Dua puluh tahun Fadly mencari istrinya. Akhirnya, ia menemukan wanita itu di sebuah rumah sakit jiwa. Menurut pengakuan, sebelum dibawa ke rumah sakit itu, dia terlebih dahulu diperkosa. Dina namanya, bahkan selama di rumah sakit itu dia sempat melahirkan seorang bayi yang disangkakan oleh pihak rumah sakit adalah bayi hasil pemerkosaan. Dengan mengambil keputusan, bayi itu di titipan di sebuah panti karena tidak ada yang bisa mengasuh. Fadly yakin bayi yang dilahirkan Dina adalah anaknya sebab saat memutuskan pergi dari rumah, sang istri meninggalkan sepucuk surat yang mengabarkan bahwa dirinya sedang hamil. Akankah Fadly bisa menemukan kembali anaknya?
View MoreDua puluh tahun yang lalu, aku pernah menikahi seorang gadis. Dia gadis yang sempurna. Tapi, usia perkawinan kami tidak bertahan lama, hanya tiga tahun, dia memilih pergi dan meninggalkanku sepucuk surat serta sebuah test pack bergaris dua sebagai pengantar perpisahan.
Suamiku,
Aku bukan istri yang sempurna, aku sangat lelah menerima setiap perlakuan ibumu dan adik maduku sendiri. Sungguh, bukan perihal berbagi cinta dengan orang lain, tapi ini menyangkut harga diriku.
Maaf, karena aku pergi dengan membawa benihmu yang tertanam di rahim ini. Aku berjanji akan merawat dan menjaganya dengan baik. Aku akan selalu mengenalkan dengan benar siapa kamu sebenarnya. Walau dia tidak pernah melihatmu.
Suamiku.
Maafkan keputusan yang gegabah ini. Tapi aku sudah memberi isyarat padamu, betapa aku terluka oleh perbuatan kasar dan hinaan orang-orang di sekitarmu. Tapi kenapa, engkau selalu menutup matamu?
Mereka terus menyebutku mandul, sedang aku sudah berbesar hati menerima kehadiran Siska sebagai pelengkap kekuranganku.
Semoga dengan tidak adanya aku di rumahmu, Siska bisa lebih mengontrol emosinya. Karena aku tak ingin anakmu kelak lahir dengan membawa sifat pemarah selayak ibunya sendiri.
Dari istrimu
Aliya Azkadina
*
Aku menyesal sempat mengabaikannya. Kupikir dia bahagia, sebab dialah yang meminta agar aku menikahi wanita lain, guna memenuhi keinginan ibu untuk segera menimang cucu. Ternyata, semua justru terbalik.
Kepergian Dina membuatku begitu terpukul. Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga puluhan tahun berlalu dan aku terus saja mencarinya.
Hingga hari ini, wajah yang kurindukan bak purnama itu kembali ada di depan mata. Tapi tidak seperti dahulu, saat senyum merekahnya begitu kucandui, saat tubuh bak biolanya begitu kukagumi.
Kini dia hanya seorang pasien di rumah sakit jiwa.
"Dina, benarkah itu dirinya?"
Ke seluruh pulau Jawa aku mencari ternyata disinikah dia? Jika benar, maka sungguh kuasa Allah yang ingin kembali mempertemukan kami. Ini kenapa, niatku untuk mengganti keberangkatan ke rumah sakit ini dengan staf lain, selalu mendapat rintangan. Ternyata, ada seseorang yang menungguku di sini.
Kudekati salah satu perawat untuk menanyakan identitas pasien yang wajahnya sangat mirip dengan istri pertamaku itu.
"Sus, pasien itu namanya siapa?"
"Oh yang itu, namanya Aliya Azkadina, Dok."
Prasangkaku semakin menemukan kebenaran. Jika wajahnya saja yang mirip namun tidak namanya, hati ini masih bisa menyangkali. Tapi kenyataan, nama dan wajah sama. Sudah pasti itu Dina.
"Itu pasien sudah lama sekali di rumah sakit ini, semenjak pengangkatan pertama saya sekitar dua puluh tahun silam, Dok."
Jantungku berdegup kencang mendengar penuturan suster yang ada di hadapanku kini.
"Apa bisa suster ceritakan sedikit tentang riwayat pasien itu?"
"Banyak kisah pasien yang saya lupakan, karena memang pasien silih berganti masuk dan keluar. Tapi khusus wanita itu, saya ingat betul segalanya, Dok. Dia dibawa ke rumah sakit ini oleh beberapa orang dengan tangan terikat dan beberapa bekas pukulan di tubuhnya. Kalau saya katakan dia habis disiksa."
"Benarkah?"
Dada ini terasa berdenyut kuat, tapi kucoba untuk menguatkan diri.
"Benar, Dok. Yang membawanya kemari mengatakan bahwa dia gila dan mengamuk di kampung."
"Lalu keluarganya kemana?"
"Tidak ada diantara orang tersebut yang mengaku keluarga. Katanya dia pendatang di kampung itu. Saat kami periksa, ternyata dia juga diperkosa."
"Astaghfirullah! Lalu Sus?"
"Oleh pihak rumah sakit, dia dirawat hingga sadarkan diri. Tentang kebenaran dia gila atau tidak, dokter mengambil kesimpulan untuk melakukan beberapa pemeriksaan. Namun kenyataan yang terjadi justru ketika sadar, wanita itu menjerit-jerit ketakutan, memukul siapapun yang berusaha mendekati. Saya pikir dia trauma. Hingga pada akhirnya dokter memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit ini. Meski tanpa sanak saudara karena kartu identitasnya tidak ditemukan."
Lagi-lagi tenggorokan ini terasa tercekat, sungguh malang nasibmu, Din. Andai aku menemukanmu sedari dulu, tentu kamu tidak akan semenderita ini.
"Tujuh bulan dirawat, dia melahirkan, Dok," lanjut suster itu.
"Apa? Melahirkan?"
"Kalau diprediksi dia telah lama hamil, bukan saat pertama kali dibawa oleh sekelompok orang dahulu."
Aku menghela napas.
"Tanggal berapa dia dibawa ke rumah sakit ini?"
"Saya lupa, Dok. Saya rasa datanya juga sudah tidak ada lagi, karena memang kejadiannya sudah lama sekali."
"Lalu, anak yang dia lahiran dirawat oleh siapa?"
"Oleh pihak rumah sakit, bayi itu diserahkan kepada sebuah panti asuhan. Sebab tidak ada sanak keluarga yang bisa merawat."
"Bisa saya tahu ke panti asuhan mana bayi itu dibawa?"
"Panti asuhan Anak Bangsa, kalau saya tidak salah. Bayi itu diserahkan dengan identitas bayi Aliya Azkadina. Emang ada apa, Dok?"
Pertanyaan penutup yang diajukan suster tersebut menyentak dadaku dengan kuat. Haruskah aku jujur?
"Dia adalah istri saya yang pergi dari rumah dua puluh tahun silam, Sus. Saya mencarinya kemana-mana, sungguh kuasa Allah bisa menemukannya di tempat ini."
"Masya Allah. Benarkah Dok? Apa dokter mau membawanya pulang? Dia sudah lebih terkontrol saat ini, Dok. Pengobatannya pun sudah dihentikan."
"Iya, tentu. Saya akan membawanya pulang hari ini juga."
*
Entah kenapa ada degup tak biasa saat aku memasuki kamar Dina. Dia terduduk di atas sebuah kursi sembari menatap keluar jendela.
Di tangannya, sebuah boneka tanpa pakaian ditimang-timang sambil sesekali mengecup kepala. Sungguh pemandangan yang menyesakkan dada.
"Kamu jangan takut, Din. Mas akan menemukan anak kita."
Meski ragu, kulangkahkan jua kaki ini. Dia bereaksi saat mendengar seseorang memasuki kamarnya. Saat tubuhnya berbalik, kedua netra Dina tepat menangkap keberadaanku.
Dia terhenyak, kemudian segera naik ke atas ranjang sembari memeluk kedua kaki.
"Pergi! Pergi! Jangan mendekat! Tolong! Tolong!"
Dina melempar bantal ke wajahku, lalu meringkuk di sudut dinding. Menabrak-nabrak dinding tersebut seolah ingin menembusnya.
Diri yang melihat hal itu, tak kuasa membendung tangis. Pasti ia kembali teringat masa dahulu saat ada yang menodainya.
"Din, ini Mas Fadli, Suamimu."
"Pergi! Jangan menyentuhku! Pergi!"
Dia lupa padaku, bahkan mungkin menganggap aku adalah lelaki yang sudah menodainya dahulu.
"Pergi kau! Pergi! Tolong! Tolong!
"Din, ini saya. Mas Fadli."
Kupegang dua pundaknya, dia semakin menekuk. Kurasakan goncangan hebat pada tubuhnya lalu tak lama, ia kehilangan kesadaran.
***
Bersambung
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments