Betapa perih hati Alya, karena suami yang dia cinta dan percaya, kini berubah menjadi sosok yang kasar dan penuh pengkhianatan. Alya dibiarkan mengurus rumah dan keluarga sendirian, menanggung semua beban hidup seorang diri seolah tak bersuami. Alya ingin menyerah, namun ia bertahan demi putri semata wayangnya. "Ayah, aku nggak mau sama Bunda yang ini. Kenapa gak cerai saja?" Kalimat yang terlontar dari mulut anaknya sendiri, membuat pertahanan Alya seketika runtuh.
View MoreNaya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah.***Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya.Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja?Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu.“Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.”Alya mengerutkan kening. "Siapa?"“Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama dia.”Alya meng
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se
“Bunda.”Lagi-lagi suara itu terdengar dan makin jelas. Alya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok yang dia bayangkan berdiri tak jauh dari sana Alya terdiam beberapa saat. Sejenak, waktu terasa berhenti. Dia seperti tidak ada kekuatan untuk berlari menghampiri Naya.Hendra berjalan masuk dengan langkah tenang, menyilangkan tangan di dada. “Aku tahu kamu ingin bertemu dengan Naya. Jadi, aku membawanya.”Alya tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung berlari ke arah putrinya dan berlutut di depannya.“Naya…” suaranya bergetar.Naya menatap Alya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin memeluk ibunya, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dia menunduk, menggigit bibirnya. Air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Bunda,” suara lirihnya kembali terdengar. Dan saat itulah pertahanannya runtuh.Naya langsung melemparkan dirinya ke pelukan Alya, menangis tersedu-sedu. “Bunda, aku–”Alya memeluk putrinya erat, membiarkan air
“Kalian terlalu sibuk dengan media sosial sampai lupa kalau ada anak kecil di rumah ini! Kalian boleh lupa ada aku, tapi tidak kalau itu Naya! Menyiapkan sarapan yang layak untuk Naya saja apa kalian nggak becus?!”Andin bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekesalan. “Kenapa sih marah-marah terus? Kalau mau Naya makan enak, kenapa nggak masak sendiri?”“Kamu pikir selama ini aku nggak pernah masak untuk anakku? Kamu yang bilang kalau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, tapi bisa-bisanya kamu nggak peduli dengan Naya!”Andin melipat tangan di dada. “Statusku masih belum jelas, kan? Kalau aku sudah jadi istri kamu, tentu aku akan lebih bertanggung jawab, Mas. Jangan bisanya komplen ini itu, tapi lupa apa janjimu padaku!”Hendra menatap Andin tajam. “Jadi kamu sengaja tidak melakukan apa pun hanya karena belum menikah denganku?”Andin tersenyum penuh kemenangan. “Tepat sekali. Lagian kamu masih mau nunggu apalagi sih, Mas? Kamu dan Alya ‘kan udah resmi bercerai.”Hendra terdiam. Di
Naya hanya diam, seolah enggan untuk mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak mau tahu apa pun tentang sang ayah yang selama ini sibuk dengan dunianya sendiri–tak peduli pada perasaannya.–Malam semakin larut, tapi Hendra masih duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Rasanya ada begitu banyak beban yang singgah di bahu. Namun, setidaknya dia bisa tenang karena Naya sudah tertidur setelah makan bubur buatannya. Ya, meski awalnya anak itu terlihat enggan untuk menyantapnya. Hendra sendiri merasa pikirannya terus berputar pada dua hal—Alya dan keluarganya yang kini berantakan.Dilihatnya jarum jam dinding yang terus berputar. Hari semakin malam, tapi Ibunya dan Andin belum juga pulang. Dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk. Saat ia bertanya tadi, Naya hanya mengatakan kalau Bu Lastri dan Andin pergi entah ke mana, meninggalkannya sendirian di rumah. Itu sudah cukup membuat darahnya mendidih.Bagaimana bisa mereka meninggalkan anak sekecil itu sendirian?Hendra menarik napas panjang–
“Ayah, aku laper,” kata Naya. Hendra mengusap wajah kasar. Dia berjongkok mengimbangi tinggi putrinya, lalu mengusap rambut Naya pelan. Rasa bersalah yang muncul membuat emosinya seketika hilang. Setelah meminta Naya menunggu, Hendra segera ke dapur untuk membuatkan makanan seadanya. Namun, kondisi dapur yang berantakan dan tidak ada stok apa-apa membuat Hendra kembali emosi. Pada akhirnya dia mengajak Naya untuk makan di luar, tak peduli pada dua wanita dewasa di rumah itu. — Malam semakin larut, tapi Hendra tidak bisa tidur. Dia terduduk di ruang kerjanya, kepalanya tertunduk dalam, sementara segelas kopi di meja telah dingin tanpa sempat dia sentuh. Pikirannya terus berputar pada kejadian tadi. Rumah berantakan. Naya kelaparan. Andin yang cuek. Ibunya yang sibuk dengan kehidupan cintanya sendiri. Dan yang paling menghantamnya–bayangan Alya. Wanita itu dulu ada di sini. Dia yang selalu memastikan kondisi rumah rapi, memastikan Naya makan tepat waktu, memastikan segala
“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments