Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."
***
Siska masuk dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Aku segera bangkit untuk menyapanya.
"Mama sudah pulang?"
"Iya Pa."
Dia menyalami tanganku lalu menarik diri ini ke kamar.
"Mama mandi dulu ya, Pa. Gerah banget ini."
Kuanggukan kepala sambil mencoba bersandar pada kepala ranjang. Kuhidupkan televisi dan memilih acara berita. Entah kenapa rasa penasaran menghujam dada. Tatkala terdengar dering ponsel di dalam tas milik Siska.
Kuangkat tubuh untuk kemudian membuka tas itu. Hingga mata berhasil menangkap benda pipih yang kini masih menyala dengan sebuah nama tertera di layarnya.
Sabiq.
Siapa Sabiq? Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu selama ini?
Kucoba mengangkat.
[Hallo.]
Tak terdengar suara jawaban dari seberang hingga tak lama telpon itu justru ditutup.
Karena penasaran, aku coba kembali menelpon ke nomor tersebut. Tapi sialnya, lelaki itu sudah menonaktifkan handphonenya.
Entah kenapa ada yang tiba-tiba membuat dada ini terbakar. Rasa cemburu dengan seketika merambati hati. Benarkah Siska berselingkuh? Kenapa dia tidak pernah cerita tentang Sabiq padaku?
Rasanya sudah tak sabar menanyakan hal itu. Tapi kucoba untuk menarik napas, serta mengatur degup di dada yang sudah sedemikian berdegup kencang.
Kucoba menyelidiki lebih jauh isi ponsel Siska, sangat terkejut saat menemukan ada dua panggilan dari nama yang sama. Tercatat, pagi pukul sembilan panggilan pertama. Lalu jam setengah satu panggilan kedua.
Kucoba mengecek pesan, masih normal. Lalu lanjut mengecek akun sosial medianya, mulai dari F*, I*, Twitter hingga telegram. Tidak ada yang aneh.
Kuhela napas, dan bersamaan dengan itu, Siska tampak keluar dari kamar mandi. Wajahnya sedikit terhenyak mendapatiku memegangi ponsel miliknya.
"Papa lagi ngapain?"
"Papa lagi membongkar semua akun sosial Mama. Bisa Mama jelaskan siapa Sabiq? Kenapa panggilannya bertebaran di dalam ponsel Mama?"
Siska berjalan mendekatiku.
"Oh Sabiq itu Pa, Adik sepupunya Fina. Yang arisan tadi. Jadi kami bertiga itu sedang membangun sebuah usaha jual beli tas, sepatu dan perhiasan Pa. Tadi Mama sekalian transfer uang saham ke rekening Fina sejumlah seratus juta."
"Hah, seratus juta? Ma, Ma, apa kurang jatah yang Papa kasih ke Mama setiap bulan? Kenapa harus buka usaha lagi, sih? Usaha restaurant kita 'kan cukup maju? Gimana kalau usaha yang Mama bangun itu bangkrut atau jika partner Mama itu berniat menipu? Jangankan balik modal, uang Papa yang udah Mama transfer itu malah raib. Papa nggak setuju! Papa minta Mama tarik balik uang Papa!"
"Yah, Papa. Mana mungkin ditarik Pa. Udah dicairkan jadi barang-barang juga. Pokoknya Papa tenang aja, uangnya bakalan balik. Ya Pa? Kasih kesempatan buat Mama buka usaha, Pa. Mama bosan urusi restaurant Papa itu. Bukan jiwa Mama disitu. Papa alihkan saja ke adik sepupu Papa. Biar dia yang pegang kendali keuangan restaurant. Mama mau sukses dengan usaha Mama sendiri. Boleh ya, Pa?"
Dahiku terlipat seketika. Percuma berdebat dengan Siska, adanya kita yang harus mengalah.
"Papa bilang nggak boleh juga uangnya udah Mama transfer 'kan? Kembalikan kartu kredit Papa? Bisa jadi gelandangan kita kalau Mama yang pegang kartu itu."
Dengan wajah cemberut Siska mengembalikan kartu kreditku. Bisa kupastikan malam ini dia akan memilih tidur dengan menghadap tembok. Biarlah, wanita memang suka seenaknya tanpa berpikir panjang. Semoga usahanya tidak membuat dia terkena sakit jantung.
*
Sudah waktunya istirahat dari jam bekerja, aku bergegas pulang ke rumah untuk menjemput Sabrina. Urusan administrasi kuliahnya telah kubereskan, tinggal membawanya untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi.
Tawaran dari salah satu sahabatku yang tak lain adalah rektor di Universitas Muhammadiyah Magelang, mengurungkan niatku untuk memasukkan Sabrina ke UGM.
Sambil menunggu waktunya seleksi, kini aku akan menemaninya untuk membeli semua perlengkapan kuliah. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, terutama buku untuk ikut tes ujian seleksi mahasiswa baru. Dia harus memilikinya agar bisa lulus pada tes nanti.
Tapi entah kenapa keyakinan bahwa dia akan lulus begitu besar, terlebih jika melihat nilai yang tertera pada ijazahnya. Semoga Allah mudahkan.
Sabrina tampak terhenyak saat kuajak ke mall untuk membeli semua kebutuhannya. Tapi, tak urung langkah kecil gadis itu terikut jua.
"Kapan ujian seleksinya, Pak?" tanya gadis itu dengan binar bahagia.
"Minggu depan. Makanya hari ini kamu belanja semua kebutuhan untuk kuliahmu nanti ya, dan yang paling penting kamu harus memiliki buku untuk pedoman belajar."
Dia tampak mengangguk. Beberapa kali mata ini terus saja diminta menatap wajahnya melalui kaca depan. Teduh wajah Sabrina melempar anganku pada Dina. Bagaimana kabar wanitaku pagi ini, aku bahkan belum sempat mengunjunginya.
Kami sampai di parkiran sebuah mall. Dia tampak terkesima. Menatap bangunan itu dengan wajah berbinar.
"Sudah pernah ke mall?"
Dia mengulum senyuman lalu menggeleng.
"Sudah segini dewasa belum sekalipun ke mall?"
Dia kembali menggeleng.
"Yasudah kalau begitu hari ini kamu boleh nikmati apapun yang ada di dalam sana."
Dia menunduk sembari mengikuti langkahku. Saat tiba-tiba langkah ini terhenti karena seseorang memotong perjalanan. Dia sampai menabrak punggungku.
"Eh, maaf Pak," ucapnya sedikit ketakutan.
"Tidak apa-apa, tapi kamu kalau jalan jangan lihat ke bawah terus. Pandangan itu harus lurus ke depan."
Dia mengangguk paham. Polos sekali anak ini.
Kini kami sudah sampai di depan hamparan pakaian. Kupersilahkan gadis itu untuk memilih pakaian yang ia suka. Dengan wajah kebingungan ia mulai menilik-nilik yang ia butuhkan.
Tidak seperti Mira yang jika diajak ke mall dengan segera menyambar pakaian khususnya di gerai pakaian branded. Sabrina tampak lugu dan malah memilih pakaian sembari terlebih dahulu mengecek harga. Apa mungkin ia takut kemahalan? Ah kubiarkan saja dulu sambil melihat seperti apa kepribadiannya.
Hanya lima belas menit, dia kembali padaku sesuai dengan instruksi tadi. Tiga pasang pakaian.
"Sudah kamu coba pakaiannya?"
Dia menggeleng.
"Oh coba saya lihat."
Kubentang satu persatu pakaian tersebut.
Tiga buah kemeja, tiga buah rok berbahan katun dan tiga pasang Khimar. Cukup sederhana, tapi pilihan warna dan model cukup elegan. Sangat bertolak belakang dengan Mira yang jika memilih baju sampai berjam-jam. Itupun masih pakai acara tukar beberapa kali setelah dicoba di tubuh. Gadis ini sangat luwes.
"Yaudah coba dites, takutnya malah kebesaran atau kekecilan."
"Sudah pas itu Pak, tidak usah dites lagi. Nanti Bapak kelamaan nunggu."
Aku melirik jam di tangan. Benar juga, jam istirahat sudah hampir habis. Dan aku masih ingin mengajaknya makan.
"Yasudah kita ke gerai sepatu dan tas ya."
Dia mengangguk cepat. Sepertinya amat takut jika waktuku habis. Segera diri ini memproses pembayaran. Setelahnya kami menuju gerai sepatu juga tas. Semua telah selesai dibeli. Kini saatnya mengajak gadis itu untuk mengisi perut.
"Kamu lapar?"
Dia menggeleng. Pasti karena takut aku terlambat balik ke kantor.
"Tapi saya lapar. Mau menemani saya makan?"
Dia menatapku sungkan.
"Apa tidak terlambat balik ke rumah sakit nanti, Pak?"
"Nggak, udah disetel. Tenang aja, ya."
Akhirnya disinilah kami, di depan sebuah meja yang sudah di penuhi oleh berbagai pesanan pengganjal perut.
"Dimakan yang habis makanannya, jangan mubazir."
Aku yang pesan, malah dia yang kusuruh habiskan. Tapi dia diam saja dan mengangguk.
Pantesan pernah mau diperkosa sama majikannya. Cantik, penurut, dan polos.
Kuperhatikan terus tingkahnya. Diawal dia makan dengan malu-malu, tapi lama kelamaan, mulai menikmati.
Entah kenapa saat melihat gadis itu, aku merasa separuh yang hilang dari hidupku selama ini seolah kembali. Aku seperti menemukan sosok bayiku yang puluhan tahun tak pernah kulihat wajahnya.
Ya Allah, kemana aku harus mencarinya?
"Kamu bilang ibumu sakit jantung?"
Dia berhenti mengunyah, lalu menatapku.
"Iya Pak."
"Lalu siapa yang menjaga beliau?"
"Saya minta tolong tetangga, Pak. Saya menggajinya lima ratus ribu perbulan. Masih dari uang gaji saya Pak. Sisanya saya transfer untuk beli biaya keperluan ibu sehari-hari sambil ngumpulin untuk biaya operasi pemasangan ring jantung, Pak."
Gigih sekali dia. Aku semakin kagum pada gadis ini.
"Apa kamu yakin dengan uang tabungan itu kamu bisa membiayai operasi ibumu?"
Pertanyaan itu seperti membuatnya terhenyak.
"Tidak Pak. Tapi saya berprasangka baik sama Allah."
"Prasangka baik?"
"Saya yakin pasti ada cara Allah agar ibu saya bisa operasi, Pak. Dan bukankah rejeki dari Allah tidak bisa kita sangka-sangka? Seperti hari ini, saya bermimpi kuliah sudah sedari dulu, Pak. Ternyata melalui tangan Bapaklah Allah mengabulkan doa saya. Dan mimpi saya yang lain, Ibu bisa dioperasi. Saya yakin Allah pun akan menolong saya."
Aku menarik napas mendengar penuturan gadis itu. Seperti mengajarkanku untuk yakin pada Allah, bahwa harap dan doaku pasti akan Allah kabulkan suatu saat nanti.
"Apa saya boleh tau alamat rumahmu?"
Dua bola matanya kini manatapku dalam.
"Untuk apa Pak?"
"Mau bersilaturrahmi saja. Saya ingin tahu siapa yang sudah melahirkan anak seperti kamu ke dunia ini."
Dia kini tersenyum sembari menutup mulutnya.
"Itu bukan ibu kandung saya Pak."
Hah? Aku terperangah.
"Bukan ibu kandung, maksudnya?"
"Saya ini anak titipan, Pak."
"Titipan?"
Kenapa aku jadi semakin bingung.
"Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."
Ya Allah, kenapa dadaku seperti tersentak begini?
"Siapa yang sudah menitipkanmu di rumah itu?"
"Saya nggak tahu Pak. Sampai usia sebegini, saya belum pernah bertemu dengan orang itu. Ibu cuma bilang beliau orang Magelang. Beliau kasihan sama saya makanya beliau minta Ibu merawat. Tapi anehnya, jika kasihan, saya malah dibiarin begitu aja, Pak. Dibiayai cuma sampai berusia lima tahun, setelahnya Ibu Asti yang mencari rejeki untuk menghidupkan dan menyekolahkan saya. Saya malah nanya ke Ibu, jangan-jangan yang sudah membuang saya itu adalah ibu kandung saya. Tapi Ibu bilang bukan. Beliau hanya saudara dekat dari Ibu kandung saya. Saat saya tanya siapa ibu kandung saya. Ibu Asti bilang, ibu saya gila, Pak."
"Hah, gila?"
***
Bersambung.
"Darimana kamu tahu kalau Ibu kandungmu gila?""Ibu Asti yang ngomong begitu, Pak. Benar nggaknya saya nggak pernah dan sudah tidak mau tahu. Sebab saya menganggapnya sudah tiada Pak. Sudah hampir dua puluh tahun, jika dia menganggap saya anaknya, pasti dia sudah mencari saya 'kan Pak. Tapi kenyataannya, siang malam saya menunggu, kadang saya jauh berjalan mencarinya hingga saya lupa jalan pulang ke rumah. Tapi Ibu Asti selalu menemukan saya. Kadang rindu ingin melihat seperti apa wajah ibu dan ayah kandung saya, tapi saya percayakan pada Allah, mungkin memang benar mereka sudah tiada."Dua bola mata Sabrina kembali digenangi cairan. Dan di sini hatiku pun ikut terasa pilu. Seperti itukah perasaan seorang anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibunya? Lalu apakah seperti ini pula yang dirasakan oleh anakku? "Saya tahu kamu kuat. Saya hanya ingin memberitahu satu hal padamu. Bahwa Allah Maha Mengetahui. Apa yang terjadi sama kamu, semua sudah Allah kehendaki. Dan hanya Allah pula
POV SabrinaAku tak bisa percaya ada lelaki sebaik Bapak Fadly di dunia ini. Tak seperti majikanku yang lain, dia begitu perhatian. Bahkan berniat memasukkan dan membiayai biaya kuliahku di sebuah universitas.Selain baik, dia juga tampan. Meski sudah memiliki seorang anak yang kutahu seusiaku. Tapi auranya masih tampak begitu menawan. Dan yang lebih membuatku kagum ketika dia mengenakan jas dokternya. Sungguh dia begitu berwibawa.Hari ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Fadly mengajakku ke sebuah mall. Sesekali kulihat ia mencuri pandang menatap wajah ini di kaca depan mobilnya. Ya Rabb, apa mungkin beliau menyukaiku? Yang bahkan lebih layak menjadi anaknya?Tapi jujur, sikap istimewanya, membuat sesuatu bermekaran di dalam dada. Huhft, bolehkah aku menyukainya.Lanjut di mall. Ia mengajakku berbelanja pakaian. Dia terus memperhatikan saat diri ini memilih-milih pakaian mana yang kiranya cocok untuk dikenakan tubuhku.Sesekali mata kami bertemu. Debar aneh itu semakin jelas k
"Udah diem, jangan berisik. Ini udah selesai kok."Mbak Mira membiarkanku bangkit lalu dia berjalan ke pinggir ranjang."Ganti bajumu dengan pakaian ini ya.""Baju siapa ini, Mbak?""Pokoknya dipakai aja."Kuulur tangan untuk membuka kantong plastik yang diberikan Mbak Mira. Bau menyengat seketika menguar."Ini baju siapa, Mbak?""Adalah, jika kamu jijik, sebelum pakai baju itu pakai baju lain di dalamnya.""Kok harus segininya Mbak?""Iya, karena saya nggak mau kamu jatuh cinta sama mas Fandy. Eh, salah. Saya nggak mau Mas Fandy ngelirik cewek lain selain saya. Oke paham!"Aku terdiam tanpa kata. Bagaimana caranya menolak, jika kemarin saja dia bersedia aku menumpang di mobilnya. Walau tidak jadi."Yaudah iya, Mbak.""Nah, gitu donk. Baru namanya manusia cerdas. Jika kamu berhasil, nanti kamu bakalan aku kasih hadiah.""Hadiah?""Iya. Nanti semua barang kamu yang udah diambil sama Mama, bakalan aku kembalikan.""Benaran Mbak?""Iya, makanya kamu harus bisa ngambil buku itu tanpa memb
"Pak Fadly?"Serasa ada yang berdegup kencang di dada ini, tatkala melihat seseorang yang sedaritadi amat kukhawatirkan ada di depan mata."Bisa ikut saya sebentar," ucapnya dengan suara bergetar.Aku dapat menangkap dua bola mata majikanku itu tampak basah. Sebenarnya, ada apa dengan beliau?Tanpa banyak bicara, kuikuti langkah Pak Fadly hingga sampai di ruang keluarga. Tadinya yang kukira semua sudah terlelap, sebab tak terdengar suara berisik walau sedikit pun. Ternyata empat pasang mata kini seperti tengah menanti kedatanganku."Duduklah di salah satu kursi," ucap Pak Fadly kembali hingga membuat darah ini terasa membeku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi, apa aku melakukan kesalahan hingga membuat mereka memanggil di tengah malam begini?"Maaf Pak Fadly, Nyonya Siska, apa saya melakukan sebuah kesalahan hingga diharuskan menghadap semua orang begini di tengah malam?"Nyonya Siska menghela napas, sedang di sisinya Mbak Mira tampak tegang."Kamu nggak melakukan kesalahan apapun Sa
Kami sampai di sebuah mall. Nyonya Siska menuruni mobilnya seraya menyuruhku ikut turun. Perasaan ini tidak enak, sudah semenjak awal saat aku menginjakkan kaki di kendaraan miliknya. Tapi apa daya, aku tak kuasa menolak ajakan majikanku tersebut.Ia tak berbicara sepatah katapun, kaki jenjangnya lanjut berjalan menaiki lift dan aku mengikuti dari belakang hingga kami sampai di lantai dua. Tempat berbelanja segala jenis pakaian.Nyonya Siska meneruskan langkah memilih tiga pasang pakaian lalu menyerahkannya padaku. Tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Dia mengangkat sejenak lalu menutup layar dengan tangannya dan berbisik pelan padaku."Kamu ganti pakaianmu, saya mau menemui teman sebentar. Jangan kemana-mana, tetap di tempat ini sampai saya menjemput."Aku hanya mengangguk. Di detik ini, entah kenapa rasa takut semakin menguasai diri. Iya, aku takut ditinggalkan. Tapi tak urung kuiyakan perkataannya untuk mencoba pakaian yang dia beri.Ketiga-tiganya sudah aku coba, saatnya mene
"Ibu?""Lo kamu 'kan yang tadi ketemu saya di toilet?"Aku mengangguk. Ternyata, wanita yang hampir menabrak adalah wanita yang tadi menyelamatkanku."Gimana Ma, apa ada yang terluka?"Suara seorang lelaki membuat pandanganku teralihkan. Aku menatap sosok lelaki yang kini ikut berdiri di jalanan. Lelaki yang kemarin sempat kutemui dengan cara yang begitu ekstrim."Dr. Fandy?"Lelaki itu sama terkejutnya denganku."Jadi kalian udah saling kenal?"Tettt!Belum sempat aku menjawab pertanyaan wanita di hadapan, bunyi klakson dari beberapa mobil yang tertahan lajunya karena kejadian ini, membuat wanita itu segera membantuku berdiri."Kamu ikut sama saya aja dulu, ya."Wanita itu menggandeng tanganku memasuki mobilnya. Sedang dari jarak beberapa meter. Aku masih dapat melihat dua orang lelaki yang katanya suruhan Pak Fadly. Mereka hanya berdiri membiarkanku di bawa pergi. Alhamdulillah setidaknya aku terlepas dari lelaki tak dikenal itu. Jika pun benar mereka adalah suruhan Pak Fadly, aku
Setelah menatap wajah ini sejenak, Nyonya Siska kembali mengangkat langkah. Tanpa sapa dia langsung menghempaskan diri di atas sofa.Sendirikah dia?"Mari masuk Pak Fadly."Alhamdulillah, ternyata bersama majikan lelakiku.Wajah Pak Fadly kini muncul di pintu. Matanya langsung jatuh pada netraku. Aku menunduk merasa sungkan dan segala perasaan lainnya yang mendera jiwa."Sabrina, mari duduk, Nak."Pak Pramudia mempersilahkanku ikut duduk bersama mereka."Fandy sini Nak, ada Pak Fadly sama Mamanya Mira ini," ucap Bu Laras memanggil dokter Fandy yang sepertinya memang sengaja ke ruang tamu.Lengkap sudah, aku merasa kini seperti berada di ruang persidangan."Coba kamu ceritakan kembali apa yang tadi pagi kamu alami, Sabrina."Aku mengangkat wajah saat mendengar Bu Laras meminta untuk kuceritakan kembali apa yang sudah terjadi hari ini.Ragu, kupandangi sejenak wajah Nyonya Siska. Aura sangar memenuhi seluruh mukanya. Kubuang wajah ke arah lain. Satu persatu kata mengalir begitu saja dar
Kegiatan pemeriksaan DNA yang dilakukan di rumah sakit Cipto Mangunkusumo berjalan lancar tanpa hambatan. Hasilnya masih menunggu kurang lebih satu bulan ke depan. Siska yang kukira akan menaruh amarah karena kejadian kemarin ternyata justru kebalikannya. Dia yang terlihat begitu antusias. Yang tak kupercaya, bahkan dia sampai meminta dokter yang menangani untuk berhati-hati agar hasil pencocokan DNA-nya tidak tertukar. Sungguh kenyataan yang membuat haru dada ini.Diantara segala yang kualami kemarin, satu yang membuat hati tak tenang. Yaitu sikap yang ditunjukkan Fandy kepada Sabrina. Aku menangkap ada perhatian lebih yang tak sekedar saja yang terpancar pada setiap kelakuan Fandy. Meski Sabrina kerap menghindar, tapi tak urung membuat Fandy melakukan hal lain yang pada akhirnya harus diterima Sabrina dengan perasaan sungkan.Mungkinkah Fandy menaruh rasa pada gadis itu? Semoga saja tidak, karena jika hal itu terjadi, kutakutkan akan memperburuk citranya di hadapan Mira ataupun S
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke