Share

5. Jatuhnya talak

Penulis: Listy Airyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 00:41:18

Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu?

Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa.

“Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”

“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”

Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”

“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas.

“Kamu akan menyesal, Mas!” kata Alya.

“Jangan terlalu percaya diri, Alya! Kamu nggak liat? Naya aja nggak sudi liat kamu di rumah ini. Kamu nggak liat penampilanmu sekarang? Kucel, jelek lagi! Emang paling bener kalau kita bercerai!”

Alya menghentikan langkah kakinya. Dia mengatur napasnya yang berat, melihat ke arah Hendra berdiri. “Katakan dengan jelas.”

“Apa? Kamu mau mendengarku menceraikan kamu? Baiklah … detik ini juga, aku jatuhkan talak padamu, Alya Zahira!”

Alya tersenyum kecut. Berakhir sudah rumah tangga yang selama ini dia pertahankan demi Naya. Dia melanjutkan langkah kaki menuju kamar untuk mengambil beberapa barang pribadi.

Tiba-tiba saja terjadi pemadaman listrik, seperti mengetahui duka yang Alya rasakan dalam hati. Udara dingin menyelinap masuk lewat celah jendela kamar saat Alya berkemas dalam diam. Bukan berkemas membawa koper besar, tapi hanya dirinya sendiri—berpakaian sederhana dengan ponsel yang dimasukkan di tas kerjanya. Sudah cukup, begitu pikirnya. Tak ada yang perlu dibawa dari rumah itu selain luka dan kenangan pahit.

Dengan kesadaran penuh, Alya melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia tidak peduli pada makian Bu Lastri yang tiba-tiba datang dan mengucapkan sumpah serapah. Dia juga mengabaikan lemparan baju yang mengenai tubuhnya. Namun, saat kakinya sudah sampai di pintu gerbang, Alya memberanikan diri untuk menoleh, memastikan apakah ada yang kehilangan atas kepergiannya atau tidak. Sayangnya, pintu telah ditutup rapat menandakan tidak ada yang peduli.

Alya menatap rumah itu sekali lagi. Rumah besar yang tampak megah dari luar, tapi di dalamnya hanya ada kehampaan. Napasnya terasa berat, tapi tekadnya sudah bulat.

Ketika langkahnya sudah semakin jauh, tetesan air mulai jatuh dari langit. Mendung yang tadi menggantung akhirnya pecah menjadi hujan deras, seakan ikut menangisi keputusannya. Alya berjalan tanpa payung, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Setidaknya itu jauh lebih baik karena hujan bisa menyembunyikan air matanya.

Jalanan kompleks perumahan sudah sepi. Hanya suara hujan yang menemani langkah Alya, berkejaran dengan detak jantungnya yang kacau. Bajunya sudah basah kuyup, tapi tak dipedulikannya. Yang dia butuhkan saat ini hanya berteduh sejenak dari semua rasa lelah yang mendera.

Matanya menangkap sebuah gardu kecil di ujung jalan. Tanpa pikir panjang, Alya berlari kecil dan masuk ke sana. Tangannya memeluk tubuh sendiri, berusaha meredam rasa dingin yang menggigit kulitnya yang mulai mengkerut.

"Ya Allah, kuatkan aku," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Beberapa saat Alya hanya duduk diam di gardu, memandangi hujan yang kian lama kian deras. Dia terus berpikir akan ke mana setelah ini. Haruskah pulang ke rumah mendiang orang tuanya yang telah tiada? Atau pergi ke rumah teman baiknya selama ini?

Di tengah kegalauannya, tiba-tiba pandangan Alya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berjalan tertatih-tatih di tengah jalan. Wanita itu terlihat membawa kantong plastik besar, kepalanya ditutupi kerudung yang sudah basah kuyup. Langkahnya goyah, mungkin karena jalanannya yang licin.

"Hati-hati, Bu," bisik Alya pelan meski tak ada yang mendengar.

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, wanita tersebut terpeleset. Tubuhnya terjatuh ke samping dan masuk ke dalam parit yang airnya meluap akibat hujan deras.

Alya terperanjat. Dia secara refleks berdiri dan berlari ke arah wanita itu. Meski hujan masih deras, Alya tak memikirkan dirinya lagi. Yang dia tahu, wanita itu butuh pertolongan.

"Bu! Ibu nggak apa-apa?" Alya berteriak panik saat mendekati parit. Air kotor mengalir deras di sana dan tubuh wanita itu hampir tenggelam.

Alya turun ke dalam parit, meraih tubuh wanita itu sekuat mungkin dengan sisa tenaga.

"Ibu tahan ya, saya bantu!"

Perlahan, Alya berhasil mengangkat wanita itu ke atas. Napasnya tersengal, tubuhnya kini basah kuyup dan kotor oleh lumpur. Dia menepuk pipi wanita itu dengan pelan.

"Bu, bangun– Bu!"

Wanita tua itu terbatuk-batuk kecil, matanya sedikit terbuka. "Te-terima kasih, Nak.”

Alya tersenyum lega meski tubuhnya gemetar. "Sama-sama. Ibu nggak apa-apa, kan? Rumahnya di mana biar saya akan anter pulang."

Si ibu menggeleng dengan mata setengah terpejam, sepertinya sangat kelelahan sampai suaranya pun tak terdengar jelas, sangat lirih. Saat itulah, suara klakson mobil memecah kebisingan hujan. Sebuah mobil hitam berhenti di dekat mereka. Tak lama, seorang pria muda turun tergesa-gesa, wajahnya terlihat panik.

"Ibu! Astaghfirullah, Ibu nggak apa-apa?" serunya sambil mendekati wanita itu. Dia menatap Alya tajam. "Kamu siapa?! Mau bawa Ibu saya ke mana?!"

Alya terkejut. "Tidak, saya cuma—"

"Jangan banyak alasan! Kamu pikir saya akan diam aja? Saya akan laporin kamu ke polisi!" Pria itu mendekat, wajahnya masih penuh curiga.

"Mas, saya cuma nolongin Ibu ini. Tadi beliau jatuh ke parit, terus saya bantu." Alya berusaha menjelaskan, meski suaranya terdengar pelan.

“Emangnya siapa yang bakal percaya sama omonganmu?!” Pria dengan setelan jas itu membopong ibunya yang pingsan ke dalam mobil. Dia tak mau sesuatu hal buruk terjadi.

Alya menghela napas seraya mengusap lengannya. Sungguh dia merasa sangat dingin sampai menggigil. Dengan langkah cepat, dia menuju ke gardu lagi, tapi tangannya ditarik kuat masuk ke mobil.

“Ehhh?! Mau dibawa ke mana saya?” Alya mencoba berontak sekuat tenaga, tetapi tenaganya jelas kalah dibandingkan dengan pria berjas tadi.

“Saya tidak akan biarin kamu lolos gitu aja! Enak aja, udah bawa kabur ibu saya terus mau lepas tanggung jawab!” Pria dengan tubuh tegap tersebut menutup pintu mobil, tidak mau memberikan kesempatan Alya untuk bicara.

Alya menganga tak percaya. Satu sisi dia merasa tenang tak perlu menunggu di gardu lagi, satu sisi dia takut pada pria yang kini menggenggam tangannya agar tidak kabur.

“Saya benar-benar nggak ada niat jahat!” Alya terus menjelaskan.

“Simpan pembelaanmu di kantor polisi!” sahut si pria.

Bab terkait

  • Istri yang Tak Didambakan   6. Kehangatan lain

    Sudah jatuh malah tertimpa tangga. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi Alya saat ini. Beruntung wanita yang ditolongnya sadar tepat waktu dan menjelaskan semuanya. *** Hendra bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Dia segera mandi, tapi saat ingin memakai baju emosinya seketika muncul. “Alya, mana bajuku!” seru Hendra, matanya mengelilingi seisi kamar, tapi tak menemukan sosok yang dicari. Seketika dia berteriak berulang kali memanggil Alya. “Kamu ngapain pagi-pagi teriak sih?” Bu Lastri tergopoh-gopoh masuk kamar putranya. “Alya ke mana sih?! Harusnya ‘kan dia siapin semua keperluanku,” kata Hendra. “Palingan dia lagi masak. Telinganya ‘kan emang agak bermasalah,” tutur Bu Lastri. Tak lama kemudian Naya masuk dan membuka lemari baju. Dia mengambil kemeja biru milik Hendra lengkap dengan celana dan dasinya. “Jasnya di gantungan itu ‘kan?” Naya bertanya seraya menunjuk belakang pintu. “Naya, kamu udah siap?” tanya Hendra

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Istri yang Tak Didambakan   7. Mengejar Alya

    Suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan karena ulah nekat Hendra, menarik perhatian Alya yang tadinya tak mendengar panggilan Hendra. Seketika wajah Alya memucat, dia belum siap bertemu Hendra setelah talak yang diucapkan padanya beberapa waktu lalu. Alya mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena merasakan getaran cinta yang masih tersisa, tapi karena rasa takut yang muncul begitu saja. Akan tetapi, langkah lebar Hendra membuat lelaki itu dalam sekejap berada di depannya. “Mau ke mana kamu?! Dasar wanita nggak tau diri!” Hendra memaki dengan suara lantang, tak peduli saat ini berada di jalanan. “Kamu mau apa lagi, Mas?” tanya Alya. “Ikut aku pulang! Kamu jangan nggak tahu diri dengan melupakan kewajibanmu!” seru Hendra. “Kewajiban apa yang kamu minta? Bukankah kamu sudah menjatuhkan talak padaku?” Alya menatap tajam ke arah Hendra yang kini nampak kebingungan harus menjawab apa. “Ya– tetap aja kamu harus

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Istri yang Tak Didambakan   8. Sambutan tak bersahabat

    Naya menutup matanya. Dia terlihat takut melihat sosok yang tiba-tiba saja masuk ke kamar melalui jendela. “Aku nggak mau liat kamu! Aku takut!” seru Naya. Terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Naya segera mendekat ke pintu, menguncinya dari dalam. Tatapannya tertuju pada sosok yang menatapnya dengan air mata berlinang. “Pergi!” kata Naya lantang. “Aku nggak mau ketemu kamu!” “Naya, Bunda–” “Pergi! Aku nggak mau Bunda!” seru Naya. Mau tak mau Alya pergi dari sana. Dengan tubuh gemetaran, dia menaiki kursi dan kembali keluar melalui jendela. Susah payah dia menyelinap masuk kamar Naya demi melihat putrinya, tapi malah mendapat pengusiran yang menyakiti hati. “Naya! Naya sayang! Kamu kenapa?!” Suara Hendra yang panik diikuti gebrakan pintu berulang kali membuat Naya terkejut. Perlahan dia membuka pintu dan memeluk Hendra. “Tadi Bunda dateng ke kamarku, Yah. Aku takut!” “Apa?! Mana dia sekarang?!” Hendra menatap sekitar, lalu menyadari jendela yang terbuka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Istri yang Tak Didambakan   9. Kuncinya bukan obat

    “Aku sudah terlalu sering melihat wanita sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menderita,” kata Alex dingin, melepas dagu Alya kasar. Antara rasa malu dan kesal, Alya hanya bisa menatap kepergian lelaki itu. Suara pintu kamar yang ditutup dengan kencang seolah mewakili teriakan Alya yang tidak bisa keluar. Memangnya dia bisa apa di rumah ini? Hanya seorang tamu yang diundang atas dasar hutang budi belaka, tidak lebih. Kalau menuruti kata hati, jelas Alya memilih segera pergi dari tempat yang tidak menerimanya dengan baik. Namun, dia masih punya akal yang menuntun untuk tetap tinggal, setidaknya ada Bu Titik. Itu sudah sangat cukup. “Sehari saja, nggak apa ‘kan?” Alya memantapkan hatinya, berharap besok sudah mendapatkan tempat tinggal. *** Badan Alya masih lemas, kepalanya pun terkadang pening. Padahal, benturan di kepala imbas pertengkarannya dengan Hendra tidak begitu parah, hanya ada luka robek sepanjang ruas jari dan lebam di sek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   10. Aku tidak butuh uangmu

    “Bukan,” jawab HRD cepat. “Saya hanya menyarankan untuk istirahat dulu di rumah jika kondisimu masih belum sehat.” Alya mengusap wajahnya kasar. Dia mengatur nafas sedemikian rupa, lalu menatap HRD yang sama-sama seorang ibu dan istri tersebut. Meski tidak diucapkan, Alya bisa melihat tatapan penuh kecurigaan tertuju padanya. “Ibu percaya pada semua ucapan suami sa- ah, maksud saya mantan suami saya tadi?” tanya Alya. HRD mengerutkan keningnya. Sebagai manusia biasa tentu rasa keingintahuannya muncul begitu besar. Dia memang baru mendengarkan secara sepihak, tapi entah kenapa hanya dengan satu pertanyaan sederhana itu pandangannya terhadap Alya seketika berubah. Dia lebih percaya bahwa seorang ibu tidak akan menelantarkan anaknya. “Saya tidak ada hak untuk berpendapat, yang jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi kamu tidak perlu khawatir apakah masih boleh bekerja di sini atau tidak. Semua kembali pada kontrak kerjamu, masih atau tidak.” Alya mengangguk. D

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   11. Hilang

    “Naya–” Alya menutup mulutnya, berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat buruk karena pemandangan itu. Dia tak menyangka Naya bisa tertawa riang bersama Naya, jauh berbeda ketika bersamanya.“Jadi itu ceweknya?” tanya Bunga langsung paham keadaan yang terjadi, tapi hanya gelengan kepala yang dia dapat.Alya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan wanita selingkuhan Hendra, hanya melihat dari foto dan video. Itu pun Alya tak memperhatikannya dengan seksama. Memangnya siapa yang bisa tahan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain? Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan oleh Alya, wanita itu berambut pirang dan memiliki tahi lalat di dekat mata sebelah kiri, persis seperti wanita yang kini menggendong Naya dengan senyum manis.Saat Alya tengah diam dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana, Bunga malah disibukkan dengan ponselnya. Entah sejak kapan dia menyadari sesuatu yang tidak asing ketika memperhatikan wanita yang bersama dengan anak dan suami sahabatn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Istri yang Tak Didambakan   12. Mama baru

    “Hati-hati, Al!” seru Bunga.Alya menuju alun-alun, tempat yang diceritakan oleh Bunga. Dia hanya berharap orang itu benar adalah Bu Titik dan masih di sana. Ada rasa malu muncul karena sejak keluar dari rumah itu, Alya tidak ada sekalipun menelpon sekedar menanyakan kabar, seperti orang yang tak tau balas budi, padahal masih meminjam ponsel dari wanita tua tersebut. Bukan tidak mau, tapi dia sendiri sedang berjuang untuk pulih dari rasa sakit, butuh waktu untuk menerima keadaan.–Alya bertanya pada siapa saja yang ditemui di area alun-alun, berharap menemukan titik terang. Namun, dia masih belum menemukan sosok yang dicari meski beberapa orang menunjuk di mana keberadaan Bu Titik. Pasti Bu Titik terus berjalan tanpa arah karena hilang ingatan.Saat itulah Alex berbalik menelponnya. Dia segera memberitahu di mana keberadaannya sekarang karena ada kemungkinan Bu Titik di sana. Tak ada jawaban, panggilan terputus begitu saja membuat Alya jengah. “Emangnya berat buat sekedar bilang iya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Istri yang Tak Didambakan   13. Ketemu

    “Ah, maafkan aku. Bu Titik belum ketemu,” kata Alya.Alex beranjak dari sana seraya memberi kode pada beberapa orang yang diperkirakan adalah orang-orangnya untuk menelusuri seluruh area alun-alun. Tak lama Mbak Yuni pun keluar dari mobil dengan wajah sendu. Dia segera menghampiri Alya, ingin menceritakan perihal Bu Titik.“Loh? Mbak Alya kenapa? Kok matanya merah gitu?” tanya Mbak Yuni diikuti gelengan kepala Alya yang langsung bertanya tentang Bu Titik.“Jadi beliau selalu nanyain aku, Mbak?” tanya Alya.“Ya, beberapa kali Bu Titik bilang mau menelpon, tapi lupa lagi lupa lagi,” jawab Mbak Yuni.Alya yang heran pun bertanya bagaimana Bu Titik bisa hilang, padahal yang dia tahu wanita tua tersebut dikelilingi pengawasan yang ketat saat di rumah. Bukankah hal yang tidak masuk akal jika Bu Titik bisa berkali-kali kabur tanpa sepengetahuan siapa pun?“Bu Titik masih sering keluar entah itu menemui teman-temannya atau sekedar jalan-jalan karena tak betah di rumah. Saat itulah beliau seri

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Didambakan   23. Monster kecil

    "Kenapa Ayah sekamar sama Tante Andin?" Hendra terkejut. Secara refleks dia mendorong Andin hingga jatuh tersungkur ke lantai.“Sakit, Mas,” kata Andin mengeluh, mengusap pinggangnya yang nyeri. “Naya kenapa belum tidur?” Hendra mengabaikan Andin, memilih untuk menjelaskan kepada putrinya agar tidak terjadi salah paham. “Tadi Tante Andin cuma mau pinjem handuk. Katanya lupa bawa.”“Oh.” Ekspresi Naya datar. “Aku mau tidur sama Ayah.”Permintaan tak biasa dari Naya mengejutkan Hendra, begitu juga dengan Andin. Harapan untuk bisa berduaan gagal sudah jika ada Naya di sana.Andin berdiri dengan senyum dibuat-buat. Jelas dia merasa kesal, tapi tidak boleh menunjukkannya secara terang-terangan. Sebelum resmi menikah dengan Hendra, dia harus bisa berperan sebagai calon ibu yang baik. “Emang Naya biasanya tidur sama Ayah?” tanya Andin.Gelengan kepala Naya membuat Andin bertambah kesal. Jari-jarinya sampai menari di udara. Andai saja bisa, dia ingin meremas Naya untuk melampiaskan amarah

  • Istri yang Tak Didambakan   22. Panggilan paling tepat

    "Kamu benar juga, Nay," kata Bu Lastri diikuti anggukan Hendra. Namun, tidak demikian dengan Andin. Bagaimana bisa seorang selebgram seperti dirinya menjadi pembantu? Dia jelas menolak dengan tegas, harga dirinya seperti terinjak-injak.Penolakan yang disertai alasan-alasan tentang reputasinya di dunia media sosial nyatanya tidak membuat Hendra berubah pikiran. Baginya itu adalah cara yang paling aman untuk saat ini demi menghindari masalah lain. Hanya ada dua pilihan, maju atau tidak sama sekali.Andin terpaksa menerima keputusan itu. Satu sisi dia menyimpan kebencian tersendiri pada Naya yang mencetuskan ide sebagai pembantu.‘Tunggu aja apa yang bisa kulakukan padamu nanti. Dasar, monster kecil sialan!’ batin wanita berkulit putih tersebut.“Bibi!” Panggilan Naya sontak membuat semuanya terkejut. Mereka menatap Naya penuh tanya, bertanya siapa yang sedang dipanggil. Naya menjelaskan dengan polosnya bahwa dia sedang memanggil Andin. Bukankah pembantu di rumah sering dipanggil deng

  • Istri yang Tak Didambakan   21. Lelaki pelit

    Hendra mengangguk dan tersenyum puas. Meski ada resiko yang muncul jika rencana itu dilakukan, tapi mengingat kalau dia akan mendapat banyak keuntungan rasanya tidak ada salahnya dicoba. Anggaplah dia sedang memakai jasa orang secara gratis, mengurus anak dan rumah yang sudah terbengkalai sejak kepergian Alya.“Ya udah, ayo!” kata Hendra.Andin meraih tasnya, menenteng di tangan sebelah kiri. Tangan kanannya menengadah, “Mana uangnya? Biar aku yang bayar ke kasir.”Hendra tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih. “Apa kamu nggak ada niat buat balik traktir aku? Kan kamu yang pilih tempat.”“Hah?” Andin menganga tak percaya mendengarnya. Baru kali ini Hendra mengatakan hal sensitif soal uang. Bukankah hal yang wajar kalau lelaki yang membayar makanan? “Ah, baiklah. Kupikir kamu ini wanita yang mandiri secara finansial,” kata Hendra seraya berdiri.Nada suara Hendra yang datar membuat Andin sedikit shock. Itu lebih terkesan seperti pemaksaan secara halus. Akan tetapi, Andin ta

  • Istri yang Tak Didambakan   20. Imbas medsos

    Alya melihat Andin sedang merias seorang anak–yang tak lain adalah Naya. Tampak wajah bahagia Naya karena sebelumnya selalu dilarang mengenakan make up. Entah kapan video itu diambil, yang jelas Alya merasa tak suka jika Naya tumbuh lebih cepat sebelum waktunya.Jarinya terus menggulir layar, lagi-lagi video yang tak seharusnya terlihat. Naya dengan riang berjoget bersama Andin, menikmati setiap irama yang terdengar.“Astaghfirullah! Apa-apaan ini? Kenapa Naya jadi begini?” Alya mengelus dada. Susah payah dia memberikan batasan pada Naya, mengajarkan sesuai ajaran agama agar tidak salah jalan, kini hancur hanya dalam hitungan hari. Naya hanyalah seorang anak kecil yang bahkan belum masuk masa puber. Harusnya saat ini dia belajar atau bermain dengan teman seusianya–bukan malah mengikuti trend–berjoget macam tak punya rasa malu saja. Kalau dibiarkan, semakin lama akan semakin terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak perlu.Buru-buru Alya menelpon Hendra. Jelas dia tak akan membiarkan Nay

  • Istri yang Tak Didambakan   19. Batu loncatan

    “Alya!”Suara tak asing terdengar mendekat. Tak lama Alya menerima pelukan hangat, seperti mempunyai seorang ibu saja.“Ibu kenapa bisa ada di sini?” tanya Alya seraya melepaskan pelukan Bu Titik. Dia ingin turun dari motor ojol dulu.“Feeling Ibu beneran terjadi,” ujar Bu Titik seraya menoleh ke ojol. “Sampai sini aja, Pak. Ini ongkosnya, makasih ya!”Ojol tersebut tampak lega mendengar ucapan Bu Titik dan segera menerima uangnya. Dia bergegas pergi karena tak mau terjerat masalah lebih panjang lagi.Selepas kepergian ojol tersebut, Bu Titik mengajak Alya masuk mobil. Rasanya tidak pantas juga bicara di pinggir jalan, apalagi kondisi Alya terlihat tidak baik-baik saja. Bu Titik bersikap layaknya orang normal, mengusap punggung Alya–memberikan rasa aman.“Kamu bisa ceritakan apa pun,” kata Bu Titik.Tadinya Alya enggan membicarakan masalah pribadinya, terlebih pada orang yang belum begitu dia kenal. Akan tetapi, rasa sesak yang memenuhi hati seolah tidak sanggup ditahan lagi. Dengan p

  • Istri yang Tak Didambakan   18. Paksaan resign

    Alya menelan saliva susah payah melihat ekspresi HRD yang sulit dijelaskan tersebut. Meski biasanya juga tidak murah senyum dan lebih terkesan tegas, auranya masih terasa sangat positif, berbeda dengan sekarang.“Katakan saja, Bu. Insya Allah saya siap mendengarkan,” kata Alya.HRD menghela napas panjang, lalu berkata, “Berita tentang rumah tanggamu terdengar sampai direktur umum, bahkan tentang pengusiran warga. Aku tidak tau jelas siapa yang menyampaikan berita ini, yang jelas mereka adalah perwakilan dari warga dan direktur memutuskan bahwa kamu harus keluar dari perusahaan.”“Apa? Tapi nggak ada peraturan yang menyatakan masalah pribadi seperti ini akan berimbas pada pekerjaan ‘kan?” tanya Alya memastikan.“Ya, seperti yang pernah kusampaikan sebelumnya. Itu tak ada hubungannya dengan kontrak kerja, hanya saja direktur pun tak bisa menolak jika sudah bersangkutan dengan warga sekitar. Perusahaan ini bisa berdiri sampai sekarang juga atas persetujuan para warga sekitar dan ada hita

  • Istri yang Tak Didambakan   17. Imbas aib yang terekspos

    Tubuh Alya lemas. Dia seperti seorang manusia tanpa tulang, tidak sanggup berdiri atau sekedar menopang beban tubuhnya sendiri. Kalimat Naya terlalu menyakitkan, padahal masih anak kecil. Entah kalimat itu keluar dari pikirannya sendiri atau ada yang sudah mendoktrin Naya, yang jelas itu sangat menusuk dan tidak masuk akal.Senyum Hendra mengembang. Lelaki tersebut meminta Bu Lastri untuk membawa Naya kembali ke kamar. Setelah itu, barulah dia berjongkok di depan Alya, menatap lekat wanita yang sudah mendampinginya selama bertahun-tahun.“Kamu dengar sendiri bukan? Naya bukan hanya menolak kedatanganmu, tapi juga menolak menjadi anakmu,” kata Hendra. “Lebih baik kamu lupakan kalau pernah melahirkan Naya. Aku akan mengurus hak asuhnya di pengadilan saat perceraian kita nanti.”“Kamu nggak bisa melakukan ini, Mas. Naya itu hidupku!” seru Alya, mengumpulkan sisa kekuatan dan juga keberanian dalam diri.“Tentu saja aku bisa. Selain Naya sudah bisa memilih sendiri akan ikut dengan siapa, a

  • Istri yang Tak Didambakan   16. Masa lalu tak akan terulang

    “Emang kamu pikir aku mau apa?” tanya Alya heran.Bunga tak menjawab. Dia bergegas keluar kamar dan mengambil pisau buah yang ada di keranjang. Sontak saja Alya tertawa, merasa itu adalah sebuah hiburan yang tak terduga.“Aku masih waras! Mau sehancur apa pun hidupku, nggak bakal sampai memilih jalan pintas. Jangan gila deh,” tutur Alya seraya geleng-geleng kepala.Meski sudah mendengar hal tersebut, Bunga tetap menyimpan pisau itu untuk antisipasi dari hal buruk. Dia kembali mendekati Alya, menepuk bahu sahabatnya perlahan. Andai bisa berbagi kekuatan, pasti sudah dilakukan sejak tadi.Sunyi. Keduanya sama-sama diam setelah obrolan yang tak jelas mana akhirnya tersebut. Hanya ada suara detik jarum jam yang seirama dengan napas keduanya.“Sekarang tidurlah, Al. Aku akan bantu pikirkan jalan keluarnya,” kata Bunga kemudian.—Sudah lewat tengah malam, Alya masih belum bisa tidur. Entah kenapa ancaman dari Hendra terus terngiang di telinganya. Bagaimana bisa seorang ayah tega memisahkan

  • Istri yang Tak Didambakan   15. Diusir warga

    Bunga bergerak cepat. Dia tahu sahabatnya butuh bantuan dan segera mengambil apa yang seharusnya tidak dilihat orang lain. Meskipun dia harus menerima sorakan dari orang-orang yang memegang foto tersebut, Bunga tak peduli. Baginya, harga diri Alya harus diperjuangkan. Dia percaya pasti ada alasan yang masuk akal di balik foto yang kini berada di tangannya. “Kamu jangan ikut campur urusan rumah tangga kami!” Hendra tidak suka melihat Bunga.“Hei, Pak! Mending ngaca dulu deh! Kalau nggak mau ada yang ikut campur, jangan umbar aib rumah tanggamu di depan umum begini dong! Orang bukannya merasa prihatin, tapi malah ilfil dengan kelakuanmu itu!” Bunga memaki Hendra tanpa rasa takut. “Memangnya kenapa? Biarin aja semua orang tahu kalau wanita ini bukan hanya tidak bertanggung jawab pada anak dan suami, tapi juga tukang selingkuh!” Alya tak tahan lagi. Dia mengayunkan tangan sekuat tenaga, mendarat di pipi Hendra tanpa hambatan. Suara nyaring terdengar diikuti tatapan tajam dari Hendra.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status