Suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan karena ulah nekat Hendra, menarik perhatian Alya yang tadinya tak mendengar panggilan Hendra. Seketika wajah Alya memucat, dia belum siap bertemu Hendra setelah talak yang diucapkan padanya beberapa waktu lalu.
Alya mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena merasakan getaran cinta yang masih tersisa, tapi karena rasa takut yang muncul begitu saja. Akan tetapi, langkah lebar Hendra membuat lelaki itu dalam sekejap berada di depannya. “Mau ke mana kamu?! Dasar wanita nggak tau diri!” Hendra memaki dengan suara lantang, tak peduli saat ini berada di jalanan. “Kamu mau apa lagi, Mas?” tanya Alya. “Ikut aku pulang! Kamu jangan nggak tahu diri dengan melupakan kewajibanmu!” seru Hendra. “Kewajiban apa yang kamu minta? Bukankah kamu sudah menjatuhkan talak padaku?” Alya menatap tajam ke arah Hendra yang kini nampak kebingungan harus menjawab apa. “Ya– tetap aja kamu harus mengurus Naya! Kam–” Suara klakson mobil kembali terdengar, diikuti teriakan pengemudi dari seberang jalan. Hendra menoleh dengan cepat, menepuk jidat karena lalai. “Heiii! Singkirkan mobilnya!” “Tabrak aja tabrak!” Suara para pengemudi yang tidak sabar terus bersahutan. Hendra bergegas menyeberang, tidak mau terjadi hal buruk pada mobil yang belum lama dia beli. Baru beberapa langkah, dia menoleh ke arah Alya lagi. “Tunggu di sini! Aku belum selesai bicara!” kata Hendra. Alya hanya melihat punggung Hendra berjalan menjauh. Dia ingin segera kabur dari sana, tapi sebuah kejadian membuatnya tinggal sementara waktu. Hendra terjatuh akibat bersenggolan dengan motor yang mengambil jalur mobil, padahal dia sudah hampir sampai di mobilnya sendiri. Situasi begitu kacau, tapi Alya masih bisa mendengar panggilan Hendra yang memintanya untuk datang ke sana. Akan tetapi, Alya tidak mau menanggapinya. Meski belum sah secara hukum, tapi Hendra bukan lagi suaminya. Dia tidak ada kewajiban untuk mengikuti perintahnya. Alya melangkah pergi, tapi bingung harus ke mana. Dia belum menemukan tempat tinggal, kalau pun harus kembali ke rumah orang tuanya, itu sangat jauh dari tempat kerja. Sangat tidak efektif mengingat jam kerjanya pun tidak teratur. Tubuhnya sudah mulai lelah melangkah. Dia duduk di depan sebuah bangunan kosong pinggir jalan, menelepon sahabatnya, berharap mendapatkan informasi kos. Namun, sebelum panggilan itu tersambung, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Tidak lama keluar seorang wanita tua yang pernah ditolongnya, Bu Titik. “Kenapa kamu kabur dari rumah sakit? Apa kepalamu sudah mendingan?” tanya Bu Titik. Alya tersenyum kaku. “Saya sudah nggak apa-apa kok, Bu.” “Hahhh, kamu membuatku khawatir saja. Di mana rumahmu? Aku anterin pulang.” “Itu–” Alya tampak ragu mengatakannya. Tidak mungkin juga menjelaskan tentang keadaannya sekarang pada orang yang baru ditemui. Bu Titik menyadari ada yang salah dengan Alya. “Gimana kalau kita makan dulu?” “Baiklah.” — Hendra meringis kesakitan. Kakinya keseleo akibat kesenggol motor tadi. Beruntung tidak ada luka serius saat diperiksa di rumah sakit. Dia turun dari mobil dengan sedikit pincang. Keadaan itu membuat Bu Lastri panik dan segera berlari mendekat. “Kamu kenapa?” Bu Lastri memapah putranya masuk rumah. “Tadi aku habis ngejar Alya, tapi malah kesenggol motor,” jawab Hendra. “Alya lagi Alya lagi! Dia itu emang pembawa sial! Lagian ngapain kamu ngejar dia?” “Minta pertanggungjawabannya lah, Bu. Gimanapun juga Naya ‘kan harus dia urus,” jawab Hendra. Bu Lastri mengiyakan ucapan Hendra. Baginya, tak peduli apa status Alya, Naya tetaplah tanggungan ibunya. Obrolan tersebut terdengar oleh Naya yang sedang menonton televisi. Entah apa yang kini dipikirkan oleh Naya, dia memilih masuk ke kamar, seolah tidak mau tahu kelanjutan obrolan ayah dan neneknya. Namun, langkah kecil Naya terlihat oleh Hendra yang segera memanggilnya. Dengan sangat terpaksa, Naya berbalik dan menghampiri sang ayah. “Iya, Yah?” Naya melihat kaki Hendra sekilas. “Apa itu sakit?” “Nggak kok, besok juga sembuh. Ini masih jam segini, kamu udah ngantuk?” tanya Hendra. “Aku mau belajar.” “Anak pinter,” kata Hendra. “Ya udah, gih!” “Iya!” Naya tersenyum dan melangkah pergi. Gadis kecil tersebut sempat mengambil kue yang berada di kulkas. Perutnya lapar, tapi tidak ada makanan di meja. Dia pikir ayahnya pulang membawa makan malam, nyatanya malah tidak. Naya duduk di kursi dan mulai menata buku-buku sekolah yang berantakan di meja. Dulu tidak pernah seperti ini karena ibunya selalu mengecek kondisi kamar secara berkala, memastikan semua tertata rapi dan juga bersih. Dia menatap foto Alya yang berada di bingkai foto, foto keluarga dengan formasi masih lengkap bersama sang kakek. Terdengar suara berisik di luar, Naya mengabaikannya. Dia berpikir itu hanyalah suara kucing atau tikus seperti biasa. Akan tetapi, suara itu makin jelas, mata Naya terpaku pada jendela kamarnya. Untuk beberapa saat suara itu hilang, tapi tiba-tiba jendelanya terbuka. Muncul seseorang memakai baju serba hitam dengan wajah yang tertutup masker. Sontak Naya berteriak takut, ingin berlari, tapi kakinya tersandung kursi. “Tidaakkk! Kamu siapa? Ayahhhh!” pekik Naya. Hendra tak kalah terkejutnya mendengar teriakan Naya. Dengan langkah pincang, dia berusaha menuju kamar secepat mungkin. “Naya! Kamu kenapa, Nay?!” teriak Hendra. “Ayah segera datang! Ibuuu! Naya, Bu!” Hendra merutuki kakinya yang tidak bisa diajak kerja sama. Pun begitu, dia tak menyerah hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar Naya. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, terdengar lagi teriakan Naya. “Tidakkk! Pergi dari sini!”Naya menutup matanya. Dia terlihat takut melihat sosok yang tiba-tiba saja masuk ke kamar melalui jendela. “Aku nggak mau liat kamu! Aku takut!” seru Naya. Terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Naya segera mendekat ke pintu, menguncinya dari dalam. Tatapannya tertuju pada sosok yang menatapnya dengan air mata berlinang. “Pergi!” kata Naya lantang. “Aku nggak mau ketemu kamu!” “Naya, Bunda–” “Pergi! Aku nggak mau Bunda!” seru Naya. Mau tak mau Alya pergi dari sana. Dengan tubuh gemetaran, dia menaiki kursi dan kembali keluar melalui jendela. Susah payah dia menyelinap masuk kamar Naya demi melihat putrinya, tapi malah mendapat pengusiran yang menyakiti hati. “Naya! Naya sayang! Kamu kenapa?!” Suara Hendra yang panik diikuti gebrakan pintu berulang kali membuat Naya terkejut. Perlahan dia membuka pintu dan memeluk Hendra. “Tadi Bunda dateng ke kamarku, Yah. Aku takut!” “Apa?! Mana dia sekarang?!” Hendra menatap sekitar, lalu menyadari jendela yang terbuka
“Aku sudah terlalu sering melihat wanita sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menderita,” kata Alex dingin, melepas dagu Alya kasar. Antara rasa malu dan kesal, Alya hanya bisa menatap kepergian lelaki itu. Suara pintu kamar yang ditutup dengan kencang seolah mewakili teriakan Alya yang tidak bisa keluar. Memangnya dia bisa apa di rumah ini? Hanya seorang tamu yang diundang atas dasar hutang budi belaka, tidak lebih. Kalau menuruti kata hati, jelas Alya memilih segera pergi dari tempat yang tidak menerimanya dengan baik. Namun, dia masih punya akal yang menuntun untuk tetap tinggal, setidaknya ada Bu Titik. Itu sudah sangat cukup. “Sehari saja, nggak apa ‘kan?” Alya memantapkan hatinya, berharap besok sudah mendapatkan tempat tinggal. *** Badan Alya masih lemas, kepalanya pun terkadang pening. Padahal, benturan di kepala imbas pertengkarannya dengan Hendra tidak begitu parah, hanya ada luka robek sepanjang ruas jari dan lebam di sek
“Bukan,” jawab HRD cepat. “Saya hanya menyarankan untuk istirahat dulu di rumah jika kondisimu masih belum sehat.” Alya mengusap wajahnya kasar. Dia mengatur nafas sedemikian rupa, lalu menatap HRD yang sama-sama seorang ibu dan istri tersebut. Meski tidak diucapkan, Alya bisa melihat tatapan penuh kecurigaan tertuju padanya. “Ibu percaya pada semua ucapan suami sa- ah, maksud saya mantan suami saya tadi?” tanya Alya. HRD mengerutkan keningnya. Sebagai manusia biasa tentu rasa keingintahuannya muncul begitu besar. Dia memang baru mendengarkan secara sepihak, tapi entah kenapa hanya dengan satu pertanyaan sederhana itu pandangannya terhadap Alya seketika berubah. Dia lebih percaya bahwa seorang ibu tidak akan menelantarkan anaknya. “Saya tidak ada hak untuk berpendapat, yang jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi kamu tidak perlu khawatir apakah masih boleh bekerja di sini atau tidak. Semua kembali pada kontrak kerjamu, masih atau tidak.” Alya mengangguk. D
“Naya–” Alya menutup mulutnya, berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat buruk karena pemandangan itu. Dia tak menyangka Naya bisa tertawa riang bersama Naya, jauh berbeda ketika bersamanya.“Jadi itu ceweknya?” tanya Bunga langsung paham keadaan yang terjadi, tapi hanya gelengan kepala yang dia dapat.Alya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan wanita selingkuhan Hendra, hanya melihat dari foto dan video. Itu pun Alya tak memperhatikannya dengan seksama. Memangnya siapa yang bisa tahan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain? Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan oleh Alya, wanita itu berambut pirang dan memiliki tahi lalat di dekat mata sebelah kiri, persis seperti wanita yang kini menggendong Naya dengan senyum manis.Saat Alya tengah diam dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana, Bunga malah disibukkan dengan ponselnya. Entah sejak kapan dia menyadari sesuatu yang tidak asing ketika memperhatikan wanita yang bersama dengan anak dan suami sahabatn
“Hati-hati, Al!” seru Bunga.Alya menuju alun-alun, tempat yang diceritakan oleh Bunga. Dia hanya berharap orang itu benar adalah Bu Titik dan masih di sana. Ada rasa malu muncul karena sejak keluar dari rumah itu, Alya tidak ada sekalipun menelpon sekedar menanyakan kabar, seperti orang yang tak tau balas budi, padahal masih meminjam ponsel dari wanita tua tersebut. Bukan tidak mau, tapi dia sendiri sedang berjuang untuk pulih dari rasa sakit, butuh waktu untuk menerima keadaan.–Alya bertanya pada siapa saja yang ditemui di area alun-alun, berharap menemukan titik terang. Namun, dia masih belum menemukan sosok yang dicari meski beberapa orang menunjuk di mana keberadaan Bu Titik. Pasti Bu Titik terus berjalan tanpa arah karena hilang ingatan.Saat itulah Alex berbalik menelponnya. Dia segera memberitahu di mana keberadaannya sekarang karena ada kemungkinan Bu Titik di sana. Tak ada jawaban, panggilan terputus begitu saja membuat Alya jengah. “Emangnya berat buat sekedar bilang iya
“Ah, maafkan aku. Bu Titik belum ketemu,” kata Alya.Alex beranjak dari sana seraya memberi kode pada beberapa orang yang diperkirakan adalah orang-orangnya untuk menelusuri seluruh area alun-alun. Tak lama Mbak Yuni pun keluar dari mobil dengan wajah sendu. Dia segera menghampiri Alya, ingin menceritakan perihal Bu Titik.“Loh? Mbak Alya kenapa? Kok matanya merah gitu?” tanya Mbak Yuni diikuti gelengan kepala Alya yang langsung bertanya tentang Bu Titik.“Jadi beliau selalu nanyain aku, Mbak?” tanya Alya.“Ya, beberapa kali Bu Titik bilang mau menelpon, tapi lupa lagi lupa lagi,” jawab Mbak Yuni.Alya yang heran pun bertanya bagaimana Bu Titik bisa hilang, padahal yang dia tahu wanita tua tersebut dikelilingi pengawasan yang ketat saat di rumah. Bukankah hal yang tidak masuk akal jika Bu Titik bisa berkali-kali kabur tanpa sepengetahuan siapa pun?“Bu Titik masih sering keluar entah itu menemui teman-temannya atau sekedar jalan-jalan karena tak betah di rumah. Saat itulah beliau seri
“Ibu ini bicara apa?” Alex terdengar tidak suka, begitu juga dengan Alya. “Ayo, saya anter pulang, Bu,” kata Alya. Dia tak mau membahas hal yang tidak masuk akal itu lebih lama. “Ibu masuk duluan ke mobil ya, nanti saya nyusul pakai motor.”Bu Titik menggeleng, tak mau berpisah dari Alya seolah mereka berdua adalah ibu dan anak yang harus selalu bersama. Sontak hal tersebut memberatkan Alex yang sejak awal tak pernah menyukai Alya.“Lex, kamu suruh orang buat bawa motor Alya, biar Alya ikut naik mobil,” kata Bu Titik.“Nggak usah, Bu. Itu motor temen kos saya,” kata Alya menyela, berusaha memberikan satu alasan yang diharap bisa menyelamatkannya. Namun, Bu Titik malah makin mempersulit Alya dengan meminta orang mengantar motor tersebut langsung ke kos.“Malam ini kamu nginep rumah Ibu, ya,” ujar Bu Titik lagi.Pasrah. Alya tak sampai hati menolak dan akhirnya menuruti kemauan Bu Titik, tak peduli pada tatapan kebencian Alex padanya.*** Hari sudah pagi, Alya sudah bersiap pulang ke
Bunga bergerak cepat. Dia tahu sahabatnya butuh bantuan dan segera mengambil apa yang seharusnya tidak dilihat orang lain. Meskipun dia harus menerima sorakan dari orang-orang yang memegang foto tersebut, Bunga tak peduli. Baginya, harga diri Alya harus diperjuangkan. Dia percaya pasti ada alasan yang masuk akal di balik foto yang kini berada di tangannya. “Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!” Hendra tidak suka melihat Bunga.“Hei, Pak! Mending ngaca dulu deh! Kalau nggak mau ada yang ikut campur, jangan umbar aib rumah tanggamu di depan umum begini dong! Orang bukannya merasa prihatin, tapi malah ilfil dengan kelakuanmu itu!” Bunga memaki Hendra tanpa rasa takut. “Memangnya kenapa? Biarin aja semua orang tahu kalau wanita ini bukan hanya tidak bertanggung jawab pada anak dan suami, tapi juga tukang selingkuh!” Alya tak tahan lagi. Dia mengayunkan tangan sekuat tenaga, mendarat di pipi Hendra tanpa hambatan. Suara nyaring terdengar diikuti tatapan tajam dari Hendra.
Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah.***Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya.Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja?Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu.“Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.”Alya mengerutkan kening. "Siapa?"“Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama dia.”Alya meng
Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop
“Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre
“Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas
Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se
“Bunda.”Lagi-lagi suara itu terdengar dan makin jelas. Alya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok yang dia bayangkan berdiri tak jauh dari sana Alya terdiam beberapa saat. Sejenak, waktu terasa berhenti. Dia seperti tidak ada kekuatan untuk berlari menghampiri Naya.Hendra berjalan masuk dengan langkah tenang, menyilangkan tangan di dada. “Aku tahu kamu ingin bertemu dengan Naya. Jadi, aku membawanya.”Alya tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung berlari ke arah putrinya dan berlutut di depannya.“Naya…” suaranya bergetar.Naya menatap Alya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin memeluk ibunya, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dia menunduk, menggigit bibirnya. Air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Bunda,” suara lirihnya kembali terdengar. Dan saat itulah pertahanannya runtuh.Naya langsung melemparkan dirinya ke pelukan Alya, menangis tersedu-sedu. “Bunda, aku–”Alya memeluk putrinya erat, membiarkan air
“Kalian terlalu sibuk dengan media sosial sampai lupa kalau ada anak kecil di rumah ini! Kalian boleh lupa ada aku, tapi tidak kalau itu Naya! Menyiapkan sarapan yang layak untuk Naya saja apa kalian nggak becus?!”Andin bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekesalan. “Kenapa sih marah-marah terus? Kalau mau Naya makan enak, kenapa nggak masak sendiri?”“Kamu pikir selama ini aku nggak pernah masak untuk anakku? Kamu yang bilang kalau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, tapi bisa-bisanya kamu nggak peduli dengan Naya!”Andin melipat tangan di dada. “Statusku masih belum jelas, kan? Kalau aku sudah jadi istri kamu, tentu aku akan lebih bertanggung jawab, Mas. Jangan bisanya komplen ini itu, tapi lupa apa janjimu padaku!”Hendra menatap Andin tajam. “Jadi kamu sengaja tidak melakukan apa pun hanya karena belum menikah denganku?”Andin tersenyum penuh kemenangan. “Tepat sekali. Lagian kamu masih mau nunggu apalagi sih, Mas? Kamu dan Alya ‘kan udah resmi bercerai.”Hendra terdiam. Di
Naya hanya diam, seolah enggan untuk mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak mau tahu apa pun tentang sang ayah yang selama ini sibuk dengan dunianya sendiri–tak peduli pada perasaannya.–Malam semakin larut, tapi Hendra masih duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Rasanya ada begitu banyak beban yang singgah di bahu. Namun, setidaknya dia bisa tenang karena Naya sudah tertidur setelah makan bubur buatannya. Ya, meski awalnya anak itu terlihat enggan untuk menyantapnya. Hendra sendiri merasa pikirannya terus berputar pada dua hal—Alya dan keluarganya yang kini berantakan.Dilihatnya jarum jam dinding yang terus berputar. Hari semakin malam, tapi Ibunya dan Andin belum juga pulang. Dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk. Saat ia bertanya tadi, Naya hanya mengatakan kalau Bu Lastri dan Andin pergi entah ke mana, meninggalkannya sendirian di rumah. Itu sudah cukup membuat darahnya mendidih.Bagaimana bisa mereka meninggalkan anak sekecil itu sendirian?Hendra menarik napas panjang–
“Ayah, aku laper,” kata Naya. Hendra mengusap wajah kasar. Dia berjongkok mengimbangi tinggi putrinya, lalu mengusap rambut Naya pelan. Rasa bersalah yang muncul membuat emosinya seketika hilang. Setelah meminta Naya menunggu, Hendra segera ke dapur untuk membuatkan makanan seadanya. Namun, kondisi dapur yang berantakan dan tidak ada stok apa-apa membuat Hendra kembali emosi. Pada akhirnya dia mengajak Naya untuk makan di luar, tak peduli pada dua wanita dewasa di rumah itu. — Malam semakin larut, tapi Hendra tidak bisa tidur. Dia terduduk di ruang kerjanya, kepalanya tertunduk dalam, sementara segelas kopi di meja telah dingin tanpa sempat dia sentuh. Pikirannya terus berputar pada kejadian tadi. Rumah berantakan. Naya kelaparan. Andin yang cuek. Ibunya yang sibuk dengan kehidupan cintanya sendiri. Dan yang paling menghantamnya–bayangan Alya. Wanita itu dulu ada di sini. Dia yang selalu memastikan kondisi rumah rapi, memastikan Naya makan tepat waktu, memastikan segala