Share

5. Jatuhnya talak

Penulis: Listy Airyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 00:41:18

Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu?

Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa.

“Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”

“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”

Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”

“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas.

“Kamu akan menyesal, Mas!” kata Alya.

“Jangan terlalu percaya diri, Alya! Kamu nggak liat? Naya aja nggak sudi liat kamu di rumah ini. Kamu nggak liat penampilanmu sekarang? Kucel, jelek lagi! Emang paling bener kalau kita bercerai!”

Alya menghentikan langkah kakinya. Dia mengatur napasnya yang berat, melihat ke arah Hendra berdiri. “Katakan dengan jelas.”

“Apa? Kamu mau mendengarku menceraikan kamu? Baiklah … detik ini juga, aku jatuhkan talak padamu, Alya Zahira!”

Alya tersenyum kecut. Berakhir sudah rumah tangga yang selama ini dia pertahankan demi Naya. Dia melanjutkan langkah kaki menuju kamar untuk mengambil beberapa barang pribadi.

Tiba-tiba saja terjadi pemadaman listrik, seperti mengetahui duka yang Alya rasakan dalam hati. Udara dingin menyelinap masuk lewat celah jendela kamar saat Alya berkemas dalam diam. Bukan berkemas membawa koper besar, tapi hanya dirinya sendiri—berpakaian sederhana dengan ponsel yang dimasukkan di tas kerjanya. Sudah cukup, begitu pikirnya. Tak ada yang perlu dibawa dari rumah itu selain luka dan kenangan pahit.

Dengan kesadaran penuh, Alya melangkahkan kaki keluar dari kamar. Dia tidak peduli pada makian Bu Lastri yang tiba-tiba datang dan mengucapkan sumpah serapah. Dia juga mengabaikan lemparan baju yang mengenai tubuhnya. Namun, saat kakinya sudah sampai di pintu gerbang, Alya memberanikan diri untuk menoleh, memastikan apakah ada yang kehilangan atas kepergiannya atau tidak. Sayangnya, pintu telah ditutup rapat menandakan tidak ada yang peduli.

Alya menatap rumah itu sekali lagi. Rumah besar yang tampak megah dari luar, tapi di dalamnya hanya ada kehampaan. Napasnya terasa berat, tapi tekadnya sudah bulat.

Ketika langkahnya sudah semakin jauh, tetesan air mulai jatuh dari langit. Mendung yang tadi menggantung akhirnya pecah menjadi hujan deras, seakan ikut menangisi keputusannya. Alya berjalan tanpa payung, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Setidaknya itu jauh lebih baik karena hujan bisa menyembunyikan air matanya.

Jalanan kompleks perumahan sudah sepi. Hanya suara hujan yang menemani langkah Alya, berkejaran dengan detak jantungnya yang kacau. Bajunya sudah basah kuyup, tapi tak dipedulikannya. Yang dia butuhkan saat ini hanya berteduh sejenak dari semua rasa lelah yang mendera.

Matanya menangkap sebuah gardu kecil di ujung jalan. Tanpa pikir panjang, Alya berlari kecil dan masuk ke sana. Tangannya memeluk tubuh sendiri, berusaha meredam rasa dingin yang menggigit kulitnya yang mulai mengkerut.

"Ya Allah, kuatkan aku," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Beberapa saat Alya hanya duduk diam di gardu, memandangi hujan yang kian lama kian deras. Dia terus berpikir akan ke mana setelah ini. Haruskah pulang ke rumah mendiang orang tuanya yang telah tiada? Atau pergi ke rumah teman baiknya selama ini?

Di tengah kegalauannya, tiba-tiba pandangan Alya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berjalan tertatih-tatih di tengah jalan. Wanita itu terlihat membawa kantong plastik besar, kepalanya ditutupi kerudung yang sudah basah kuyup. Langkahnya goyah, mungkin karena jalanannya yang licin.

"Hati-hati, Bu," bisik Alya pelan meski tak ada yang mendengar.

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, wanita tersebut terpeleset. Tubuhnya terjatuh ke samping dan masuk ke dalam parit yang airnya meluap akibat hujan deras.

Alya terperanjat. Dia secara refleks berdiri dan berlari ke arah wanita itu. Meski hujan masih deras, Alya tak memikirkan dirinya lagi. Yang dia tahu, wanita itu butuh pertolongan.

"Bu! Ibu nggak apa-apa?" Alya berteriak panik saat mendekati parit. Air kotor mengalir deras di sana dan tubuh wanita itu hampir tenggelam.

Alya turun ke dalam parit, meraih tubuh wanita itu sekuat mungkin dengan sisa tenaga.

"Ibu tahan ya, saya bantu!"

Perlahan, Alya berhasil mengangkat wanita itu ke atas. Napasnya tersengal, tubuhnya kini basah kuyup dan kotor oleh lumpur. Dia menepuk pipi wanita itu dengan pelan.

"Bu, bangun– Bu!"

Wanita tua itu terbatuk-batuk kecil, matanya sedikit terbuka. "Te-terima kasih, Nak.”

Alya tersenyum lega meski tubuhnya gemetar. "Sama-sama. Ibu nggak apa-apa, kan? Rumahnya di mana biar saya akan anter pulang."

Si ibu menggeleng dengan mata setengah terpejam, sepertinya sangat kelelahan sampai suaranya pun tak terdengar jelas, sangat lirih. Saat itulah, suara klakson mobil memecah kebisingan hujan. Sebuah mobil hitam berhenti di dekat mereka. Tak lama, seorang pria muda turun tergesa-gesa, wajahnya terlihat panik.

"Ibu! Astaghfirullah, Ibu nggak apa-apa?" serunya sambil mendekati wanita itu. Dia menatap Alya tajam. "Kamu siapa?! Mau bawa Ibu saya ke mana?!"

Alya terkejut. "Tidak, saya cuma—"

"Jangan banyak alasan! Kamu pikir saya akan diam aja? Saya akan laporin kamu ke polisi!" Pria itu mendekat, wajahnya masih penuh curiga.

"Mas, saya cuma nolongin Ibu ini. Tadi beliau jatuh ke parit, terus saya bantu." Alya berusaha menjelaskan, meski suaranya terdengar pelan.

“Emangnya siapa yang bakal percaya sama omonganmu?!” Pria dengan setelan jas itu membopong ibunya yang pingsan ke dalam mobil. Dia tak mau sesuatu hal buruk terjadi.

Alya menghela napas seraya mengusap lengannya. Sungguh dia merasa sangat dingin sampai menggigil. Dengan langkah cepat, dia menuju ke gardu lagi, tapi tangannya ditarik kuat masuk ke mobil.

“Ehhh?! Mau dibawa ke mana saya?” Alya mencoba berontak sekuat tenaga, tetapi tenaganya jelas kalah dibandingkan dengan pria berjas tadi.

“Saya tidak akan biarin kamu lolos gitu aja! Enak aja, udah bawa kabur ibu saya terus mau lepas tanggung jawab!” Pria dengan tubuh tegap tersebut menutup pintu mobil, tidak mau memberikan kesempatan Alya untuk bicara.

Alya menganga tak percaya. Satu sisi dia merasa tenang tak perlu menunggu di gardu lagi, satu sisi dia takut pada pria yang kini menggenggam tangannya agar tidak kabur.

“Saya benar-benar nggak ada niat jahat!” Alya terus menjelaskan.

“Simpan pembelaanmu di kantor polisi!” sahut si pria.

Bab terkait

  • Istri yang Tak Didambakan   6. Kehangatan lain

    Sudah jatuh malah tertimpa tangga. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi Alya saat ini. Beruntung wanita yang ditolongnya sadar tepat waktu dan menjelaskan semuanya. *** Hendra bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Dia segera mandi, tapi saat ingin memakai baju emosinya seketika muncul. “Alya, mana bajuku!” seru Hendra, matanya mengelilingi seisi kamar, tapi tak menemukan sosok yang dicari. Seketika dia berteriak berulang kali memanggil Alya. “Kamu ngapain pagi-pagi teriak sih?” Bu Lastri tergopoh-gopoh masuk kamar putranya. “Alya ke mana sih?! Harusnya ‘kan dia siapin semua keperluanku,” kata Hendra. “Palingan dia lagi masak. Telinganya ‘kan emang agak bermasalah,” tutur Bu Lastri. Tak lama kemudian Naya masuk dan membuka lemari baju. Dia mengambil kemeja biru milik Hendra lengkap dengan celana dan dasinya. “Jasnya di gantungan itu ‘kan?” Naya bertanya seraya menunjuk belakang pintu. “Naya, kamu udah siap?” tanya Hendra

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Istri yang Tak Didambakan   7. Mengejar Alya

    Suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan karena ulah nekat Hendra, menarik perhatian Alya yang tadinya tak mendengar panggilan Hendra. Seketika wajah Alya memucat, dia belum siap bertemu Hendra setelah talak yang diucapkan padanya beberapa waktu lalu. Alya mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena merasakan getaran cinta yang masih tersisa, tapi karena rasa takut yang muncul begitu saja. Akan tetapi, langkah lebar Hendra membuat lelaki itu dalam sekejap berada di depannya. “Mau ke mana kamu?! Dasar wanita nggak tau diri!” Hendra memaki dengan suara lantang, tak peduli saat ini berada di jalanan. “Kamu mau apa lagi, Mas?” tanya Alya. “Ikut aku pulang! Kamu jangan nggak tahu diri dengan melupakan kewajibanmu!” seru Hendra. “Kewajiban apa yang kamu minta? Bukankah kamu sudah menjatuhkan talak padaku?” Alya menatap tajam ke arah Hendra yang kini nampak kebingungan harus menjawab apa. “Ya– tetap aja kamu harus

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Istri yang Tak Didambakan   8. Sambutan tak bersahabat

    Naya menutup matanya. Dia terlihat takut melihat sosok yang tiba-tiba saja masuk ke kamar melalui jendela. “Aku nggak mau liat kamu! Aku takut!” seru Naya. Terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Naya segera mendekat ke pintu, menguncinya dari dalam. Tatapannya tertuju pada sosok yang menatapnya dengan air mata berlinang. “Pergi!” kata Naya lantang. “Aku nggak mau ketemu kamu!” “Naya, Bunda–” “Pergi! Aku nggak mau Bunda!” seru Naya. Mau tak mau Alya pergi dari sana. Dengan tubuh gemetaran, dia menaiki kursi dan kembali keluar melalui jendela. Susah payah dia menyelinap masuk kamar Naya demi melihat putrinya, tapi malah mendapat pengusiran yang menyakiti hati. “Naya! Naya sayang! Kamu kenapa?!” Suara Hendra yang panik diikuti gebrakan pintu berulang kali membuat Naya terkejut. Perlahan dia membuka pintu dan memeluk Hendra. “Tadi Bunda dateng ke kamarku, Yah. Aku takut!” “Apa?! Mana dia sekarang?!” Hendra menatap sekitar, lalu menyadari jendela yang terbuka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Istri yang Tak Didambakan   9. Kuncinya bukan obat

    “Aku sudah terlalu sering melihat wanita sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menderita,” kata Alex dingin, melepas dagu Alya kasar. Antara rasa malu dan kesal, Alya hanya bisa menatap kepergian lelaki itu. Suara pintu kamar yang ditutup dengan kencang seolah mewakili teriakan Alya yang tidak bisa keluar. Memangnya dia bisa apa di rumah ini? Hanya seorang tamu yang diundang atas dasar hutang budi belaka, tidak lebih. Kalau menuruti kata hati, jelas Alya memilih segera pergi dari tempat yang tidak menerimanya dengan baik. Namun, dia masih punya akal yang menuntun untuk tetap tinggal, setidaknya ada Bu Titik. Itu sudah sangat cukup. “Sehari saja, nggak apa ‘kan?” Alya memantapkan hatinya, berharap besok sudah mendapatkan tempat tinggal. *** Badan Alya masih lemas, kepalanya pun terkadang pening. Padahal, benturan di kepala imbas pertengkarannya dengan Hendra tidak begitu parah, hanya ada luka robek sepanjang ruas jari dan lebam di sek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   10. Aku tidak butuh uangmu

    “Bukan,” jawab HRD cepat. “Saya hanya menyarankan untuk istirahat dulu di rumah jika kondisimu masih belum sehat.” Alya mengusap wajahnya kasar. Dia mengatur nafas sedemikian rupa, lalu menatap HRD yang sama-sama seorang ibu dan istri tersebut. Meski tidak diucapkan, Alya bisa melihat tatapan penuh kecurigaan tertuju padanya. “Ibu percaya pada semua ucapan suami sa- ah, maksud saya mantan suami saya tadi?” tanya Alya. HRD mengerutkan keningnya. Sebagai manusia biasa tentu rasa keingintahuannya muncul begitu besar. Dia memang baru mendengarkan secara sepihak, tapi entah kenapa hanya dengan satu pertanyaan sederhana itu pandangannya terhadap Alya seketika berubah. Dia lebih percaya bahwa seorang ibu tidak akan menelantarkan anaknya. “Saya tidak ada hak untuk berpendapat, yang jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi kamu tidak perlu khawatir apakah masih boleh bekerja di sini atau tidak. Semua kembali pada kontrak kerjamu, masih atau tidak.” Alya mengangguk. D

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   11. Hilang

    “Naya–” Alya menutup mulutnya, berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat buruk karena pemandangan itu. Dia tak menyangka Naya bisa tertawa riang bersama Naya, jauh berbeda ketika bersamanya.“Jadi itu ceweknya?” tanya Bunga langsung paham keadaan yang terjadi, tapi hanya gelengan kepala yang dia dapat.Alya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan wanita selingkuhan Hendra, hanya melihat dari foto dan video. Itu pun Alya tak memperhatikannya dengan seksama. Memangnya siapa yang bisa tahan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain? Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan oleh Alya, wanita itu berambut pirang dan memiliki tahi lalat di dekat mata sebelah kiri, persis seperti wanita yang kini menggendong Naya dengan senyum manis.Saat Alya tengah diam dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana, Bunga malah disibukkan dengan ponselnya. Entah sejak kapan dia menyadari sesuatu yang tidak asing ketika memperhatikan wanita yang bersama dengan anak dan suami sahabatn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Istri yang Tak Didambakan   12. Mama baru

    “Hati-hati, Al!” seru Bunga.Alya menuju alun-alun, tempat yang diceritakan oleh Bunga. Dia hanya berharap orang itu benar adalah Bu Titik dan masih di sana. Ada rasa malu muncul karena sejak keluar dari rumah itu, Alya tidak ada sekalipun menelpon sekedar menanyakan kabar, seperti orang yang tak tau balas budi, padahal masih meminjam ponsel dari wanita tua tersebut. Bukan tidak mau, tapi dia sendiri sedang berjuang untuk pulih dari rasa sakit, butuh waktu untuk menerima keadaan.–Alya bertanya pada siapa saja yang ditemui di area alun-alun, berharap menemukan titik terang. Namun, dia masih belum menemukan sosok yang dicari meski beberapa orang menunjuk di mana keberadaan Bu Titik. Pasti Bu Titik terus berjalan tanpa arah karena hilang ingatan.Saat itulah Alex berbalik menelponnya. Dia segera memberitahu di mana keberadaannya sekarang karena ada kemungkinan Bu Titik di sana. Tak ada jawaban, panggilan terputus begitu saja membuat Alya jengah. “Emangnya berat buat sekedar bilang iya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Istri yang Tak Didambakan   13. Ketemu

    “Ah, maafkan aku. Bu Titik belum ketemu,” kata Alya.Alex beranjak dari sana seraya memberi kode pada beberapa orang yang diperkirakan adalah orang-orangnya untuk menelusuri seluruh area alun-alun. Tak lama Mbak Yuni pun keluar dari mobil dengan wajah sendu. Dia segera menghampiri Alya, ingin menceritakan perihal Bu Titik.“Loh? Mbak Alya kenapa? Kok matanya merah gitu?” tanya Mbak Yuni diikuti gelengan kepala Alya yang langsung bertanya tentang Bu Titik.“Jadi beliau selalu nanyain aku, Mbak?” tanya Alya.“Ya, beberapa kali Bu Titik bilang mau menelpon, tapi lupa lagi lupa lagi,” jawab Mbak Yuni.Alya yang heran pun bertanya bagaimana Bu Titik bisa hilang, padahal yang dia tahu wanita tua tersebut dikelilingi pengawasan yang ketat saat di rumah. Bukankah hal yang tidak masuk akal jika Bu Titik bisa berkali-kali kabur tanpa sepengetahuan siapa pun?“Bu Titik masih sering keluar entah itu menemui teman-temannya atau sekedar jalan-jalan karena tak betah di rumah. Saat itulah beliau seri

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Didambakan   49. Rasa nyaman

    Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah.***Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya.Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja?Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu.“Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.”Alya mengerutkan kening. "Siapa?"“Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama dia.”Alya meng

  • Istri yang Tak Didambakan   48. Makin menjadi

    Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop

  • Istri yang Tak Didambakan   47. Keuangan yang kacau

    “Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre

  • Istri yang Tak Didambakan   46. Kecurigaan

    “Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas

  • Istri yang Tak Didambakan   45. Pikiran yang semakin kacau

    Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se

  • Istri yang Tak Didambakan   44. Waktu bersama

    “Bunda.”Lagi-lagi suara itu terdengar dan makin jelas. Alya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok yang dia bayangkan berdiri tak jauh dari sana Alya terdiam beberapa saat. Sejenak, waktu terasa berhenti. Dia seperti tidak ada kekuatan untuk berlari menghampiri Naya.Hendra berjalan masuk dengan langkah tenang, menyilangkan tangan di dada. “Aku tahu kamu ingin bertemu dengan Naya. Jadi, aku membawanya.”Alya tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung berlari ke arah putrinya dan berlutut di depannya.“Naya…” suaranya bergetar.Naya menatap Alya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin memeluk ibunya, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dia menunduk, menggigit bibirnya. Air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Bunda,” suara lirihnya kembali terdengar. Dan saat itulah pertahanannya runtuh.Naya langsung melemparkan dirinya ke pelukan Alya, menangis tersedu-sedu. “Bunda, aku–”Alya memeluk putrinya erat, membiarkan air

  • Istri yang Tak Didambakan   43. Kejutan di hari spesial

    “Kalian terlalu sibuk dengan media sosial sampai lupa kalau ada anak kecil di rumah ini! Kalian boleh lupa ada aku, tapi tidak kalau itu Naya! Menyiapkan sarapan yang layak untuk Naya saja apa kalian nggak becus?!”Andin bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekesalan. “Kenapa sih marah-marah terus? Kalau mau Naya makan enak, kenapa nggak masak sendiri?”“Kamu pikir selama ini aku nggak pernah masak untuk anakku? Kamu yang bilang kalau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, tapi bisa-bisanya kamu nggak peduli dengan Naya!”Andin melipat tangan di dada. “Statusku masih belum jelas, kan? Kalau aku sudah jadi istri kamu, tentu aku akan lebih bertanggung jawab, Mas. Jangan bisanya komplen ini itu, tapi lupa apa janjimu padaku!”Hendra menatap Andin tajam. “Jadi kamu sengaja tidak melakukan apa pun hanya karena belum menikah denganku?”Andin tersenyum penuh kemenangan. “Tepat sekali. Lagian kamu masih mau nunggu apalagi sih, Mas? Kamu dan Alya ‘kan udah resmi bercerai.”Hendra terdiam. Di

  • Istri yang Tak Didambakan   42. Tuntutan

    Naya hanya diam, seolah enggan untuk mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak mau tahu apa pun tentang sang ayah yang selama ini sibuk dengan dunianya sendiri–tak peduli pada perasaannya.–Malam semakin larut, tapi Hendra masih duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Rasanya ada begitu banyak beban yang singgah di bahu. Namun, setidaknya dia bisa tenang karena Naya sudah tertidur setelah makan bubur buatannya. Ya, meski awalnya anak itu terlihat enggan untuk menyantapnya. Hendra sendiri merasa pikirannya terus berputar pada dua hal—Alya dan keluarganya yang kini berantakan.Dilihatnya jarum jam dinding yang terus berputar. Hari semakin malam, tapi Ibunya dan Andin belum juga pulang. Dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk. Saat ia bertanya tadi, Naya hanya mengatakan kalau Bu Lastri dan Andin pergi entah ke mana, meninggalkannya sendirian di rumah. Itu sudah cukup membuat darahnya mendidih.Bagaimana bisa mereka meninggalkan anak sekecil itu sendirian?Hendra menarik napas panjang–

  • Istri yang Tak Didambakan   41. Rasa yang sulit dijelaskan

    “Ayah, aku laper,” kata Naya. Hendra mengusap wajah kasar. Dia berjongkok mengimbangi tinggi putrinya, lalu mengusap rambut Naya pelan. Rasa bersalah yang muncul membuat emosinya seketika hilang. Setelah meminta Naya menunggu, Hendra segera ke dapur untuk membuatkan makanan seadanya. Namun, kondisi dapur yang berantakan dan tidak ada stok apa-apa membuat Hendra kembali emosi. Pada akhirnya dia mengajak Naya untuk makan di luar, tak peduli pada dua wanita dewasa di rumah itu. — Malam semakin larut, tapi Hendra tidak bisa tidur. Dia terduduk di ruang kerjanya, kepalanya tertunduk dalam, sementara segelas kopi di meja telah dingin tanpa sempat dia sentuh. Pikirannya terus berputar pada kejadian tadi. Rumah berantakan. Naya kelaparan. Andin yang cuek. Ibunya yang sibuk dengan kehidupan cintanya sendiri. Dan yang paling menghantamnya–bayangan Alya. Wanita itu dulu ada di sini. Dia yang selalu memastikan kondisi rumah rapi, memastikan Naya makan tepat waktu, memastikan segala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status