Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.
“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.
“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.
“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”
“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”
Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.
‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terkadang dia pun bingung untuk siapa bertahan di sana, sedangkan Naya sendiri tak peduli padanya. Dia pun tidak tahu apa yang membuat Alya terlihat begitu membenci dirinya.
Alya menatap Naya yang makan di samping Hendra. Beberapa kali mereka saling pandang, tapi dengan cepat Naya berpaling seolah merasa jijik. Hati ibu mana yang tidak akan terluka dengan sikap anaknya yang seperti itu?
“Ayo, berangkat, Yah!” Naya membersihkan mulutnya dengan tisu, beranjak dari kursi dan mencium punggung tangan Bu Lastri. “Aku berangkat dulu, Nek!”
“Ya, hati-hati di jalan,” ujar Bu Lastri.
“Nay–”
“Ayo, Yah, buruan!” Naya mengabaikan Alya yang sudah mengulurkan tangan, berharap disalami juga.
“Oke!” Hendra pun mengabaikan keberadaan Alya, hanya menyalami Bu Lastri.
Alya menatap langit-langit, tidak membiarkan air matanya turun. Gemuruh dalam dada dibiarkan mereda dengan sendirinya. Wanita pekerja keras itu meyakinkan dirinya bisa melewati ujian kali ini.
—
Malam sudah larut, tapi Hendra belum juga pulang. Alya mencoba bertanya pada Bu Lastri, tapi lagi-lagi dirinya yang dianggap bersalah karena membuat Hendra tidak betah di rumah. Segala kesalahan dilimpahkan kepada wanita yang sejatinya adalah orang asing di rumah tersebut jika tidak ada ikatan pernikahan dengan Hendra.
Alya menunggu kepulangan Hendra di ruang tamu. Namun, suaminya tidak kunjung pulang bahkan hingga hari telah berganti. Matahari sudah terbit saat wajah Alya disiram air oleh Bu Lastri.
“Bangun! Kamu nggak liat ini udah jam berapa?! Dasar, pemalas!”
Teriakan-teriakan kasar Bu Lastri seperti angin lalu bagi Alya yang kini terfokus pada selimut tebal di tubuh. Seingatnya, dia tidak membawa selimut saat menunggu di ruang tamu.
“Mas Hendra udah pulang, Bu?” tanya Alya.
“Dia nggak pulang! Ini pasti gara-gara kamu! Sana buruan masak–”
Alya termenung, membiarkan suara Bu Lastri masuk dari telinga kanan, keluar lewat telinga kiri. Dia bertanya-tanya siapa yang menyelimuti dirinya sambil berjalan masuk kamar. Tadinya dia berpikir itu adalah Hendra, tapi saat mengetahui lelaki itu bahkan tidak pulang, kemungkinannya hanya ada dua, yaitu Bu Lastri atau Naya. Jelas saja Alya berpikir itu adalah Naya karena hal yang mustahil jika Bu Lastri peduli padanya.
Badan Alya masih terasa lemas saat memasak dan membersihkan rumah. Akan tetapi, dia merasa lebih baik karena hari ini adalah weekend, hari libur yang selalu dinanti-nantikan. Dia bisa memanfaatkan waktu untuk membina kedekatan kembali dengan Naya setelah beberapa hari sebelumnya sibuk bekerja.
Di tengah aktivitas Alya, ponselnya berbunyi. Baru saja dia ingin menjawabnya, panggilan itu terhenti. Terus berulang seperti itu hingga membuatnya jengah.
“Siapa sih?!” Alya meletakkan serbet dan mengambil ponselnya. Jarinya bergerak cepat membuka banyaknya foto yang terkirim di aplikasi hijau miliknya. Matanya tak berkedip, tak ingin melewatkan barang satu detik pun untuk melihat keseluruhan foto dan video.
Wajahnya memerah. Tubuhnya bergetar hebat melihat sesuatu yang tidak pantas di ponselnya. Napasnya mulai tidak beraturan dengan dada kembang kempis, naik turun bergantian seiring dengan emosi yang semakin memuncak. Alya berpikir kekerasan fisik yang dia terima selama ini adalah hal paling tinggi yang bisa diterima, ternyata itu salah.
Tidak ada seorang wanita pun yang menginginkan madu dalam pernikahannya, begitu juga Alya. Kesabarannya sudah di penghujung batas, tak bisa lagi mentoleransi sikap sang suami. Bukan hanya nafkah lahir saja yang diabaikan Hendra, tetapi juga nafkah batin.
Alya berusaha meredam emosinya sekarang, terlebih Hendra belum juga pulang. Dia tidak mungkin melampiaskannya kepada orang lain.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi saat Hendra pulang. Lelaki tersebut tersenyum tipis saat melihat Alya datang mendekat. Dengan langkah gontai, Hendra hendak menaiki anak tangga untuk ke kamar.
“Mas, kamu mabuk?” tanya Alya dingin.
“Apa urusanmu?” Hendra melirik kesal.
“Sejak kapan kamu jadi begini? Kenapa kamu makin hari makin berubah, Mas?!”
“Apa sih? Berisik!” Hendra kembali melangkahkan kakinya.
Tepat di anak tangga kedua, Hendra menghentikan langkah saat mendengar suara dari ponsel Alya. Dia menoleh cepat dan melihat video dirinya dengan Andin sedang menikmati malam manis bersama. Tangannya yang panjang segera meraih ponsel tersebut, tapi gerakan tiba-tiba itu membuatnya terhuyung dan nyaris terjatuh.
“Dasar betina nggak tau untung! Masih mending aku bermain di belakangmu! Apa urusanmu, hah?!” tanya Hendra.
“Apa urusanku kamu bilang? Mas, kamu itu masih suamiku! Harusnya aku yang bertanya kenapa kamu melakukan itu di belakangku, Mas? Kenapa?! Apa perjuanganku selama ini nggak berarti sama sekali sampai kamu main cewek di luar sana?! Aku rela bangun pagi menyiapkan semua keperluan orang serumah. Aku rela kerja sampai malam demi menutup biaya rumah yang nggak sedikit. Apa itu masih kurang di matamu?” Mata Alya mulai berkabut, dipenuhi air mata yang meluncur begitu saja.
Bukannya merasa kasihan, Hendra malah menjambak rambut Alya. Dia memaki istrinya dengan kata-kata yang tidak pantas, bahkan membandingkannya dengan wanita lain. Lelaki berkulit sawo matang tersebut menegaskan bahwa di luar sana banyak wanita yang memujanya.
Alya tidak menghiraukan rasa perih di kulit kepalanya. Entah sudah berapa helai rambut yang tercabut akibat tindakan Hendra. Tubuhnya yang hanya setinggi bahu Hendra tak bisa melawan dengan setiap gerakan yang dilakukan oleh suaminya. Dia terpontang-panting ke sana kemari, seolah benda tidak berharga yang bisa dilempar sesuka hati.
“Kalau iya, kenapa? Kamu mau apa?! Kamu ini kalau nggak ada aku, emangnya ada yang mau?” Hendra terkekeh, tak ada rasa kasihan barang sedikit. Dia menghempaskan tubuh Alya hingga terantuk pegangan tangga.
Alya terjatuh ke lantai dengan luka di kepala. Saat mengangkat wajah, ada Naya berjongkok di dekatnya. Tangan Alya terulur, memeluk Naya, meminta kekuatan dari satu-satunya alasan bertahan di sana.
Tangis Alya pecah seketika merasakan usapan lembut di punggungnya. Dia merasa kalau Naya tidak pernah membencinya. Kekuatannya mulai terkumpul perlahan, tapi sebuah kalimat yang terlontar dari mulut Alya menghancurkannya berkeping-keping.
“Ayah, aku nggak mau Bunda yang ini. Dia terlalu jelek dan cengeng. Kenapa nggak bercerai saja?”
Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata
“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t
“Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la
“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalah
Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?”“Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!”Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.”“Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!” kata
Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya. “Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terka
“Nay—” Alya menangis. Dia merasakan nyeri tepat di ulu hati. Bagaimana bisa anak yang begitu disayang malah mengatakan hal yang begitu menyakitkan? Bu Lastri memberi kode kepada Hendra untuk segera beranjak dari sana, mengantar Naya sekolah agar tidak terlambat. Begitu keduanya pergi, Bu Lastri mengumpat, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas pada menantunya tersebut. Sejak awal, dia memang tidak begitu menyukai Alya karena memiliki pandangan sendiri tentang siapa jodoh putra semata wayangnya. Akan tetapi, saat pernikahan itu terjadi, dia tak ada kuasa apa-apa untuk menentang karena suaminya yang tegas mendukung 100%. Suasana di rumah pun tidak seperti sekarang, semua terlihat baik-baik saja sampai akhirnya tiga tahun lalu, suami Bu Lastri meninggal dunia karena sakit. Sejak saat itulah nasib Alya berubah drastis.“Bu, aku kerja juga buat semua orang di rumah ini! Gaji Mas Hendra ‘kan Ibu yang pegang!” Alya mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini terpendam karena terus-terusan disalah
“Sejak kapan kamu begitu berisik? Nggak tau kalau aku capek?!” Hendra duduk tanpa rasa bersalah meski Alya meringis kesakitan.“Aku ‘kan cuma tanya, Mas. Apa perlu sampai memukulku?” Isak tangis Alya terdengar semakin jelas. Sudah ke sekian kalinya dia mendapatkan perilaku kekerasan dari Hendra hanya karena masalah sepele. Pun begitu, Alya mencoba menerima meski rasa di hatinya untuk Hendra kian lama kian hilang, hanya menyisakan sebuah rasa pasrah menjalani hari-harinya.Alya melirik Hendra yang kini berbaring dengan ponsel tetap berada di genggaman. Entah apa yang membuat lelaki itu enggan berjauhan dengan benda pipih barunya.Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi. Rasa sakit yang mendera akibat pukulan Hendra membuat tubuhnya bergetar, bukan semata karena nyeri, tapi juga karena rasa sakit dalam hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata.“Kamu boleh tidak mencintaiku lagi, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai ibu dari Naya. Kalau bukan karena Naya, sudah sejak la
“Alya, apa kamu nggak liat meja berantakan? Cepet beresin!” Teriakan Bu Lastri menyambut Alya yang baru masuk rumah. Alya menghela napas panjang. Tangannya bahkan belum lepas dari gagang pintu, tapi sudah mendapat omelan dan tatapan tajam dari ibu mertuanya. Sambutan semacam itu sudah sering dia dapatkan, bahkan nyaris tak pernah absen. Baru saja ingin kembali melangkah, Alya berjingkat kaget mendengar suara gebrakan meja.“Ngapain malah bengong?! Cepet beresin, dasar pemalas!”“Iya, Bu,” sahut Alya kemudian. Di kepalanya terlintas bayangan sedang mencekik leher Bu Lastri dengan taplak meja. Andai saja membunuh bukan tindakan kriminal, pasti dia sudah melakukannya.Alya berusaha untuk tidak mengeluh atau membantah. Sebuah jawaban hanya akan menimbulkan percikan api yang bisa membakar ketenangannya yang rapuh. Diletakkannya tas ransel yang selalu dibawa bekerja di atas meja kecil dekat pintu. Langkah kakinya cepat, mengabaikan tubuh yang terasa remuk setelah lembur di sebuah pabrik t