"AARRGGGGHH!"
Pekikan nyaringku mewarnai awal pagi ini. Untuk yang pertama kalinya dalam hidup, aku dibuat terkesiap oleh pemandangan yang aku temukan saat bangun tidur. Di sisi sebelah kiriku, tiba-tiba ada seorang pria yang sebagian wajahnya ditutupi oleh janggut dan kumis lebat sedang berbaring lelap. Pria ini adalah Abraham Suseno yang aku perdebatan dengan bapak kemarin."Dasar pria brengsek!""Pria mesum!"Dengan menggunakan bantal yang ada, aku memukul tubuh pria itu dengan keras. Segala emosi kacau yang tengah menguasai diriku, tidak segan-segan aku lampiaskan pada pria itu. Hingga pria itu terbangun dengan mata merah yang langsung melotot ke arahku."Kamu apa-apaan sih!" bentak pria itu dengan marah seraya menangkis bantal yang aku gunakan untuk memukulnya."Kamu yang apa-apaan!" bentakku tidak mau kalah."Aku? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?!" seru pria itu dengan nada garang."Jangan pura-pura tidak tahu deh. Kamu menggunakan hutang orang tuaku yang senilai 300 juta itu untuk memaksa agar aku mau menikah denganmu 'kan? Dasar pria picik yang tidak bermoral!" Aku menimpali dengan sinis."Hah? Memangnya orang tuamu siapa?" tanya pria itu. Raut wajahnya terlihat jelas menunjukkan kebingungan."Masih pura-pura tidak tahu? Bapakku adalah Pak Suherman Wahid!" jawabku tanpa mengendurkan urat leherku yang tegang." ... "Pria yang akrab dipanggil Abra oleh warga sekitar ini langsung terdiam. Ruangan dimana kami berada pun tiba-tiba jatuh dalam kesunyian. Abra lalu menatap ke arahku dengan sorot mata aneh. Untuk beberapa saat lamanya, dia memindai bolak-balik tubuhku yang hanya dibalut selimut. Tindakannya ini sungguh membuatku risih setengah mati.Sambil mengencangkan selimut untuk menutupi dadaku, aku menatap ke arahnya dengan mata melotot galak. "Apa kamu lihat-lihat. Matamu mau dicolok!" desisku dengan geram.Abra pun kemudian terdengar mendengus geli. "Sepertinya ada kesalahpahaman yang harus diluruskan. Pertama, aku sama sekali tidak mengenal orang bernama Suherman Wahid. Kedua, aku tidak pernah memberi hutang pada siapapun di kampung ini. Apalagi dengan jumlah sebanyak itu. Ketiga, kamu pikir seistimewa apa dirimu sampai aku harus merelakan uang sebanyak 300 juta hanya agar bisa menikah denganmu?" tukas Abra panjang lebar.Kalimat terakhir pria ini membuatku tercengang. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatiku tertohok mendengar kejujurannya.Seistimewa apa aku?Sejujurnya aku bahkan tidak tahu apa keistimewaanku. Dan jika dipikirkan dengan baik, ucapan terakhir pria ini walaupun menyakitkan, tetapi ada benarnya juga.Pria bodoh mana yang akan merelakan uang sebanyak itu hanya demi bisa menikah dengan wanita biasa-biasa saja sepertiku?Ngomong-ngomong, bukannya aku merasa rendah diri terhadap diriku sendiri. Akan tetapi uang sejumlah 300 juta itu memang angka yang sangat fantastis untuk direlakan begitu saja. Masih terdengar masuk akal jika si pria cinta mati dengan wanitanya. Tetapi jika si pria dan si wanita bahkan tidak saling mengenal dengan baik seperti dalam kasusku, apakah hal semacam ini masih mungkin terjadi?Aku rasa tidak!"Sungguh kasihan, kamu pasti telah dibohongi," celetuk Abra yang kembali menohok jantungku.Ingatan tentang kejadian semalam pun menelusup ke dalam relung otakku karena perkataannya. Mulai dari permintaan bapak agar aku bersedia menikah dengan Abra. Lalu, aksi pembiusan yang dilakukan oleh Jemima padaku."Tetapi kenapa? Kenapa bapak sampai tega melakukan hal sekejam ini padaku?" gumamku dengan lesu terlebih pada diri sendiri."Mungkin karena kamu hanya anak pungut!" timpal Abra dengan santai.Ucapannya sekali lagi menohok tepat di titik luka yang ada di jantungku. Aku memang bukan anak pungut seperti yang dikatakan oleh pria ini. Namun, keberadaanku dalam keluarga tidak ada bedanya dengan itu.Sejak ibu kandungku meninggal dunia saat aku berusia 9 tahun, bapak langsung membawa seorang wanita dan anak yang lebih muda satu tahun dariku ke dalam rumah. Belakangan aku tahu bahwa bapak telah lama berselingkuh dari ibu. Bahkan bapak juga memiliki anak yang sudah besar dengan wanita itu. Anak itu adalah Jemima.Dengan kehadiran orang baru, aku pun menjadi terabaikan. Perhatian bapak yang sudah tipis bahkan saat ibu masih hidup pun, kian memudar. Sebagai anak, aku hanya bisa memendam rasa ketidakpuasan di dalam hati.Namun, aku tidak pernah menyangka kalau perkataanku pada Mas Damar semalam terkait orang tua 'gila' di luar sana justru terjadi padaku saat ini. Bapakku sendiri dengan tega membaringkanku di atas ranjang pria yang bukan suamiku untuk alasan yang tidak aku ketahui."Tapi kenapa di antara banyaknya manusia, bapak harus menjebakku bersamamu?" tukasku dengan lirih seraya menatap gamang pada Abra.Pria itu pun lantas mengangkat bahunya. "Mungkin karena bapakmu jarang melihatku keluar berinteraksi dengan warga lain, jadi dia pasti berpikir kalau aku orangnya mudah ditindas. Dan tidak masalah jika diperlakukan dengan sewenang-wenang," pungkas Abra mengemukakan dugaannya.Kalimat pahit ini membuatku hanya bisa meringis. "Bisa jadi," ucapku menyetujui. "Aku tidak akan meminta maaf atas tindakan yang dilakukan oleh bapakku. Aku hanya akan meminta maaf untuk ketidaknyamanan terkait apa yang aku lakukan padamu tadi," ujarku menambahkan."Oke. Tidak masalah!" timpal Abra dengan acuh tak acuh." ... "Untuk sesaat, aku dibuat terdiam oleh respon santai ini. Aku tidak pernah menduga bahwa pria yang menurut para warga sangat irit bicara, dan tidak mudah didekati ini ternyata berbanding terbalik dari anggapan mereka semua.Dengan memanfaatkan kelancaran komunikasi di antara kami ini, aku pun mulai mencari tahu mengenai bagaimana aku bisa berakhir di rumah kontrakan pria ini."Tapi bagaimana caranya aku bisa berakhir di tempat ini jika hanya menggunakan tenaga dari satu pria tua dan dua wanita lemah?" gumamku mengutarakan keheranan."Tentu saja karena ada orang lain yang membantu mereka," timpal Abra.Alisku berkerut samar. "Oh ya? Siapa? Ciri-cirinya bagaimana?" tanyaku dengan antusias. Aku penasaran dengan siapa orang yang telah bersekongkol dengan bapak untuk melancarkan rencana hina ini padaku."Tidak banyak detail yang bisa aku ingat. Tetapi yang pasti orang ini satu kepala lebih rendah dariku. Tubuhnya sedikit kurus, dan dia menggunakan kacamata," jawab Abra sambil sorot matanya menerawang jauh, tampak sedang mengingat-ingat." ... "Aku seketika terdiam tidak percaya mendengar apa yang diucapkan Abra ini. Ciri-ciri yang baru saja disebutkan tampaknya cocok dengan figur Mas Damar. Tetapi apa mungkin orang itu adalah Mas Damar?Tidak mungkin!Aku tidak mau mempercayainya!"Kamu yakin?" tanyaku dengan ragu-ragu untuk memastikan. Abra pun tidak segan menganggukkan kepala sebagai jawaban.Hatiku langsung mencelos dingin. Jika orang yang bersekongkol dengan bapak adalah Mas Damar, apa yang harus aku lakukan?Hanya dengan membayangkannya saja, aku sudah merasa tidak sanggup jika harus dikhianati oleh satu-satunya orang yang aku pikir menganggapku penting di dunia ini. Satu-satunya orang yang aku pikir paling menyayangiku."Jangan melamun aja. Kenakan pakaianmu, dan segera pulang ke rumah. Aku tidak mau bertanggung jawab jika ada warga yang melihat kamu keluar dari sini," tukas Abra memberi peringatan.Perkataannya ini membuatku segera tersadar dari lamunan singkat. Aku hampir saja melupakan kondisi tubuhku yang masih mengenakan pakaian dalam di balik selimut."Jangan ngintip. Berbalik ke arah sana!" seruku memberi perintah pada Abra agar mengalihkan tatapan matanya dariku.Setelah Abra melakukan hal yang aku minta, aku bergegas mengambil pakaianku yang berserakan di atas lantai, lalu mengenakannya satu per satu.Hanya sesaat setelah seluruh pakaian itu melekat di tubuhku dengan rapi, suara gedoran pintu tiba-tiba terdengar datang dari luar."Abra! Kamilia! Buka pintunya!"Dengan panik, aku pun menatap ke arah Abra yang juga telah berpakaian rapi. Sorot mataku seolah mempertanyakan apa yang harus kami lakukan.Abra mendecakkan lidah dengan keras. "Mereka sudah menyusun rencana dengan baik!" gumamnya tampak geram.* * *"Abra!""Kamilia!""Keluar kalian!"Suara gedoran pintu disertai dengan teriakan orang-orang terdengar semakin riuh. Aku yang ada di dalam kamar bersama Abra pun hanya bisa berjalan mondar-mandir dengan gundah. Jika orang-orang itu memergoki aku dan Abra ada di dalam kamar yang sama, entah gosip apa yang akan tersebar di desa."Di sini ada pintu belakang, nggak?" tanyaku pada Abra."Nggak ada!" jawabnya."Terus kita harus gimana?" tanyaku. Abra mengangkat bahu tampak tak berdaya. Aku lantas diam-diam mendesahkan nafas kecewa sembari mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Di dalam kamar tempat kami berada ini, aku hanya melihat ada satu tempat tidur, dan satu lemari susun plastik tergeletak di pojok kamar. Sama sekali tidak ada ruang yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk persembunyian."Bapak kamu cukup kejam juga ya. Dia memimpin warga untuk datang menggerebek kita di sini," gumam Abra.Aku yang mendengar nada satir dalam suara pria ini pun mengep
"Kenapa kamu mengatakan kamu akan menikahiku? Aku tidak mau menikah!" Aku berseru dengan marah pada Abra begitu para warga telah bubar, dan hanya menyisakan kami sekeluarga.Abra pun mengangkat bahunya dengan masa bodoh. "Toh pilihannya cuma ada dua. Aku tidak mau diarak keliling kampung, dan menjadi pusat perhatian. Menikah adalah pilihan yang tersisa," jawabnya." ... "Aku pun terdiam cukup lama mendengar ucapan santai pria brewok ini. Seolah pernikahan bukanlah sesuatu yang penting dan sakral untuknya. "Sudahlah, Mil. Tolong bantu keluarga kita sekali ini saja, mumpung Abra juga bersedia menikahimu," tukas ibu tiriku menyela dengan enteng.Dengan sorot mata berkobar, aku menatap ke arah wanita paruh baya itu. "Makanya!" sentakku dengan keras. "Tolong beritahu aku masalah apa yang sedang dihadapi oleh keluarga ini sehingga aku harus difitnah sampai sebegininya?!" seruku penuh emosi."Nanti juga kamu akan tahu, tapi bukan sekarang," timpal bapak dari samping.Jawaban ini membuat naf
'Sampai ketemu besok, calon istri,'Ucapan Abra terus terngiang di dalam kepalaku sampai kami sekeluarga keluar dari pintu kontrakan pria itu. Namun, bukan karena aku tiba-tiba terpesona dengan apa yang diucapkan oleh Abra, hanya saja sikap tenang yang dia tunjukkan telah menimbulkan tanda tanya bagiku."Mereka keluar!"Suara para warga yang ternyata masih berkerumun di depan rumah kontrakan itu menyadarkan aku dari lamunan singkat."Adi, Bagas, Ilham, aku mau minta tolong jaga si Abra tetap di kontrakan ini sampai besok. Jangan sampai dia kabur!" ujar bapak pada ketiga orang pemuda tanggung yang berdiri tidak jauh dari pintu. "Waduh..."Tiga orang yang bapak sebutkan namanya itu saling pandang sesaat. Mereka kemudian dengan serempak menggaruk tengkuk yang aku yakin tidak gatal sama sekali."Kalian jangan khawatir, nanti pasti ada upahnya. Kalian tidak disuruh dengan cuma-cuma kok," ucap bapak saat melihat keraguan keti
"Kamilia, kamu kenapa?!" Pertanyaan ini terlontar seiring dengan pintu kamarku yang menjeblak terbuka. Tiga orang anggota keluarga ini kemudian satu demi satu mulai menampakkan wajah penasaran mereka melalui ambang pintu kamar."Apa yang kamu lakukan? Kenapa semuanya berantakan begini?" tanya bapak sambil matanya menatap kekacauan yang ada di lantai."Aku benci kalian semua. Kalian semua jahat!" Aku mendesis dari balik gigi yang terkatup rapat sambil nafasku masih naik turun tidak beraturan. Mataku pun menyorot penuh dendam pada ketiga orang yang harusnya aku sebut sebagai keluarga ini."Kamu kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanya bapak seraya memasang wajah muram."Apa yang sudah kalian lakukan sehingga bahkan Mas Damar pun bersedia mengkhianatiku?" Aku tidak menjawab pertanyaan bapak, dan justru akulah yang balik melemparkan tanya. "Kami tidak melakukan apa-apa kok. Memang dia saja yang sudah bosan sama kamu, tapi dia-nya nggak
Aku mematut diriku di depan satu-satunya cermin yang ada di kamar. Saat ini tubuhku sudah dibalut oleh sebuah gamis berwarna putih polos tanpa banyak hiasan indah. Kepalaku ditutup dengan jilbab asal-asalan yang masih menunjukkan helaian rambut hitamku. Adapun wajahku hanya dibaluri bedak tipis dan lipstik berwarna pink yang tidak menggairahkan. Tidak ada hiasan mata yang bisa membuat pangling.Yah, lagipula tidak ada orang yang ingin aku buat terkesan dengan penampilanku."Mil, kamu udah selesai belum? Pengantin pria dan Pak Penghulu sudah datang," ujar ibu tiriku dari balik pintu yang masih di kunci dari luar."Sudah!" jawabku dengan patuh."Ya sudah, ayo keluar!" ucap ibu tiriku seraya membuka pintu kamar.Walau dengan berat hati, aku tetap mengikuti langkahnya. Toh, tidak ada gunanya menentang sekarang. "Pengantin wanitanya sudah tiba," ucap ibu tiri yang mendampingiku ke ruang tamu rumah kami.Setibanya di ruang ta
Aku termangu cukup lama setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Abra. Keseriusan dalam nada suaranya sama sekali tidak bisa diabaikan. Belum lagi karena pria ini pernah berkata bahwa gosip-gosip yang tersebar tentangnya di luaran sana itu tidak sepenuhnya salah. Pikiran di kepalaku pun tak terhindarkan berputar dengan liar."Benarkah?" tanyaku memberanikan diri. Tidak ada yang tahu bagaimana jantungku sudah berdegup kencang karena ngeri membayangkan kalau pria ini benar-benar seorang penjahat buron yang sedang bersembunyi di desa ini."Tentu saja!" jawab Abra masih sambil berbisik di samping telingaku.Tanpa sadar aku menelan ludah dengan susah payah. "Lalu, hal paling kejam apa yang pernah kamu lakukan untuk membuat musuhmu menderita karena telah membuatmu marah?" tanyaku ingin tahu. Lebih tepatnya aku ingin memancing pria ini untuk menggali informasi akurat tentangnya lebih dalam."Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Abra terdengar be
"Mil, mulai sekarang biarkan kios kamu Jemima yang jaga ya," pinta bapak disaat kami sedang menikmati sarapan sederhana berupa nasi goreng tanpa lauk buatan ibu tiriku."Lah, ogah!" jawabku tanpa basa-basi."Daripada nanti nggak ada orang yang mau belanja di kios kamu lagi, gimana?" ujar bapak. Aku mengangkat bahu masa bodoh. "Kenapa juga orang nggak mau belanja di kiosku? Lagian rezeki setiap orang juga sudah ada yang atur. Aku nggak khawatir sama sekali," jawabku dengan santai."Duh, Mil. Mungkin kamu nggak tahu ini, tapi warga di sini sudah kehilangan respect sama kamu. Mereka takut belanja di kios kamu karena takut kena azab," ucap ibu mertuaku turut nimbrung."Pffttt,"Hembusan tawa tiba-tiba meluncur mulus dari bibir Abra yang duduk di sampingku. Perilakunya menyebabkan kami menoleh ke arahnya dengan gerakan kepala serentak."Kamu kenapa ketawa?!" seru ibu tiriku seraya menatap galak pada Abra.Pria yang
"Apa? Kenapa kamu melihat ibu seperti itu?" tanya ibu tiriku dengan nada meledek."Apakah menyenangkan melihatku menderita?" tanyaku sambil menyembunyikan kekesalan di balik dada."Menyenangkan!" bisik wanita paruh baya ini tepat di depan wajahku. Ekspresi culasnya persis seperti ekspresi pemeran antagonis dalam sinetron.Aku yang tidak lagi terkejut dengan jawaban ini pun menganggukkan kepala pelan sebagai tanda mengerti. "Begitu!" ujarku."Asal kamu tahu saja, semua hal-hal baik sudah seharusnya menjadi milik Jemima seorang. Kamu sama sekali tidak berhak untuk itu. Bahkan meskipun kios ini kamu bangun dengan jerih payah sendiri, tapi cepat atau lambat, kios ini akan menjadi milik Jemima. Dan harus menjadi milik Jemima!" tukas ibu tiriku. Setiap kata yang dia ucapkan diberi penekanan yang keras.Sebelum aku sempat menimpali perkataan ini, ibu tiriku telah lebih dulu menyeret langkahnya pergi. Alhasil, aku hanya bisa menatap punggungnya d
"Mas, minta uang dong!" ujar Jemima ketika aku hendak berangkat bekerja."Nggak ada!" jawabku dengan terus terang. Biaya mahar dan hutang untuk menyelenggarakan pernikahan kemarin telah membuatku jatuh miskin. Uang di dalam tabunganku hanya tersisa dua juta saja. Sementara gajian masih lama. Terlebih lagi, aku enggan untuk memberikannya pada wanita culas ini."Mas, kamu nggak bisa gini dong. Aku ini istri kamu. Sudah sepantasnya kamu memberi nafkah padaku," protes Jemima tidak terima.Aku mengangkat bahu dengan masa bodoh. "Uangku sudah habis untuk membayar maharmu beserta biaya pernikahan dan lain sebagainya. Sampai nanti hutangku pada Januar habis, aku tidak bisa memberikan nafkah finansial untukmu," ungkapku."APA?!" pekik Jemima membuat telingaku seketika pengang."Kamu tidak usah teriak. Aku bilang kalau aku tidak akan memberikan nafkah padamu sampai hutangku pada Januar habis," ucapku mengulang pernyataan sebelumnya.
Berbeda dengan suasana hatiku yang ceria karena mengetahui satu lagi fakta soal Abra, suasana yang meliputi pengantin baru di keluarga ini tampak lebih suram. Sama sekali tidak ada rona bahagia yang seharusnya dimiliki oleh pasangan pengantin baru."Wah, senang ya. Sekarang rumah ini jadi makin ramai. Meja makannya sampai nggak muat nih," celetukku memecah kesunyian yang menyelimuti anggota keluargaku malam ini.Meja makan di rumah kami yang seharusnya hanya muat untuk empat orang itu kini ketambahan satu penghuni baru lagi. Tidak heran jika meja makan ini semakin terasa sempit dan penuh sesak."Iya, kamu dan suami kamu tuh yang menuh-menuhin tempat," balas Jemima dengan sewot.Bukannya marah, aku justru memiliki hasrat untuk ingin terus menggoda pasangan pengantin baru ini."Aku tahu kalau aku dan suamiku yang menuh-menuhin tempat. Oleh karena itu, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semuanya karena telah membuat hal ini terjadi. Aku
"Kamu benar-benar mengenal kakaknya Mas Damar?" tanyaku dengan sedikit keterkejutan."Iya!" jawab Abra singkat."Wah, betapa sempitnya dunia ini," ucapku kemudian. "Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanyaku dengan nada sedikit terlalu antusias." ... "Abra tidak langsung menjawab, dia hanya menatapku dengan kening berkerut. Mungkin juga dia tengah menimbang apakah akan memberitahuku atau tidak."Kalau kamu tidak mau memberitahu, aku juga tidak akan memaksa," ucapku dengan cepat. Aku tidak mau Abra beranggapan bahwa aku ini wanita ceriwis yang terlalu ingin ikut campur dengan urusannya." ... "Abra tidak menanggapi. Dia masih tetap diam dengan sorot mata menyipit tajam ke arahku. Situasi ini membuatku merasa canggung dan kikuk."J ... Jangan melihatku seperti itu," ujarku dengan terbata. Dipandang seperti ini membuatku gugup. Sorot mata itu terlalu tajam hingga membuatku merasa tatapa
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
"Nanti kamu tinggal aja di belakang. Kalau-kalau ada makanan yang kurang agar bisa langsung segera ditangani,"Sudah tidak terhitung berapa kali kalimat pengingat ini dilontarkan oleh ibu tiriku. Apalagi di hari-hari menjelang pernikahan Jemima. Sekarang bahkan lebih parah. Sejak pagi buta dia sudah mengulang kalimat yang sama sampai aku bosan mendengarkan."Aku tahu. Ribut banget sih!" timpalku dengan sewot."Awas aja kamu. Jangan sampai berkeliaran. Orang-orang sini masih sensi sama kamu," tukas ibu tiriku memperingatkan sekali lagi."Iya! Iya!" tukasku dengan tidak sabar.Hari ini adalah hari pernikahan Jemima dan Mas Damar. Sejak subuh tadi, seisi rumah sudah heboh karenanya. Tentu saja aku juga tidak ketinggalan. Bahkan sebelum subuh, aku sudah mulai memberi komando pada para pekerjaku untuk memasak.Akhirnya setelah perdebatan alot dengan ketiga anggota keluargaku itu, mereka setuju untuk menggunakan jasaku. Itu pun karena
Damar POV,"Kamu bicara sendiri sama kakakmu sana. Jangan ibu terus yang disuruh ngomong. Ibu juga malu!" ujar ibu ketika aku memintanya untuk meminjam uang lagi pada kakakku itu."Yah, Bu. Aku juga malu!" tukasku terus memohon pada ibu.Meskipun aku dan sang kakak bersaudara kandung, tapi hubungan kami hampir tidak bisa disebut saudara. Aku dan kakakku yang bernama Januardi itu terpaut usia 5 tahun. Sejak kecil kami tidak pernah akur. Sikap pembeda bapak adalah pemicunya. Tidak peduli bagaimana nakalnya kakakku ini, bapak tidak pernah memarahinya. Dia senantiasa selalu menjadi favorit dalam keluarga. Berbeda sekali dengan aku yang meskipun berjuang keras dalam bidang akademik, tapi itu tidak pernah cukup untuk membuat bapak terkesan. Prestasi-prestasi yang aku peroleh di sekolah seolah tidak memiliki arti. Ketidakadilan yang mendera kami tidak hanya terbatas pada sikap bapak, tapi alam pun seolah turut serta. Aku yang setengah mati bel
"Widih, kamu kenapa jalannya begitu? Habis bertempur semalaman ya?" celetuk Jemima ketika melihatku keluar dari kamar dengan langkah sedikit mengangkang. Mendengar celetukan frontal wanita ini, aku segera melemparkan delikan sinis. "Jangan sembarangan ngomong kamu!" sentakku dengan kesal.Jemima mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. "Santai aja kali. Kayak gitu tuh sudah biasa di antara suami istri. Tidak usah disembunyikan," ujarnya.Tanpa sadar aku pun menggertakkan gigi karena kesal. Sesekali aku juga melirik ke arah pintu kamar di belakangku. Aku sama sekali tidak mau Abra mendengar perkataan Jemima yang kurang ajar ini."Terserah kamu!" ucapku dengan niat ingin mengakhiri topik yang sangat tidak nyaman ini.Dengan langkah tertatih karena kakiku yang terasa berat, aku kemudian berjalan menuju kulkas yang tidak jauh. Pagi ini aku memutuskan untuk bolos bekerja. Tubuhku yang serasa remuk redam ini terlalu enggan untuk diajak bekerja ke
Hari-hari yang aku dan Abra lalui masih sama seperti biasanya, hanya ada sedikit perbedaan di jam pulang. Kami yang biasanya berangkat setelah subuh dan pulang setelah isya, kini membatasi jam kerja hingga sampai jam 3 sore saja. Untuk meringankan pekerjaan, aku juga menambah dua pekerja lagi. Mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang memang sudah berpengalaman di dapur. Nama mereka adalah ibu Dewi dan juga ibu Humairah."Aku tidak mempunyai pengalaman dalam berolahraga, jadi apa yang harus aku lakukan untuk memulai nih?" tanyaku pada Abra di suatu sore yang cerah.Saat ini aku sudah mengenakan sepasang pakaian training, dan berdiri di tengah-tengah lapangan bersama Abra."Pertama-tama, kamu harus pemanasan dulu. Lari keliling lapangan ini sebanyak lima kali," tukas Abra."Hah?""Jangan banyak protes. Lari ini baik untuk kesehatan. Jangan cuma mikir kurusnya aja tapi kondisi organ dalam tidak jelas," tukas Abra. "Dengan berlari minimal 30 men
Sejak mulai mengenal Abra, aku merasakan hidupku menjadi terombang-ambing. Seringkali apa yang sudah aku rencanakan dengan mantap hancur berantakan begitu saja. Seperti misalnya hari ini.Di tengah perjalanan pulang, Abra tiba-tiba berceletuk. "Kapan rencananya kamu akan mulai make over diri. Katanya mau tampil lebih percaya diri, tapi belum ada pergerakan juga tuh?" ucapnya."Hah? Kamu bilang apa?" tanyaku.Ada sedikit rasa tidak pasti ketika mendengar ucapan Abra yang seperti ini, apalagi karena kami sedang berada di atas sepeda motor, dan suara deru angin yang berhembus kencang membuat pendengaranku agak tidak jelas."Apa kamu tidak berniat untuk menjadi wanita yang tinggi, putih, dan langsing kayak bihun itu? Habisnya aku merasa lemak di perutmu agak tebal," tukas Abra dengan suara yang sedikit lebih dikeraskan kali ini."Kamu bilang apa?!" pekikku seraya menepuk bahu Abra dengan keras.Dengan Abra yang mengatakan bahwa lemak