"Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi.
Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Setiap percakapan dengannya selalu berakhir pada permintaan yang sama; uang untuk operasi. Seolah tak ada kabar lain yang lebih ringan untuk dibahas. Sementara itu, aku hanya seorang pengasuh anak yang pendapatannya sebulan-sebulan juga harus kusisihkan untuk biaya hidupnya di kampung, di sisi ibunya. Kondisi Mas Ardi yang memprihatinkan sejak kecelakaan itu selalu saja membawa bayang suram dalam setiap pembicaraan kami. Kakinya yang patah dan semangatnya yang kian lama kian patah membuat jarak di antara kami semakin terasa. "Aku akan cari uang, Mas. Untuk operasi kamu, sabar ya," jawabku pelan, meski aku sendiri tak yakin bagaimana caranya. Namun suara Mas Sandi meninggi, penuh emosi yang tak tertahankan. "Sabar? Sampai kapan, Din? Kamu kira aku bisa terus-terusan begini? Kamu nggak tahu rasanya jadi aku!" Ia menatapku dengan tatapan yang penuh rasa sakit dan kecewa. "Aku ini cacat, Din! Cacat! Seharusnya aku mati saja!" Hatiku terasa ditusuk. "Jangan bilang begitu, Mas. Aku masih peduli. Aku akan usahakan semuanya, aku janji," ucapku, suara bergetar menahan panik. Pikiranku menerawang mencari jalan keluar. Di sini aku sudah berusaha keras bekerja, namun kenyataan pahit bahwa aku tak punya sepeser pun masih mengepung. Mas Sandi menatapku, rasa frustrasi terbaca jelas. "Aku mau kamu cari uang untuk operasi. Nanti, kalau aku sembuh, aku yang akan ganti," ujarnya dengan nada memaksa. "Tapi, Mas—" "Kamu sudah nggak peduli, ya? Di kota sana kamu sudah punya pengganti aku, ya?" Emosi memuncak, kata-katanya seperti merobek hati. Dengan kepala yang terguncang, aku menggeleng keras, menyangkal tuduhan itu. Kata-kata itu terasa menyakitkan, namun aku tahu emosinya tidak stabil. Semua tuduhan itu sama sekali tidaklah benar. "Nggak Mas, aku di sini bekerja mana mungkin aku akan mencari penggantimu," ujarku yang mengelak semua ucapannya. "Kalau kamu benar-benar bekerja, tolong usahakan uang untuk operasiku. Aku nggak mau begini terus Din. Aku ingin kembali bisa berjalan normal," ucap Mas Sandi mengiba. Aku tak sanggup melihat dia mengiba seperti itu tapi aku juga tak berdaya. "Mungkin tiga bulan lagi ya Mas, aku akan mengumpulkan uang dan juga aku akan pinjam sama majikanku," ucapku mencoba menenangkan suamiku. Terlihat tatapan Mas Sandi menggelap. "Kamu benar-benar tega ya Din, sama aku. Aku harus menunggu beberapa bulan lagi. Bisa-bisa aku mati dan kamu jangan menyesal nggak dapat melihatku lagi!" Mas Sandi mematikan sambungan teleponnya. Aku menatap layar ponsel yang telah menggelap. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumamku. Bersamaan dengan itu pintu kamarku di ketuk dari luar. Cepat-cepat aku mengusap air mataku dan segera membuka pintu kamar. "Ya Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya ku seraya menunduk ketika Pak Juan berada tepat di depan kamarku. Pak Juan tak langsung menjawab, ia menatapku dengan mengerutkan dahinya. "Kamu habis menangis? Ada masalah?" tanyanya penasaran. Aku menggelengkan cepat, berusaha terlihat tenang. "Nggak, Pak. Nggak ada apa-apa." Mana mungkin aku mengatakan masalahku pada majikanku itu. Dia sudah terlalu banyak membantuku selama ini. Pak Juan menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Tolong, pindahkan Dean ke kamarku. Dia agak rewel tadi sore," pintanya yang segera aku angguki. "Baik Pak," jawabku. Aku kembali mengusap sisa air mata dan segera menutup pintu kamarku. Melangkah mengikuti Pak Juan menuju kamar putranya yang baru berumur satu tahun. Dengan hati-hati aku menggendong tubuh mungil Dean yang sedang terlelap di kamar tidurnya menuju ke kamar Pak Juan yang berada di lantai dua. Begitu memasuki kamar itu, aku selalu merasa kecil. Ruangannya luas dengan perabotan mahal, menampilkan kehidupan yang sepenuhnya berlawanan dengan duniaku. Beberapa hari ini Dean agak rewel dan setiap kali Pak Juan pulang dari kantor ia akan memintaku untuk membawa Dean tidur di kamarnya. Selama lima bulan aku bekerja sebagai pengasuh Dean, aku sama sekali belum pernah melihat istri Pak Juan yang katanya seorang desainer itu. "Permisi Pak, saya akan tidur di depan kamar. Jadi kalau bos kecil nangis saya bisa langsung dengar," ucapku sesaat setelah membaringkan Dean ke atas tempat tidur. "Nggak perlu, kamu kembali saja ke kamarmu," ucapnya, namun aku tak tega meninggalkannya kerepotan sendiri. Aku mengangguk dan keluar dari kamar itu tetapi bukannya kembali ke kamarku, aku memilih duduk di sofa di depan pintunya. Mataku terasa berat, tetapi pikiran tentang Mas Sandi terus menghantui. Kembali ponselku bergetar. Aku mengerutkan dahi saat nama ibu mertuaku tertera di layar ponsel. "Halo Bu. Ada apa?" tanyaku setelah menggeser tombol berawarna hijau. Di ujung sana, terdengar suara ibu menangis sesenggukan. Aku pun terkejut dan panik seketika. "Ada apa Bu? Kenapa ibu menangis?" tanyaku dengan kebingungan. "Sandi, Din. Sandi mau bunuh diri," jawab ibu mertuaku dengan suara terisak, yang membuat tubuhku lemas seketika. "Ya Tuhan, cobaan apalagi ini. Kenapa masalah terus datang menerpaku?" jeritku dalam hati. Napasku tercekat, aku memejamkan kedua mataku yang memanas. "Dia merasa hidupnya tak ada artinya lagi. Lebih baik ia mengakhiri hidupnya karena kelumpuhan di kakinya," tambah ibu mertuaku. "Sebagai istri harusnya kamu mengerti bagaimana perasaannya, bukan malah mengabaikannya!" tangis Bu Marlinah kembali pecah. Aku pun tak tahu harus bagaimana. Tapi kenapa ibu menyalahkan aku? Bukannya aku sudah mengupayakan kesembuhannya? Aku tak mungkin kembali berhutang untuk biaya operasi karena itu sangat banyak. "Sekarang bagaimana keadaannya Bu?" tanyaku dengan suara serak manahan tangisku. "Sekarang ia sudah tenang dan bekas sayatan di tangannya sudah di perban. Pokoknya ibu nggak mau tau kalau terjadi apa-apa dengan Sandi, kamu harus tanggung jawab!" jawab ibu dengan terisak. Air mataku semakin mengalir deras. Sebagai seorang istri tentunya aku tidak tega melihat suamiku seperti itu. "Ya sudah Bu. Ibu istirahat saja, sudah malam. Aku akan mencari pinjaman untuk biaya operasi Mas Sandi," ucapku menenangkan ibu Mas Sandi. Setelah itu aku menutup sambungan telepon. Aku menangis dalam diam dengan duduk di depan kamar Pak Juan. "Bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Apa yang harus aku lakukan?" gumamku dalam hati. "Dini," panggil Pak Juan yang tanpa aku sadari sudah berdiri di samping sofa tempat aku duduk dengan ekspresi serius. Aku terlonjak kaget. "Pak Juan!" Dengan cepat aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Aku berdiri dengan menunduk dalam. Dia menatapku lama sebelum akhirnya berkata, "Berapa yang kamu butuhkan untuk biaya operasi suamimu?" tanya Pak Juan dengan suara rendah. Aku terkejut, sontak aku mendongakkan kepala menatap wajah tampan pria yang berdiri gagah di depanku. "Berapa yang kamu butuhkan untuk operasi suamimu?" tanyanya yang membuat jantungku semakin berdetak kencang. Bagaimana bisa Pak Juan tahu kalau aku membutuhkan uang untuk operasi suamiku? Astaga, aku tidak menyadari kalau ia sudah mendengar pembicaraanku dengan ibu mertuaku. "Pak, saya..." Dia mengangkat tangannya, menghentikan ucapnku. "Berapa, Din?" tanyanya lagi, lebih tegas. Aku menghela napas, lalu menjawab dengan suara pelan. "D-dua puluh juta, Pak." Pak Juan mengangguk pelan. "Baik. Aku bisa memberimu uang itu. Tapi, ada syaratnya." Hatiku berdebar keras. Syarat? Aku mendongakkan kepala, menatap wajahnya yang sulit terbaca. "Syarat apa, Pak? Saya akan berusaha memenuhinya," jawabku dengan suara bergetar. Pak Juan tersenyum tipis, senyuman yang sulit kutafsirkan. "Kita bicarakan nanti. Untuk sekarang, fokuslah pada suamimu. Pastikan dia tidak mencoba hal bodoh lagi." Aku mengangguk, tetapi rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menyelimuti hatiku. Apa sebenarnya yang diinginkan Pak Juan dariku?Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Keesokan harinya, aku mencoba fokus pada pekerjaanku, tetapi pikiranku terus di ganggu oleh percakapan kemarin dengan ibu mertuaku."Dini, kamu harus tanggung jawab. Sertifikat rumah sudah di ambil sama juragan Kardi. Semua gara-gara kamu yang nggak ngirim uang buat lunasin hutang-hutang ibu waktu Sandi kecelakaan. Sekarang ibu nggak mau tau, kamu harus menebus sertifikat itu!" Kata-kata itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku ingat betul, setelah Mas Sandi mengalami kecelakaan, ibu meminta uang untuk menebus sertifikat itu, tapi kenapa sekarang ibu mertuaku menuntutku lagi? Hari itu, Dean sedang bermain di ruang tengah dengan mainan barunya, sementara aku sibuk membuatkan sarapannya di dapur. "Mbak Dini, bos kecil mana kok nggak ada suaranya?" tanya Mbak Mira tiba-tiba sesaat setelah ia selesai menyajikan sarapan untuk Pak Juan di ruang makan. Aku yang membawa semangkok bubur untuk Dean pun terkejut. "Tadi lagi main di ruang tengah Mbak. Jangan-jangan.." Aku langsung meletakka
Setelah pertengkaran semalam, Mas Sandi tak lagi menghubungiku. Aku pun masih enggan untuk meneleponnya. Rasanya kesal—aku sudah bekerja keras untuknya, tapi malah dituduh yang tidak-tidak. Kuletakkan ponselku di meja dan segera keluar untuk memulai rutinitasku sebagai pengasuh.Namun, betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar, pria tinggi nan tampan sudah berdiri di depanku. "Pak Juan," ucapku gugup.Entah kenapa jantungku berdebar kencang. Tatapannya tajam bak elang, membuatku merasa kecil di hadapannya."Dean... Dean demam," ujarnya cepat, panik.Aku segera melangkah ke kamar Dean tanpa berpikir panjang. Di sana, kulihat bocah kecil itu berbaring dengan tubuh mungilnya yang panas. Bibirnya pucat, dan napasnya sedikit berat."Astaga, demamnya tinggi, Pak. Kita harus bawa bos kecil ke rumah sakit sekarang juga," ucapku sambil menggendong Dean dengan hati-hati.Aku sempatkan untuk mengambil ponselku. Pasti aku akan sangat membutuhkan benda itu nantinya jika di rumah sakit.Pak J
Malam semakin larut, tetapi pikiranku terus berputar. Kalimat Pak Juan tadi sore masih menghantui, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka, menunjukkan jalan lain yang selama ini tidak pernah kulihat. “Kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri.” Apa maksudnya?Aku memandang ke arah Dean yang terlelap di tempat tidurnya. Wajah polosnya selalu menjadi alasanku untuk bertahan. Tapi sampai kapan aku bisa terus menjalani semuanya sendirian?Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Sandi masuk."Maaf kalau tadi aku kasar. Aku cuma ingin kita punya kehidupan yang lebih baik, Din."Aku membaca pesan itu berkali-kali, tetapi ada rasa lelah yang tak bisa hilang. Semua perjuangan ini, apakah benar-benar untuk kami berdua? Atau hanya untuk dia? Aku menutup ponsel tanpa membalas pesan itu dan mencoba memejamkan mata.Pagi hari, suasana rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Mbak Mira datang membawa kabar kalau Pak Juan akan tiba lebih awal dari yang dijadwalkan."Pak Juan hari
Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang "Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertua
Dengan langkah hati-hati, aku mengikuti Pak Juan menuju ruang kerjanya. Denyut jantungku terasa kencang, terpacu oleh harapan dan ketakutan. Di kamar Pak Juan, Dean masih terlelap dalam tidurnya, tidak menyadari bahwa hidupku sedang berada di persimpangan jalan. Kami tiba di ruangan kerja yang cukup luas, dindingnya penuh dengan sertifikat dan penghargaan yang membuktikan kehebatan majikanku ini. Pak Juan duduk di kursinya , lalu mengambil beberapa lembar kertas dari map cokelat yang tersusun rapi di mejanya. "Silakan duduk," katanya singkat, namun dengan nada yang membuatku merasa canggung. Aku duduk perlahan di kursi di depannya, berusaha menenangkan diri. "Terima kasih, Pak," ucapku hampir berbisik. Pak Juan menyodorkan kertas-kertas itu ke arahku. "Ini surat perjanjiannya. Baca dulu sebelum kamu tanda tangan." Aku mengambil kertas itu dengan tangan bergetar. Pandanganku menyapu tulisan di atasnya, tapi otakku terlalu kacau untuk mencerna isinya. Ada klausul tentang jangka wak
"Din, aku mau operasi. Aku sudah nggak tahan lagi dengan kondisi kaki ini," suara Mas Sandi terdengar serak di ujung telepon. Kata-katanya seperti tamparanyang menyadarkan betapa keras kenyataan yang tengah kami hadapi. Aku, terdiam. Jantungku terasa sesak, seolah udara di sekitarku menipis. Aku tahu permintaan ini akan datang lagi, tetapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku kehilangan kata-kata. Dompetku kosong, gajiku sebagai pengasuh anak telah terkuras habis untuk membayar cicilan hutang rumah sakit akibat kecelakaan yang menjerat suamiku itu. "Dini," suara Mas Sandi memanggil, mencoba meraih perhatianku yang melayang entah kemana. "Iya Mas," sahutku, akhirnya, suaraku tercekat. Ada rasa was-was sekaligus panik yang mulai merayap di dadaku. "Bagaimana, Din? Aku ingin segera bisa berjalan lagi. Aku lelah hanya bisa terbaring dan menatap dinding rumah terus menerus," keluhnya, suara putus asa menggema meresapi ruangan sepi yang kudiami. Kembali aku terdiam. Seti