Dua puluh tahun yang lalu, aku pernah menikahi seorang gadis. Dia gadis yang sempurna. Tapi, usia perkawinan kami tidak bertahan lama, hanya tiga tahun, dia memilih pergi dan meninggalkanku sepucuk surat serta sebuah test pack bergaris dua sebagai pengantar perpisahan.
Suamiku,
Aku bukan istri yang sempurna, aku sangat lelah menerima setiap perlakuan ibumu dan adik maduku sendiri. Sungguh, bukan perihal berbagi cinta dengan orang lain, tapi ini menyangkut harga diriku.
Maaf, karena aku pergi dengan membawa benihmu yang tertanam di rahim ini. Aku berjanji akan merawat dan menjaganya dengan baik. Aku akan selalu mengenalkan dengan benar siapa kamu sebenarnya. Walau dia tidak pernah melihatmu.
Suamiku.
Maafkan keputusan yang gegabah ini. Tapi aku sudah memberi isyarat padamu, betapa aku terluka oleh perbuatan kasar dan hinaan orang-orang di sekitarmu. Tapi kenapa, engkau selalu menutup matamu?
Mereka terus menyebutku mandul, sedang aku sudah berbesar hati menerima kehadiran Siska sebagai pelengkap kekuranganku.
Semoga dengan tidak adanya aku di rumahmu, Siska bisa lebih mengontrol emosinya. Karena aku tak ingin anakmu kelak lahir dengan membawa sifat pemarah selayak ibunya sendiri.
Dari istrimu
Aliya Azkadina
*
Aku menyesal sempat mengabaikannya. Kupikir dia bahagia, sebab dialah yang meminta agar aku menikahi wanita lain, guna memenuhi keinginan ibu untuk segera menimang cucu. Ternyata, semua justru terbalik.
Kepergian Dina membuatku begitu terpukul. Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga puluhan tahun berlalu dan aku terus saja mencarinya.
Hingga hari ini, wajah yang kurindukan bak purnama itu kembali ada di depan mata. Tapi tidak seperti dahulu, saat senyum merekahnya begitu kucandui, saat tubuh bak biolanya begitu kukagumi.
Kini dia hanya seorang pasien di rumah sakit jiwa.
"Dina, benarkah itu dirinya?"
Ke seluruh pulau Jawa aku mencari ternyata disinikah dia? Jika benar, maka sungguh kuasa Allah yang ingin kembali mempertemukan kami. Ini kenapa, niatku untuk mengganti keberangkatan ke rumah sakit ini dengan staf lain, selalu mendapat rintangan. Ternyata, ada seseorang yang menungguku di sini.
Kudekati salah satu perawat untuk menanyakan identitas pasien yang wajahnya sangat mirip dengan istri pertamaku itu.
"Sus, pasien itu namanya siapa?"
"Oh yang itu, namanya Aliya Azkadina, Dok."
Prasangkaku semakin menemukan kebenaran. Jika wajahnya saja yang mirip namun tidak namanya, hati ini masih bisa menyangkali. Tapi kenyataan, nama dan wajah sama. Sudah pasti itu Dina.
"Itu pasien sudah lama sekali di rumah sakit ini, semenjak pengangkatan pertama saya sekitar dua puluh tahun silam, Dok."
Jantungku berdegup kencang mendengar penuturan suster yang ada di hadapanku kini.
"Apa bisa suster ceritakan sedikit tentang riwayat pasien itu?"
"Banyak kisah pasien yang saya lupakan, karena memang pasien silih berganti masuk dan keluar. Tapi khusus wanita itu, saya ingat betul segalanya, Dok. Dia dibawa ke rumah sakit ini oleh beberapa orang dengan tangan terikat dan beberapa bekas pukulan di tubuhnya. Kalau saya katakan dia habis disiksa."
"Benarkah?"
Dada ini terasa berdenyut kuat, tapi kucoba untuk menguatkan diri.
"Benar, Dok. Yang membawanya kemari mengatakan bahwa dia gila dan mengamuk di kampung."
"Lalu keluarganya kemana?"
"Tidak ada diantara orang tersebut yang mengaku keluarga. Katanya dia pendatang di kampung itu. Saat kami periksa, ternyata dia juga diperkosa."
"Astaghfirullah! Lalu Sus?"
"Oleh pihak rumah sakit, dia dirawat hingga sadarkan diri. Tentang kebenaran dia gila atau tidak, dokter mengambil kesimpulan untuk melakukan beberapa pemeriksaan. Namun kenyataan yang terjadi justru ketika sadar, wanita itu menjerit-jerit ketakutan, memukul siapapun yang berusaha mendekati. Saya pikir dia trauma. Hingga pada akhirnya dokter memutuskan untuk merawatnya di rumah sakit ini. Meski tanpa sanak saudara karena kartu identitasnya tidak ditemukan."
Lagi-lagi tenggorokan ini terasa tercekat, sungguh malang nasibmu, Din. Andai aku menemukanmu sedari dulu, tentu kamu tidak akan semenderita ini.
"Tujuh bulan dirawat, dia melahirkan, Dok," lanjut suster itu.
"Apa? Melahirkan?"
"Kalau diprediksi dia telah lama hamil, bukan saat pertama kali dibawa oleh sekelompok orang dahulu."
Aku menghela napas.
"Tanggal berapa dia dibawa ke rumah sakit ini?"
"Saya lupa, Dok. Saya rasa datanya juga sudah tidak ada lagi, karena memang kejadiannya sudah lama sekali."
"Lalu, anak yang dia lahiran dirawat oleh siapa?"
"Oleh pihak rumah sakit, bayi itu diserahkan kepada sebuah panti asuhan. Sebab tidak ada sanak keluarga yang bisa merawat."
"Bisa saya tahu ke panti asuhan mana bayi itu dibawa?"
"Panti asuhan Anak Bangsa, kalau saya tidak salah. Bayi itu diserahkan dengan identitas bayi Aliya Azkadina. Emang ada apa, Dok?"
Pertanyaan penutup yang diajukan suster tersebut menyentak dadaku dengan kuat. Haruskah aku jujur?
"Dia adalah istri saya yang pergi dari rumah dua puluh tahun silam, Sus. Saya mencarinya kemana-mana, sungguh kuasa Allah bisa menemukannya di tempat ini."
"Masya Allah. Benarkah Dok? Apa dokter mau membawanya pulang? Dia sudah lebih terkontrol saat ini, Dok. Pengobatannya pun sudah dihentikan."
"Iya, tentu. Saya akan membawanya pulang hari ini juga."
*
Entah kenapa ada degup tak biasa saat aku memasuki kamar Dina. Dia terduduk di atas sebuah kursi sembari menatap keluar jendela.
Di tangannya, sebuah boneka tanpa pakaian ditimang-timang sambil sesekali mengecup kepala. Sungguh pemandangan yang menyesakkan dada.
"Kamu jangan takut, Din. Mas akan menemukan anak kita."
Meski ragu, kulangkahkan jua kaki ini. Dia bereaksi saat mendengar seseorang memasuki kamarnya. Saat tubuhnya berbalik, kedua netra Dina tepat menangkap keberadaanku.
Dia terhenyak, kemudian segera naik ke atas ranjang sembari memeluk kedua kaki.
"Pergi! Pergi! Jangan mendekat! Tolong! Tolong!"
Dina melempar bantal ke wajahku, lalu meringkuk di sudut dinding. Menabrak-nabrak dinding tersebut seolah ingin menembusnya.
Diri yang melihat hal itu, tak kuasa membendung tangis. Pasti ia kembali teringat masa dahulu saat ada yang menodainya.
"Din, ini Mas Fadli, Suamimu."
"Pergi! Jangan menyentuhku! Pergi!"
Dia lupa padaku, bahkan mungkin menganggap aku adalah lelaki yang sudah menodainya dahulu.
"Pergi kau! Pergi! Tolong! Tolong!
"Din, ini saya. Mas Fadli."
Kupegang dua pundaknya, dia semakin menekuk. Kurasakan goncangan hebat pada tubuhnya lalu tak lama, ia kehilangan kesadaran.
***
Bersambung
"Sudah lama dia tidak begini. Saya bahkan memprediksi pasien ini sudah seratus persen sembuh. Tapi kenapa hari ini bisa kambuh lagi, ya?" Sahabatku Rizky yang tak lain adalah Dokter Spesialis Penyakit Jiwa yang menangani Dina berucap padaku.Sejenak suasana hening. Suster yang tadi berbicara padaku sudah menyatakan siapa Dina pada Rizky."Jadi dia istrimu?"Tak ingin menutupi apapun, kuanggukan kepala."Dia pergi dari rumah karena disiksa oleh ibuku serta adik madunya. Istriku sekarang. Puluhan tahun aku hidup dalam penyesalan, kini aku mau menebus semuanya. Aku ingin merawatnya sendiri, Ris. Bisa aku membawa Dina sekarang?""Apa kamu yakin? Bagaimana kalau penyakitnya kambuh lalu dia menyerangmu.""Saya yakin dia tidak akan menyerang. Atau jika memang itu terjadi, saya akan merawatnya di Magelang. Jadi saya bisa rutin mengunjungi.""Yasudah kalau itu menjadi keputusanmu. Sangat disayangkan kalian baru bertemu setelah dua puluh tahun berlalu.""Tidak Ris, walau sudah banyak waktu yan
Hati sudah tak tenang semenjak tahu ternyata Pak Pram telah menabrak seseorang dengan ciri-ciri seperti yang dimiliki Dina. Bagaimana jika itu benar Dina? Aku harus bagaimana, mengakuinya hingga semua ini kembali sampai ke telinga Siska?Tidak boleh, Siska tidak boleh tahu. Atau jika tidak, dia akan kembali mengganggu ketenangan Dina.[Hallo, Pak Fadly]Suara di sambungan telpon seberang sana membuyarkan daya pikirku.[Eh, iya Pak. Yasudah tidak apa-apa, Pak. Lain kali saja kita susun kembali waktunya.][Sekali lagi, saya sekeluarga minta maaf ya Pak.][Tidak apa-apa, Pak.]Kututup telpon sambil menatap dua wanita di hadapan. Mereka terlihat terperangah."Ada apa, Pa?" tanya Mira dengan mimik mulai berubah tegang."Fandy tadi habis nabrak orang.""Apa? Kok bisa? Aduh, gagal deh ketemuan, padahal udah pengen banget, Pa. Apa kita samperin aja ke rumah sakit?"Mira terlihat kecewa."Ya jangan, Mira. Udah sabar, kita susun lagi deh jadwalnya, ya."Siska seketika membujuk. Tapi tak jua mem
Dua puluh tahun Mama melayani Papa, tidak pernah ada panggilan tengah malam begini. Papa jangan bohong! Papa kemana tadi malam?"-Istri Kedua-***Dina tertidur sembari memeluk bonekanya. Aku kembali melangkah, pelan kaki ini terangkat ke atas ranjang. Lalu merebahkan diri di samping wanitaku. Ia menggeliat dan berbalik. Wajahnya kini tepat ada di hadapanku. Cantik, meski tak seputih dahulu. Aku bangkit dan mencium keningnya perlahan. Hingga tak kuasa air mata ini kembali berderai. Sudah lama memperhatikannya dari kejauhan, tak terkira penyesalan yang kian menghujam. Aku ingin meminta maaf padamu, Din. Bagaimana caranya agar kau mengerti dan memaafkan diri ini?"Sayang ...," lirihnya sembari mengelus kepala bonekanya. Dia mengigau."Kamu merindui anak kita, Din? Mas akan mencarinya dan membawa kembali dia dalam dekapanmu. Tapi kamu harus janji, harus bisa sembuh agar bisa mengenaliku dan anak kita," lirihku dalam hati.Sambil memegang tangannya, aku mencoba memejamkan mata. Niat ha
"Sepuluh tahun yang lalu, panti itu sempat kebakaran. Dan tidak ada satupun yang bersisa melainkan debu. Kini berita kematian pendiri panti akan menjadi berita terlengkap yang akan membumihanguskan harapan unt bertemu anakku."-dr.Fadly.-***Mataku terperangah."Ini rumahnya, Buk?""Eh iya, Pak. Abah Kasim orangnya memang sederhana. Tidak ada sepeserpun dana yang dihadiahkan oleh pemerintah setempat yang tidak ia gunakan untuk keperluan panti. Alhasil, rumahnya dari dulu sampai ia tua ya segini-gini aja," ucap wanita paruh baya yang sudah berjalan terlebih dahulu itu.Kami berhenti tepat di depan pintu, namun dari dalam seperti terdengar suara tangis diiringi lafal syahadat.Wanita bernama Fatimah itu langsung mengetuk pintu. Dan tak lama, pintu rumah tersebut terbuka."Assalamualaikum.""Waalaikum salam.""Ngopo dengan Abah, Teteh?""Abah sedang sakaratul maut."Ibuk Fatimah berhamburan ke dalam. Dan di sini hatiku hancur. Jika satu-satunya lelaki yang kemungkinan masih mengetahui p
Saya ini terlahir di sebuah panti Pak. Lalu seseorang mengambil saya untuk diasuh, tapi tidak diasuhnya sendiri, melainkan dititip ke ibu yang saya ceritakan itu, Pak."***Siska masuk dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Aku segera bangkit untuk menyapanya."Mama sudah pulang?""Iya Pa."Dia menyalami tanganku lalu menarik diri ini ke kamar."Mama mandi dulu ya, Pa. Gerah banget ini."Kuanggukan kepala sambil mencoba bersandar pada kepala ranjang. Kuhidupkan televisi dan memilih acara berita. Entah kenapa rasa penasaran menghujam dada. Tatkala terdengar dering ponsel di dalam tas milik Siska. Kuangkat tubuh untuk kemudian membuka tas itu. Hingga mata berhasil menangkap benda pipih yang kini masih menyala dengan sebuah nama tertera di layarnya.Sabiq.Siapa Sabiq? Kenapa aku tidak pernah mendengar nama itu selama ini?Kucoba mengangkat.[Hallo.]Tak terdengar suara jawaban dari seberang hingga tak lama telpon itu justru ditutup. Karena penasaran, aku coba kembali menelpon ke nom
"Darimana kamu tahu kalau Ibu kandungmu gila?""Ibu Asti yang ngomong begitu, Pak. Benar nggaknya saya nggak pernah dan sudah tidak mau tahu. Sebab saya menganggapnya sudah tiada Pak. Sudah hampir dua puluh tahun, jika dia menganggap saya anaknya, pasti dia sudah mencari saya 'kan Pak. Tapi kenyataannya, siang malam saya menunggu, kadang saya jauh berjalan mencarinya hingga saya lupa jalan pulang ke rumah. Tapi Ibu Asti selalu menemukan saya. Kadang rindu ingin melihat seperti apa wajah ibu dan ayah kandung saya, tapi saya percayakan pada Allah, mungkin memang benar mereka sudah tiada."Dua bola mata Sabrina kembali digenangi cairan. Dan di sini hatiku pun ikut terasa pilu. Seperti itukah perasaan seorang anak yang lahir tanpa tahu siapa ayah dan ibunya? Lalu apakah seperti ini pula yang dirasakan oleh anakku? "Saya tahu kamu kuat. Saya hanya ingin memberitahu satu hal padamu. Bahwa Allah Maha Mengetahui. Apa yang terjadi sama kamu, semua sudah Allah kehendaki. Dan hanya Allah pula
POV SabrinaAku tak bisa percaya ada lelaki sebaik Bapak Fadly di dunia ini. Tak seperti majikanku yang lain, dia begitu perhatian. Bahkan berniat memasukkan dan membiayai biaya kuliahku di sebuah universitas.Selain baik, dia juga tampan. Meski sudah memiliki seorang anak yang kutahu seusiaku. Tapi auranya masih tampak begitu menawan. Dan yang lebih membuatku kagum ketika dia mengenakan jas dokternya. Sungguh dia begitu berwibawa.Hari ini, tidak ada angin tidak ada hujan, Pak Fadly mengajakku ke sebuah mall. Sesekali kulihat ia mencuri pandang menatap wajah ini di kaca depan mobilnya. Ya Rabb, apa mungkin beliau menyukaiku? Yang bahkan lebih layak menjadi anaknya?Tapi jujur, sikap istimewanya, membuat sesuatu bermekaran di dalam dada. Huhft, bolehkah aku menyukainya.Lanjut di mall. Ia mengajakku berbelanja pakaian. Dia terus memperhatikan saat diri ini memilih-milih pakaian mana yang kiranya cocok untuk dikenakan tubuhku.Sesekali mata kami bertemu. Debar aneh itu semakin jelas k
"Udah diem, jangan berisik. Ini udah selesai kok."Mbak Mira membiarkanku bangkit lalu dia berjalan ke pinggir ranjang."Ganti bajumu dengan pakaian ini ya.""Baju siapa ini, Mbak?""Pokoknya dipakai aja."Kuulur tangan untuk membuka kantong plastik yang diberikan Mbak Mira. Bau menyengat seketika menguar."Ini baju siapa, Mbak?""Adalah, jika kamu jijik, sebelum pakai baju itu pakai baju lain di dalamnya.""Kok harus segininya Mbak?""Iya, karena saya nggak mau kamu jatuh cinta sama mas Fandy. Eh, salah. Saya nggak mau Mas Fandy ngelirik cewek lain selain saya. Oke paham!"Aku terdiam tanpa kata. Bagaimana caranya menolak, jika kemarin saja dia bersedia aku menumpang di mobilnya. Walau tidak jadi."Yaudah iya, Mbak.""Nah, gitu donk. Baru namanya manusia cerdas. Jika kamu berhasil, nanti kamu bakalan aku kasih hadiah.""Hadiah?""Iya. Nanti semua barang kamu yang udah diambil sama Mama, bakalan aku kembalikan.""Benaran Mbak?""Iya, makanya kamu harus bisa ngambil buku itu tanpa memb
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke