Alya tak pernah menyangka, saat ia memergoki suami dan sahabatnya selingkuh, dalam perjalanan mobilnya masuk ke dalam jurang dan meledak. Untungnya, Fatih berhasil menyelamatkannya. Namun, itu tak lantas membuat hidupnya damai Karena luka bakar cukup serius akibat ledakan itu memenuhi tubuhnya, sehingga membuat ia terpaksa melakukan operasi plastik. Dengan wajah baru dan identitas baru, Alya bertekad, bersama Fatih ia mulai membalaskan dendamnya pada sang suami dan sahabat yang sudah berkhianat dan mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya kembali.
View More"Fatih jangan ngaco, Mas Irfan gak mungkin begitu!" ucap Alya sembari terkekeh, menyeruput cappucinonya.
Ia kini berada di mall dalam cafe saat Fatih sahabatnya meminta untuk bertemu tiba-tiba saja padahal Alya tahu Fatih adaah donter yang cukup sibuk.
"Alya, aku sudah berapa kali mengatakan padamu, aku gak berbohong. Aku melihatnya jalan berdua dengan Ratih."
Alya tertawa lebar, menatap Fatih yang terdiam sembari memperhatikannya.
"Selama aku menikah dengan Mas Irfan dan berteman dengan Ratih, mereka tak pernah melakukan hal aneh, Fat."
Fatih menghela nafas, mengambil minumannya dan menyeruputnya sedikit.
"Capek ngomong sama kamu, Al, sedikitpun kamu gak percaya.
"Memang gak terbukti, kan?"
"Kalau saja saat itu aku bawa ponsel dan mengambil gambar mereka, kamu gak mungkin menyangkal lagi."
"Sudahlah Fat, kamu sebenarnya mengajakku bertemu hanya ingin mengatakan hal ini saja?"
Fatih mengangguk. "Kupikir ini sangat penting bagimu makanya aku buru-buru mengatakan agar kau perlu berhati-hati. Tapi sedikitpun kau tidak percaya, yah mau bagaimana lagi."
"Kau marah padaku?"
"Tidak, aku hanya memintamu untuk membuka saja sedikit matamu dan taruh rasa curiga pada hubunganmu dengan Irfan. Ah, terserahlah Al, aku menyampaikan hal ini karena mengkhawatirkanmu, tapi kau tidak percaya padaku."
Fatih menatap arlojinya. Ia sudah harus kembali ke rumah sakit karena jam makan siangnya sudah hampir habis.
Sementara di kursinya Alya terdiam. Fatih sahabatnya dari kecil sementara Irfan adalah suaminya dan Ratih sahabatnya juga. Keduanya kenal tidak lama memang.
Tapi menyangka hal yang diucapkan Fatih benar adanya, Alya tidak bisa percaya sepenuhnya. Irfan dan Ratih selingkuh? Itu seperti omong kosong yang berlalu di kepalanya.
"Aku harus kembali ke rumah sakit, Al. Terserah kamu mau percaya padaku atau tidak, itu pilihanmu. Yang penting, kalau ada apa-apa kau harus menghubungiku."
"Hmm ... aku tahu kau khawatir padaku, Fat. Tapi tenang saja, mereka tidak mungkin begitu."
Fatih tersenyum simpul, ia bangkit dari duduknya dan pergi dari sana menjnggalkan Alya yang kini terdiam di tempatnya.
Meski terus menyangkal perkataan Fatih. Alya tak memungkiri kalau ada sedikit perasaan khawatir yang kini timbul dalam hatinya.
Tentang seberapa besar rasa percayanya pada Irfan dan Ratih. Tentang apakah ia sudah mengenal kedua orang itu dengan baik atau mungkin saja yang dikatakan Fatih benar adanya.
"Akhh .... " Alya memegang kepalanya dan memijit pangkal hidungnya. Sejenak karena perkataan Fatih ia jadi overthinking.
***
Alya menghela nafas saat melirik dari balik bukunya, ia melihat Irfan sangat fokus dengan ponsel di tangannya. Hal itu membuat Alya curiga.
Irfan punya dua ponsel yang selalu ia pakai bersamaan. Tapi yang sering laki-laki itu pakai adalah ponsel yang ada di tangannya sekarang.
Itu adalah ponsel kerja, akunya. Sementara ponsel yang lainnya diaku Irfan sebagai ponsel pribadi. Namun, Alya selalu melihat Irfan memegang ponsel kerja tersebut, di manapun ia selalu membawanya, walau hanya ke kamar mandi sekalipun.
Dulu, hal itu tak berarti apapun padanya, namun sekarang tidak lagi karena pikirannya terus terngiang perkataan Fatih tentang perselingkuhan Ratih dan Irfan.
Ah, ia tak bisa begini terus. Ia harus mencari tahu agar hatinya tenang. Masalahnya adalah, ia tak bisa membuka ponsel Irfan dengan sembarang.
Sebelum menikah dulu keduanya terlibat perjanjian untuk tak pernah memeriksa barang pribadi masing-masing dan memutuskan untuk saling percaya saja.
Selama ini Irfan tak pernah memeriksa ponselnya dan Alya juga tak pernah memeriksa ponsel Irfan. Jika nanti Alya meminta untuk memeriksa ponsel lelaki itu, pasti Irfan akan merasa curiga padanya.
Bisa jadi, kalau apa yang dikatakan Fatih benar. Malah sebelum Alya memeriksa hal itu, Irfan sudah menghapus buktinya lebih dulu.
Nada dering dari ponsel Irfan berbunyi, membuat Alya tersentak. Ia menoleh ke arah Irfan, lelaki itu menerima telepon dari ponsel yang satunya.
"Halo!" ucap Irfan seraya bangkit dari kasurnya. Perlahan tanpa Irfan ketahui gerakan laki-laki itu diawasi oleh Alya sampai Irfan keluar menuju balkon untuk menjawab telpon di sana.
Alya menggigit bibirnya keras, menatap ponsel Irfan yang selalu laki-laki itu bawa tergeletak begitu saja di atas ranjang.
Kesempatannya.
Alya melirik Irfan yang masih berada di balkon luar. Tangannya terulur mengambil ponsel tersebut, mencoba membukanya yang ternyata terkunci.
"Apa kata sandinya?" ucap Alya lirih. Ia terus mencoba menggunakan tanggal lahir Irfan dan tanggal pernikahan mereka namun tetap gagal.
Alya mengintip, sepertinya Irfan akan menyudahi telppnnya. Buru-buru ia manaruh ponsel laki-laki itu kembali di atas ranjang. Ia memfokuskan diri pada bukunya seolah tak terjadi apa-apa.
Laki-laki itu kembali duduk di samping Alya tanpa mengatakan apa pun. Lama waktu berselang, Alya yang menyerah, menutup bukunya dan mulai berbaring.
"Sayang .... "
Alya merasakan tangan Irfan memeluknya erat. Ia menoleh, membalikkan tubuh, Irfan sedang menatap ke arahnya. Laki-laki itu merapikan rambutnya yang menutupi wajah.
"Kenapa Mas?"
"Besok, Mas ada kerjaan di luar kota, kemungkinan Mas gak akan bisa pulang. Tadi Revan menelpon."
Alya terpaku, tiba-tiba saja?
"Ya sudah, Mas. Kalau begitu biar Alya siapkan pakaian Mas."
"Gak usah, Mas cuma satu hari saja, lusa juga sudah balik."
"Kapan berangkatnya?"
"Besok pagi jam tujuh."
"Kalau begitu tidurlah sekarang, biar tidak terlambat besok pagi."
Irfan mengangguk, melepaskan pelukannya dari Alya dan merebahkan diri di samping wanita itu. Alya menatapnya sejenak sebelum membalikkan badan, tanpa Irfan sadari, Alya mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Revan, sekretaris Irfan.
[Van, apakah besok Mas Irfan ada kerjaan ke luar kota?]
Tak lama menunggu, pesan itu berbalas.
[Tidak ada Mbak, besok Pak Irfan mengajukan cuti. Memangnya kenapa?]
Alya menggeram setelah membaca pesan itu.
"Kena, kamu, Mas!" ucapnya lirih.
***
Alya membuka matanya, ia pura-pura tidur sejak tadi. Mengalihkan pandangan pada Irfan yang sudah terlelap sejak tadi.
Alya bangkit perlahan dari ranjangnya, melihat hanya ada satu ponsel di atas nakas samping Irfan. Hanya ponsel pribdai, sementara ponselnya yang selalu laki-laki itu bawa entah di simpan di mana.
Alya mencoba mencari, membuka satu persatu laci yang berada di bawah nakas dengan hati-hati. Namun tak menemukannya.
"Eenghh ...."
Alya terpaku sesaat, refleks menutup mulutnya. Irfan bergerak dalam tidurnya, membalikkan badan membelakangi posisinya sekarang.
Pandangan Alya tertuju pada ponsel Irfan yang satunya kini terlihat sedikit tersembul dari balik bantal.
"Kau menyembunyikannya dengan baik, Mas," ucap Alya lirih mengambil ponsel itu dengan cepat. Ia yakin sekali ada yang disembunyikak laki-laki itu di dalam ponsel ini.
Alya membuka ponsel tersebut, selain kata sandi, ponsel ini dikunci dengan pendeteksi jari dan wajah. Alya mengarahkan ponsel tersebut pada wajah Irfan yang sedang tertidur dengan hati-hati.
Terbuka!
Alya hampir bersorak kalau tidak ingat ia harus menjaga suaranya saat ini. Ia berjalan pelan menuju kamar mandi untuk membuka ponsel itu. Khawatir nantinya Irfan tiba-tiba terbangun.
Alya membuka aplikasi perpesanan milik Irfan. Laki-laki itu memiliki nomor lain yang tidak ia ketahui. Matanya terbelalak saat melihat pesan paling atas dan satu-satunya yang ada di sana dengan nama kontak 'sayangku'.
Ia ingat nomor itu, ia ingat foto yang tertera di profil tersebut. Sosok yang sangat dikenal Alya dengan baik.
Matanya mulai berkaca dengan tangan bergetar membuka isi pesanan tersebut.
[Mas besok jadi, kan, ke hotel Melati?]
[Iya, Mas jemput jam tujuh, kamu siap-siap saja]
Alya duduk dengan lemas, itu Ratih. Benar-benar Ratih sahabatnya, seperti yang dikatakan Fatih padanya tadi siang.
Ratih dan Irfan telah berselingkuh.Hubungan ini, perselingkuhan suaminya kira-kira sudah berapa lama laki-laki dan sahabatnya itu sembunyikan?
Alya tak bisa mengira ia telah hidup dengan berbagi lelaki bersama seorang wanita lain. Perasaan jijik meliputi dirinya hingga ia ingin muntah.
Kenyataan itu membuat perasaan Alya remuk, ia terduduk di atas lantai kamar mandi dengan rasa kecewa yang amat dalam. Air matanya mulai mengalir tanpa henti.
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Fatih terkesiap saat merasakan gerakan dari tangan Alya yang berada dalam genggamannya. Ia mendongak dan sesaat tersenyum saat melihat Alya sudah sadar."Fat," panggil Alya kemudian. Fatuh segera mendekat, mengelus rambut wanita itu."Aku di sini Al, ada apa?""Aku haus."Fatih bernafas lega, setidaknya hal yang dikatakan Alya tak mengkhawatirkannya. Ia segera mengambil air mineral kemasan dan mengarahkannya ke mulut Alya."Sudah?"Alya mengangguk. Fatih meletakkan air mineral itu di atas nakas, lantas beralih menatap Alya sembari menggenggam tangan wanita itu kembali."Bagaimana kondisimu?" tanya Fatih sembari menaikkan kepala ranjang Alya agar ia lebih mudah menatap wanita itu.Alya terkekeh. "Menurutmu?""Ya, tidak akan ada orang yang bilang kalau setelah dirinya mendapatkan satu tembakan ia akan merasa baik-baik saja. Kupikir kau juga sama Al.""Begitulah, seperti yang kau lihat. Rasanya lumayan sakit, tapi Fat, apa kau tahu, entah kenapa aku merasa puas setelah mendapatkan tembak
Fatih keluar dari ruang operasi sembari melepas masker miliknya. Terdengar dering ponselnya mulai berbunyi, lelaki yang sedang mencuci tangannya itu bergegas mengeringkan tangan dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo," ucap Fatih kemudian. " .... " "Ya, benar itu saya. Untuk reservasi jam tujuh malam." Fatih bergegas melangkah pergi sembari tersenyum lebar. " .... " "Ya, tolong dipastikan semuanya lancar dan sudah sedia saat saya datang nanti." " .... " "Baiklah terima kasih banyak." Panggilan itu terputus, Fatih mengantongi ponsel ke dalam saku. Hari ini ia sangat bahagia, semua rasanya berjalan lancar sesuai dengan keinginannya. Operasinya berjalan lancar dan rencananya juga hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Rencana untuk melamar Alya secara romantis, tak seperti di cafe kemarin. Meski Alya berulangkali memberitahukan untuk tak melakukannya, namun Fatih memaksa. Ini lamaran untuk wanita pertamanya, dan ia mau hal ini menjadi sesuatu yang berkesan untuk Alya. Setid
Irfan mengerjap dengan susah payah, bahkan untuk menggerakkan bibirnya saja ia tidak sanggup. Penghuni lapas yang bersamanya benar-benar gila, memukulinya tanpa ampun, tanpa alasan yang berarti mengakibatkan tubuhnya sakit-sakitan seperti ini.Ia tidak tahu apakah hal ini dialami oleh seluruh penghuni sel tahanan yang baru atau tidak, tapi melihat ia terus berteriak meminta tolong sementara tak ada satupun sipir, walau sedang berpatroli sekalipun untuk berhenti dan melihat keadaannya, Irfan yakin ini disengaja.Ia juga berkeyakinan ini adalah ulah Alya yang tak cukup menaruhnya dalam sel penjara tapi juga mengirimnya untuk masuk ke dalam neraka.Bahkan sekarang, tiga orang yang menghuni lapas bersamanya itu tampak baik-baik saja dan makan sarapan dengan damai, meninggalkan ia seorang diri dengan perut perih menahan lapar karena jatah makannya diambil oleh si botak yang mencekiknya kemarin.Tubuhnya bahkan tergeletak di lantai yang dingin karena tak diberikan alas tidur yang memadai.
"Besok sidang pertama, kan?" tanya Fatih saat keduanya bertemu di cafe. Alya mengangguk. "Kau mau ikut?""Sayangnya besok aku ada operasi," ucap Fatih menyayangkan. "Tapi setelahnya aku akan menemuimu."Alya tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Fatih yang berada di atas meja. Lelaki itu mendongak, menatap Alya sembari terkekeh."Kau mau menggodaku?""Tidak," ucap Alya seraya mencebik, memangnya menggenggam tanganmu tak boleh ya? Sebuah larangan?""Bukan begitu." Fatih menggenggam tangan Alya dengan erat. "Hanya saja aku masih belum terbiasa, lagipula kita tak punya hubungan apa-apa.""Kau benar, Fat. Kalau begitu apa kau tidak mau menjalin hubungan denganku? Kupikir kita sudah sangat dekat bahkan tahu satu sama lain. Boleh aku tanya sesuatu? Kau menyukaiku?"Fatih bergeming, menatap Alya tanpa berkedip dengan wajah memerah."Ehm ... kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?"Alya mengangkat bahu. "Hanya butuh pengakuan.""Apa tak cukup penjelasan tak tersirat yang selama i
Alya tersenyum, menatap kaca bening yang menghubungkan ruang kerjanya dengan pemandangan di luar sana. Ia memejam, menyentuh bibirnya, lantas tersenyum kembali.Setelah bertemu dengan kedua orang tuanya tadi, Fatih mengantarnya kembali ke kantor karena ada hal yang harus ia kerjakan, begitu juga lelaki itu langsung kembali ke rumah sakit.Alya bahagia, hubungannya dengan Fatih sudah membaik. Ah, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Entah kenapa Alya merasa bahagia, kebahagiaan ini bahkan jauh lebih besar ia rasakan ketimbang saat ia jatuh cinta pada Irfan dahulu.Jatuh cinta?Alya memiringkan kepalanya dengan alis bertaut. Ia bertanya-tanya pada perasaannya sendiri, benarkah ia jatuh cinta pada Fatih? Secepat itu? Hanya karena satu kecupan yang lelaki itu berikan untuknya?Bukan!Alya yakin bukan itu, meski jantungnya sekarang sudah berdebar tak karuan. Apalagi saat mengingat wajah Fatih. Tiba-tiba ia merasakan hal seperti ini. Hal yang sangat jarang terjadi meski ia sedang memikir
Alya berjalan perlahan keluar dari ruangan kamar inap sang Papa. Ibunya tertidur setelah mengobrol banyak hal dengannya tadi. Meski jauh di lubuk hatinya yang terdalam Alya juga ingin bicara dengan sang Papa. Namun, takdir berkata lain, papanya masih juga tak sadar dari komanya. Alya hanya harus menunggu, tapi entah kapan. Sesaat setelah menutup pintu ruangan dan berbalik, Alya mematung di tempat. Di lorong rumah sakit menuju ruangan papanya tampak Fatih berdiri dengan menenteng satu bungkusan plastik di tangan. Lelaki itu tampak terkejut saat melihat Alya, lalu beberapa saat kemudian berbalik pergi. "T--tunggu, Fatih!" panggil Alya membuat langkah kaki lelaki itu tertahan. Fatih bergeming di tempat, sama sekali tak mau menoleh ke arah Alya sedikitpun. Wanita itu menghela nafas, melangkah mendekati Fatih dan berdiri di hadapan lelaki itu. "Jujur saja, kau sedang menghindariku, kan?" tanya Alya penuh selidik, matanya memicing menatap mata Fatih yang sama sekali tak mau menatapny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments