“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah.
Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.
“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”
“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.
Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu.
Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik tekstil. Rasa lelah tak pernah diizinkan hadir menghias wajahnya barang sebentar. Bukan hanya urusan rumah yang dibebankan pada tubuh mungil tersebut, tapi juga biaya rumah tangga yang tak sedikit.
“Jangan lupa pisahin makanan buat Hendra nanti,” kata Bu Lastri.
Kening Alya mengerut. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam.
“Emangnya Mas Hendra belum pulang, Bu?” tanya Alya.
“Masih tanya lagi! Kalau udah pulang ngapain aku suruh pisahin makanan buat anakku? Kasihan banget dia harus kerja keras buat nafkahin wanita nggak becus kayak kamu itu,” tutur Bu Lastri, seolah yang di depannya adalah seonggok batu tanpa hati.
Alya tersenyum tipis. Dia mengabaikan setiap kata pedas yang terlontar dari mulut ibu mertuanya. Anggaplah itu makanan pokok sehari-hari yang tak akan pernah berganti menu.
Setelah selesai mencuci piring, Alya mengambil kembali tasnya. Dia menyempatkan diri ke kamar Naya, anak perempuan yang telah dia lahirkan 7 tahun silam.
Cahaya lampu kamar yang redup menerangi wajah cantik putrinya yang terlelap. Ada boneka beruang kecil di sisi gadis kecil tersebut, hadiah yang Alya belikan dari sisa uang belanja beberapa bulan lalu.
“Mimpi indah, Sayang,” ucap Alya lirih, mengecup kening putrinya yang tidur dengan wajah damai.
Ada rasa bersalah yang menyelimuti hati Alya. Tingginya biaya rumah tangga memaksanya untuk bekerja lembur setiap hari. Waktunya lebih banyak dihabiskan di pabrik, jarang bisa menemani masa tumbuh kembang Naya.
Alya menutup pintu kamar Naya perlahan, tak mau mengusik ketenangan barang sedetik. Pikirannya sekarang hanyalah ingin merebahkan tubuh, mengistirahatkan tulang dan sendi yang terasa ngilu. Namun, kewajibannya belum selesai karena harus mandi.
Air dingin yang menyentuh kulit memberi sedikit kelegaan pada tubuh yang letih seolah ikut terbawa arus. Alya mengeringkan badan, lalu mengambil daster kesayangan dari lemari.
“Akhirnya aku bisa tidur juga,” ucap Alya.
Namun, harapan itu musnah ketika pintu kamar terbuka. Hendra, suaminya, pulang tepat pukul 10 malam.
“Alya, buatkan aku teh,” kata Hendra seraya melonggarkan dasi yang melingkar di leher.
“Iya, Mas,” jawab Alya. Dia bangkit lagi, melangkah ke dapur.
Tak lama, Hendra muncul di ambang pintu dapur. Pria itu tampak lelah, tapi tidak membuat Alya merasa iba sedikit pun. Sorot mata lelaki itu semakin hari terasa semakin dingin, atau mungkin lebih tepat jika disebut seperti tak ada kepedulian.
“Belum juga? Lama banget sih! Hangatkan makanan buatku juga, aku lapar,” ujar Hendra sembari melepas kemeja, lalu melemparkannya begitu saja ke kursi.
“Iya, Mas.”
Setelah menyiapkan teh dan makanan, Alya membawanya ke meja makan. Di sana Hendra sudah duduk dengan kaki bersilang, sibuk dengan ponselnya.
Alya mempersilahkan suaminya untuk menyantap makanan, kemudian dirinya pergi ke kamar setelah sebelumnya mengambil kemeja yang ditanggalkan begitu saja. Niat hati ingin menggantung kemeja, matanya malah menangkap sesuatu yang tak biasa. Rambut panjang berwarna pirang, terjebak diantara serat kain kemeja hitam itu.
Alya mengambil helai rambut itu dengan hati-hati, mengukur dengan jelas rambut yang tidak sepanjang miliknya. Senyum tipis muncul seolah ingin membuang rasa takut terhadap sesuatu yang mungkin saja akan menyakiti hati.
“Mas Hendra,” panggil Alya pelan saat kembali ke ruang makan.
Hendra mengangkat kepala, menatap Alya dengan sebelah alis terangkat. Bertanya dengan nada datar, “Apa?”
“Ini apa, Mas?” tanya Alya hati-hati, menunjukkan helai rambut yang ditemukan.
“Rambut, kan?” Hendra melanjutkan makannya dengan santai.
“Iya, aku tau ini rambut. Maksudku—”
Sadar sedang dicurigai, Hendra kembali mengangkat wajah. “Apa? Itu ‘kan hanya sehelai rambut, ngapain dibikin ribet sih? Kamu tahu sendiri kerjaanku gimana, banyak karyawan yang keluar masuk ruanganku. Bisa aja ‘kan rambutnya nempel di baju.”
Alya tidak menjawab. Jawaban suaminya tidak sepenuhnya masuk akal, tapi saat ini dia tidak memiliki energi yang lebih untuk sekedar berdebat. Jadi, dia hanya mengangguk pelan, menyimpan pertanyaan itu tinggal dalam hatinya.
“Ya udah, aku ke kamar dulu, Mas,” kata Alya yang berharap malam ini akan berakhir tanpa adanya pertengkaran. Dia sudah mengalah dengan menurunkan ego, meski sejatinya rasa curiga itu tak bisa hilang begitu saja.
“Hemmm,” sahut Hendra yang kembali tenggelam dalam ponselnya tanpa peduli bagaimana keadaan Alya saat ini.
Di kamar, Alya berbaring di sisi ranjang yang terlalu besar untuknya sendiri. Matanya mulai terpejam, tapi pikirannya sungguh sangat berisik. Dia terus memikirkan tentang Naya, putri yang semakin lama terasa semakin jauh dari jangkauan. Dia bisa merasakan jarak yang sepertinya sengaja dibuat oleh putrinya.
Di satu sisi, dugaan tentang rambut pirang itu juga terus berputar di kepala. Belum lagi beban hidup yang dia tanggung, semakin melengkapi liku kehidupannya dalam berumah tangga.
“Saat aku tak menemukan kehangatan dan ketenangan, apakah ini masih bisa disebut rumah?” gumamnya perlahan.
Air mata mengalir tanpa suara, terasa sangat menyesakkan dada. Bagi dunia luar, Alya adalah seorang wanita kuat, ibu yang baik, istri yang sempurna, dan dianggap sebagai wanita idaman masa kini. Akan tetapi, dalam diri wanita berkulit putih tersebut, dia malah merasa perlahan-lahan sedang menuju kehancuran. Dia seperti sebuah kaca yang retak, tapi tetap dipaksa berdiri tegak. Hanya satu yang dia takutkan sekarang, itu adalah saat di mana dia merasa tidak sanggup lagi, hancur berantakan, dan pecahannya menyakiti orang lain.
Alya kembali membuka mata. Dia duduk di tepi ranjang dan menatap kemeja yang tergantung di pintu. Ada dorongan kuat yang memaksanya bangkit, mengambil kembali kemeja yang menjadi sumber kegelisahan hati.
Dia menghirup kemeja suaminya dalam-dalam. “Aroma ini–”
Belum sempat Alya mencerna aroma manis yang melekat, dorongan pintu dari luar membuatnya terhuyung ke belakang, nyaris tersungkur. Muncul Hendra yang tersenyum sambil menatap layar ponsel.
“Mas, kenapa ada aroma parfum cewek di kemejamu? Nggak mungkin ‘kan parfum karyawan bisa nempel kayak rambut pirang tadi?” tanya Alya dengan tatapan penuh curiga.
Sorot mata Hendra langsung berubah nyalang. Dia meraih tubuh Alya, menarik tangan yang masih memegang kemejanya. Hanya dalam sekejap mata, tubuh Alya melayang ke atas ranjang diikuti tamparan keras di wajah, meninggalkan noda darah di sudut bibir merah muda.
Alya berteriak merasakan kepalan tangan Hendra yang tiba-tiba terarah ke perutnya.
“Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la
“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalah
Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terka
Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata
Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata
Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terka
“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalah
“Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la
“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t