Share

5

Author: Just_K
last update Last Updated: 2025-02-04 11:33:22

Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.

Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.

Drrtt drrtt!

Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar.

"Halo, Assalamualaikum, Nit. Tumben malem-malem gini, kamu telepon?"

"Waalaikumsalam, Zahra. Maaf ya, ganggu? Aku nggak bisa tidur nih, habis meeting sama klien. Ribet banget kliennya! Please, aku butuh curhat!"

"Kenapa emangnya? Ribet gimana?" tanyaku, tahu persis betapa sibuknya Nita dengan bisnis wedding organizer-nya.

"Ya gitu... klien minta ganti catering H-1 nikahan! Gimana coba?"

"Sabar, Nita. Istighfar..."

"Haura Zahra, kamu sidejobnya jadi ustazah sekarang?"

"Heh, disuruh istighfar malah bercanda. Astaghfirullah, Nit!"

"Astaghfirullah... puas?"

"Nah, gitu kan enak didengar?"

"Hah... eh, ngomong-ngomong kamu mau ambil part time besok lusa nggak, Ra? Biar venuenya adem."

"Serius sepanas itu?"

"Banget! Tadi aja keluarga mempelai laki-laki hampir batalin acara!"

"Loh, kok bisa?"

"Mana aku tahu? Tapi akhirnya tetap nikah, meski ada drama sedikit. Eh, bentar... kayaknya aku pernah lihat mereka di mana ya? Mungkin di nikahan kamu?"

"Siapa memangnya? Saudara aku mungkin?"

"Bukan deh. Kayaknya bukan saudara. Eh, tapi nggak tau juga sih? Nanti aku cariin fotonya harusnya ada sih dokumentasinya. Kalau ketemu, aku kirim fotonya ke kamu."

"Oke. Eh, ngomong-ngomong, acaranya di mana, Nit?"

"Di Puncak, Bogor. Kenapa? Kamu tertarik ambil part time?"

Deg! 

Hatiku langsung berdebar. Mama sama Papa juga kebetulan di Puncak Bogor, kan ya? pikirku dalam hati. Ah tapi kan? Nggak mungkin..nggak mungkin? Bogor kan luas?

"Zahra? Hello? Ada orang?" suara Nita terdengar di telingaku, membuyarkan lamunan.

"Eh, iya, Nit. Gimana tadi?"

"Kamu kenapa sih Ra? Ada masalah?"

"Nggak, nggak ada. Nit, aku mau minta tolong dong. Kalau udah ketemu foto dokumentasinya, kasih tahu juga daftar tamunya, ya?"

"Yang buat lusa? Atau yang buat besok?"

"Loh, ada dua?" tanyaku, terkejut.

"Iya, yang ribet tadi itu besok sore nikahnya. Keluarga kaya, tapi ya gitu, ribet banget."

"Yaudah, kirim dua-duanya ya."

"Siap!"

Telepon berakhir, dan sesaat kemudian suara mobil terdengar di depan gerbang. Detak jantungku semakin kencang, perasaan cemas dan firasat buruk mulai merayapi hati. Aku mendengar suara pintu dibuka dan tak lama, Bara masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lelah.

"Mau aku buatin jahe anget, Mas?" tawarku pelan.

"Boleh," jawab Bara singkat.

Aku segera berlalu ke dapur, membuat jahe hangat untuk Bara. Setelah selesai, aku menghidangkannya dan melihat Bara berdiri di pojok ruangan, memperhatikan paket-paket yang tadi sempat kutata di sana. Dia hanya melihatnya dari kejauhan, tanpa berkata apapun.

"Aku tadi bolak-balik gara-gara Mas. Untung sopirnya sabar," kataku sambil meletakkan jahe hangat di meja.

"Hem." sahut Bara sambil menyesap jahe itu dengan tergesa. "Aw! Panas!" serunya, lalu buru-buru menaruh gelasnya di atas meja. Wajahnya berkerut menahan rasa panas.

"Pelan-pelan, Mas. Ditiup dulu harusnya," aku tersenyum kecil.

"Halah, ribet!" ujar Bara sebal.

"Sini, aku tiupin?" candaku, mencoba mencairkan suasana.

"Nggak perlu!" balasnya ketus, menepis tawaranku. "Kamu mendingan pergi deh, susun semua barang-barang ini masuk ke dalam kamar saya." Suaranya terdengar dingin dan menusuk.

Aku tertegun. "Kamar Mas? Maksudnya, kamar kita?" tanyaku ragu, berharap ada kesalahpahaman.

"Bukan! Kamar saya ya kamar saya! Sejak kapan jadi kamar kita?!" sentaknya tajam.

Aku terdiam, terpaku. Sejak aku diboyong ke rumah ini, kami memang belum pernah tidur sekamar. Awalnya aku mengira kamar yang kutempati sekarang adalah kamar dia juga. Ternyata aku salah.

"Ngapain bengong?! Cepat pergi sana! Kamu bikin saya eneg liatnya! Pakai segala ngomongin kamar kita. Percaya diri sekali kamu, ya?"

Aku mencoba menenangkan diri. "Tapi, Mas, kita sudah menikah. Wajar kan kalau kita tidur dalam satu kamar? Waktu di rumah Ibu juga kita sekamar. Dalam agama, suami wajib menafkahi istri secara lahir batin, Mas. Tidur sekamar itu bagian dari nafkah batin, kan?" suaraku bergetar, berharap kata-kataku bisa menyentuh hatinya."

Bara memalingkan wajah, rahangnya tampak mengeras.  "Saya nggak sudi sentuh kamu! Tidur sekamar sama kamu aja bikin saya mau kabur, apalagi kasih nafkah batin!"

Aku merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Hatiku sakit mendengar kata-kata kasarnya. Aku merasa seperti semakin asing di rumah ini. "Astaghfirullahaladzim, Mas. Sebegitu menjijikkannya aku di depan mata kamu?"

Bara terdiam, tatapannya kosong. Seolah-olah aku bukan siapa-siapa baginya.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang meluap. "Sekarang jawab, Mas. Apa alasan Mas nggak mau melakukannya? Apa ada yang salah denganku?"

Bara mengedarkan matanya, lalu pandangannya terpaku pada foto di dinding—foto dirinya bersama wanita lain yang tersenyum manis. Seketika, jantungku terasa seperti diremas.

"Kamu nggak perlu tahu alasannya," ujarnya dingin. "Satu hal yang pasti, kalau kamu nggak kuat sama saya, kamu boleh bilang." Setelah berkata begitu, dia berbalik dan melangkah pergi dengan langkah cepat, meninggalkan aku sendiri dalam kesedihan yang mendalam.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, berusaha mencari jawaban dari semua ini. "Mas... mau nikah lagi, ya?" 

Related chapters

  • Menikahlah, Mas!   6

    Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Menikahlah, Mas!   7

    Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te

    Last Updated : 2025-02-05
  • Menikahlah, Mas!   8

    "Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha

    Last Updated : 2025-02-05
  • Menikahlah, Mas!   9

    Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang

    Last Updated : 2025-02-20
  • Menikahlah, Mas!   10

    "Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A

    Last Updated : 2025-02-20
  • Menikahlah, Mas!   11

    Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena

    Last Updated : 2025-02-21
  • Menikahlah, Mas!   12

    "Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu

    Last Updated : 2025-02-22
  • Menikahlah, Mas!   1

    Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju rumah. Rintik hujan tak henti-hentinya menghujani kaca mobil. Bapak mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air yang seolah berlomba jatuh dari langit. Dari balik jendela, aku menatap jalanan yang basah, menyaksikan lampu-lampu jalan terpantul pada genangan air di aspal.Aku selalu menyukai hujan. Suaranya yang merdu, serta aroma khas tanah yang basah selalu memberikan ketenangan tersendiri. Ada sesuatu yang magis tentang hujan yang membuatku merasa damai, seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengarkan tetesan air yang jatuh dari langit. Namun, hari ini berbeda. Ketika biasanya aku menikmati setiap detik hujan turun, kali ini hatiku tak bisa merasakan kedamaian yang sama."Bapak sudah sepakat. Lusa, kamu akan tetap menikah sama putra keduanya Adiwijaya. Kamu nggak perlu khawatir." .Zahra terdiam, tatapannya masih tertuju pada jalanan di depan. Tak ada niat untuk menjawab. Baru dua puluh menit yang lalu, almarhum Mas Huda dik

    Last Updated : 2025-02-04

Latest chapter

  • Menikahlah, Mas!   12

    "Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu

  • Menikahlah, Mas!   11

    Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena

  • Menikahlah, Mas!   10

    "Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A

  • Menikahlah, Mas!   9

    Jantungku berdebar kencang saat memasuki pelataran parkir rumah sakit. Matahari tepat berada di atas kepala. Selama di perjalanan, aku tidak bisa tidur, dihantui rasa khawatir setelah Vina memberiku kabar tentang kondisi Ibuk."Gimana keadaan Ibuk?" tanyaku sambil menghampiri Vina yang sedang duduk di dekat ranjang Ibuk."Udah agak baikan, Mbak. Dokter bilang besok udah boleh pulang."Aku menghela napas panjang, rasa syukur menyelimuti dadaku sejenak. "Syukurlah... Tapi kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalau Ibuk masuk rumah sakit?""Bude nggak mau bikin Mbak Haura Zahra khawatir. Mbak kan baru pergi ke Jakarta? Mana masih pengantin baru lagi.""Nggak lucu, Vina. Kalau Ibuk kenapa-napa, gimana?" jawabku tegas sambil melirik Ibuk yang sedang tertidur lelap di atas ranjang. Wajah Ibuk tampak pucat, tubuhnya lemah dengan infus yang masih menempel di tangannya. Hati ini terasa ngilu melihatnya terbaring tak berdaya."Iya, maaf Mbak. Sebenernya, tadi pagi Bude udah boleh pulang

  • Menikahlah, Mas!   8

    "Hana, masih banyak tamu yang datang. Ayo balik sapa mereka," sela Bara."Iya, sayang. Bentar. Kamu nggak sabaran banget sih? Mau cepat-cepat kelarin acaranya, ya?" jawab Hana sambil melirik ke arahku dengan tatapan penuh arti.Aku bisa melihat Bara yang nampak khawatir, dengan kalimat apa yang aku lontarkan."Menarik?" gumamku sembari menatap belakang punggung Bara dan Hana yang kian menjauh.*****Malam semakin larut. Aku berdiri di dalam kamar hotel, memandangi pemandangan malam di luar dari balik kaca transparan yang besar. Lampu-lampu kota berkilauan, tapi pikiranku masih dipenuhi oleh kejadian tadi."Masih kepikiran soal yang tadi?" tanya Nita.Aku mengangguk pelan. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama sikap Hana.""Hahh! Terus kamu mau gimana? Dia jambak kamu gitu? Atau, harusnya kamu yang jambak dia? Kurang seru sih kalau istri pertama sama istri kedua akur."Aku tersenyum tipis. "Dasar pemuja konten viral?""Well...kebanyakan orang pasti mikir kayak gitu. Mereka suka huru-ha

  • Menikahlah, Mas!   7

    Widya melangkah cepat mendekati Bara yang sedang sibuk menyambut tamu-tamu di pesta pernikahannya. "Bara...sini!" Bara menoleh dan cepat menghampiri ibunya. "Ada apa, Ma?"Widya menatap Bara dengan serius. "Kamu bilang ke mama tadi kalau Zahra nggak akan datang ke sini, kan?" suara Widya sengaja ditekan agar tak terdengar oleh tamu lainnya."Iya, Ma. Bara udah larang dia, bisa repot nanti kalau dia muncul.""Terus itu siapa?!" Widya menunjuk ke arah seorang wanita di seberang ruangan.Wanita tersebut mengenakan gamis tertutup berwarna ungu muda, dengan hijab senada yang melilit rapi. Tubuhnya tegak, wajahnya tampak tenang meskipun jelas dia sedang mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Riasannya sangat sederhana, namun kecantikannya terpancar alami, memberikan kesan anggun tanpa berlebihan.Mata Bara membulat, tubuhnya menegang. "Gawat! Mau ngapain dia datang ke sini?! Kok Zahra bisa tau lokasi nikah aku sih, Ma?!""Mana mama tau!" jawab Widya kesal, wajahnya semakin tegang."Te

  • Menikahlah, Mas!   6

    Pagi itu, aku terbangun ketika jam menunjukan pukul 3.Ceklek!Suara pintu terbuka menyelinap di antara kesunyian. Hatiku masih terasa perih, luka dari percakapan semalam yang menggantung tanpa jawaban. Bara pergi tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan pertanyaan yang mengawang di kepalaku. Bagaimana jika Bara benar-benar menikah lagi? Apakah aku harus terus bertahan dalam ketidakpastian ini?Aku bangkit perlahan, menyibak selimut dan melangkah keluar kamar. Pintu kamar Bara terbuka, menambah rasa penasaran yang menggelayut di hatiku. Dengan langkah perlahan, aku mendekat, mataku menyapu ruangan yang gelap. Tidak ada Bara.Samar-samar, terdengar suara derap langkah kaki. Suara itu semakin jelas. Aku menekan saklar lampu.Klik!Aku melihat Bara sedang berbicara di telepon, sambil merapikan jaketnya. Matanya fokus ke arah pintu, seperti tengah bersiap untuk pergi."Iya, iya. Aku segera kesana," ucapnya terburu-buru."Mas mau pergi ke mana?" tanyaku, tak bisa menahan rasa penasaran."Buk

  • Menikahlah, Mas!   5

    Malam hampir tiba di penghujungnya. Aku duduk di ruang tamu, menunggu Bara pulang seperti biasa. Mataku menatap langit-langit, sementara pikiranku melayang-layang, memikirkan bagaimana nasib pernikahan ini nantinya. Setelah melihat isi kotak yang kini sudah kubungkus rapi kembali, aku memutuskan untuk tidak memberitahu Bara bahwa aku tahu apa yang ada di dalamnya. Aku ingin melihat apakah Bara punya niat untuk jujur dan menceritakannya sendiri, meskipun aku tahu pria itu mungkin akan tetap bungkam.Perasaanku belum benar-benar tumbuh menjadi cinta. Aku belum merasakan sayang pada Bara. Yang kulakukan hanyalah berusaha taat sebagai istri, meski ia selalu menjaga jarak dan enggan menyentuhku. Aku tidak tahu seburuk apa penampilanku di matanya, tapi terlepas dari apapun yang dirasakannya, aku mencoba untuk memahaminya.Drrtt drrtt!Suara getar ponsel di meja membuyarkan lamunan. Aku cepat mengambilnya, berharap itu dari Bara. Namun, ternyata nama Nita, sahabatku, muncul di layar."Halo,

  • Menikahlah, Mas!   4

    "Calon istri? Bagaimana bisa kata itu keluar dari mulut kamu mas?" gumamku sembari memandangi foto besar yang tergantung di dinding, bingkainya terlihat mewah, persis di tengah-tengah ruangan. Di dalam foto itu, Bara berdiri berdampingan dengan seorang wanita cantik, mereka tampak bahagia. Senyuman lebar terukir di wajah keduanya, memperlihatkan betapa serasinya mereka. Bara terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara wanita itu anggun dalam balutan gaun putih yang membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna.Mau protes pun percuma. Bara tak pernah menganggap pernikahan kami nyata. Aku tahu, di matanya, aku masih orang asing. Bahkan, lebih parah lagi, aku dianggap sebagai pembantu. Ya... PEMBANTU. Hati ini terasa sakit, tapi aku hanya bisa memendam semuanya, karena itulah kenyataannya.Ting!Suara notifikasi ponselku membuyarkan lamunan. Aku merogoh benda pipih itu dari saku celanaku dan membuka pesan yang baru masuk."Gaji kamu sebulan. Jangan lupa fotonya pasang lagi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status