Beranda / Romansa / Istri yang Tak Didambakan / 3. Kejutan untuk inisial A

Share

3. Kejutan untuk inisial A

Penulis: Listy Airyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 00:40:04

“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? 

Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.

“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalahkan atas keadaan yang terjadi. 

“Kamu nggak usah beralasan macam-macam! Emang dasar kamunya aja nggak becus jadi ibu dan juga istri! Aku ‘kan udah kasih jatah bulanan 200 ribu!” Bu Lastri tak merasa bersalah sedikit pun. Baginya, anak lelaki adalah hak milik sampai dia mati, termasuk hartanya. 

“Bu, listrik di rumah ini aja lebih dari 200 ribu,” tukas Alya.

“Ohhh, kamu mau mulai hitung-hitungan? Ya udah, mulai besok cuci baju pakai tangan! Mesin cucinya biar dijual aja! Kalau nyetrika baju jangan pakai setrika listrik, pakai aja setrika arang! Kamu itu harusnya bisa mengatur pengeluaran, gimana caranya biar nggak boros, bukan malah meminta uang tambahan!”

Sakit di hati Alya sangat sulit untuk digambarkan. Sebesar apa pun usahanya demi keluarga, semua tidak akan ada arti bagi orang yang tidak menyukainya. Ingatannya kembali pada bapak mertua yang dulu mengayomi, sungguh Alya rindu saat-saat itu.

Pada akhirnya, Alya tak sempat sarapan karena waktu terus berjalan. Dia harus segera berangkat bekerja, menghindari keterlambatan yang sudah beberapa kali membuatnya mendapat surat peringatan dari HRD. 

Seperti hari-hari biasa, Alya lembur dan pulang malam. Pekerjaan rumah yang menumpuk sudah menunggu saat tubuh lelahnya masuk ke rumah. Matanya tertuju ke seluruh penjuru rumah yang berantakan, seolah tidak ada penghuni saja. 

Di ruang tengah ada anak dan suaminya sedang menonton televisi bersama. Ada seulas senyum yang muncul karena tak biasanya Hendra pulang lebih awal. Namun, saat melihat ibu mertua yang menuruni tangga, senyumnya langsung hilang. 

“Ngapain malah berdiri di situ aja? Cepet beresin tuh dapur! Cucian juga udah menggunung!” kata Bu Lastri.

“Iya, Bu.”

Alya mengganti bajunya terlebih dahulu, membereskan meja makan yang masih berantakan. Langkahnya menuju ke dapur, mencuci perabotan dan merapikan segala isinya. 

Pandangan Alya tertuju ke bagian sudut, di mana seharusnya ada mesin cuci di sana. Dengan langkah cepat Alya mendekat, memastikan pandangannya.

“Mesin cucinya di mana?” gumam Alya. Saat dia melihat ada bak besar di kamar mandi, barulah dia ingat ucapan sang mertua tadi pagi. Sebelah sudut bibirnya terangkat, dengan helaan napas yang cukup berat.

“Aku udah bantu kamu buat jual mesin cucinya biar ngirit pengeluaran!” Tiba-tiba suara Bu Lastri terdengar dari arah belakang.

Alya tak menjawab. Dia segera masuk kamar mandi dan menutupnya rapat. Tangannya memutar kran, membiarkan air mengalir dengan deras, mengabaikan suara Bu Lastri dari balik pintu. Alya lelah, hanya ingin segera menyelesaikan semuanya tanpa perlu membuang energi untuk hal lainnya lagi. Pun begitu, matanya tidak bisa berbohong. Air mata menjadi saksi betapa hatinya sudah sangat rapuh sekarang.

Alya duduk di kursi kayu kecil, hanya cukup untuknya sendiri. Dia mulai menuangkan deterjen dan mengucek beberapa baju. Matanya yang berair membuat pandangan Alya sedikit buram, tapi tidak saat melihat noda merah menempel di dekat kerah baju Hendra.

“Apa ini?” Alya mencuci muka dan memperhatikan dengan seksama noda tersebut. “Kenapa bisa ada bekas lipstik di sini? Mas Hendra nggak mungkin—”

Alya menggelengkan kepala cepat. Dia menepis segala prasangka buruk tentang Hendra dengan melanjutkan pekerjaannya agar cepat selesai. Begitu seluruh baju telah dijemur, Alya masuk ke kamar dan mendapati suaminya sudah tertidur pulas.

Rasa curiga yang menguasai pikiran Alya kian besar, apalagi suaminya lagi-lagi tak mau lepas dari ponsel dengan terus menggenggamnya. Berawal dari rambut panjang pirang, aroma parfum, lalu sekarang bekas lipstik. Siapa yang bisa berpikir positif terus menerus?

Langkahnya menuju ke tas kerja Hendra yang ada di atas meja kayu setinggi perut. Perlahan dibukanya tas tersebut agar tidak menimbulkan suara berisik. Harapan Alya adalah menemukan sesuatu dari tas tersebut karena tidak mungkin mengecek ponsel Hendra yang digenggam erat.

Sayangnya, Alya tak menemukan apa-apa di sana selain dokumen kantor yang sering dibawa pulang. Tak menyerah sampai di situ, Alya mengecek celana panjang yang dibiarkan begitu saja di atas kursi. Tangannya merogoh setiap saku dan menemukan sebuah kertas kecil dengan tulisan berwarna hitam.

“Lipstik? Bedak?” Kening Alya mengerut membaca rentetan barang belanjaan dengan nominal tidak sedikit. Tak puas hanya di situ, Alya merogoh saku yang lain dan menemukan kertas dengan ukuran lebih besar.

“Kalung?” Alya melihat gambar kalung dengan liontin berinisial A di sana. “Astagaaa … apa Mas Hendra mau kasih aku hadiah pas anniversary kami nanti?”

Alya memandang suaminya yang tertidur pulas sambil tersenyum. “Maafin aku udah curiga, Mas.”

*** 

Matahari sudah terbit saat Alya selesai memasak. Dia merasa lebih semangat dari sebelumnya. Senyum tidak pernah hilang dari wajah cantiknya.

“Aku udah masakin nasi goreng telur bebek kesukaanmu, Bu,” kata Alya begitu Bu Lastri duduk di kursi.

Bu Lastri melirik menantunya ketus. Meskipun semua kebutuhannya disiapkan oleh Alya, pandanganku Lastri tetap saja tidak berubah lembut. Di mata wanita tua tersebut, apa yang dilakukan Alya adalah hal yang seharusnya.

“Aku panggil Naya sama Mas Hendra dulu ya, Bu,” kata Alya seraya melangkah pergi ke kamarnya. Tidak ada orang di sana, tas kerja suaminya pun tak ada membuat Alya berpikir bahwa Hendra ada di kamar Naya.

Benar saja, Alya bisa mendengar percakapan antara Hendra dan Naya begitu langkah kakinya semakin dekat dengan kamar putri mereka. Senyumnya masih menghias begitu indah hingga perlahan menghilang ketika mendengar pertanyaan dari Naya.

“Nanti kita ketemu Tante Andin lagi, Yah?” tanya Naya.

“Iya, dong! Hari ini Tante Andin ulang tahun, kamu mau ‘kan bantu kasih kejutan?” tanya Hendra.

“Emmmm! Aku mau, Yahhh!” jawab Naya.

Tangan Alya mengepal sempurna. Dia teringat dengan alat make up beserta perhiasan dengan inisial A yang dia pikir untuknya. Tanpa menunggu lama, Alya masuk ke kamar Naya dan bertanya dengan lantang, “Siapa Andin?!”

Bab terkait

  • Istri yang Tak Didambakan   4. Terbongkarnya perselingkuhan

    Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Istri yang Tak Didambakan   5. Aku bisa tanpamu

    Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Istri yang Tak Didambakan   1. Ini bukan rumah

    “Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Istri yang Tak Didambakan   2. Kebencian anak sendiri

    “Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Didambakan   5. Aku bisa tanpamu

    Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata

  • Istri yang Tak Didambakan   4. Terbongkarnya perselingkuhan

    Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terka

  • Istri yang Tak Didambakan   3. Kejutan untuk inisial A

    “Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalah

  • Istri yang Tak Didambakan   2. Kebencian anak sendiri

    “Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la

  • Istri yang Tak Didambakan   1. Ini bukan rumah

    “Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t

DMCA.com Protection Status