juan secara terang-terangan. "Mbak nggak mau lihat?" tanya Mira hati-hati. Dini ragu. Ia ingin tetap profesional, tapi rasa penasarannya semakin besar. Akhirnya, ia mengangguk pelan. Dini melangkah menuju kamar Juan dengan hati-hati. Namun, sebelum ia sampai, suara Diana terdengar dari balik pintu. "Juan, kenapa kamu begitu keras kepala? Apa kamu benar-benar sudah melupakanku?" "Diana, aku sudah bilang, ja
Diana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya dengan ekspresi kesal. Usahanya mendekati Juan selalu gagal, apalagi sejak insiden fitnahnya terhadap Dini. Juan tampaknya mulai meragukan kata-katanya, dan itu membuatnya frustrasi. Tak ingin menyerah begitu saja, Diana mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Besok malam, pastikan semuanya berjalan sesuai rencana," katanya dengan suara dingin. Di ujung telepon, seseorang tertawa kecil. "Tenang saja, Nona Diana. Wanita itu akan tersingkir dari kehidupan Juan secepat yang Anda inginkan." Diana tersenyum licik. "Bagus. Aku ingin Dini menyesal sudah berani mengambil tempatku." *** Keesokan harinya, suasana di rumah Juan terasa sedikit tegang. Dini bisa merasakan ada sesuatu yang janggal, tetapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Saat ia sedang menyiapkan sarapan, Mira tiba-tiba mendekat dengan wajah gelisah. "Mbak Dini, aku dengar sesuatu tadi malam..." Mira berbisik pelan, matanya melirik ke arah tangga, memast
Dini menghindari tatapan Juan, berusaha menarik tangannya dari genggamannya. Tapi Juan tidak melepaskannya begitu saja. “Dini, aku serius.” Suara Juan terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. Dini menelan ludah. “Pak, jangan seperti ini. Saya hanya pengasuh Dean. Dan… Diana masih ada di sini.” Juan mengepalkan rahangnya, jelas tidak menyukai nama itu disebut. “Diana bukan masalahku lagi. Aku hanya ingin kamu percaya padaku.” Dini tersenyum tipis, tapi matanya menyiratkan kesedihan. “Tapi dia tetap menganggap kalian masih bersama. Dan saya…” Ia menggigit bibir, berusaha meredam emosi yang berkecamuk dalam dadanya. “Saya tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat saya harus memilih antara perasaan saya atau harga diri saya.” Juan terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Dini lebih dulu melangkah mundur. “Selamat malam, Pak Juan.” Dini berbalik dan pergi, meninggalkan Juan yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Maaf Pak, aku ngg
Pagi itu, Dini berusaha bersikap seperti biasa. Ia tetap mengurus Dean, memastikan anak itu sarapan dengan lahap sebelum bermain di taman. Namun, hatinya masih terasa berat setelah kejadian tadi malam. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan Diana yang dengan berani menyelinap ke kamar Juan. Meskipun Juan menolaknya, tetap saja Dini merasa gelisah. Di dapur, Mira datang membawa nampan berisi cangkir teh. Wanita itu memandang Dini dengan tatapan penuh arti. "Mbak Dini, kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan. Dini tersentak dari lamunannya. "Hah? Aku baik-baik saja, kenapa, Mir?" Mira mendekat, menurunkan suara. "Tadi pagi aku lihat Bu Diana keluar dari kamar Pak Juan. Mukanya kelihatan kesal, tapi bajunya masih pakai baju tidur." Dini berusaha menahan ekspresi wajahnya agar tetap netral. "Aku nggak tahu, Mir. Itu urusan mereka." Mira menghela napas pelan. "Aku cuma kasihan sama Mbak. Aku tahu Mbak ada perasaan sama Pak Juan. Tapi kalau Bu Diana masih di sini... hati-hati, Mbak