Beranda / Romansa / Istri yang Tak Didambakan / 4. Terbongkarnya perselingkuhan

Share

4. Terbongkarnya perselingkuhan

Penulis: Listy Airyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-18 00:40:40

Sontak Hendra dan Naya terkejut. Mereka tidak tau kalau pembicaraan tadi terdengar sampai luar, apalagi sampai terdengar Alya.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Hendra cepat, lalu mengajak Naya keluar kamar, tak mau memberikan kesempatan Alya bertanya lebih jauh.

“Mas, kamu belum jawab pertanyaanku!” Alya mengejar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.

“Kamu ngapain sih? Nggak liat ini udah siang? Kalau Naya sampai telat masuk sekolah, aku juga yang repot. Kamu mana pernah ngurusin Naya,” sahut Hendra.

“Nggak pernah kamu bilang? Ak–”

“Udahlah!” Hendra menyela. “Kamu mau kami terlambat beneran?”

Bu Lastri menjatuhkan sendoknya ke piring. Suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang. Tatapan matanya yang tajam membuat Alya malas melanjutkan perdebatan karena tau akhirnya pasti tidak akan baik untuk dirinya. Memangnya di rumah ini siapa yang akan membelanya? Bahkan, anak kandungnya saja enggan menatap dirinya sekarang.

‘Sampai kapan aku harus mengalah?’ Batin Alya terkoyak. Terkadang dia pun bingung untuk siapa bertahan di sana, sedangkan Naya sendiri tak peduli padanya. Dia pun tidak tahu apa yang membuat Naya terlihat begitu membenci dirinya.

Alya menatap Naya yang makan di samping Hendra. Beberapa kali mereka saling pandang, tapi dengan cepat Naya berpaling seolah merasa jijik. Hati ibu mana yang tidak akan terluka dengan sikap anaknya yang seperti itu?

“Ayo, berangkat, Yah!” Naya membersihkan mulutnya dengan tisu, beranjak dari kursi dan mencium punggung tangan Bu Lastri. “Aku berangkat dulu, Nek!”

“Ya, hati-hati di jalan,” ujar Bu Lastri.

“Nay–”

“Ayo, Yah, buruan!” Naya mengabaikan Alya yang sudah mengulurkan tangan, berharap disalami juga.

“Oke!” Hendra pun mengabaikan keberadaan Alya, hanya menyalami Bu Lastri.

Alya menatap langit-langit, tidak membiarkan air matanya turun. Gemuruh dalam dada dibiarkan mereda dengan sendirinya. Wanita pekerja keras itu meyakinkan dirinya bisa melewati ujian kali ini.

Malam sudah larut, tapi Hendra belum juga pulang. Alya mencoba bertanya pada Bu Lastri, tapi lagi-lagi dirinya yang dianggap bersalah karena membuat Hendra tidak betah di rumah. Segala kesalahan dilimpahkan kepada wanita yang sejatinya adalah orang asing di rumah tersebut jika tidak ada ikatan pernikahan dengan Hendra.

Alya menunggu kepulangan Hendra di ruang tamu. Namun, suaminya tidak kunjung pulang bahkan hingga hari telah berganti. Matahari sudah terbit saat wajah Alya disiram air oleh Bu Lastri.

“Bangun! Kamu nggak liat ini udah jam berapa?! Dasar, pemalas!”

Teriakan-teriakan kasar Bu Lastri seperti angin lalu bagi Alya yang kini terfokus pada selimut tebal di tubuh. Seingatnya, dia tidak membawa selimut saat menunggu di ruang tamu.

“Mas Hendra udah pulang, Bu?” tanya Alya.

“Dia nggak pulang! Ini pasti gara-gara kamu! Sana buruan masak–”

Alya termenung, membiarkan suara Bu Lastri masuk dari telinga kanan, keluar lewat telinga kiri. Dia bertanya-tanya siapa yang menyelimuti dirinya sambil berjalan masuk kamar. Tadinya dia berpikir itu adalah Hendra, tapi saat mengetahui lelaki itu bahkan tidak pulang, kemungkinannya hanya ada dua, yaitu Bu Lastri atau Naya. Jelas saja Alya berpikir itu adalah Naya karena hal yang mustahil jika Bu Lastri peduli padanya.

Badan Alya masih terasa lemas saat memasak dan membersihkan rumah. Akan tetapi, dia merasa lebih baik karena hari ini adalah weekend, hari libur yang selalu dinanti-nantikan. Dia bisa memanfaatkan waktu untuk membina kedekatan kembali dengan Naya setelah beberapa hari sebelumnya sibuk bekerja.

Di tengah aktivitas Alya, ponselnya berbunyi. Baru saja dia ingin menjawabnya, panggilan itu terhenti. Terus berulang seperti itu hingga membuatnya jengah.

“Siapa sih?!” Alya meletakkan serbet dan mengambil ponselnya. Jarinya bergerak cepat membuka banyaknya foto yang terkirim di aplikasi hijau miliknya. Matanya tak berkedip, tak ingin melewatkan barang satu detik pun untuk melihat keseluruhan foto dan video.

Wajahnya memerah. Tubuhnya bergetar hebat melihat sesuatu yang tidak pantas di ponselnya. Napasnya mulai tidak beraturan dengan dada kembang kempis, naik turun bergantian seiring dengan emosi yang semakin memuncak. Alya berpikir kekerasan fisik yang dia terima selama ini adalah hal paling tinggi yang bisa diterima, ternyata itu salah.

Tidak ada seorang wanita pun yang menginginkan madu dalam pernikahannya, begitu juga Alya. Kesabarannya sudah di penghujung batas, tak bisa lagi mentoleransi sikap sang suami. Bukan hanya nafkah lahir saja yang diabaikan Hendra, tetapi juga nafkah batin.

Alya berusaha meredam emosinya sekarang, terlebih Hendra belum juga pulang. Dia tidak mungkin melampiaskannya kepada orang lain.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi saat Hendra pulang. Lelaki tersebut tersenyum tipis saat melihat Alya datang mendekat. Dengan langkah gontai, Hendra hendak menaiki anak tangga untuk ke kamar.

“Mas, kamu mabuk?” tanya Alya dingin.

“Apa urusanmu?” Hendra melirik kesal.

“Sejak kapan kamu jadi begini? Kenapa kamu makin hari makin berubah, Mas?!”

“Apa sih? Berisik!” Hendra kembali melangkahkan kakinya.

Tepat di anak tangga kedua, Hendra menghentikan langkah saat mendengar suara dari ponsel Alya. Dia menoleh cepat dan melihat video dirinya dengan Andin sedang menikmati malam manis bersama. Tangannya yang panjang segera meraih ponsel tersebut, tapi gerakan tiba-tiba itu membuatnya terhuyung dan nyaris terjatuh.

“Dasar betina nggak tau untung! Masih mending aku bermain di belakangmu! Apa urusanmu, hah?!” tanya Hendra.

“Apa urusanku kamu bilang? Mas, kamu itu masih suamiku! Harusnya aku yang bertanya kenapa kamu melakukan itu di belakangku, Mas? Kenapa?! Apa perjuanganku selama ini nggak berarti sama sekali sampai kamu main cewek di luar sana?! Aku rela bangun pagi menyiapkan semua keperluan orang serumah. Aku rela kerja sampai malam demi menutup biaya rumah yang nggak sedikit. Apa itu masih kurang di matamu?” Mata Alya mulai berkabut, dipenuhi air mata yang meluncur begitu saja.

Bukannya merasa kasihan, Hendra malah menjambak rambut Alya. Dia memaki istrinya dengan kata-kata yang tidak pantas, bahkan membandingkannya dengan wanita lain. Lelaki berkulit sawo matang tersebut menegaskan bahwa di luar sana banyak wanita yang memujanya.

Alya tidak menghiraukan rasa perih di kulit kepalanya. Entah sudah berapa helai rambut yang tercabut akibat tindakan Hendra. Tubuhnya yang hanya setinggi bahu Hendra tak bisa melawan dengan setiap gerakan yang dilakukan oleh suaminya. Dia terpontang-panting ke sana kemari, seolah benda tidak berharga yang bisa dilempar sesuka hati.

“Kalau iya, kenapa? Kamu mau apa?! Kamu ini kalau nggak ada aku, emangnya ada yang mau?” Hendra terkekeh, tak ada rasa kasihan barang sedikit. Dia menghempaskan tubuh Alya hingga terantuk pegangan tangga.

Alya terjatuh ke lantai dengan luka di kepala. Saat mengangkat wajah, ada Naya berjongkok di dekatnya. Tangan Alya terulur, memeluk Naya, meminta kekuatan dari satu-satunya alasan bertahan di sana.

Tangis Alya pecah seketika merasakan usapan lembut di punggungnya. Dia merasa kalau Naya tidak pernah membencinya. Kekuatannya mulai terkumpul perlahan, tapi sebuah kalimat yang terlontar dari mulut Naya menghancurkannya berkeping-keping.

“Ayah, aku nggak mau Bunda yang ini. Dia terlalu jelek dan cengeng. Kenapa nggak bercerai saja?”

Bab terkait

  • Istri yang Tak Didambakan   5. Jatuhnya talak

    Pelan tapi pasti, Alya melepas pelukannya. Dia menatap Naya tak percaya. Apa benar Naya adalah darah dagingnya? Bagaimana bisa Naya mengatakan hal sekeji itu? Alya menggelengkan kepala diikuti tawa Hendra yang senang mendengar permintaan Naya. Dia tidak bersedih jika harus berpisah dengan lelaki yang selama ini menyiakan keberadaannya, tapi jika itu Naya, rasanya hidup pun tak ada artinya lagi. Susah payah dia menahan rasa sakit demi Naya, tapi Naya juga yang membuatnya hilang rasa. “Naya, kenapa kamu tega bicara begitu?” tanya Alya. “Apa kamu nggak tau selama ini Bunda bertahan demi kamu?” “Aku nggak suka liat Bunda di rumah ini! Mending Bunda cerai aja sama Ayah!” sahut Naya ketus, menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Aku benci Bunda! Aku benci!” Alya menutup telinga. Dia tak mau mendengar ucapan menyakitkan itu lagi. “Baiklah, Bunda akan penuhi permintaanmu, Nay. Bunda pergi.” “Pergi aja sana! Kami nggak butuh kamu!” seru Hendra tertawa puas. “Kamu akan menyesal, Mas!”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18
  • Istri yang Tak Didambakan   6. Kehangatan lain

    Sudah jatuh malah tertimpa tangga. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi Alya saat ini. Beruntung wanita yang ditolongnya sadar tepat waktu dan menjelaskan semuanya. *** Hendra bangun kesiangan karena tak ada yang membangunkan. Dia segera mandi, tapi saat ingin memakai baju emosinya seketika muncul. “Alya, mana bajuku!” seru Hendra, matanya mengelilingi seisi kamar, tapi tak menemukan sosok yang dicari. Seketika dia berteriak berulang kali memanggil Alya. “Kamu ngapain pagi-pagi teriak sih?” Bu Lastri tergopoh-gopoh masuk kamar putranya. “Alya ke mana sih?! Harusnya ‘kan dia siapin semua keperluanku,” kata Hendra. “Palingan dia lagi masak. Telinganya ‘kan emang agak bermasalah,” tutur Bu Lastri. Tak lama kemudian Naya masuk dan membuka lemari baju. Dia mengambil kemeja biru milik Hendra lengkap dengan celana dan dasinya. “Jasnya di gantungan itu ‘kan?” Naya bertanya seraya menunjuk belakang pintu. “Naya, kamu udah siap?” tanya Hendra

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Istri yang Tak Didambakan   7. Mengejar Alya

    Suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan karena ulah nekat Hendra, menarik perhatian Alya yang tadinya tak mendengar panggilan Hendra. Seketika wajah Alya memucat, dia belum siap bertemu Hendra setelah talak yang diucapkan padanya beberapa waktu lalu. Alya mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari tempat persembunyian. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena merasakan getaran cinta yang masih tersisa, tapi karena rasa takut yang muncul begitu saja. Akan tetapi, langkah lebar Hendra membuat lelaki itu dalam sekejap berada di depannya. “Mau ke mana kamu?! Dasar wanita nggak tau diri!” Hendra memaki dengan suara lantang, tak peduli saat ini berada di jalanan. “Kamu mau apa lagi, Mas?” tanya Alya. “Ikut aku pulang! Kamu jangan nggak tahu diri dengan melupakan kewajibanmu!” seru Hendra. “Kewajiban apa yang kamu minta? Bukankah kamu sudah menjatuhkan talak padaku?” Alya menatap tajam ke arah Hendra yang kini nampak kebingungan harus menjawab apa. “Ya– tetap aja kamu harus

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Istri yang Tak Didambakan   8. Sambutan tak bersahabat

    Naya menutup matanya. Dia terlihat takut melihat sosok yang tiba-tiba saja masuk ke kamar melalui jendela. “Aku nggak mau liat kamu! Aku takut!” seru Naya. Terdengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Naya segera mendekat ke pintu, menguncinya dari dalam. Tatapannya tertuju pada sosok yang menatapnya dengan air mata berlinang. “Pergi!” kata Naya lantang. “Aku nggak mau ketemu kamu!” “Naya, Bunda–” “Pergi! Aku nggak mau Bunda!” seru Naya. Mau tak mau Alya pergi dari sana. Dengan tubuh gemetaran, dia menaiki kursi dan kembali keluar melalui jendela. Susah payah dia menyelinap masuk kamar Naya demi melihat putrinya, tapi malah mendapat pengusiran yang menyakiti hati. “Naya! Naya sayang! Kamu kenapa?!” Suara Hendra yang panik diikuti gebrakan pintu berulang kali membuat Naya terkejut. Perlahan dia membuka pintu dan memeluk Hendra. “Tadi Bunda dateng ke kamarku, Yah. Aku takut!” “Apa?! Mana dia sekarang?!” Hendra menatap sekitar, lalu menyadari jendela yang terbuka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Istri yang Tak Didambakan   9. Kuncinya bukan obat

    “Aku sudah terlalu sering melihat wanita sepertimu. Cepat tinggalkan rumah ini atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menderita,” kata Alex dingin, melepas dagu Alya kasar. Antara rasa malu dan kesal, Alya hanya bisa menatap kepergian lelaki itu. Suara pintu kamar yang ditutup dengan kencang seolah mewakili teriakan Alya yang tidak bisa keluar. Memangnya dia bisa apa di rumah ini? Hanya seorang tamu yang diundang atas dasar hutang budi belaka, tidak lebih. Kalau menuruti kata hati, jelas Alya memilih segera pergi dari tempat yang tidak menerimanya dengan baik. Namun, dia masih punya akal yang menuntun untuk tetap tinggal, setidaknya ada Bu Titik. Itu sudah sangat cukup. “Sehari saja, nggak apa ‘kan?” Alya memantapkan hatinya, berharap besok sudah mendapatkan tempat tinggal. *** Badan Alya masih lemas, kepalanya pun terkadang pening. Padahal, benturan di kepala imbas pertengkarannya dengan Hendra tidak begitu parah, hanya ada luka robek sepanjang ruas jari dan lebam di sek

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   10. Aku tidak butuh uangmu

    “Bukan,” jawab HRD cepat. “Saya hanya menyarankan untuk istirahat dulu di rumah jika kondisimu masih belum sehat.” Alya mengusap wajahnya kasar. Dia mengatur nafas sedemikian rupa, lalu menatap HRD yang sama-sama seorang ibu dan istri tersebut. Meski tidak diucapkan, Alya bisa melihat tatapan penuh kecurigaan tertuju padanya. “Ibu percaya pada semua ucapan suami sa- ah, maksud saya mantan suami saya tadi?” tanya Alya. HRD mengerutkan keningnya. Sebagai manusia biasa tentu rasa keingintahuannya muncul begitu besar. Dia memang baru mendengarkan secara sepihak, tapi entah kenapa hanya dengan satu pertanyaan sederhana itu pandangannya terhadap Alya seketika berubah. Dia lebih percaya bahwa seorang ibu tidak akan menelantarkan anaknya. “Saya tidak ada hak untuk berpendapat, yang jelas hal ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi kamu tidak perlu khawatir apakah masih boleh bekerja di sini atau tidak. Semua kembali pada kontrak kerjamu, masih atau tidak.” Alya mengangguk. D

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Istri yang Tak Didambakan   11. Hilang

    “Naya–” Alya menutup mulutnya, berusaha menahan diri agar tidak mengucapkan kalimat buruk karena pemandangan itu. Dia tak menyangka Naya bisa tertawa riang bersama Naya, jauh berbeda ketika bersamanya.“Jadi itu ceweknya?” tanya Bunga langsung paham keadaan yang terjadi, tapi hanya gelengan kepala yang dia dapat.Alya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan wanita selingkuhan Hendra, hanya melihat dari foto dan video. Itu pun Alya tak memperhatikannya dengan seksama. Memangnya siapa yang bisa tahan melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain? Namun, ada beberapa hal yang tak bisa dilupakan oleh Alya, wanita itu berambut pirang dan memiliki tahi lalat di dekat mata sebelah kiri, persis seperti wanita yang kini menggendong Naya dengan senyum manis.Saat Alya tengah diam dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana, Bunga malah disibukkan dengan ponselnya. Entah sejak kapan dia menyadari sesuatu yang tidak asing ketika memperhatikan wanita yang bersama dengan anak dan suami sahabatn

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25
  • Istri yang Tak Didambakan   12. Mama baru

    “Hati-hati, Al!” seru Bunga.Alya menuju alun-alun, tempat yang diceritakan oleh Bunga. Dia hanya berharap orang itu benar adalah Bu Titik dan masih di sana. Ada rasa malu muncul karena sejak keluar dari rumah itu, Alya tidak ada sekalipun menelpon sekedar menanyakan kabar, seperti orang yang tak tau balas budi, padahal masih meminjam ponsel dari wanita tua tersebut. Bukan tidak mau, tapi dia sendiri sedang berjuang untuk pulih dari rasa sakit, butuh waktu untuk menerima keadaan.–Alya bertanya pada siapa saja yang ditemui di area alun-alun, berharap menemukan titik terang. Namun, dia masih belum menemukan sosok yang dicari meski beberapa orang menunjuk di mana keberadaan Bu Titik. Pasti Bu Titik terus berjalan tanpa arah karena hilang ingatan.Saat itulah Alex berbalik menelponnya. Dia segera memberitahu di mana keberadaannya sekarang karena ada kemungkinan Bu Titik di sana. Tak ada jawaban, panggilan terputus begitu saja membuat Alya jengah. “Emangnya berat buat sekedar bilang iya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-25

Bab terbaru

  • Istri yang Tak Didambakan   49. Rasa nyaman

    Naya terus menangis hingga kelelahan. Sayangnya, Hendra tidak mengetahui bagaimana kondisi putrinya karena terlalu frustasi memikirkan keuangan yang membengkak. Pulang dari bekerja, lelaki itu langsung mengurung diri di kamar dan tidak keluar lagi–seolah tak ingin bertemu dengan siapapun di rumah.***Restoran Alya semakin berkembang, setiap meja hampir selalu terisi, dan pesanan datang tanpa henti. Alya sibuk memantau operasional, memastikan semuanya berjalan lancar. Tapi di tengah kesibukan itu, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari satu nama—Naya.Sudah beberapa hari tidak bertemu dan Alya mulai merasakan rindu yang menyakitkan. Dia ingin tahu bagaimana keadaan putrinya, apakah Naya baik-baik saja?Saat Alya tengah berdiri di dekat kasir, seorang pelayan datang dengan wajah sedikit ragu.“Bu Alya, ada tamu yang ingin bertemu.”Alya mengerutkan kening. "Siapa?"“Seorang wanita, katanya penting. Waktu saya tanya namanya siapa malah marah-marah karena nggak kenal sama dia.”Alya meng

  • Istri yang Tak Didambakan   48. Makin menjadi

    Hendra masih berdiri terpaku di tengah ruangan dengan tangan mengepal. Napasnya memburu, pikirannya berputar tanpa arah. Dia baru saja menyaksikan ibunya menjadi bahan tertawaan di media sosial, seorang wanita tua yang ditipu habis-habisan oleh kekasih online yang bahkan belum pernah dia temui secara langsung.Ini semua serasa tidak masuk akal baginya.Uang puluhan juta yang dikirimkan Bu Lastri ke lelaki asing itu bukan hanya berasal dari rekening pribadinya, tapi juga dari kartu kredit yang Hendra berikan. Wajar jika kini, kartu kredit itu tidak bisa digunakan lagi karena menyentuh limit maksimal.Dunia Hendra semakin gelap. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini kepada bank nanti. Dia harus segera mencari cara agar masalah ini tidak semakin membesar.Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya berbunyi.Sebuah panggilan masuk–dari bank.Dengan tangan gemetar, Hendra mengangkat telepon. Suara seorang pegawai bank menyapanya dengan nada sop

  • Istri yang Tak Didambakan   47. Keuangan yang kacau

    “Gimana?” Bu Lastri memamerkan kartu yang kini ada di tangannya.“Good job!” Andin mengacungkan jempolnya dengan senyum puas. “Emang paling bisa kamu tuh cari cara. Kirain selama ini Hendra udah kasih hampir semua uang gajinya, ternyata enggak. Emang dasar anak itu perhitungan banget!” kata Bu Lastri.Andin menatap Bu Lastri lekat. Tidak sia-sia usahanya selama ini dalam mendekati Bu Lastri. Rasanya, dia tak perlu status sebagai istri kalau semua orang di rumah bisa dikendalikan seperti ini.Setelah hari itu, Hendra tidak lagi mendapat tuntutan menikah. Semua berjalan normal–hampir sama ketika ada Alya di sana. Rumah rapi, makanan tersedia di jam makan, dan yang jelas wajah tiga wanita beda usia di rumah terlihat lebih nyaman dipandang. Hendra merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang.Kuncinya benar-benar di uang. Itulah anggapan Hendra saat ini. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi.---Hendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspre

  • Istri yang Tak Didambakan   46. Kecurigaan

    “Hen–dra? Ka-kamu kok belum tidur?” tanya Bu Lastri dengan suara tergagap. Dia mencengkram bajunya dengan kuat.Hendra berjalan dengan langkah lebar, merampas ponsel yang ada di genggaman ibunya. Panggilan video yang sempat terdengar tadi sudah berakhir. Dia menatap tajam ke arah ibunya dan dengan suara lantang bertanya, “Apa yang sedang Ibu lakukan?!”“Ibu nggak ngapa-ngapain, cuma–”“Cuma apa, Bu?! Jawab!”Hendra terus menatap sang ibu. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia bukan orang bodoh. Dia tahu apa yang sedang diperbuat oleh ibunya. Entah kenapa dia yang merasa malu. Dia bukan mau menyalahkan ibunya, tapi malah teringat dengan kesalahan yang dia perbuat sendiri. Hanya saja, dia tidak tahu alasan dari sang ibu melakukan hal tersebut. Setelah terjadi pembicaraan serius yang cukup lama, akhirnya Bu Lastri mengaku tidak sadar melakukan hal yang melanggar norma tersebut. Dia terbuai rayuan lelaki yang dikenalnya melalui media sosial. Jelas Hendra kalap. Dia mengambil kuasa atas

  • Istri yang Tak Didambakan   45. Pikiran yang semakin kacau

    Alya berdiri di depan pintu, menatap punggung kecil Naya yang berjalan menuju mobil Hendra. Hatinya terasa berat. Baru saja dia kembali merasakan kehangatan bersama putrinya, tapi waktu sudah memaksanya untuk merelakan perpisahan lagi.Naya tidak menoleh. Tidak ada lambaian tangan atau sekadar senyum perpisahan. Hanya punggung kecil yang menjauh, masuk ke dalam mobil, lalu pergi begitu saja.Alya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang sesak. Namun, matanya tetap terpaku pada jalan yang kini kosong, berharap keajaiban terjadi—bahwa mobil itu akan berbalik dan membawa Naya kembali ke pelukannya–tapi, tidak.Keajaiban itu tidak datang.“Jangan berdiri di situ terlalu lama.” Suara Alex terdengar dari belakang, datar seperti biasa. Baju formal sudah melekat sempurna di tubuh tingginya. “Dia pasti akan kembali lagi nanti.”Alya menoleh, menatap Alex yang kini bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pria itu tampak tenang, tapi Alya tahu, meski dingin, Alex se

  • Istri yang Tak Didambakan   44. Waktu bersama

    “Bunda.”Lagi-lagi suara itu terdengar dan makin jelas. Alya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok yang dia bayangkan berdiri tak jauh dari sana Alya terdiam beberapa saat. Sejenak, waktu terasa berhenti. Dia seperti tidak ada kekuatan untuk berlari menghampiri Naya.Hendra berjalan masuk dengan langkah tenang, menyilangkan tangan di dada. “Aku tahu kamu ingin bertemu dengan Naya. Jadi, aku membawanya.”Alya tak bisa menahan diri lagi. Dia langsung berlari ke arah putrinya dan berlutut di depannya.“Naya…” suaranya bergetar.Naya menatap Alya dengan ragu. Matanya berkaca-kaca, seakan ingin memeluk ibunya, tapi ada sesuatu yang menahannya.Dia menunduk, menggigit bibirnya. Air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Bunda,” suara lirihnya kembali terdengar. Dan saat itulah pertahanannya runtuh.Naya langsung melemparkan dirinya ke pelukan Alya, menangis tersedu-sedu. “Bunda, aku–”Alya memeluk putrinya erat, membiarkan air

  • Istri yang Tak Didambakan   43. Kejutan di hari spesial

    “Kalian terlalu sibuk dengan media sosial sampai lupa kalau ada anak kecil di rumah ini! Kalian boleh lupa ada aku, tapi tidak kalau itu Naya! Menyiapkan sarapan yang layak untuk Naya saja apa kalian nggak becus?!”Andin bangkit dari duduknya, wajahnya penuh kekesalan. “Kenapa sih marah-marah terus? Kalau mau Naya makan enak, kenapa nggak masak sendiri?”“Kamu pikir selama ini aku nggak pernah masak untuk anakku? Kamu yang bilang kalau ingin menjadi bagian dari keluarga ini, tapi bisa-bisanya kamu nggak peduli dengan Naya!”Andin melipat tangan di dada. “Statusku masih belum jelas, kan? Kalau aku sudah jadi istri kamu, tentu aku akan lebih bertanggung jawab, Mas. Jangan bisanya komplen ini itu, tapi lupa apa janjimu padaku!”Hendra menatap Andin tajam. “Jadi kamu sengaja tidak melakukan apa pun hanya karena belum menikah denganku?”Andin tersenyum penuh kemenangan. “Tepat sekali. Lagian kamu masih mau nunggu apalagi sih, Mas? Kamu dan Alya ‘kan udah resmi bercerai.”Hendra terdiam. Di

  • Istri yang Tak Didambakan   42. Tuntutan

    Naya hanya diam, seolah enggan untuk mendengar ucapan ayahnya. Dia tidak mau tahu apa pun tentang sang ayah yang selama ini sibuk dengan dunianya sendiri–tak peduli pada perasaannya.–Malam semakin larut, tapi Hendra masih duduk di ruang tamu dengan wajah gelap. Rasanya ada begitu banyak beban yang singgah di bahu. Namun, setidaknya dia bisa tenang karena Naya sudah tertidur setelah makan bubur buatannya. Ya, meski awalnya anak itu terlihat enggan untuk menyantapnya. Hendra sendiri merasa pikirannya terus berputar pada dua hal—Alya dan keluarganya yang kini berantakan.Dilihatnya jarum jam dinding yang terus berputar. Hari semakin malam, tapi Ibunya dan Andin belum juga pulang. Dia mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk. Saat ia bertanya tadi, Naya hanya mengatakan kalau Bu Lastri dan Andin pergi entah ke mana, meninggalkannya sendirian di rumah. Itu sudah cukup membuat darahnya mendidih.Bagaimana bisa mereka meninggalkan anak sekecil itu sendirian?Hendra menarik napas panjang–

  • Istri yang Tak Didambakan   41. Rasa yang sulit dijelaskan

    “Ayah, aku laper,” kata Naya. Hendra mengusap wajah kasar. Dia berjongkok mengimbangi tinggi putrinya, lalu mengusap rambut Naya pelan. Rasa bersalah yang muncul membuat emosinya seketika hilang. Setelah meminta Naya menunggu, Hendra segera ke dapur untuk membuatkan makanan seadanya. Namun, kondisi dapur yang berantakan dan tidak ada stok apa-apa membuat Hendra kembali emosi. Pada akhirnya dia mengajak Naya untuk makan di luar, tak peduli pada dua wanita dewasa di rumah itu. — Malam semakin larut, tapi Hendra tidak bisa tidur. Dia terduduk di ruang kerjanya, kepalanya tertunduk dalam, sementara segelas kopi di meja telah dingin tanpa sempat dia sentuh. Pikirannya terus berputar pada kejadian tadi. Rumah berantakan. Naya kelaparan. Andin yang cuek. Ibunya yang sibuk dengan kehidupan cintanya sendiri. Dan yang paling menghantamnya–bayangan Alya. Wanita itu dulu ada di sini. Dia yang selalu memastikan kondisi rumah rapi, memastikan Naya makan tepat waktu, memastikan segala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status