“Bukan,” jawab HRD cepat. “Saya hanya menyarankan untuk istirahat dulu di rumah jika kondisimu masih belum sehat.” Alya mengusap wajahnya kasar. Dia mengatur nafas sedemikian rupa, lalu menatap HRD yang sama-sama seorang ibu dan istri tersebut. Meski tidak diucapkan, Alya bisa melihat tatapan penuh kecurigaan tertuju padanya. “Ibu percaya pada semua ucapan suami sa- ah, maksud saya mantan suami saya tadi?” tanya Alya. HRD mengerutkan keningnya. Sebagai manusia biasa tentu rasa keingintahuannya muncul begitu besar. Dia memang baru mendengarkan secara sepihak, tapi entah kenapa hanya dengan satu pertanyaan sederhana itu pandangannya terhadap Alya seketika berubah. Dia lebih percaya bahwa seorang ibu tidak akan menelantarkan anaknya. “Saya tidak ada hak untuk berpendapat, yang jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi kamu tidak perlu khawatir apakah masih boleh bekerja di sini atau tidak. Semua kembali pada kontrak kerjamu, masih atau tidak.” Alya mengangguk. D
“Naya–” Alya menutup mulutnya, berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat buruk karena pemandangan itu. Dia tak menyangka Naya bisa tertawa riang bersama Naya, jauh berbeda ketika bersamanya.“Jadi itu ceweknya?” tanya Bunga langsung paham keadaan yang terjadi, tapi hanya gelengan kepala yang dia dapat.Alya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan wanita selingkuhan Hendra, hanya melihat dari foto dan video. Itu pun Alya tak memperhatikannya dengan seksama. Memangnya siapa yang bisa tahan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain? Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan oleh Alya, wanita itu berambut pirang dan memiliki tahi lalat di dekat mata sebelah kiri, persis seperti wanita yang kini menggendong Naya dengan senyum manis.Saat Alya tengah diam dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana, Bunga malah disibukkan dengan ponselnya. Entah sejak kapan dia menyadari sesuatu yang tidak asing ketika memperhatikan wanita yang bersama dengan anak dan suami sahabatn
“Hati-hati, Al!” seru Bunga.Alya menuju alun-alun, tempat yang diceritakan oleh Bunga. Dia hanya berharap orang itu benar adalah Bu Titik dan masih di sana. Ada rasa malu muncul karena sejak keluar dari rumah itu, Alya tidak ada sekalipun menelpon sekedar menanyakan kabar, seperti orang yang tak tau balas budi, padahal masih meminjam ponsel dari wanita tua tersebut. Bukan tidak mau, tapi dia sendiri sedang berjuang untuk pulih dari rasa sakit, butuh waktu untuk menerima keadaan.–Alya bertanya pada siapa saja yang ditemui di area alun-alun, berharap menemukan titik terang. Namun, dia masih belum menemukan sosok yang dicari meski beberapa orang menunjuk di mana keberadaan Bu Titik. Pasti Bu Titik terus berjalan tanpa arah karena hilang ingatan.Saat itulah Alex berbalik menelponnya. Dia segera memberitahu di mana keberadaannya sekarang karena ada kemungkinan Bu Titik di sana. Tak ada jawaban, panggilan terputus begitu saja membuat Alya jengah. “Emangnya berat buat sekedar bilang iya
“Ah, maafkan aku. Bu Titik belum ketemu,” kata Alya.Alex beranjak dari sana seraya memberi kode pada beberapa orang yang diperkirakan adalah orang-orangnya untuk menelusuri seluruh area alun-alun. Tak lama Mbak Yuni pun keluar dari mobil dengan wajah sendu. Dia segera menghampiri Alya, ingin menceritakan perihal Bu Titik.“Loh? Mbak Alya kenapa? Kok matanya merah gitu?” tanya Mbak Yuni diikuti gelengan kepala Alya yang langsung bertanya tentang Bu Titik.“Jadi beliau selalu nanyain aku, Mbak?” tanya Alya.“Ya, beberapa kali Bu Titik bilang mau menelpon, tapi lupa lagi lupa lagi,” jawab Mbak Yuni.Alya yang heran pun bertanya bagaimana Bu Titik bisa hilang, padahal yang dia tahu wanita tua tersebut dikelilingi pengawasan yang ketat saat di rumah. Bukankah hal yang tidak masuk akal jika Bu Titik bisa berkali-kali kabur tanpa sepengetahuan siapa pun?“Bu Titik masih sering keluar entah itu menemui teman-temannya atau sekedar jalan-jalan karena tak betah di rumah. Saat itulah beliau seri
“Ibu ini bicara apa?” Alex terdengar tidak suka, begitu juga dengan Alya. “Ayo, saya anter pulang, Bu,” kata Alya. Dia tak mau membahas hal yang tidak masuk akal itu lebih lama. “Ibu masuk duluan ke mobil ya, nanti saya nyusul pakai motor.”Bu Titik menggeleng, tak mau berpisah dari Alya seolah mereka berdua adalah ibu dan anak yang harus selalu bersama. Sontak hal tersebut memberatkan Alex yang sejak awal tak pernah menyukai Alya.“Lex, kamu suruh orang buat bawa motor Alya, biar Alya ikut naik mobil,” kata Bu Titik.“Nggak usah, Bu. Itu motor temen kos saya,” kata Alya menyela, berusaha memberikan satu alasan yang diharap bisa menyelamatkannya. Namun, Bu Titik malah makin mempersulit Alya dengan meminta orang mengantar motor tersebut langsung ke kos.“Malam ini kamu nginep rumah Ibu, ya,” ujar Bu Titik lagi.Pasrah. Alya tak sampai hati menolak dan akhirnya menuruti kemauan Bu Titik, tak peduli pada tatapan kebencian Alex padanya.*** Hari sudah pagi, Alya sudah bersiap pulang ke
Bunga bergerak cepat. Dia tahu sahabatnya butuh bantuan dan segera mengambil apa yang seharusnya tidak dilihat orang lain. Meskipun dia harus menerima sorakan dari orang-orang yang memegang foto tersebut, Bunga tak peduli. Baginya, harga diri Alya harus diperjuangkan. Dia percaya pasti ada alasan yang masuk akal di balik foto yang kini berada di tangannya. “Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!” Hendra tidak suka melihat Bunga.“Hei, Pak! Mending ngaca dulu deh! Kalau nggak mau ada yang ikut campur, jangan umbar aib rumah tanggamu di depan umum begini dong! Orang bukannya merasa prihatin, tapi malah ilfil dengan kelakuanmu itu!” Bunga memaki Hendra tanpa rasa takut. “Memangnya kenapa? Biarin aja semua orang tahu kalau wanita ini bukan hanya tidak bertanggung jawab pada anak dan suami, tapi juga tukang selingkuh!” Alya tak tahan lagi. Dia mengayunkan tangan sekuat tenaga, mendarat di pipi Hendra tanpa hambatan. Suara nyaring terdengar diikuti tatapan tajam dari Hendra.
“Emang kamu pikir aku mau apa?” tanya Alya heran.Bunga tak menjawab. Dia bergegas keluar kamar dan mengambil pisau buah yang ada di keranjang. Sontak saja Alya tertawa, merasa itu adalah sebuah hiburan yang tak terduga.“Aku masih waras! Mau sehancur apa pun hidupku, nggak bakal sampai memilih jalan pintas. Jangan gila deh,” tutur Alya seraya geleng-geleng kepala.Meski sudah mendengar hal tersebut, Bunga tetap menyimpan pisau itu untuk antisipasi dari hal buruk. Dia kembali mendekati Alya, menepuk bahu sahabatnya perlahan. Andai bisa berbagi kekuatan, pasti sudah dilakukan sejak tadi.Sunyi. Keduanya sama-sama diam setelah obrolan yang tak jelas mana akhirnya tersebut. Hanya ada suara detik jarum jam yang seirama dengan napas keduanya.“Sekarang tidurlah, Al. Aku akan bantu pikirkan jalan keluarnya,” kata Bunga kemudian.—Sudah lewat tengah malam, Alya masih belum bisa tidur. Entah kenapa ancaman dari Hendra terus terngiang di telinganya. Bagaimana bisa seorang ayah tega memisahkan
Tubuh Alya lemas. Dia seperti seorang manusia tanpa tulang, tidak sanggup berdiri atau sekedar menopang beban tubuhnya sendiri. Kalimat Naya terlalu menyakitkan, padahal masih anak kecil. Entah kalimat itu keluar dari pikirannya sendiri atau ada yang sudah mendoktrin Naya, yang jelas itu sangat menusuk dan tidak masuk akal.Senyum Hendra mengembang. Lelaki tersebut meminta Bu Lastri untuk membawa Naya kembali ke kamar. Setelah itu, barulah dia berjongkok di depan Alya, menatap lekat wanita yang sudah mendampinginya selama bertahun-tahun.“Kamu dengar sendiri bukan? Naya bukan hanya menolak kedatanganmu, tapi juga menolak menjadi anakmu,” kata Hendra. “Lebih baik kamu lupakan kalau pernah melahirkan Naya. Aku akan mengurus hak asuhnya di pengadilan saat perceraian kita nanti.”“Kamu nggak bisa melakukan ini, Mas. Naya itu hidupku!” seru Alya, mengumpulkan sisa kekuatan dan juga keberanian dalam diri.“Tentu saja aku bisa. Selain Naya sudah bisa memilih sendiri akan ikut dengan siapa, a
"Kenapa Ayah sekamar sama Tante Andin?" Hendra terkejut. Secara refleks dia mendorong Andin hingga jatuh tersungkur ke lantai.“Sakit, Mas,” kata Andin mengeluh, mengusap pinggangnya yang nyeri. “Naya kenapa belum tidur?” Hendra mengabaikan Andin, memilih untuk menjelaskan kepada putrinya agar tidak terjadi salah paham. “Tadi Tante Andin cuma mau pinjem handuk. Katanya lupa bawa.”“Oh.” Ekspresi Naya datar. “Aku mau tidur sama Ayah.”Permintaan tak biasa dari Naya mengejutkan Hendra, begitu juga dengan Andin. Harapan untuk bisa berduaan gagal sudah jika ada Naya di sana.Andin berdiri dengan senyum dibuat-buat. Jelas dia merasa kesal, tapi tidak boleh menunjukkannya secara terang-terangan. Sebelum resmi menikah dengan Hendra, dia harus bisa berperan sebagai calon ibu yang baik. “Emang Naya biasanya tidur sama Ayah?” tanya Andin.Gelengan kepala Naya membuat Andin bertambah kesal. Jari-jarinya sampai menari di udara. Andai saja bisa, dia ingin meremas Naya untuk melampiaskan amarah
"Kamu benar juga, Nay," kata Bu Lastri diikuti anggukan Hendra. Namun, tidak demikian dengan Andin. Bagaimana bisa seorang selebgram seperti dirinya menjadi pembantu? Dia jelas menolak dengan tegas, harga dirinya seperti terinjak-injak.Penolakan yang disertai alasan-alasan tentang reputasinya di dunia media sosial nyatanya tidak membuat Hendra berubah pikiran. Baginya itu adalah cara yang paling aman untuk saat ini demi menghindari masalah lain. Hanya ada dua pilihan, maju atau tidak sama sekali.Andin terpaksa menerima keputusan itu. Satu sisi dia menyimpan kebencian tersendiri pada Naya yang mencetuskan ide sebagai pembantu.‘Tunggu aja apa yang bisa kulakukan padamu nanti. Dasar, monster kecil sialan!’ batin wanita berkulit putih tersebut.“Bibi!” Panggilan Naya sontak membuat semuanya terkejut. Mereka menatap Naya penuh tanya, bertanya siapa yang sedang dipanggil. Naya menjelaskan dengan polosnya bahwa dia sedang memanggil Andin. Bukankah pembantu di rumah sering dipanggil deng
Hendra mengangguk dan tersenyum puas. Meski ada resiko yang muncul jika rencana itu dilakukan, tapi mengingat kalau dia akan mendapat banyak keuntungan rasanya tidak ada salahnya dicoba. Anggaplah dia sedang memakai jasa orang secara gratis, mengurus anak dan rumah yang sudah terbengkalai sejak kepergian Alya.“Ya udah, ayo!” kata Hendra.Andin meraih tasnya, menenteng di tangan sebelah kiri. Tangan kanannya menengadah, “Mana uangnya? Biar aku yang bayar ke kasir.”Hendra tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih. “Apa kamu nggak ada niat buat balik traktir aku? Kan kamu yang pilih tempat.”“Hah?” Andin menganga tak percaya mendengarnya. Baru kali ini Hendra mengatakan hal sensitif soal uang. Bukankah hal yang wajar kalau lelaki yang membayar makanan? “Ah, baiklah. Kupikir kamu ini wanita yang mandiri secara finansial,” kata Hendra seraya berdiri.Nada suara Hendra yang datar membuat Andin sedikit shock. Itu lebih terkesan seperti pemaksaan secara halus. Akan tetapi, Andin ta
Alya melihat Andin sedang merias seorang anak–yang tak lain adalah Naya. Tampak wajah bahagia Naya karena sebelumnya selalu dilarang mengenakan make up. Entah kapan video itu diambil, yang jelas Alya merasa tak suka jika Naya tumbuh lebih cepat sebelum waktunya.Jarinya terus menggulir layar, lagi-lagi video yang tak seharusnya terlihat. Naya dengan riang berjoget bersama Andin, menikmati setiap irama yang terdengar.“Astaghfirullah! Apa-apaan ini? Kenapa Naya jadi begini?” Alya mengelus dada. Susah payah dia memberikan batasan pada Naya, mengajarkan sesuai ajaran agama agar tidak salah jalan, kini hancur hanya dalam hitungan hari. Naya hanyalah seorang anak kecil yang bahkan belum masuk masa puber. Harusnya saat ini dia belajar atau bermain dengan teman seusianya–bukan malah mengikuti trend–berjoget macam tak punya rasa malu saja. Kalau dibiarkan, semakin lama akan semakin terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak perlu.Buru-buru Alya menelpon Hendra. Jelas dia tak akan membiarkan Nay
“Alya!”Suara tak asing terdengar mendekat. Tak lama Alya menerima pelukan hangat, seperti mempunyai seorang ibu saja.“Ibu kenapa bisa ada di sini?” tanya Alya seraya melepaskan pelukan Bu Titik. Dia ingin turun dari motor ojol dulu.“Feeling Ibu beneran terjadi,” ujar Bu Titik seraya menoleh ke ojol. “Sampai sini aja, Pak. Ini ongkosnya, makasih ya!”Ojol tersebut tampak lega mendengar ucapan Bu Titik dan segera menerima uangnya. Dia bergegas pergi karena tak mau terjerat masalah lebih panjang lagi.Selepas kepergian ojol tersebut, Bu Titik mengajak Alya masuk mobil. Rasanya tidak pantas juga bicara di pinggir jalan, apalagi kondisi Alya terlihat tidak baik-baik saja. Bu Titik bersikap layaknya orang normal, mengusap punggung Alya–memberikan rasa aman.“Kamu bisa ceritakan apa pun,” kata Bu Titik.Tadinya Alya enggan membicarakan masalah pribadinya, terlebih pada orang yang belum begitu dia kenal. Akan tetapi, rasa sesak yang memenuhi hati seolah tidak sanggup ditahan lagi. Dengan p
Alya menelan saliva susah payah melihat ekspresi HRD yang sulit dijelaskan tersebut. Meski biasanya juga tidak murah senyum dan lebih terkesan tegas, auranya masih terasa sangat positif, berbeda dengan sekarang.“Katakan saja, Bu. Insya Allah saya siap mendengarkan,” kata Alya.HRD menghela napas panjang, lalu berkata, “Berita tentang rumah tanggamu terdengar sampai direktur umum, bahkan tentang pengusiran warga. Aku tidak tau jelas siapa yang menyampaikan berita ini, yang jelas mereka adalah perwakilan dari warga dan direktur memutuskan bahwa kamu harus keluar dari perusahaan.”“Apa? Tapi nggak ada peraturan yang menyatakan masalah pribadi seperti ini akan berimbas pada pekerjaan ‘kan?” tanya Alya memastikan.“Ya, seperti yang pernah kusampaikan sebelumnya. Itu tak ada hubungannya dengan kontrak kerja, hanya saja direktur pun tak bisa menolak jika sudah bersangkutan dengan warga sekitar. Perusahaan ini bisa berdiri sampai sekarang juga atas persetujuan para warga sekitar dan ada hita
Tubuh Alya lemas. Dia seperti seorang manusia tanpa tulang, tidak sanggup berdiri atau sekedar menopang beban tubuhnya sendiri. Kalimat Naya terlalu menyakitkan, padahal masih anak kecil. Entah kalimat itu keluar dari pikirannya sendiri atau ada yang sudah mendoktrin Naya, yang jelas itu sangat menusuk dan tidak masuk akal.Senyum Hendra mengembang. Lelaki tersebut meminta Bu Lastri untuk membawa Naya kembali ke kamar. Setelah itu, barulah dia berjongkok di depan Alya, menatap lekat wanita yang sudah mendampinginya selama bertahun-tahun.“Kamu dengar sendiri bukan? Naya bukan hanya menolak kedatanganmu, tapi juga menolak menjadi anakmu,” kata Hendra. “Lebih baik kamu lupakan kalau pernah melahirkan Naya. Aku akan mengurus hak asuhnya di pengadilan saat perceraian kita nanti.”“Kamu nggak bisa melakukan ini, Mas. Naya itu hidupku!” seru Alya, mengumpulkan sisa kekuatan dan juga keberanian dalam diri.“Tentu saja aku bisa. Selain Naya sudah bisa memilih sendiri akan ikut dengan siapa, a
“Emang kamu pikir aku mau apa?” tanya Alya heran.Bunga tak menjawab. Dia bergegas keluar kamar dan mengambil pisau buah yang ada di keranjang. Sontak saja Alya tertawa, merasa itu adalah sebuah hiburan yang tak terduga.“Aku masih waras! Mau sehancur apa pun hidupku, nggak bakal sampai memilih jalan pintas. Jangan gila deh,” tutur Alya seraya geleng-geleng kepala.Meski sudah mendengar hal tersebut, Bunga tetap menyimpan pisau itu untuk antisipasi dari hal buruk. Dia kembali mendekati Alya, menepuk bahu sahabatnya perlahan. Andai bisa berbagi kekuatan, pasti sudah dilakukan sejak tadi.Sunyi. Keduanya sama-sama diam setelah obrolan yang tak jelas mana akhirnya tersebut. Hanya ada suara detik jarum jam yang seirama dengan napas keduanya.“Sekarang tidurlah, Al. Aku akan bantu pikirkan jalan keluarnya,” kata Bunga kemudian.—Sudah lewat tengah malam, Alya masih belum bisa tidur. Entah kenapa ancaman dari Hendra terus terngiang di telinganya. Bagaimana bisa seorang ayah tega memisahkan
Bunga bergerak cepat. Dia tahu sahabatnya butuh bantuan dan segera mengambil apa yang seharusnya tidak dilihat orang lain. Meskipun dia harus menerima sorakan dari orang-orang yang memegang foto tersebut, Bunga tak peduli. Baginya, harga diri Alya harus diperjuangkan. Dia percaya pasti ada alasan yang masuk akal di balik foto yang kini berada di tangannya. “Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!” Hendra tidak suka melihat Bunga.“Hei, Pak! Mending ngaca dulu deh! Kalau nggak mau ada yang ikut campur, jangan umbar aib rumah tanggamu di depan umum begini dong! Orang bukannya merasa prihatin, tapi malah ilfil dengan kelakuanmu itu!” Bunga memaki Hendra tanpa rasa takut. “Memangnya kenapa? Biarin aja semua orang tahu kalau wanita ini bukan hanya tidak bertanggung jawab pada anak dan suami, tapi juga tukang selingkuh!” Alya tak tahan lagi. Dia mengayunkan tangan sekuat tenaga, mendarat di pipi Hendra tanpa hambatan. Suara nyaring terdengar diikuti tatapan tajam dari Hendra.